Insurgent (Divergent #2) (19)

Penulis: Suzanne Collins

“Kau harus memberitahuku apa yang terjadi di sini kalau ingin aku mempertimbangkan untuk membantumu,” desak Tobias. “Walaupun aku masih tak yakin kenapa kau memerlukanku.”

Aku melihat bayangan Evelyn di dinding, bergerak-gerak seiring gerakan api. Ia langsing dan kuat, seperti Tobias. Jari-jarinya memutar rambutnya saat ia bicara.

“Apa sebenarnya yang ingin kau ketahui?”

“Beri tahu aku tentang diagram itu. Juga petanya.”

“Dugaan temanmu tadi benar. Peta dan diagram itu berisi daftar rumah aman kami,” jawab Evelyn. “Namun, ia keliru tentang jumlah populasi ... kurang lebih. Angka-angka itu bukan jumlah seluruh factionless—tapi hanya golongan tertentu. Dan, aku yakin kau bisa menebaknya.”

“Aku sedang tak berminat menebak-nebak.”

Evelyn menghela napas. “Divergent. Kami mendata jumlah Divergent.”

“Bagaimana kau tahu siapa mereka?”

“Sebelum serangan simulasi terjadi, bagian dari upaya pertolongan Abnegation melibatkan pengujian para factionless untuk melihat suatu anomali genetik,” jelas Evelyn. “Terkadang, pengujian itu meliputi penyelenggaraan kembali tes kecakapan. Terkadang, lebih rumit daripada itu. Tapi, Abnegation menjelaskan kepada kami baha mereka berpikir kami mungkin memiliki jumlah Divergent tertinggi dibandingkan faksi mana pun di kota.”

“Aku tak mengerti. “Kenapa—”

“Kenapa factionless memiliki jumlah Divergent paling banyak?” Sepertinya Evelyn tersenyum. “Orang yang tak bisa mengikuti cara berpikir tertentu tentunya akan meninggalkan faksi itu atau gagal dalam inisiasi, kan?”

“Bukan itu yang kutanyakan,” bantah Tobias. “Aku ingin tahu kenapa kau peduli dengan berapa jumlah Divergent yang ada.”

“Faksi Erudite membutuhkan sumber daya manusia. Sementara ini mereka mendapatkannya di faksi Dauntless. Sekarang, mereka mencari lebih banyak lagi, dan jelas kamilah sasarannya, kecuali jika mereka tahu kami memiliki lebih banyak Divergent dibandingkan kelompok lain. Kalaupun mereka tidak tahu, aku penasaran berapa banyak anggota kami yang kebal terhadap simulasi.”

“Okelah,” kata Tobias, “tapi kenapa faksi Abnegation perlu menemukan Divergent? Tentunya bukan untuk menolong Jeanine, kan?”

“Tentu tidak,” jawab Evelyn. “Sayangnya aku juga tak tahu kenapa. Faksi Abnegation enggan memberikan informasi jika itu hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu. Mereka cuma meritahukan apa yang menurut mereka harus kami ketahui.”

“Aneh,” gumam Tobias.

“Mungkin kau harus menanyakan ini pada ayahmu,” Evelyn menyarankan. “Ayahmulah yang memberitahuku tentang dirimu.”

“Tentang aku,” Tobias mengulangi. “Apa yang tentang aku?”

“Ayahmu curiga kau itu Divergent,” kata Evelyn. “Ia selalu mengawasimu. Memperhatikan perilakumu. Ia sangat perhatian terhadapmu. Itulah sebabnya ... itulah sebabnya kupikir kau akan aman bersamanya. Lebih aman bersama ayahmu dibandingkan denganku.

Tobias tidak mengucapkan apa pun.

“Sekarang, aku tahu dugaanku itu salah.”

Tobias masih diam.

“Aku ingin—” ucap Evelyn.

“Jangan coba-coba minta maaf.” Suara Tobias bergetar. “Ini bukan sesuatu yang bisa kau perban dengan sepatah atau dua patah kata dan pelukan, atau apa pun.”

“Oke,” jawab Evelyn. “Oke. Aku tak akan melakukannya.”

“Jadi, untuk apa para factionless bersatu?” Tobias bertanya lagi. “Kalian ingin melakukan apa?”

“Kami ingin merebut kekuasaan dari faksi Erudite,” kata Evelyn. “Begitu kami menyingkirkan mereka, tak ada yang bisa mencegah kami menguasai pemerintahan.”

“Karena itulah, kau ingin aku membantumu. Menggulingkan pemerintahan yang korup dan menggantinya semacam tirani factionless.” Ia mendengus. “Enak saja.”

“Kami bukan mau jadi tiran,” kata Evelyn. “Kami ingin mendirikan masyarakat baru. Masyarakat tanpa faksi.”

Mulutku kering. Tanpa faksi? Dunia tempat tak seorang pun tahu siapa dirinya atau di mana tempat yang cocok untuknya? Aku bahkan tak bisa membayangkan itu. Aku hanya bisa membayangkan kekacauan dan keterpencilan.

Tobias tertawa. “Oke. Jadi, bagaimana caramu menggulingkan Erudite?”

“Terkadang, perubahan drastios membutuhkan tindakan drastis.” Bayangan Evelyn mengangkat sebelah bahu. “Kurasa itu akan melibatkan penghancuran besar-besaran.”

Aku bergidik mendnegar kata “penghancuran”. Di suatu tempat gelap dalam diriku, aku menginginkan penghancuran, asalkan faksi Erudite yang dihancurkan. Tapi, kata itu membawa arti baru bagiku, terutama setelah aku melihat seperti apa jadinya: tubuh-tubuh berbaju kelabu tergeletak di tepi jalan dan di trotoar; para pemimpin faksi Abnegation tertembak di halam rumah mereka, tepat di samping kotak surat.

Aku menekankan wajahku ke matas tempatku tidur, begitu keras hingga dahiku sakit, agar kenangan itu hilang, enyah, enyah.

“Tentang kenapa kami membutuhkanmu,” lanjut Evelyn. “Untuk mewujudkannya, kami memerlukan bantuan Dauntless. Mereka memiliki senjata dan pengalaman bertempur. Kau bisa menjembatani kesenjangan antara kami dan mereka.”

“Kau pikir aku ini seorang Dauntless yang penting? Tidak. Aku cuma seseorang yang tidak banyak takut.”

“Yang kusarankan,” kata Evelyn, “adalah agar kau menjadi penting.” Ia berdiri, bayangannya memanjang dari langit-langit hingga ke lantai. “Aku yakin kau akan menemukan caranya kalau mau. Pikirkanlah.”

Evelyn menarik rambutnya yang ikal dan menggelungnya. “Pintu selalu terbuka.”

Beberapa menit kemudian, Tobias kembali berbaring di sampingku. Aku tak ingin mengaku telah mencuri dengar, tapi aku ingin memberi tahu Tobias bahwa aku tak memercayai Evelyn, atau factionless, atau siapa pun yang bisa dengan mudahnya bicara tentang menghancurkan satu faksi.

Sebelum aku sempat mengumpulkan keberanian untuk berbicara, napas Tobias sudah teratur: Ia tidur.[]



No comments:

Post a Comment