Insurgent (Divergent #2) (13)

Penulis: Suzanne Collins

“Kalau begitu, yang pakaiannya tidak seperti Amity harus ke asrama,” Marcus mengumumkan. “Sisanya, gerai rambut kalian dan cobalah meniru sikap mereka.”

Faksi Abnegation yang mengenakan pakaian kelabu meninggalkan ruang makan dalam satu kelompok dan menyeberangi halaman menuju asrama tamu. Begitu tiba di asrama, aku lari ke kamarku, berjongkok hingga merangkak, dan merogoh ke bawah matras untuk mengambil pistol.

Aku meraba-raba sebentar sebelum menemukannya. Saat memegang pistol itu, kerongkonganku terasa sesak dan aku tak bisa menelan. Aku tak ingin menyentuh pistol itu. Aku tak ingin menyentuhnya lagi.

Ayolah, Tris. Aku menjejalkan pistol itu ke balik ikat pinggang celana merahku. Untung celana ini sangat longgar. Aku melihat botol salep penyembuh dan obat penahan sakit di meja samping tempat tidur, lalu memasukkan keduanya ke saku, kalau-kalau kami berhasil melarikan diri.

Kemudian, aku meraih ke belakang lemari untuk mengambil harddisk.

Kalau Erudite menangkap kami—dan itu sangat mungkin terjadi—mereka akan menggeledah kami. Aku tak mau menyerahkan simulasi penyerangan ini begitu saja. Tapi, harddisk itu juga berisi video penyerangan yang tertangkap kamera pengawas. Rekaman dari kekalahan kami. Kematian orangtuaku. Satu-satunya benda tentang mereka yang kumiliki. Lagi pula, ini satu-satunya dokumentasi wajah mereka yang kumiliki karena Abnegation tidak berfoto.

Bertahun-tahun nanti, setelah ingatanku mulai memudar, benda apa yang bisa kugunakan untuk membantuku mengingat wajah mereka? Wajah mereka akan berubah di dalam benakku. Aku tak akan melihat mereka lagi.

Jangan konyol. Itu tidak penting.

Aku meremas harddisk itu dengan begitu kuat sehingga rasanya sakit.

Kalau begitu, kenapa benda ini rasanya begitu penting?

“Jangan konyol,” kataku keras-keras. Aku menggertakkan gigi, meraih lampu dari meja samping tempat tidurku, merenggut steker dari stop kontak, melemparkan kap lampu ke meja, lalu berjongkok di dekat harddisk. Sambil mengerjap untuk menghilangkan air mata, aku menghantamkan alas lampu ke harddisk, membuatnya penyok.

Aku menghantamkan lampu itu lagi, lagi, dan lagi, sampai harddisk itu pecah dan kepingannya berserakan di lantai. Kemudian, aku menendang pecahannya ke bawah lemari, memasang lampu kembali, dan berjalan ke koridor sambil menyeka mataku dengan punggung tangan.

Beberapa menit kemudian, kerumunan pria dan wanita berpakaian abu-abu—termasuk Peter—berdiri di koridor, memilah-milah baju dari tumpukan pakaian.

“Tris,” panggil Caleb. “Kau masih memakai baju abu-abu.”

Aku mencubit kaus ayahku. Ragu.

“Ini punya ayah,” kataku. Jika aku membukanya, kaus ini harus kutinggal. Aku menggigit bibir agar rasa sakit mengukuhkanku. Aku harus menyingkirkannya. Ini cuma kaus. Hanya kaus.

“Biar kupakai di balik bajuku,” usul Caleb. “Mereka tak akan melihatnya.”

Aku mengangguk dan meraih kaus merah dari tumpukan pakaian yang menyusut. Ukurannya cukup besar untuk menyembunyikan bentuk pistol yang menonjol. Aku masuk ke kamar terdekat untuk ganti pakaian dan menyerahkan kaus kelabu itu kepada Caleb saat kembali ke koridor nanti. Pintu kamar itu terbuka dan di baliknya aku melihat Tobias menjejalkan pakaian Abnegation ke tempat sampah.

“Menurutmu faksi Amity akan membohongi kita?” tanyaku sambil bersandar di kosen pintu.

“Untuk mencegah konflik?” Tobias mengangguk. “Tentu.”

Ia mengenakan atasan merah berkerah dan celana jins yang lututnya robek. Kombinasi itu membuatnya terlihat konyol.

“Atasan yang bagus,” aku berkomentar.

Tobias mengerutkan hidungnya ke arahku. “Ini satu-satunya baju yang bisa menutupi tato leher, oke?”

Aku tersenyum gugup. Aku lupa tatoku, tapi kaus yang kupakai bisa menyembunyikannya dengan baik.

Mobil-mobil faksi Erudite memasuki kompleks. Jumlahnya lima dan semuanya berwarna perak dengan atap hitam. Mesin mobil mereka seperti dengkuran kucing saat roda-rodanya terlonjak di tanah yang tak rata. Aku menyelinap masuk ke gedung dan membiarkan pintu di belakangku terbuka sementara Tobias sibuk mengurusi gerendel tempat sampah.

Mobil-mobil itu berhenti dan pintu-pintunya terbuka, memperlihatkan setidaknya lima pria dan wanita dengan pakaian biru khas Erudite.

Dan, sekitar lima belas orang berpakaian hitam khas Dauntless.

Saat para Dauntless mendekat, aku melihat secarik kain biru yang dililitkan di lengan mereka. Pasti itu untuk menunjukkan mereka bersekutu dengan faksi Erudite. Faksi yang memperbudak pikiran mereka.

Tobias memegang tanganku dan menuntunku ke dalam asrama.

“Aku tak pernah menyangka faksi kita begitu tolol,” katanya. “Kau bawa pistol, kan?”

“Ya,” aku menjawab. “Tapi tak dijamin aku bisa menembak dengan tepat menggunakan tangan kiri.”

“Kau harus melatihnya,” Tobias menanggapi. Selalu bersikap seperti instruktur.

“Tentu,” kataku. Aku menggeleng sedikit sambil menambahkan, “Kalau kita hidup.”

Tobias mengusap lenganku. “Berjalanlah sambil melompat-lompat kecil,” katanya sambil mengecup keningku, “dan pura-pura takut terhadap senjata mereka”—kecupan lagi di antara alisku--“bersikaplah seolah-olah kau itu pemalu”—kecupan di pipiku—“dan kau akan baik-baik saja.”

“Oke,” aku menjawab. Tanganku gemetar saat aku mencengkeram kerah bajunya. Aku menarik mulutnya ke mulutku.

Bel berbunyi, satu kali, dua kali, tiga kali. Itu panggilan ke ruang makan, tempat para Amity berkumpul untuk acara yang lebih tidak formal dibandingkan rapat yang waktu itu kami hadiri. Kami bergabung dengan kerumunan Abnegation-yang-menjadi-Amity.

Aku menarik jepit dari rambut Susan—gaya rambutnya terlalu sederhana untuk seorang Amity. Ia melemparkan senyum kecil untuk mengucapkan terima kasih saat rambutnya terjuntai ke bahu. Baru kali ini aku melihat rambutnya begitu. Rahangnya yang persegi jadi tampak lebih lembut.

Seharusnya aku lebih berani daripada Abnegation, tapi tampaknya mereka tidak secemas aku. Mereka saling tersenyum dan berjalan tanpa bicara—terlalu diam. Aku menyelusup di antara mereka dan mendorong bahu seorang wanita yang lebih tua.

“Suruh anak-anak ini main kucing-kucingan,” kataku kepadanya.

“Kucing-kucingan?” tanya wanita itu.

“Sikap mereka terlalu penih hormat dan ... Kaku,” aku menjelaskan seraya meringis saat mengucapkan kata yang merupakan julukanku di faksi Dauntless. “Sedangkan anak-anak Amity biasanya heboh. Lakukan sajalah, ya?”

Wanita itu menyentuh bahu seorang anak Abnegation dan memisikkan sesuatu kepadanya. Beberapa detik kemudian, sekelompok anak berlarian di koridor, menghindari kaki para Abnegation seraya berteriak, “Kena kau! Kau kucingnya!” “Bukan, yang kena cuma lengan bajuku!”

Caleb memahami itu dan menggelitik tulang rusuk Susan hingga gadis itu terbahak-bahak. Aku berusaha bersikap tenang dan, seperti saran Tobias, melangkah sambil melompat serta membiarkan lenganku berayun saat aku berbelok. Luar biasa betapa berpura-pura berada di faksi lain mengubah segalanya—termasuk caraku berjalan. Pasti itulah sebabnya mengapa aneh sekali aku bisa masuk ke dalam ketiga faksi tersebut dengan mudah.

Kami melintasi halaman menuju ruang makan, menyusul faksi Amity di depan kami, serta berbaur di antara mereka. Aku menjaga agar Tobias tetap berada dalam pandanganku, karena tak ingin mengeluyur terlalu jauh darinya. Para Amity tidak bertanya, mereka hanya membiarkan kami melebur dengan faksi mereka.



No comments:

Post a Comment