Insurgent (Divergent #2) (18)

Penulis: Suzanne Collins

9

Salah seorang factionless menyalakan api sehingga kami bisa memanaskan makanan. Orang-orang yang mau makan duduk mengelilingi mangkuk logam besar yang berisi api. Pertama-tama kami memanaskan kaleng-kaleng, lalu membagian sendok dan garpu, kemudian membagikan kaleng-kaleng sehingga setiap orang dapat memakan sesuap dari setiap kaleng. Saat memasukkan sendok ke dalam kaleng sup, aku berusaha untuk tidak memikirkan betapa penyakit bisa menyebar dengan cara ini.

Edward duduk di sampingku dan mengambil kaleng sup dari tanganku.

“Jadi, kalian semua dulunya dari faksi Abnegation, ya?” Ia memasukkan mi dan sepotong wortel ke mulutnya, lalu menyerahkan kaleng itu ke wanita di kirinya.

“Dulu,” kataku. “Tapi, jelas aku dan Tobias ini pindahan, dan ....” Tiba-tiba aku merasa sebaiknya tidak mengatakan kepada siapa pun bahwa Caleb bergabung dengan faksi Erudite. “Caleb dan Susan masih faksi Abnegation.”

“Ia itu abangmu. “Caleb,” katanya. “Kau meninggalkan keluargamu demi menjadi seorang Dauntless?”

“Kau ini seperti seorang Candor,” kataku dengan kesal. “Sebaiknya kau menyimpan penilaianmu itu untuk dirimu sendiri.”

Therese mencondongkan tubuhnya ke arah kami. “Sebenarnya dulu Edward ini orang Erudite. Bukan orang Candor.”

“Yah, aku tahu,” kataku aku—”

Therese menyelaku. “Aku juga. Tapi aku harus pergi.”

“Apa yang terjadi?”

“Aku tak cukup pintar.” Ia mengangkat bahu dan mengambil kaleng kacang dari Edward, lalu menyodokkan sendoknya ke dalam. “Saat tes inteligensia pada masa inisiasi, nilaiku tidak cukup tinggi. Mereka bilang, ‘Kau bisa menghabiskan sisa hidupmu dengan membersihkan lab penelitian, atau pergi.’ Jadi, aku pergi.”

Therese menunduk dan menjilat sendoknya sampai bersih. Aku mengambil kacang darinya dan memberikannya kepada Tobias, yang sedang menatap api.

“Apakah di sini banyak yang dari faksi Erudite?” tanyaku.

Therese menggeleng. “Sebenarnya sebagian besar dari faksi Dauntless.” Ia menyentakkan kepalanya ke arah Edward yang cemberut. “Kemudian faksi Erudite, lalu faksi Candor, dan sedikit dari faksi Amity. Tak ada seorang pun yang gagal dalam inisiasi Abnegation, jadi di sini tak ada Abnegation, kecuali yang lolos dari serangan simulasi dan datang ke sini untuk menyelamatkan diri.”

“Kurasa aku seharusnya tidak terkejut karena banyak para Dauntless di sini,” kataku.

“Yah, memang. Inisiasi Dauntless itu yang paling mengerikan, lagi pula ada hal kuno itu.”

“Hal kuno?” kataku. Aku melirik Tobias. Ia sedang mendengarkan dan kelihatannya hampir kembali normal, matanya terlihat bijak dan gelap dalam cahaya api.

“Begitu seorang Dauntless mencapai tingkat kerusakan fisik tertentu,” jelas Tobias. “ia diminta untuk pergi. Dengan cara yang satu atau yang lain.”

“Apa cara yang lain itu?” Jantungku berdegup, seolah sudah tahu jawaban yang tak bisa kuhadapi tanpa bertanya.

“Katakan saja,” kata Tobias, “bahwa untuk sebagian orang, kematian itu lebih disukai daripada menjadi factionless.”

“Orang-orang seperti itu bodoh,” komentar Edward. “Aku lebih suka jadi factionless daripada jadi Dauntless.”

“Kalau begitu, untuk sekali akhirnya kau jadi factionless,” ujar Tobias dingin.

“Untung?” Edward mendengus. “Yeah. Aku sangat beruntung, dengan satu mata dan segalanya.”

“Seingatku ada desas-desus bahwa kau yang memicu penyerangan itu,” kata Tobias.

“Kau ini bicara apa?” kataku. “Edward menang. Itu saja. Lalu, Peter jadi cemburu, maka ia ....”

Aku melihat seringaian di wajah Edward dan berhenti bicara. Mungkin aku tak mengetahui semua kejadian pada masa inisiasi itu.

“Memang ada insiden yang memicunya,” kata Edward. “Dan itulah karena Peter tidak jadi pemenang. Tapi, jelas itu bukan berarti pisau mentega boleh ditancapkan di mata.”

“Aku tak akan membantahnya,” kata Tobias. “Kalau ini membuat perasaanmu lebih  baik, lengan Peter tertembak dari jarak satu langkah saat serangan simulasi terjadi.”

Dan, itu tampaknya memang membuat perasaan Edward jadi lebih baik karena garis-garis seringaian di wajahnya terukir semakin dalam.

“Siapa yang melakukannya?” tanya Edward. “Kau?”

Tobias menggeleng. “Tris.”

“Bagus,” Edward memuji.

Aku mengangguk, tapi merasa agak mual karena dipuji seperti itu.

Ya, tidak semual itu. Lagi pula, itu Peter.

Aku menatap api pembalut potongan kayu yang menjadi bahan bakarnya. Apa itu bergerak dan bergeser, seperti pikiranku. Aku ingat pada saat pertama kali menyadari tak pernah melihat faksi Dauntless yang berusia lebih tua. Juga, saat aku menyadari ayahku terlalu tua untuk mendaki jalan-jalan menuju The Pit. Sekarang, aku jadi lebih mengerti daripada yang kuinginkan.

“Kau tahu banyak tentang keadaan saat ini?” Tobias bertanya pada Edward. “Apakah semua Dauntless memihak faksi Erudite? Apakah faksi Candor melakukan sesuatu?”

“Faksi Dauntless terbagi,” jawab Edward sambil menyuapkan makanan ke mulutnya. “Sebagian di markas Erudite, dan sebagian lagi di markas Candor. Faksi Abnegation yang tersisa ikut kami. Sampai saat ini tak banyak yang terjadi. Kecuali, mungkin apa yang terjadi pada kalian.”

Tobias mengangguk. Aku merasa agak lega karena sebagian Dauntless, setidaknya, bukanlah pengkhianat.

Aku menyuap sendok demi sendok sampai perutku penuh. Lalu, Tobias mengambilkan matras dan selimut untuk tidur sementara aku mencari tempat kosong agar kami bisa berbaring. Saat Tobias membungkuk dan membuka tali sepatunya, aku melihat simbol Amity di lekuk punggungnya, cabang-cabang pohon melengkung di tulang belakangnya. Saat Tobias menegakkan tubuh, aku melangkah melintasi selimut dan memeluknya, membelai tato itu dengan jari-jariku.

Tobias menutup mata. Aku yakin api yang redup akan menyamarkan kami saat aku menggerakkan tanganku ke atas di punggungnya, menyentuh setiap tato tanpa melihatnya. Aku membayangkan mata memandang milik faksi Erudite, timbangan miring faksi Candor, tangan terkatup faksi Abnegation, dan api faksi Dauntless. Dengan tangan yang satu lagi, aku menemukan gambar api yang ditatokan di rusuknya. Aku merasakan napas Tobias yang berat di pipiku.

“Andai kita hanya berdua,” katanya.

“Aku hampir selalu berharap begitu,” aku membalas.
***

Aku terlelap, dilenakan oleh suara-suara percakapan di kejauhan. Akhir-akhir ini aku lebih mudah tidur jika ada suara di dekatku. Aku bisa memusatkan perhatian pada suara-suara itu dan bukannya pikiran yang diam-diam merayap ke dalam benakku. Suara dan kegiatan adalah perlindungan dari perasaan berduka dan bersalah.

Aku terbangun saat api unggun sudah menjadi bara dan hanya sedikit factionless yang masih bangun. Perlu beberapa detik bagiku untuk mengerti mengapa aku bangun: Aku mendengar suara Evelyn dan Tobias, beberapa langkah dariku. Aku tetap diam dan berharap mereka tidak tahu aku terbangun.



No comments:

Post a Comment