Insurgent (Divergent #2) (17)

Penulis: Suzanne Collins

“Ayo,” kata Edward sambil menekukkan jarinya untuk memanggil kami. “Ia ada di belakang sana.”

Tatapan dan keheningan menyambut kami yang mengikuti Edward masuk lebih dalam ke bangunan yang seharusnya terlantar itu. Akhirnya, aku tak sanggup menahan diri untuk tidak bertanya.

“Apa yang terjadi di sini? Kenapa kalian semua berkumpul seperti ini?”

“Kau pikir mereka semua—kami semua—berpencar,” ujar Edward sambil menoleh. “Yang, memang, untuk beberapa lama. Terlalu lapar untuk melakukan apa pun selain mencari makanan. Tapi kemudian, anggota Kaku mulai memberikan makanan, pakaian, peralatan, segalanya. Dan mereka jadi lebih kuat, dan menunggu. Mereka sudah seperti ini saat aku menemukan mereka, dan mereka menerimaku.”

Kami berjalan ke satu koridor gelap. Aku merasa seperti di rumah, di dalam kegelapan dan keheningan yang mirip dengan lorong-lorong di markas Dauntless. Namun, jari-jari Tobias sibuk memainkan benang putus dari bajunya, ke depan dan ke belakang, berulang-ulang. Ia tahu siapa yang akan kami temui, tapi aku masih tak bisa menduganya. Kenapa hanya sedikit yang kutahu tentang laki-laki yang katanya mencintaiku ini—pemuda yang nama aslinya cukup ampuh sehingga kami tetap hidup di gerbong kereta penuh musuh?

Edward berhenti di depan sebuah pintu besi dan menggedor dengan tinjunya.

“Sebentar, tadi kau bilang mereka menunggu?” desak Caleb. “Apa yang sebenarnya mereka tunggu?”

“Mereka menunggu dunia runtuh,” jawab Edward. “Dan sekarang itu terjadi.”

Pintu terbuka dan seorang wanita berwajah keras dengan mata malas berdiri di ambang pintu. Matanya yang mantap menyelidiki kami berempat.

“Gelandangan?” ia bertanya.

“Bukan, Therese.” Edward mengacungkan ibu jarinya ke atas bahu, ke arah Tobias. “Yang ini Tobias Eaton.

Therese menatap Tobias selama beberapa saat, lalu mengangguk. “Tentu saja. Sebentar.”

Wanita itu menutup pintu lagi. Tobias menelan ludah dengan keras sehingga jakunnya bergerak.

“Kau tahu siapa yang dipanggilnya, kan?” tanya Caleb kepada Tobias.

“Caleb,” kata Tobias. “Tolong diam.”

Anehnya, kakakku menahan rasa ingin tahu khas Eruditenya.

Pintu dibuka lagi dan Therese mundur untuk mempersilakan kami masuk. Kami berjalan memasuki ruang ketel tua berisi mesin yang tiba-tiba muncul dari kegelapan sehingga lutut dan sikuku terantuk. Therese memimpin kami melewati labirin logam itu menuju bagian belakang ruangan, di sana sejumlah bohlam tergantung dari atap di atas meja.

Seorang wanita paruh baya berdiri di balik meja itu. Ia berambut ikal dan hitam serta berkulit kuning langsat. Sosoknya keras dan tajam sehingga nyaris membuatnya tidak menarik.

Tobias menggenggam tanganku. Saat itu aku tersadar bahwa Tobias dan wanita itu memiliki hidung yang sama—bengkok dengan ukuran yang agak terlalu besar untuk wajah wanita itu tapi pas untuk Tobias. Mereka juga memiliki rahang kokoh yang sama, juga dagu yang mantap, bibir atas yang tipis, dan telinga yang mencuat. Yang berbeda hanya mata wanita itu—bukan biru melainkan begitu gelap sehingga tampak hitam.

“Evelyn,” sapa Tobias, suaranya agak bergetar.

Evelyn itu nama istri Marcus’s dan ibu Tobias. Genggaman tanganku mengendur. Beberapa hari lalu aku teringat pemakaman Evelyn. Pemakamannya. Dan sekarang, wanita ini berdiri di hadapanku. Matanya lebih dingin daripada mata wanita Abnegation lain yang pernah kulihat.

“Halo.” Ia berjalan mengitari meja, mengamati Tobias. “Kau tampak lebih tua.”

“Yah. Waktu biasanya menyebabkan itu pada seseorang.”

Tobias sudah tahu ibunya masih hidup. Sudah berapa lama ia mengetahuinya?

Evelyn tersenyum. “Jadi, akhirnya kau datang—”

“Bukan karena alasan yang kau kira,” potong Tobias. “Kami melarikan diri dari Erudite, dan satu-satunya kesempatan kami untuk lolos membuatku harus memberitahukan namaku kepada antek-antekmu yang dipersenjatai dengan payah.”

Sepertinya Evelyn membuat Tobias marah. Tapi, mau tak mau aku berpikir bahwa jika aku tahu ibuku masih hidup setelah begitu lama menyangka ia meninggal, aku tak akan bicara kepadanya seperti cara Tobias bicara kepada ibunya sekarang, apa pun yang ibuku lakukan.

Kebenaran dari pemikiran itu membuatku sakit. Aku menyingkirkan perasaan itu dan memusatkan perhatian pada kejadian dihadapanku. Di meja di belakang Evelyn ada peta besar dengan tanda-tanda di atasnya. Jelas itu peta kota, tapi aku tak tahu apa arti tanda-tanda itu. Di dinding di belakangnya ada papan tulis dengan diagram. Aku tak bisa menguraikan informasi di diagram itu karena ditulis dengan simbol dan singkatan yang tak kukenal.

“Begitu.” Evelyn masih tersenyum, tapi tanpa rasa senang seperti tadi. “Kalau begitu perkenalkan aku pada teman-teman pengungsimu.”

Tatapannya bergeser ke tangan kami yang bergandengan. Tobias langsung melepaskan pegangannya. Ia menunjukku dulu. “Ini Tris Prior. Kakaknya, Caleb. Dan teman mereka, Susan Black.”

“Prior,” ujar Evelyn. “Aku kenal beberapa Prior, tapi tak ada yang namanya Tris. Namun, Beatrice ....”

“Yah,” kataku, “aku kenal beberapa Eaton yang hidup, tapi tak ada yang namanya Evelyn.”
“Aku lebih menyukai nama Evelyn Johnson. Terutama di antara sekumpulan Abnegation.”

“Tris adalah nama yang ku-sukai,” jawabku. “Dan kami bukan faksi Abnegation. Setidaknya, tidak semuanya.”

Evelyn memandang Tobias. “Teman-temanmu ini menarik.”

“Itu jumlah populasi?” tanya Caleb dari belakangku. Ia berjalan ke depan dengan mulut ternganga. “Dan ... apa? Rumah aman factionless?” Ia menunjuk baris pertama pada diagram yang berbunyi 7 ........... Grn Hse. “Maksudku, tempat-tempat ini, di peta? Ini rumah aman, seperti tempat ini, kan?”

“Banyak sekali pertanyaanmu,” komentar Evelyn sambil melengkungkan sebelah alisnya. Aku mengenali ekspresi itu. Itu mirip dengan Tobias—begitu juga dengan rasa tidak sukanya terhadap pertanyaan-pertanyaan itu. “Demi keamanan, aku tak akan menjawabnya. Omong-omong, sudah waktunya makan malam.”

Ia memberi isyarat ke arah pintu. Susan dan Caleb berjalan ke sana, diikuti olehku. Tobias dan ibunya berjalan di belakang. Kami berjalan melewati labirin mesin lagi.

“Aku bukan orang bodoh,” kata Evelyn pelan. “Aku tahu kau tak ingin terlibat denganku—walaupun aku masih tak mengerti kenapa—“

Tobias mendengus.

“Tapi,” lanjut Evelyn, “aku akan mengundangmu lagi. Kami bisa memanfaatkan bantuanmu di sini. Lagi pula, aku tahu apa pendapatmu terhadap sistem faksi—”

“Evelyn,” potong Tobias. “Aku memilih Dauntless.”

“Pilihan bisa diulang.”



No comments:

Post a Comment