Penulis: Suzanne
Collins
“Kalau begitu, yang pakaiannya tidak seperti Amity harus ke
asrama,” Marcus mengumumkan. “Sisanya, gerai rambut kalian dan cobalah meniru
sikap mereka.”
Faksi Abnegation yang mengenakan pakaian kelabu meninggalkan
ruang makan dalam satu kelompok dan menyeberangi halaman menuju asrama tamu.
Begitu tiba di asrama, aku lari ke kamarku, berjongkok hingga merangkak, dan
merogoh ke bawah matras untuk mengambil pistol.
Aku meraba-raba sebentar sebelum menemukannya. Saat memegang
pistol itu, kerongkonganku terasa sesak dan aku tak bisa menelan. Aku tak ingin
menyentuh pistol itu. Aku tak ingin menyentuhnya lagi.
Ayolah, Tris. Aku
menjejalkan pistol itu ke balik ikat pinggang celana merahku. Untung celana ini
sangat longgar. Aku melihat botol salep penyembuh dan obat penahan sakit di
meja samping tempat tidur, lalu memasukkan keduanya ke saku, kalau-kalau kami
berhasil melarikan diri.
Kemudian, aku meraih ke belakang lemari untuk mengambil harddisk.
Kalau Erudite menangkap kami—dan itu sangat mungkin
terjadi—mereka akan menggeledah kami. Aku tak mau menyerahkan simulasi
penyerangan ini begitu saja. Tapi, harddisk
itu juga berisi video penyerangan yang tertangkap kamera pengawas. Rekaman dari
kekalahan kami. Kematian orangtuaku. Satu-satunya benda tentang mereka yang
kumiliki. Lagi pula, ini satu-satunya dokumentasi wajah mereka yang kumiliki
karena Abnegation tidak berfoto.
Bertahun-tahun nanti, setelah ingatanku mulai memudar, benda
apa yang bisa kugunakan untuk membantuku mengingat wajah mereka? Wajah mereka
akan berubah di dalam benakku. Aku tak akan melihat mereka lagi.
Jangan konyol. Itu
tidak penting.
Aku meremas harddisk
itu dengan begitu kuat sehingga rasanya sakit.
Kalau begitu, kenapa
benda ini rasanya begitu penting?
“Jangan konyol,” kataku keras-keras. Aku menggertakkan gigi,
meraih lampu dari meja samping tempat tidurku, merenggut steker dari stop
kontak, melemparkan kap lampu ke meja, lalu berjongkok di dekat harddisk. Sambil mengerjap untuk
menghilangkan air mata, aku menghantamkan alas lampu ke harddisk, membuatnya penyok.
Aku menghantamkan lampu itu lagi, lagi, dan lagi, sampai harddisk itu pecah dan kepingannya
berserakan di lantai. Kemudian, aku menendang pecahannya ke bawah lemari,
memasang lampu kembali, dan berjalan ke koridor sambil menyeka mataku dengan
punggung tangan.
Beberapa menit kemudian, kerumunan pria dan wanita
berpakaian abu-abu—termasuk Peter—berdiri di koridor, memilah-milah baju dari
tumpukan pakaian.
“Tris,” panggil Caleb. “Kau masih memakai baju abu-abu.”
Aku mencubit kaus ayahku. Ragu.
“Ini punya ayah,” kataku. Jika aku membukanya, kaus ini
harus kutinggal. Aku menggigit bibir agar rasa sakit mengukuhkanku. Aku harus
menyingkirkannya. Ini cuma kaus. Hanya kaus.
“Biar kupakai di balik bajuku,” usul Caleb. “Mereka tak akan
melihatnya.”
Aku mengangguk dan meraih kaus merah dari tumpukan pakaian
yang menyusut. Ukurannya cukup besar untuk menyembunyikan bentuk pistol yang
menonjol. Aku masuk ke kamar terdekat untuk ganti pakaian dan menyerahkan kaus
kelabu itu kepada Caleb saat kembali ke koridor nanti. Pintu kamar itu terbuka
dan di baliknya aku melihat Tobias menjejalkan pakaian Abnegation ke tempat
sampah.
“Menurutmu faksi Amity akan membohongi kita?” tanyaku sambil
bersandar di kosen pintu.
“Untuk mencegah konflik?” Tobias mengangguk. “Tentu.”
Ia mengenakan atasan merah berkerah dan celana jins yang
lututnya robek. Kombinasi itu membuatnya terlihat konyol.
“Atasan yang bagus,” aku berkomentar.
Tobias mengerutkan hidungnya ke arahku. “Ini satu-satunya
baju yang bisa menutupi tato leher, oke?”
Aku tersenyum gugup. Aku lupa tatoku, tapi kaus yang kupakai
bisa menyembunyikannya dengan baik.
Mobil-mobil faksi Erudite memasuki kompleks. Jumlahnya lima
dan semuanya berwarna perak dengan atap hitam. Mesin mobil mereka seperti
dengkuran kucing saat roda-rodanya terlonjak di tanah yang tak rata. Aku
menyelinap masuk ke gedung dan membiarkan pintu di belakangku terbuka sementara
Tobias sibuk mengurusi gerendel tempat sampah.
Mobil-mobil itu berhenti dan pintu-pintunya terbuka,
memperlihatkan setidaknya lima pria dan wanita dengan pakaian biru khas
Erudite.
Dan, sekitar lima belas orang berpakaian hitam khas
Dauntless.
Saat para Dauntless mendekat, aku melihat secarik kain biru
yang dililitkan di lengan mereka. Pasti itu untuk menunjukkan mereka bersekutu
dengan faksi Erudite. Faksi yang memperbudak pikiran mereka.
Tobias memegang tanganku dan menuntunku ke dalam asrama.
“Aku tak pernah menyangka faksi kita begitu tolol,” katanya.
“Kau bawa pistol, kan?”
“Ya,” aku menjawab. “Tapi tak dijamin aku bisa menembak
dengan tepat menggunakan tangan kiri.”
“Kau harus melatihnya,” Tobias menanggapi. Selalu bersikap
seperti instruktur.
“Tentu,” kataku. Aku menggeleng sedikit sambil menambahkan,
“Kalau kita hidup.”
Tobias mengusap lenganku. “Berjalanlah sambil
melompat-lompat kecil,” katanya sambil mengecup keningku, “dan pura-pura takut
terhadap senjata mereka”—kecupan lagi di antara alisku--“bersikaplah
seolah-olah kau itu pemalu”—kecupan di pipiku—“dan kau akan baik-baik saja.”
“Oke,” aku menjawab. Tanganku gemetar saat aku mencengkeram
kerah bajunya. Aku menarik mulutnya ke mulutku.
Bel berbunyi, satu kali, dua kali, tiga kali. Itu panggilan
ke ruang makan, tempat para Amity berkumpul untuk acara yang lebih tidak formal
dibandingkan rapat yang waktu itu kami hadiri. Kami bergabung dengan kerumunan
Abnegation-yang-menjadi-Amity.
Aku menarik jepit dari rambut Susan—gaya rambutnya terlalu
sederhana untuk seorang Amity. Ia melemparkan senyum kecil untuk mengucapkan
terima kasih saat rambutnya terjuntai ke bahu. Baru kali ini aku melihat
rambutnya begitu. Rahangnya yang persegi jadi tampak lebih lembut.
Seharusnya aku lebih berani daripada Abnegation, tapi
tampaknya mereka tidak secemas aku. Mereka saling tersenyum dan berjalan tanpa
bicara—terlalu diam. Aku menyelusup di antara mereka dan mendorong bahu seorang
wanita yang lebih tua.
“Suruh anak-anak ini main kucing-kucingan,” kataku
kepadanya.
“Kucing-kucingan?” tanya wanita itu.
“Sikap mereka terlalu penih hormat dan ... Kaku,” aku
menjelaskan seraya meringis saat mengucapkan kata yang merupakan julukanku di
faksi Dauntless. “Sedangkan anak-anak Amity biasanya heboh. Lakukan sajalah,
ya?”
Wanita itu menyentuh bahu seorang anak Abnegation dan
memisikkan sesuatu kepadanya. Beberapa detik kemudian, sekelompok anak
berlarian di koridor, menghindari kaki para Abnegation seraya berteriak, “Kena
kau! Kau kucingnya!” “Bukan, yang
kena cuma lengan bajuku!”
Caleb memahami itu dan menggelitik tulang rusuk Susan hingga
gadis itu terbahak-bahak. Aku berusaha bersikap tenang dan, seperti saran
Tobias, melangkah sambil melompat serta membiarkan lenganku berayun saat aku
berbelok. Luar biasa betapa berpura-pura berada di faksi lain mengubah
segalanya—termasuk caraku berjalan. Pasti itulah sebabnya mengapa aneh sekali
aku bisa masuk ke dalam ketiga faksi tersebut dengan mudah.
Kami melintasi halaman menuju ruang makan, menyusul faksi
Amity di depan kami, serta berbaur di antara mereka. Aku menjaga agar Tobias
tetap berada dalam pandanganku, karena tak ingin mengeluyur terlalu jauh
darinya. Para Amity tidak bertanya, mereka hanya membiarkan kami melebur dengan
faksi mereka.
No comments:
Post a Comment