Insurgent (Divergent #2) (21)

Penulis: Suzanne Collins

Aku berlalu, tanganku gemetar. Lalu, aku duduk di lantai di samping Caleb. Sekarang, Susan ada di seberang ruangan, membantu seorang factionless bersih-bersih. Caleb memberikan stoples selai kacang kepadaku. Aku ingat deretan pohon kacang di rumah kaca Amity. Mereka bertaman kacang karena kacang itu mengandung banyak protein dan lemak, yang terutama penting bagi para factionless. Aku menyendok selai kacang dengan jariku dan memakannya.

Apakah sebaiknya aku member tahu Tobias apa yang Evelyn katakana kepadaku? Aku tak ingin membuatnya berpikir ia memiliki darah Erudite. Aku tak ingin memberinya alasan untuk kembali kepada mereka.

Aku memutuskan untuk merahasiakannya sementara ini.

“Aku ingin bicara padamu tentang sesuatu,” kata Caleb.

Aku mengangguk, masih mencongkel selai kacang dari langit-langit mulutku.

“Susan ingin pergi menemui para Abnegation,” katanya. “Aku juga. Aku juga ingin memastikan ia baik-baik saja. Tapi, aku tak mau meninggalkanmu.”

“Itu tak masalah,” kataku.

“Bagaimana kalau kau ikut bersama kami?” Tanya Caleb. “Faksi Abnegation pasti akan menerimamu kembali. Aku yakin.”

Aku juga—faksi Abnegation tidak mendendam. Tapi, aku sedang berada di ujung jurang kesedihan, dan jika aku kembali ke faksi lama orangtuaku, jurang itu akan menelanku.

Aku menggeleng. “Aku akan ke markas Candor dan menyelidiki apa yang terjadi,” kataku. “Aku bisa gila kalau tidak mengetahuinya.” Aku memaksakan diri tersenyum. “Tapi kau harus pergi. Susan membutuhkanmu. Ia tampak lebih baik, tapi ia tetap membutuhkanmu.”

“Oke.” Caleb mengangguk. “Yah, aku akan berusaha menemuimu lagi. Berhati-hatilah.”

“Bukannya aku selalu begitu?”

“Tidak, kupikir kata yang tepat untukmu adalah ‘ceroboh’.”

Caleb meremas pelan bahuku yang tidak sakit. Aku memakan seujung jari selai kacang lagi.

Beberapa menit kemudian, Tobias muncul dari kamar mandi pria. Kemeja Amity sudah digantikan kaus hitam, rambutnya yang pendek berkilau karena air. Mata kami saling berserobok di ruangan itu, dan aku tahu ini saatnya untuk pergi.

***

Markas Candor cukup besar untuk menampun seluruh dunia. Atau begitulah menurutku.

Markas itu merupakan bangunan semen besar yang menghadap sesuatu yang dulunya sungai. Tanda di sana berbunyi MERC IS MART.  Dulu bunyinya “Merchandise Mart”—“Toko Barang-Barang” tapi banyak yang menyebutnya Merciless Mart—Toko Tanpa Kompromi, karena Candor itu tak kenal kompromi, tapi jujur. Mereka tampaknya menyukai julukan itu.

Aku tak tahu apa yang kuharapakan karena tak pernah berada di dalamnya. Aku dan Tobias berhenti di luar pintu dan saling pandang.

“Ini dia,” katanya.

Aku tak bisa melihat apa-apa selain bayanganku di pintu kaca. Aku tampak lelah dan kotor. Untuk pertama kalinya aku merasa kami tak perlu melakukan apa pun. Kami bisa bersembunyi bersama factionless dan membiarkan yang lain membereskan kekacauan ini. Kami bisa menjadi bukan siapa-siapa, aman dan bersama-sama.

Tobias masih belum memberitahuku tentang percakapan antara dirinya dan ibunya tadi malam, dan kurasa ia tak akan mengatakannya. Ia tampak begitu bertekad untuk pergi ke markas Candor sehingga aku bertanya-tanya apakah ia merencanakan sesuatu tanpa diriku.

Aku tak tahu mengapa aku berjalan melewati pintu itu. Mungkin aku memutuskan untuk melihat apa yang terjadi karena kami sudah sejauh ini. Tapi, aku curiga ini lebih daripada sekadar mengetahui apa yang benar dan apa yang tidak. Aku seorang Divergent. Jadi, aku bukan siapa-siapa. Tak ada yang namanya “aman”. Dan, di dalam pikiranku ada banyak hal selain main rumah-rumahan bersama Tobias. Tampaknya Tobias juga begitu.

Lobi markas Candor besar dan tenang, dengan lantai marmer hitam yang membentang hingga ke depan lift. Lingkaran marmer putih di tengah ruangan membentuk symbol Candor: timbanan miring yang melambangkan kejujuran lebih berharga daripada kebohongan. Ruangan itu dipenuhi orang-orang Dauntless yang bersenjata.

Seorang prajurit Dauntless dengan lengan dalam gendongan mendekati kami, pistolnya siaga dan larasnya diacungkan ke arah Tobias.

“Perkenalkan dirimu,” katanya. Wanita itu masih muda, tapi tidak cukup mudah untuk mengenali Tobias.

Yang lainnya berkumpul di belakang wanita itu. Sebagian dari mereka memandang kami curiga, sebagian lagi dengan rasa penasaran, tapi yang paling aneh adalah sebagian lagi memandang kami dengan mata berbinar. Mereka mengenali kami. Mereka mungkin kenal Tobias, tapi bagaimana munkin mereka mengenaliku?

“Four,” jawab Tobias. Ia mengangguk ke arahku. “Dan ini Tris. Kamu berdua Dauntless.”

Mata prajurit Dauntless itu melebar, tapi ia tidak menurunkan pistolnya.

“Bisa tolong di sini?” pintanya. Sejumlah Dauntless melangkah maju, tapi dengan hati-hati seolah kami ini berbahaya.

“Ada masalah?” tanya Tobias.

“Kau bersenjata?”

“Tentu saja aku bersenjata. Aku ini Dauntless, kan?”

“Berdiri dengan tangan di belakang kepala.” Ia mengucapkan itu dengan tenang, seolah mengharap kami menolak. Aku melirik Tobias. Mengapa semua orang bersikap seolah-olah kami ini ingin menyerang mereka?

“Kami masuk lewat pintu depan,” jawabku pelan. “Apa kau piker kami bakal melakukan itu kalau ingin menyakiti kalian?”

Tobias tidak membalas pandanganku. Ia hanya menyentuh jarinya ke belakang kepala. Setelah beberapa saat, aku mengikuti tindakannya. Para prajurit Dauntless berkerumun mengelilingi kami. Satu satunya menepuk-nepuk kaki Tobias sementara yang lain mengambil pistol yan diselipkan di ikat pinggangnya. Prajurit lain, seorang anak bermuka bulat dengan pipi merah muda, memandangku dengan tatapan meminta maaf.

“Ada pisau di saku belakangku,” kataku. “Kalau menyentuhku, aku bakal bikin kau menyesal.”

Anak itu menggumamkan permintaan maaf. Jari-jarinya mencubit gagang pisau dengan hati-hati agar tak menyentuhku.

“Ada apa?” tanya Tobias.

Prajurit pertama tadi memandang prajurit lainnya.

“Maaf,” katanya. “Tapi, kami diperintahkan untuk menahan kalian begitu kalian tiba.”[]



No comments:

Post a Comment