Penulis: Suzanne
Collins
Aku berlalu, tanganku gemetar. Lalu, aku duduk di lantai di
samping Caleb. Sekarang, Susan ada di seberang ruangan, membantu seorang factionless bersih-bersih. Caleb
memberikan stoples selai kacang kepadaku. Aku ingat deretan pohon kacang di
rumah kaca Amity. Mereka bertaman kacang karena kacang itu mengandung banyak
protein dan lemak, yang terutama penting bagi para factionless. Aku menyendok selai kacang dengan jariku dan
memakannya.
Apakah sebaiknya aku member tahu Tobias apa yang Evelyn
katakana kepadaku? Aku tak ingin membuatnya berpikir ia memiliki darah Erudite.
Aku tak ingin memberinya alasan untuk kembali kepada mereka.
Aku memutuskan untuk merahasiakannya sementara ini.
“Aku ingin bicara padamu tentang sesuatu,” kata Caleb.
Aku mengangguk, masih mencongkel selai kacang dari
langit-langit mulutku.
“Susan ingin pergi menemui para Abnegation,” katanya. “Aku
juga. Aku juga ingin memastikan ia baik-baik saja. Tapi, aku tak mau
meninggalkanmu.”
“Itu tak masalah,” kataku.
“Bagaimana kalau kau ikut bersama kami?” Tanya Caleb. “Faksi
Abnegation pasti akan menerimamu kembali. Aku yakin.”
Aku juga—faksi Abnegation tidak mendendam. Tapi, aku sedang
berada di ujung jurang kesedihan, dan jika aku kembali ke faksi lama
orangtuaku, jurang itu akan menelanku.
Aku menggeleng. “Aku akan ke markas Candor dan menyelidiki
apa yang terjadi,” kataku. “Aku bisa gila kalau tidak mengetahuinya.” Aku
memaksakan diri tersenyum. “Tapi kau harus pergi. Susan membutuhkanmu. Ia
tampak lebih baik, tapi ia tetap membutuhkanmu.”
“Oke.” Caleb mengangguk. “Yah, aku akan berusaha menemuimu
lagi. Berhati-hatilah.”
“Bukannya aku selalu begitu?”
“Tidak, kupikir kata yang tepat untukmu adalah ‘ceroboh’.”
Caleb meremas pelan bahuku yang tidak sakit. Aku memakan
seujung jari selai kacang lagi.
Beberapa menit kemudian, Tobias muncul dari kamar mandi
pria. Kemeja Amity sudah digantikan kaus hitam, rambutnya yang pendek berkilau
karena air. Mata kami saling berserobok di ruangan itu, dan aku tahu ini
saatnya untuk pergi.
***
Markas Candor cukup besar untuk menampun seluruh dunia. Atau
begitulah menurutku.
Markas itu merupakan bangunan semen besar yang menghadap
sesuatu yang dulunya sungai. Tanda di sana berbunyi MERC IS MART. Dulu bunyinya “Merchandise Mart”—“Toko Barang-Barang” tapi banyak yang menyebutnya
Merciless Mart—Toko Tanpa Kompromi,
karena Candor itu tak kenal kompromi, tapi jujur. Mereka tampaknya menyukai julukan
itu.
Aku tak tahu apa yang kuharapakan karena tak pernah berada
di dalamnya. Aku dan Tobias berhenti di luar pintu dan saling pandang.
“Ini dia,” katanya.
Aku tak bisa melihat apa-apa selain bayanganku di pintu
kaca. Aku tampak lelah dan kotor. Untuk pertama kalinya aku merasa kami tak
perlu melakukan apa pun. Kami bisa bersembunyi bersama factionless dan membiarkan yang lain membereskan kekacauan ini.
Kami bisa menjadi bukan siapa-siapa, aman dan bersama-sama.
Tobias masih belum memberitahuku tentang percakapan antara
dirinya dan ibunya tadi malam, dan kurasa ia tak akan mengatakannya. Ia tampak
begitu bertekad untuk pergi ke markas Candor sehingga aku bertanya-tanya apakah
ia merencanakan sesuatu tanpa diriku.
Aku tak tahu mengapa aku berjalan melewati pintu itu.
Mungkin aku memutuskan untuk melihat apa yang terjadi karena kami sudah sejauh
ini. Tapi, aku curiga ini lebih daripada sekadar mengetahui apa yang benar dan
apa yang tidak. Aku seorang Divergent. Jadi, aku bukan siapa-siapa. Tak ada yang
namanya “aman”. Dan, di dalam pikiranku ada banyak hal selain main
rumah-rumahan bersama Tobias. Tampaknya Tobias juga begitu.
Lobi markas Candor besar dan tenang, dengan lantai marmer
hitam yang membentang hingga ke depan lift. Lingkaran marmer putih di tengah
ruangan membentuk symbol Candor: timbanan miring yang melambangkan kejujuran
lebih berharga daripada kebohongan. Ruangan itu dipenuhi orang-orang Dauntless
yang bersenjata.
Seorang prajurit Dauntless dengan lengan dalam gendongan
mendekati kami, pistolnya siaga dan larasnya diacungkan ke arah Tobias.
“Perkenalkan dirimu,” katanya. Wanita itu masih muda, tapi
tidak cukup mudah untuk mengenali Tobias.
Yang lainnya berkumpul di belakang wanita itu. Sebagian dari
mereka memandang kami curiga, sebagian lagi dengan rasa penasaran, tapi yang
paling aneh adalah sebagian lagi memandang kami dengan mata berbinar. Mereka
mengenali kami. Mereka mungkin kenal Tobias, tapi bagaimana munkin mereka
mengenaliku?
“Four,” jawab Tobias. Ia mengangguk ke arahku. “Dan ini
Tris. Kamu berdua Dauntless.”
Mata prajurit Dauntless itu melebar, tapi ia tidak
menurunkan pistolnya.
“Bisa tolong di sini?” pintanya. Sejumlah Dauntless
melangkah maju, tapi dengan hati-hati seolah kami ini berbahaya.
“Ada masalah?” tanya Tobias.
“Kau bersenjata?”
“Tentu saja aku bersenjata. Aku ini Dauntless, kan?”
“Berdiri dengan tangan di belakang kepala.” Ia mengucapkan
itu dengan tenang, seolah mengharap kami menolak. Aku melirik Tobias. Mengapa
semua orang bersikap seolah-olah kami ini ingin menyerang mereka?
“Kami masuk lewat pintu depan,” jawabku pelan. “Apa kau
piker kami bakal melakukan itu kalau ingin menyakiti kalian?”
Tobias tidak membalas pandanganku. Ia hanya menyentuh
jarinya ke belakang kepala. Setelah beberapa saat, aku mengikuti tindakannya.
Para prajurit Dauntless berkerumun mengelilingi kami. Satu satunya
menepuk-nepuk kaki Tobias sementara yang lain mengambil pistol yan diselipkan
di ikat pinggangnya. Prajurit lain, seorang anak bermuka bulat dengan pipi
merah muda, memandangku dengan tatapan meminta maaf.
“Ada pisau di saku belakangku,” kataku. “Kalau menyentuhku,
aku bakal bikin kau menyesal.”
Anak itu menggumamkan permintaan maaf. Jari-jarinya mencubit
gagang pisau dengan hati-hati agar tak menyentuhku.
“Ada apa?” tanya Tobias.
Prajurit pertama tadi memandang prajurit lainnya.
“Maaf,” katanya. “Tapi, kami diperintahkan untuk menahan
kalian begitu kalian tiba.”[]
No comments:
Post a Comment