Penulis: James Dashner
30
TAHANAN berdiri di sebuah tempat gelap di antara Wisma dan
tembok utara Glade, di belakang semak-semak liar berduri yang tampaknya tak
pernah dirapikan selama berabad-abad. Bangunan itu berbentuk kotak besar dan
terbuat dari beton kasar, dengan satu jendela berteralis dan pintu kayu yang
dikunci dengan gerendel besi berkarat mengerikan, seperti berasal dari Abad
Kegelapan.
Newt mengeluarkan anak kunci dan membukanya, kemudian
memberi isyarat kepada Thomas untuk masuk. “Hanya ada satu kursi di dalam dan
tak ada yang harus kau lakukan. Selamat menikmati.”
Thomas mengerang dalam hati saat dia masuk dan melihat
satu-satunya perabot itu—sebuah kursi reyot yang jelek dengan satu lengan yang
jelas lebih pendek daripada yang lain, yang mungkin disengaja. Bahkan, tidak
ada joknya.
“Selamat bersenang-senang,” kata Newt sebelum menutup pintu.
Thomas berbalik memandang rumah barunya dan mendengar gerendel ditarik serta
bunyi kunci dikancingkan di belakangnya. Kepala Newt muncul dari balik jendela
kecil tak berkaca, memandang melalui jeruji, menyeringai. “Hadia menyenangkan
karena melanggar peraturan. Kau menyelamatkan beberapa nyawa, Tommy, tapi kau
masih perlu belajar—”
“Ya, aku tahu. Peraturan.”
Newt tersenyum. “Kau tidak terlalu buruk, Sobat. Tapi, teman
atau bukan, ini harus dijalankan seperti semestinya agar kami tetap hidup.
Pikirkan itu saat kau duduk di sana dan menatap dinding-dinding itu.”
Dan, dia pun pergi.
Sejam pertama berlalu, dan Thomas merasa kebosanan
merambatinya seperti tikus-tikus di bawah pintu. Menjelang sejam berikutnya,
dia ingin menumbukkan kepalanya ke dinding. Dua jam setelahnya dia mulai
berpikir untuk makan malam dengan Gally dan para Griever mengamuk ingin masuk
ke Tahanan bodoh ini. Thomas duduk dan mencoba mengembalikan ingatan-ingatannya,
tetapi setiap usahanya lenyap menjadi kabur sebelum terbentuk.
Untungnya, Chuck datang membawa makanan ketika tengah hari,
mengalihkan Thomas dari pikiran-pikirannya.
Setelah memberikan beberapa potong ayam dan segelas air
melalui jendela, Chuck memulai kebiasaannya berbicara hingga telinga Thomas
seperti hendak copot.
“Semuanya kini sudah normal,” kata anak itu melaporkan.
“Para Pelari keluar ke Maze, semua
orang bekerja—mungkin kita sungguh-sungguh akan bertahan. Masih belum ada tanda
dari Gally—Newt berkata pada para Pelari untuk langsung kembali jika mereka
menemukan tubuhnya. Dan, oh ya—Alby sudah kelihatan. Sepertinya baik-baik
saja—dan Newt senang dia tak perlu menjadi bos besar lagi.”
Penyebutan nama Alby mengalihkan perhatian Thomas dari
makanannya. Dia membayangkan anak laki-laki yang kemarin meronta-ronta,
mencekik dirinya sendiri. Kemudian, dia teringat bahwa tak seorang pun tahu apa
yang dikatakan Alby setelah Newt
meninggalkan kamar—sebelum pencekikan itu. Namun, itu tak berarti Alby akan menyimpannya
hanya di antara mereka berdua kini setelah dia telah sembuh dan kembali
beraktivitas.
Chuck terus berbicara, berganti topik dengan tak terduga.
“Thomas, aku sedang pusing, Sobat. Rasanya aneh merasa sedih dan rindu dengan
rumah, tapi aku tak tahu kenapa aku ingin kembali. Aku hanya tak ingin berada
di sini. Aku ingin kembali ke keluargaku. Bagaimanapun keadaan di sana, dan
dari apa pun aku telah diambil. Aku ingin mengingatnya.”
Thomas agak terkejut. Dia belum pernah mendengar Chuck
mengatakan sesuatu yang begitu dalam dan jujur. “Aku tahu maksudmu,” dia
bergumam.
Posisi mata Chuck terlalu rendah untuk dapat dilihat Thomas
dari balik jendela saat dia berbicara, tetapi dari kalimat selanjutnya, Thomas
membayangkan sepasang mata itu dipenuhi kesedihan, bahkan air mata. “Aku selalu
menangis. Setiap malam.”
Ini membuat pikiran-pikiran Thomas tentang Alby menguap.
“Ya?”
“Seperti bayi yang popoknya basah. Hampir sampai ketika kau
datang ke sini. Kemudian, kurasa aku jadi terbiasa. Ini menjadi tempat
tinggalku meskipun kami menghabiskan setiap harinya dengan berharap untuk
keluar.”
“Aku hanya pernah menangis satu kali sejak tiba di sini,
tapi itu setelah nyaris dimakan hidup-hidup. Aku mungkin hanya seorang anak
yang penakut.” Thomas mungkin tidak akan mengakuinya jika Chuck tidak
membukanya terlebih dulu.
“Ya. Saat Griever yang terakhir jatuh dari Tebing, aku tak
tahan lagi dan menangis sampai tenggorokan dan dadaku sakit.” Thomas sangat
mengingatnya. “Segalanya menyerbu pikiranku sekaligus. Menangis membuat
perasaan-ku lebih baik—aku tak
menganggap menangis itu buruk. Tak akan.”
“Memang membuat
perasaanmu lebih baik, eh? Rasanya aneh, ya, hal itu ternyata bisa membantu.”
Beberapa menit berlalu tanpa ada yang berbicara. Thomas mendadak
berharap Chuck tidak pergi.
“Hai, Thomas?” panggil Chuck.
“Aku masih di sini.”
“Menurutmu, aku memiliki orangtua? Orangtua sungguhan?”
Thomas tertawa , sebagian karena berusaha menghilangkan
deraan perasaan sedih yang disebabkan pertanyaan itu. “Tentu saja, bodoh. Kau
mau aku menjelaskan tentang burung-burung dan lebah?” Hati Thomas sedikit
sakit—dia ingat pernah mendapat pelajaran itu, tetapi siapa yang
mengajarkannya.
“Bukan itu maksudku,” sahut Chuck, suaranya terdengar
serius. Rendah dan muram, hampir seperti bergumam. “Sebagian besar anak yang
pernah mengalami Perubahan mengingat hal-hal buruk yang tak akan pernah mereka
bicarakan, yang membuatku ragu bahwa pulang ke rumah adalah hal bagus. Jadi,
maksudku, menurutmu apakah benar-benar mungkin aku mempunyai seorang ibu dan
ayah entah di mana di dunia ini, yang merindukanku? Menurutmu mereka menangis setiap malam?”
Thomas sepenuhnya terguncang saat menyadari matanya telah
berkaca-kaca. Hidupnya telah berubah begitu gila sejak dia tiba, dia tak pernah
benar-benar memikirkan Glader sebagai orang-orang dengan keluarga nyata, yang
merindukan mereka. Itu aneh, tetapi dia belum pernah memikirkan dirinya sendiri
sejauh itu. Dia hanya memikirkan tentang arti semua ini, siapa yang mengirim
mereka, dan bagaimana mereka keluar dari sini.
Untuk kali pertama, dia tersentuh oleh kata-kata Chuck yang
membuatnya sangat marah dan ingin membunuh seseorang. Anak laki-laki itu
seharusnya berada di sekolah, di rumah, bermain dengan teman-teman tetangganya.
Dia berhak pulang ke rumah, ke keluarga yang mencintainya, mencemaskannya.
Seorang ibu yang menyuruhnya mandi setiap hari dan seorang ayah yang
membantunya menyesuaikan pekerjaan rumah.
Thomas membenci orang-orang yang mengambil anak malang dan
tak berdosa ini dari keluarganya. Dia membenci mereka dengan emosi yang
melampaui perasaan manusia. Dia ingin mereka mati, disiksa, yang setimpal. Dia
ingin Chuck bahagia.
Akan tetapi, kebahagiaan telah direnggut dari kehidupan
mereka. Cinta telah direnggut dari
kehidupan mereka.
“Dengarkan aku, Chuck,” Thomas terdiam sesaat, menenangkan
diri sebisa mungkin, berusaha agar suaranya tak terdengar serak. “Aku yakin kau
memiliki orangtua. Aku tahu itu. Kedengarannya tak menyenangkan, tapi aku yakin
ibumu sedang duduk di kamarmu saat ini, memeluk bantalmu, menatap dunia di luar
jendela yang telah mencurimu darinya. Dan, ya, aku yakin dia juga menangis.
Tersedu-sedu. Matanya bengkak, hidungnya berair. Pasti.”
Chuck tak berkata apa pun, tetapi Thomas merasa mendengar
suara terisak-isak lirih.
“Jangan putus asa, Chuck. Kita akan memecahkan masalah ini,
keluar dari sini. Aku sekarang seorang Pelari—aku berjanji atas nama hidupku,
aku akan mengembalikanmu ke kamarmu. Membuat ibumu berhenti menangis.” Dan,
Thomas bersungguh-sungguh. Dia merasakannya membara
di dalam hatinya.
“Kuharap kau benar,” ujar Chuck dengan suara bergetar. Dia
menjulurkan tanda ibu jari teracung dari jendela, kemudian melangkah pergi.
Thomas berdiri dan berjalan mengitari ruangan kecil itu,
terbakar oleh keinginan menggebu-gebu untuk memegang teguh janjinya. “Aku
bersumpah, Chuck,” bisiknya tak kepada siapa pun. “Aku bersumpah akan membawamu
pulang.”[]
No comments:
Post a Comment