Penulis: Suzanne
Collins
“Ayo,” kata Edward sambil menekukkan jarinya untuk memanggil
kami. “Ia ada di belakang sana.”
Tatapan dan keheningan menyambut kami yang mengikuti Edward
masuk lebih dalam ke bangunan yang seharusnya terlantar itu. Akhirnya, aku tak
sanggup menahan diri untuk tidak bertanya.
“Apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian semua berkumpul
seperti ini?”
“Kau pikir mereka semua—kami semua—berpencar,” ujar Edward
sambil menoleh. “Yang, memang, untuk beberapa lama. Terlalu lapar untuk melakukan
apa pun selain mencari makanan. Tapi kemudian, anggota Kaku mulai memberikan
makanan, pakaian, peralatan, segalanya. Dan mereka jadi lebih kuat, dan
menunggu. Mereka sudah seperti ini saat aku menemukan mereka, dan mereka
menerimaku.”
Kami berjalan ke satu koridor gelap. Aku merasa seperti di
rumah, di dalam kegelapan dan keheningan yang mirip dengan lorong-lorong di
markas Dauntless. Namun, jari-jari Tobias sibuk memainkan benang putus dari
bajunya, ke depan dan ke belakang, berulang-ulang. Ia tahu siapa yang akan kami
temui, tapi aku masih tak bisa menduganya. Kenapa hanya sedikit yang kutahu
tentang laki-laki yang katanya mencintaiku ini—pemuda yang nama aslinya cukup
ampuh sehingga kami tetap hidup di gerbong kereta penuh musuh?
Edward berhenti di depan sebuah pintu besi dan menggedor
dengan tinjunya.
“Sebentar, tadi kau bilang mereka menunggu?” desak Caleb.
“Apa yang sebenarnya mereka tunggu?”
“Mereka menunggu dunia runtuh,” jawab Edward. “Dan sekarang
itu terjadi.”
Pintu terbuka dan seorang wanita berwajah keras dengan mata
malas berdiri di ambang pintu. Matanya yang mantap menyelidiki kami berempat.
“Gelandangan?” ia bertanya.
“Bukan, Therese.” Edward mengacungkan ibu jarinya ke atas
bahu, ke arah Tobias. “Yang ini Tobias Eaton.
Therese menatap Tobias selama beberapa saat, lalu
mengangguk. “Tentu saja. Sebentar.”
Wanita itu menutup pintu lagi. Tobias menelan ludah dengan
keras sehingga jakunnya bergerak.
“Kau tahu siapa yang dipanggilnya, kan?” tanya Caleb kepada
Tobias.
“Caleb,” kata Tobias. “Tolong diam.”
Anehnya, kakakku menahan rasa ingin tahu khas Eruditenya.
Pintu dibuka lagi dan Therese mundur untuk mempersilakan
kami masuk. Kami berjalan memasuki ruang ketel tua berisi mesin yang tiba-tiba
muncul dari kegelapan sehingga lutut dan sikuku terantuk. Therese memimpin kami
melewati labirin logam itu menuju bagian belakang ruangan, di sana sejumlah
bohlam tergantung dari atap di atas meja.
Seorang wanita paruh baya berdiri di balik meja itu. Ia
berambut ikal dan hitam serta berkulit kuning langsat. Sosoknya keras dan tajam
sehingga nyaris membuatnya tidak menarik.
Tobias menggenggam tanganku. Saat itu aku tersadar bahwa
Tobias dan wanita itu memiliki hidung yang sama—bengkok dengan ukuran yang agak
terlalu besar untuk wajah wanita itu tapi pas untuk Tobias. Mereka juga
memiliki rahang kokoh yang sama, juga dagu yang mantap, bibir atas yang tipis,
dan telinga yang mencuat. Yang berbeda hanya mata wanita itu—bukan biru
melainkan begitu gelap sehingga tampak hitam.
“Evelyn,” sapa Tobias, suaranya agak bergetar.
Evelyn itu nama istri Marcus’s dan ibu Tobias. Genggaman
tanganku mengendur. Beberapa hari lalu aku teringat pemakaman Evelyn. Pemakamannya. Dan sekarang, wanita ini
berdiri di hadapanku. Matanya lebih dingin daripada mata wanita Abnegation lain
yang pernah kulihat.
“Halo.” Ia berjalan mengitari meja, mengamati Tobias. “Kau
tampak lebih tua.”
“Yah. Waktu biasanya menyebabkan itu pada seseorang.”
Tobias sudah tahu ibunya masih hidup. Sudah berapa lama ia
mengetahuinya?
Evelyn tersenyum. “Jadi, akhirnya kau datang—”
“Bukan karena alasan yang kau kira,” potong Tobias. “Kami
melarikan diri dari Erudite, dan satu-satunya kesempatan kami untuk lolos
membuatku harus memberitahukan namaku kepada antek-antekmu yang dipersenjatai
dengan payah.”
Sepertinya Evelyn membuat Tobias marah. Tapi, mau tak mau
aku berpikir bahwa jika aku tahu ibuku masih hidup setelah begitu lama
menyangka ia meninggal, aku tak akan bicara kepadanya seperti cara Tobias
bicara kepada ibunya sekarang, apa pun yang ibuku lakukan.
Kebenaran dari pemikiran itu membuatku sakit. Aku
menyingkirkan perasaan itu dan memusatkan perhatian pada kejadian dihadapanku.
Di meja di belakang Evelyn ada peta besar dengan tanda-tanda di atasnya. Jelas
itu peta kota, tapi aku tak tahu apa arti tanda-tanda itu. Di dinding di
belakangnya ada papan tulis dengan diagram. Aku tak bisa menguraikan informasi
di diagram itu karena ditulis dengan simbol dan singkatan yang tak kukenal.
“Begitu.” Evelyn masih tersenyum, tapi tanpa rasa senang
seperti tadi. “Kalau begitu perkenalkan aku pada teman-teman pengungsimu.”
Tatapannya bergeser ke tangan kami yang bergandengan. Tobias
langsung melepaskan pegangannya. Ia menunjukku dulu. “Ini Tris Prior. Kakaknya,
Caleb. Dan teman mereka, Susan Black.”
“Prior,” ujar Evelyn. “Aku kenal beberapa Prior, tapi tak
ada yang namanya Tris. Namun, Beatrice ....”
“Yah,” kataku, “aku kenal beberapa Eaton yang hidup, tapi
tak ada yang namanya Evelyn.”
“Aku lebih menyukai nama Evelyn Johnson. Terutama di antara
sekumpulan Abnegation.”
“Tris adalah nama yang ku-sukai,”
jawabku. “Dan kami bukan faksi Abnegation. Setidaknya, tidak semuanya.”
Evelyn memandang Tobias. “Teman-temanmu ini menarik.”
“Itu jumlah populasi?” tanya Caleb dari belakangku. Ia
berjalan ke depan dengan mulut ternganga. “Dan ... apa? Rumah aman factionless?” Ia menunjuk baris pertama
pada diagram yang berbunyi 7 ........... Grn
Hse. “Maksudku, tempat-tempat ini, di peta? Ini rumah aman, seperti tempat
ini, kan?”
“Banyak sekali pertanyaanmu,” komentar Evelyn sambil
melengkungkan sebelah alisnya. Aku mengenali ekspresi itu. Itu mirip dengan
Tobias—begitu juga dengan rasa tidak sukanya terhadap pertanyaan-pertanyaan
itu. “Demi keamanan, aku tak akan menjawabnya. Omong-omong, sudah waktunya
makan malam.”
Ia memberi isyarat ke arah pintu. Susan dan Caleb berjalan
ke sana, diikuti olehku. Tobias dan ibunya berjalan di belakang. Kami berjalan
melewati labirin mesin lagi.
“Aku bukan orang bodoh,” kata Evelyn pelan. “Aku tahu kau
tak ingin terlibat denganku—walaupun aku masih tak mengerti kenapa—“
Tobias mendengus.
“Tapi,” lanjut Evelyn, “aku akan mengundangmu lagi. Kami
bisa memanfaatkan bantuanmu di sini. Lagi pula, aku tahu apa pendapatmu
terhadap sistem faksi—”
“Evelyn,” potong Tobias. “Aku memilih Dauntless.”
“Pilihan bisa diulang.”
No comments:
Post a Comment