Penulis: James Dashner
12
THOMAS tak bergerak selama beberapa detik. Anak laki-laki
itu terbaring bergelung, nyaris tak bergerak, tetapi Thomas membeku dalam
kebimbangan, takut untuk melibatkan diri. Bagaimana jika sesuatu yang serius
terjadi kepada anak itu? Bagaimana jika dia telah ... didengar? Bagaimana jika—
Thomas menyingkirkan pikiran itu—Pelari itu jelas
membutuhkan pertolongan.
“Alby!” pekiknya. “Newt! Siapa pun tolong panggil mereka!”
Thomas berlari secepat kilat ke arah anak yang lebih tua itu
dan berlutut di sampingnya. “Hai—kau baik-baik saja?” Kepala Pelari itu
tergeletak di atas kedua tangannya yang terjulur saat dia terengah-engah,
dadanya bergerak naik-turun. Anak itu sadar, tetapi Thomas belum pernah melihat
orang setelah itu.
“Aku ... tidak apa-apa,” kata anak itu di sela-sela
napasnya, kemudian mendongak. “Siapa kau?”
“Aku baru di sini.” Kenyataan itu menyadarkan Thomas bahwa
para Pelari pergi ke Maze sepanjang
hari dan tidak menyaksikan langsung beberapa peristiwa yang terjadi di sini.
“Aku Thomas—baru di sini beberapa hari.”
Pelari itu memaksa dirinya bangkit untuk duduk, rambut
hitamnya menempel di kepalanya karena keringat. “Oh, iya, Thomas,” dia
mendengus. “Orang baru. Kau dan anak perempuan itu.”
Alby berlari kecil menghampiri, jelas tampak kecewa. “Kenapa
kau kembali, Minho? Apa yang terjadi?”
“Tahan penasaranmu, Alby,” Pelari itu menjawab, tampak
mengumpulkan tenaga kembali setiap detinya. “Ambilkan saja aku air—aku
menjatuhkan minumanku entah di mana di luar sana.”
Akan tetapi, Alby tetap berdiri di tempatnya. Dia menendang
kaki Minho—terlalu keras jika untuk bergurau. “Apa yang terjadi?”
“Aku bahkan susah untuk ngomong, sialan!” bentak Minho,
suaranya serak. “Ambilkan aku air!”
Alby melempar pandangan kepada Thomas, yang terpana melihat
sebuah senyum tak kentara di wajahnya sebelum berubah menjadi marah lagi.
“Minho adalah satu-satunya anak yang bisa berbicara begitu kepadaku tanpa
ditendang dari Tebing!”
Kemudian, yang lebih mengejutkan Thomas, Alby berbalik dan
berlari, kemungkinan akan mengambilkan air untuk Minho.
Thomas menoleh ke arah Minho. “Dia membiarkanmu
memerintahnya?”
Minho mengangkat bahu, kemudian mengusap butiran keringat
segar yang muncul di dahinya. “Kau takut kepada anak tak berguna itu? Ya, kau
harus banyak belajar. Anak-anak-bawang yang aneh.”
Gerutuan itu agak membuat Thomas sakit hati, mengingat dia
baru mengenal anak itu selama tiga menit. “Bukankah dia pemimpin di sini?”
“Pemimpin?” Minho mendengus keras yang mungkin dimaksudkan
sebagai tawa. “Ya, panggil saja dia pemimpin sesukamu. Mungkin kita sebaiknya
memanggil dia sang Presiden. Nah, nah—Laksamana Alby. Ini dia.” Dia
mengucek-ucek matanya, terkekeh-kekeh.
Thomas tidak tahu harus bagaimana menanggapi percakapan
ini—sulit mengatakan bahwa Minho sedang bercanda. “Jadi, kalau begitu, siapa pemimpin di sini jika bukan dia?”
“Bocah ingusan, berhentilah menanyakan itu sebelum kau lebih
membuat bingung dirimu sendiri.” Minho mendesah seolah-olah merasa bosan,
kemudian menggerutu, cenderung ditujukan kepada dirinya sendiri, “Kenapa
anak-anak tak berguna sepertimu yang datang ke sini menanyakan hal-hal bodoh
semacam ini? Sangat menyebalkan.”
“Memangnya apa lagi yang kau harapkan harus kami lakukan?”
Thomas merasakan semburan kemarahan. Lagakmu
seolah-olah kau berbeda saat pertama datang, dia ingin mengatakannya.
“Lakukan apa yang diperintahkan untukmu, tutup mulutmu. Itu
yang kuharapkan.”
Minho menatapnya dengan raut wajah tegas untuk kali pertama
ketika mengucapkan kalimat terakhir, dan Thomas menyadari bahwa dia telah
membuat kesalahan—dia tak boleh membiarkan anak itu berpikir dia dapat
berbicara dengan cara seperti itu kepadanya.
Dia memaksa dirinya sendiri untuk kembali berlutur hingga
dia menatap anak laki-laki yang lebih tua itu di bawahnya. “Ya, aku tahu pasti
apa yang telah kau lakukan ketika masih jadi Pendatang-Baru.”
Minho menatap Thomas dengan hati-hati. Kemudian, kembali
menatapnya tajam, dia berkata, “Aku termasuk golongan Glader yang pertama, Otak
Udang. Tutup saja mulutmu hingga kau tahu apa yang sedang kau bicarakan.”
Thomas, yang kini agak takut terhadap anak laki-laki itu,
tetapi lebih merasa marah karena sikapnya, hendak beranjak pergi. Tangan Minho
terulur dan mencengkeram lengannya.
“Bocah, duduklah. Aku hanya main-main. Ini terlalu menyenangkan—kau
akan lihat saat ada Pendatang-Baru ....” Suaranya menghilang, alisnya terangkat
bimbang. “Kurasa tak akan ada
Pendatang-Baru lagi, eh?”
Thomas mengendurkan ketegangannya, kembali duduk, terkejut
melihat betapa mudah sikap anak itu menjadi lebih baik. Dia memikirkan tentang
anak perempuan itu dan pesan yang menyebutkan bahwa dia adalah anak terakhir.
“Kurasa tidak.”
Minho agak menyipitkan mata, seakan-akan sedang menyelidiki
Thomas. “Kau melihat anak perempuan itu, kan? Semua orang bilang bahwa kau
mungkin mengenalinya atau semacamnya.”
Thomas langsung membela diri. “Aku melihatnya. Sama sekali terlihat
asing.” Saat itu juga dia merasa bersalah telah berbohong—bahkan meskipun hanya
sebuah kebohongan kecil.
“Dia cantik?”
Thomas tak menjawab, tak pernah memikirkan dari segi itu
sejak gadis itu bertingkah aneh dan menyampaikan pesan itu serta kalimat
satu-satunya—Semuanya akan berubah.
Namun, dia ingat kecantikannya. “Ya, kurasa dia cantik.”
Minho kembali merebahkan tubuhnya, kedua matanya terpejam.
“Ya, pasti sulit mengenali gadis yang sedang koma, kan?” Dia tergelak lagi.
“Benar.” Thomas sulit sekali menentukan apakah dia
menyukai Minho atau tidak—kepribadiannya
seperti berubah setiap menit. Setelah diam cukup lama, Thomas memutuskan
mengambil kesempatan. “Jafi ...,” dia bertanya dengan hati-hati, “kau menemukan
sesuatu hari ini?”
Mata Minho membulat. Dia memperhatikan Thomas. “Kau tahu,
Anak-Bawang? Itu adalah pertanyaan umum paling bodoh dari orang tak berguna
sepertimu yang dapat ditanyakan kepada seorang Pelari.” Dia kembali memejamkan
mata. “Tapi, tidak untuk hari ini.”
“Apa maksudmu?” Thomas sangat berharap mendapatkan
informasi. Sebuah jawaban, pikirnya. Tolong beri aku sebuah jawaban!
“Tunggu dulu sampai laksamana favorit itu kembali. Aku tak
suka mengatakan sesuatu dua kali. Ditambah, lagi pula, dia tak ingin kau
mendengarnya.”
Thomas mendesah. Setidaknya dia tidak merasa terkejut dengan
tidak adanya jawaban itu. “Ya, setidaknya katakan kepadaku mengapa kau tampak
sangat capek. Bukankah kau berlari ke sana setiap hari?”
Minho mengerang ketika dia bangkit dan duduk bersila. “Ya,
Anak-Bawang, aku lari ke sana setiap hari. Anggap saja aku agak terlalu
bersemangat dan berlari lebih cepat untuk mendapatkan sesuatu di sana.”
“Kenapa?” Thomas putus asa ingin mengetahui tentang
peristiwa yang terjadi dalam Maze.
Minho menuding. “Bocah, kuberi tahu kau. Sabar. Tunggu
Jenderal Alby.”
Sesuatu dalam suaranya terdengar sedikit ramah, dan Thomas
telah memutuskan. Dia menyukai Minho. “Oke, aku akan tutup mulut. Pastikan Alby
mengizinkanku mendengar berita ini juga.”
Minho mengamatinya sesaat. “Oke, Anak-Bawang. Kau yang
mengatur.”
Alby datang beberapa saat kemudian membawa gelas plastik
besar berisi air dan memberikannya kepada Minho, yang langsung menenggak habis
isinya tanpa sekali pun menarik napas.
“Oke,” ujar Alby, “selesai dengan urusan minum. Apa yang
terjadi?”
Minho menaikkan alisnya dan mengangguk kepada Thomas.
“Tak ada masalah dengannya,” sahut Alby. “Aku tak peduli apa
yang akan didengar anak ingusan ini. cepat bicaralah!”
Thomas duduk diam dengan penuh harap saat Minho berjuang
untuk berdiri, mengernyit setiap kali melakukan gerakan, seluruh gerak geriknya
seolah meneriakkan kelelahan luar
biasa. Pelari itu berusaha berdiri tegak dengan bersandar ke dinding, memandang
dingin kedua anak di hadapannya. “Aku menemukan satu yang mati.”
“Eh?” ujar Alby. “Apa yang mati?”
Minho tersenyum. “Sebuah Griever yang mati.”[]
No comments:
Post a Comment