The Maze Runner (The Maze Runner #1) (32)

Penulis: James Dashner

32


MINHO membangunkan Thomas sebelum fajar tiba, memberi tanda dengan sinar senter untuk mengikutinya ke Wisma. Thomas dengan segera menyingkirkan rasa kantuknya, bersemangat memulai latihannya. Dia merangkak keluar dari bawah selimut dan bergegas mengikuti gurunya, berhati-hati mengambil langkah di antara para Glader yang tidur bergelimpangan di halaman berumput, dengkuran mereka menandakan semua masih pulas. Klau lembut dini hari mulai menyinari Glade, membuat segalanya tampak biru gelap dan berbayang-bayang. Thomas belum pernah melihat tempat itu tampak begitu damai. Seekor ayam jantan berkokok di Rumah Darah.

Akhirnya, di sebuah celah tak rata di dekat bagian sudut belakang Wisma, Minho mengeluarkan anak kunci dan membuka sebuah pintu lapuk lemari dinding. Thomas berdebar-debar, menebak-nebak isinya. Dia melihat sekilas gulungan tali, rantai, dan beberapa macam benda lain saat senter Minho bergerak-gerak menyoroti lemari itu. Akhirnya, sinar senter jatuh ke atas kotak terbuka yang penuh dengan sepatu lari. Thomas hampir tertawa, itu kelihatannya sangat biasa.

“Itu perlengkapan utama kami,” Minho menerangkan. “Setidaknya untuk kita. Mereka sering mengirimkan sepatu-sepatu baru dalam Kotak. Jika kita mengenakan sepatu yang buruk, kaki-kaki kita akan menjadi seperti makhluk Mars.” Dia membungkuk dan mengaduk-aduk tumpukan itu. “Berapa ukuran sepatumu?”

“Ukuran?” Thomas berpikir sesaat. “Aku ... tidak tahu.” Terkadang sungguh aneh memikirkan hal yang mampu dan tak mampu diingatnya. Dia membungkuk dan melepas sepatu yang telah dipakainya sejak datang ke Glade, kemudian melihat ke bagian dalamnya. “Sebelas.”

“Ya ampun, kakimu besar sekali.” Minho berdiri sambil memegang sepasang sepatu berwarna perak yang masih mengilap. “Tapi, sepertinya ada yang sesuai—wow, kita bisa pergi berlayar dengan benda ini.”

“Itu bagus juga.” Thomas menerimanya dan berjalan keluar dari lemari dinding, lalu duduk di atas tanah, ingin segera mengenakannya. Minho mengambil beberapa barang lagi sebelum keluar bergabung Thomas.

“Hanya para Pelari dan Pengawas yang mendapat ini,” kata Minho. Sebelum Thomas mendongak setelah menalikan sepatunya, sebuah jam tangan plastik jatuh ke pangkuannya. Warnanya hitam dan berbentuk sangat sederhana, dengan penunjuk waktu digital di permukaannya. “Kenakan ini dan jangan pernah dilepas. Hidupmu mungkin saja bergantung padanya.”

Thomas senang menerimanya. Meskipun matahari dan bayang-bayang sepertinya cukup memberinya petunjuk kasar tentang waktu, menjadi seorang Pelari mungkin membutuhkan kepastian lebih akurat. Dia melingkarkan jam itu di pergelangan tangannya dan kemudian melanjutkan menalikan sepatunya.

Minho meneruskan kata-katanya. “Ini ransel, botol-botol air, wadah makan, beberapa celana dan T-shirt, dan barang-barang lain.” Dia menumbuk Thomas, yang mendongak. Minho memegang beberapa pasang celana dalam berpotongan ketat, terbuat dari bahan putih berkilau. “Benda-benda ini kami sebut dengan Pakaian-dalam-Pelari. Membuatmu, eng, bagus dan nyaman.”

“Bagus dan nyaman?”

“Ya, kau tahu, kan. Itumu ....”

“Ya, aku mengerti.” Thomas mengambil pakaian dalam dan benda-benda lainnya. “Kalian benar-benar memikirkan segalanya, ya?”

“Menghabiskan bertahun-tahun berlari setiap hari, kau akan menemukan hal-hal yang kau perlukan dan memintanya.” Dia mulai memasukkan barang-barang ke ranselnya sendiri.

Thomas terkejut. “Maksudmu, kalian boleh mengajukan permintaan? Barang-barang yang kalian butuhkan?” Mengapa orang-orang yang mengirim mereka ke tempat ini begitu membantu mereka?

“Tentu saja boleh. Masukkan saja catatan pesananmu ke Kotak, dan tunggu barangnya dikirim. Tapi, bukan berarti kami selalu mendapatkan apa yang kami inginkan dari para Kreator. Kadang-kadang kami meperolehnya, kadang-kadang tidak.”

“Bahkan, untuk meminta peta?”

Minho tertawa. “Ya, itu sudah pernah dicoba. Juga meminta sebuah televisi, tapi tak berhasil. Kurasa orang-orang itu tidak ingin kami melihat indahnya hidup ketika kau tak hidup di dalam maze yang mengerikan.”

Thomas merasa sedikit ragu bahwa hidup begitu indah di tempat asalnya—dunia macam apa yang membiarkan orang-orang membuat anak-anak hidup seperti ini? Pemikiran ini membuatnya terkejut, seolah berasal dari kenangan aslinya, sebaris cahaya di kegelapan pikirannya. Namun, itu hanya melintas dan lenyap. Menggelengkan kepala, dia menuntaskan mengikat tali sepatunya, kemudian berdiri dan berlari kecil berputas, melompat-lompat untuk mengetesnya. “Cukup nyaman. Kurasa aku sudah siap.”

Minho masih membungkuk di atas ranselnya di atas tanah; dia menoleh ke arah Thomas dengan pandangan mencela. “Kau seperti orang bodoh, berlari berputar-putar seperti balerina. Semoda berhasil di luar sana sarapan, makan siang, ataupun beberapa senjata.”

Thoms telah berhenti berlari, agak menggigil. “Senjata?”

“Senjata-senjata.” Minho berdiri dan berjalan kembali ke lemari dinding. “Kemarilah, akan kutunjukkan kepadamu.”

Thomas mengikuti Minho masuk ke rungan lemari dinding dan mengawasi saat anak itu menarik beberapa kotak dari dinding belakang. Di bawahnya tampak sebuah pintu tingkap. Minho membukanya hingga tampak anak-anak kayu menuju kegelapan. “Kami membuatnya di bawah tanah jadi anak-anak seperti Gally tidak mengetahuinya. Ayo.”

Minho turun lebih dahulu. Tangga itu berderak setiap kali menahan beban tubuh mereka ketika menuruni sekitar selusin anak tangga atau lebih. Udara yang dingin terasa segar meskipun berdebu dan berbau jamur yang menyengat. Mereka menginjak lantai yang kotor, dan Thomas tak bisa melihat sekelilingnya hingga Minho menyalakan sebuah lampu dengan menarik talinya.

Ruangan itu lebih besar daripada yang dibayangkan Thommy, kira-kira seluas sepuluh meter persegi. Deretan rak menutup dinding-dinding, dan terlihat beberapa meja kayu berbentuk balok; semua tampak tertutupi oleh sesuatu yang membuatnya merinding. Galah-galah kayu, paku-paku baja, berlembar-lembar jaring—seperti penutup kandang ayam—gulungan kawat berduri, sejumlah gegaji, pisau, tali busur. Pemandangan itu seketika mengembalikan kenangan ketika Ben dipanah oleh Alby di Tempat-orang-mati.

“Wow,” gumam Thomas, suaranya teredam di dalam tempat yang tertutup rapat itu. Awalnya dia mereasa takut melihat bahwa mereka membutuhkan begitu banyak senjata, tetapi dia merasa lega ketka menyadari sebagian besar tertutup debu tebal.

“Kami tidak banyak memakainya,” kata Minho. “Tapi, kau tak akan pernah tahu. Yang biasa kami bawa adalah beberapa belati tajam.”

Dia mengangguk ke arah sebuah peti kayu besar di sudut, bagian atasnya terbuka dan disandarkan ke dinding. Belati-belati beragam bentuk dan ukuran ditancapkan berdiri secara acak di permukaannya.

Thomas hanya berharap ruangan ini tetap dirahasiakan dari sebagian besar Glader. “Sepertinya berbahaya memiliki semua benda semacam ini,” komentarnya. “Bagaimana jika Ben berhasil masuk kemari sebelum dia menjadi sinting dan menyerangku?”

Minho mengeluarkan seikat kunci dari kantongnya dan mengayunkannya hingga bergemerincing. “Hanya beberapa anak beruntung yang mempunyai seperangkat kunci ini.”

“Tetap saja ....”

“Hentikan ocehanmu dan pilihlah beberapa belati. Pastikan mereka bagus dan tajam. Lalu, kita akan pergi sarapan dan menyiapkan bekal makan siang. Aku ingin mampir sebentar di Ruang Peta sebelum kita berangkat.”

Thomas merasa bersemangat mendengarnya—dia telah penasaran tentang bangunan berbentuk kotak itu bahkan sejak kali pertama dia melihat seorang Pelari melewati pintunya yang kokoh. Anak laki-laki itu memilih sebuah belati pendek berwarna perak dengan pegangan karet, lalu sebuah belati hitam panjang. Semangatnya agak berkurang. Meskipun tahu benar makhluk apa yang berada di luar sana, dia masih tak ingin memikirkan mengapa dia membutuhkan persenjataan untuk memasuki Maze.


Setengah jam kemudian, setelah makan dan berkemas, mereka berdiri di pintu baja Ruang Peta yang tertutup rapat. Thomas tak sabar lagi ingin masuk. Fajar mulai menyingsing, dan para Glader beranjak siap beraktivitas pada hari itu. Bau daging goren tercium di udara—Frypan dan anak buahnya berusaha memenuhi kebutuhan puluhan perut-perut kelaparan. Minho membuka kunci pintu, memutar pegangannya, hingga terdengar bunyi klik dari dalam, kemudian menariknya. Dnegan bunyi berkeriut, pintu baja itu mengayun terbuka.

“Kau duluan,” kata Minho sambil berlagak membungkuk.

Thomas masuk tanpa berkata apa pun. Rasa takut bercampur dengan keingintahuan seolah mencengkeramnya, dan dia harus mengingatkan dirinya sendiri untuk menarik napas.

Kamar gelap itu berbau apak dan lembap, ditambah dengan bau tembaga yang sangat menyengat hingga dia mampu merasakannya. Sebuah memori yang samar-samar dan jauh tentang dirinya sebagai anak yang mengulum koin  uang muncul di dalam kepalanya.

Minho memukul sebuah tombol dan beberapa deret lampu neon berkelip-kelip hingga menyala sepenuhnya, menampakkan isi ruangan itu dengan jelas.

Thomas terkejut melihat betapa sederhananya tempat itu. Dengan lebar sekitar enam meter Ruang Peta mempunyai dinding-dinding beton yang tanpa hiasan. Sebuah meja kayu berdiri tepat di tengah-tengah, delapan kursi mengelilinginya. Tumpukan kertas yang rapi dan pensil-pensil diletakkan di atas meja, satu untuk setiap meja. Satu-satunya benda lain di ruangan itu adalah delapan peti, persis seperti kotak yang berisi belati di ruangan senjata bawah tanah tadi. Semuanya tertutup, diletakkan dengan jarak sama, dua peti di setiap dinding.

“Selamat datang di Ruang Peta,” kata Minho. “Tempat paling menyenangkan yang pernah kau kunjungi.”

Thomas merasa agak kecewa—dia berharap menemukan sesuatu yang lebih mengesankan. Anak itu menarik napas dalam-dalam. “Sayang baunya seperti bekas tambang tembaga.”

“Aku suka bau ini.” Minho menarik dua buah kursi dan duduk di atas salah satunya. “Duduklah, aku ingin kau mengingat beberapa gambar sebelum kita mulai.”

Saat Thomas duduk, Minho mengambil selembar kertas dan sebatang pensil, lalu mulai menggambar. Thomas mencondongkan badannya ingin melihat lebih dekat dan menyaksikan Minho telah menggambar sebuah kotak besar yang hampir memenuhi halam kertas. Kemudian, dia mengisinya dengan kota-kotak yang lebih kecil hingga tampak persis seperti papan tebak angka, tiga baris masing-masing tiga kotak, semua berukuran sama. Dia menulis kata GLADE di tengah, kemudian memberi nomor kotak-kotak bagian luar dari satu hingga delapan, dimulai dari sudut kiri atas dan dilanjutkan searah jarum jam. Terakhir, dia menggambar tanda-tanda centang di beberapa tempat.

“Ini adalah Pintu-Pintu,” ujar Minho. “Kau sudah tahu pintu-pintu yang berbatasan dengan Glade, tapi masih ada empat lagi di luar Maze yang menuju Sektor Satu, Tiga, Lima, dan Tujuh. Pintu-pintu itu terletak di titik yang sama, tetapi rute di sana berubah-ubah dengan pergerakan tembok-tembok setiap malam.” Dia berhenti sejenak, kemudian melipat kertas itu dan meletakkannya di depan Thomas.

Thomas mengambilnya, terkagum-kagum menyadari bahwa Maze sangat terstruktur, dan mendengarkan baik-baik ketika Minho meneruskan.

“Jadi, Glade dikelilingi delapan Sektor, masing-masing merupakan petak yang berdiri sendiri dan tak terpecahkan selama dua tahun sejak kami memulai permainan sinting ini. Satu-satunya yang mendekati sebuah jalan keluar adalah Tebing, dan bukan jalan yang bagus kecuali kau tak keberatan jatuh dan mati dengan mengerikan.” Minho menepuk Peta. “Tembok-tembok bergerak di seluruh bagian tempat ini setiap malam—di waktu yang sama ketika Pintu-Pintu kami menutup. Paling tidak, kami menduga itulah saatnya, karena kami tak pernah mendengar tembok-tembok bergerak pada waktu yang lain.”

Thomas menegakkan tubuhnya, merasa gembira mendapat sepotong informasi. “Aku tak melihat satu pun yang bergerak pada malam ketika kita terjebak di luar sana.”

“Lorong-lorong utama tepat di luar Pintu-Pintu tidak pernah berubah. Hanya tembok-tembok yang lebih jauh.”

“Oh.” Thomas kembali membaca peta kasar itu, mencoba membayangkan Maze dan melihat tembok-tembok batu yang digambar Minho.

“Kami setidaknya selalu mempunyai delapan Pelari, termasuk seorang Pengawas. Satu untuk setiap Sektor. Kami membutuhkan sehari penuh untuk memetakan wilayah kami—berharap menemukan jalan keluar—kemudian kami kembali dan menggambarnya, di kertas berbeda setiap hari.” Minho melirik ke salah satu peti. “Itulah sebabnya wadah-wadah itu penuh dengan Peta.”

Thomas merasakan pikiran yang membuatnya tertekan—dan takut. “Apakah aku ... menggantikan seseorang? Apakah sudah ada yang terbunuh?”

Minho menggelengkan kepala. “Tidak, kami hanya akan melatihmu—mungkin nanti ada yang ingin beristirahat. Jangan khawatir, sudah cukup lama sejak ada seorang Pelari terbunuh.”

Entah mengapa kata-kata Minho membuat Thomas cemas meskipun dia berharap tak terbaca di wajahnya. Dia menunjuk Sektor Tiga. “Jadi ... kalian membutuhkan waktu seharian penuh untuk berlari melewati semua petak kecil ini?”

“Sangat seru.” Minho berdiri dan berjalan ke sebuah peti tepat di belakangnya, berlutut, kemudian membuka tutupnya dan menyandarkannya ke dinding. “Kemarilah.”

Thomas sudah siap; dia melongok dari balik pundak Minho dan ikut melihat. Peti itu cukup besar memuat empat tumpuk Peta, dan keempat tumpukan itu sudah mencapai tutupnya. Masing-masing Peta yang terlihat oleh Thomas sangat mirip; coretan kasar dari kotak maze, memenuhi hampir seluruh halaman. Pada sudut-sudut kanan atasnya, tertera tulisan Sektor 8, diikuti nama Hank, kemudian kata Hari, disertai sebuah nomor. Lembar terakhir tertulis hari ke-749.

Minho meneruskan. “Kami menemukan bahwa tembok-tembok itu bergerak ke kanan pada awalnya. Segera setelah mengetahuinya, kami mulai melacak jalannya. Kami selalu berpendapat bahwa membandingkan jalur jalannya dari hari ke hari, minggu ke minggu, akan membantu kami menemukan pola. Dan, kami berhasil—maze-maze ini pada dasarnya mengulang bentuk yang serupa setiap bulan. Tapi, kami belum melihat pintu keluar terbuka yang akan membawa kami keluar dari kawasan ini. Tak pernah ada pintu keluar.”

“Susah dua tahun,” kata Thomas. “Pernahkah kalian merasa sangat putus asa hingga memutuskan tetap tinggal di luar sana semalaman, sambil menunggu ada sesuatu yang terbuka ketika tembok-tembok itu bergerak?”

Minho memandangnya, matanya berkilat marah. “Itu menghina sekali. Sungguh.”

“Apa?” Thomas terkejut—dia tidak bermaksud seperti itu.

“Kami sudah berusaha keras selama dua tahun, dan kau menanyakan apakah kami terlalu pengecut berada di sana semalaman? Beberapa anak bersikap seperti itu pada awalnya—dan mereka semua akhirnya mati. Kau ingin menghabiskan waktu sepanjang malam di sana? Senang mencoba kesempatanmu untuk bertahan hidup lagi, ya?”

Wajah Thomas memerah karena malu. “Tidak. Maaf.” Tiba-tiba dia merasa seperti seonggok kotoran. Dan, dia sepenuhnya setuju—dia lebih baik pulang dengan selamat dan melapor ke Glade setiap malam ketimbang berhadapan sekali lagi dengan para Griever. Dia bergidik membayangkannya.

“Ya, baiklah.” Minho kembali memandang Peta-Peta di dalam peti, membuat Thomas merasa lega. “Hidup di Glade mungkin tidak menyenangkan, tapi setidaknya tempat ini aman. Makanan cukup tersedia, terlindungi dari para Griever. Kami tidak akan tega meminta para Pelari mempertaruhkan hidup mereka dengan terus berada di luar sana—tidak. Setidaknya belum. Tidak hingga Peta-Peta ini memberikan petunjuk bahwa ada pintu keluar yang mungkin terbuka meskipun hanya sesekali.”

“Kalian sudah hampir menemukannya? Ada perkembangan?”

Minho mengangkat bahu. “Aku tak tahu. Ini memang membuat tertekan, tapi kami tak tahu harus berbuat apa lagi. Kami tak bisa melewatkan kesempatan bahwa suatu hari, di satu tempat, entah di mana, akan muncul sebuah jalan-keluar. Kami tak boleh menyerah. Selamanya.”

Thomas mengangguk, lega melihat sikap Minho. Seburuk apa pun keadaan mereka, menyerah hanya akan membuat segalanya semakin runyam.

Minho menarik beberapa lembar kertas dari peti, Peta-Peta beberapa hari terakhir. Sambil melipat semuanya, dia menjelaskan. “Kami membandingkan dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, seperti yang tadi kukatakan. Setiap Pelari bertanggung jawab atas Peta di Sektor masing-masing. Kalau boleh jujur, kami belum menemukan petunjuk. Bahkan, lebih jujur lagi—kami tidak tahu apa yang kami cari. Sangat menjengkelkan, Sobat. Sangat menjengkelkan.”

“Tapi, kita tak boleh putus asa.” Thomas mengatakannya dengan nada menirukan Minho beberapa saat sebelumnya. Dia berkata “kita” begitu saja, dan tersadar bahwa kini dia telah benar-benar menjadi bagian dari Glade.

“Benar, Sobat. Kita tak boleh putus asa.” Minho dengan hati-hati mengembalikan kertas-kertas itu dan menutup peti, kemudian berdiri. “Ya, kita akan berusaha sekuat tenaga bila sudah masuk ke sana—kau hanya harus mengikutiku selama hari-hari pertama latihan. Siap?”

Thomas merasakan kegugupan meingkat di dalam dirinya, menciutkan keberaniannya. Akhirnya, saat ini tiba—mereka akan sungguh-sungguh menjalankannya, tak ada lagi percakapan dan kesempatan memikirkannya. “Eng ... ya.”

“Tidak ada ‘eng’ saat ini. Kau siap atau tidak?”

Thomas memandang Minho, menunjukkan tatapannya yang mendadak tajam. “Aku siap.”


“Kalau begitu, ayo kita mulai berlari.”[]


No comments:

Post a Comment