Insurgent (Divergent #2) (16)

Penulis: Suzanne Collins

Aku mendongak dan berhenti bernapas.

Mata-mata berkilauan di kegelapan. Sosok-sosok gelap duduk di dalam gerbong, jumlahnya lebih banyak daripada kami.

Para factionless.
***

Angin berciut-ciut di gerbong itu. Semua orang berdiri dan memegang senjata—kecuali aku dan Susan yang tak punya senjata. Seorang pria factionless dengan penutup mata mengacungkan pistolnya ke Tobias. Aku bertanya-tanya bagaimana ia bisa mendapatkan senjata itu.

Di sampingnya, seorang wanita factionless yang lebih tua memegang pisau—jenis yang biasa kugunakan untuk memotong roti. Di belakang pria tadi seseorang memegang papapn kayu besar dengan paku yang menyembul.

“Aku tak pernah melihat Amity yang memegang senjata,” kata si Wanita factionless yang memegang pisau.

Pria factionless dengan pistol itu terlihat tidak asing. Ia mengenakan pakaian compang-camping dengan berbagai warna—kau hitam yang dilapisi jaket faksi Abnegation yang robek, celana jins biru yang dijahit dengan benang merah, serta sepatu bot cokelat. Pakaian dari semua faksi terpampang di kerumunan di depanku: celana hitam Candor dengan atasan Dauntless hitam, gaun kuning dengan kaus lengan panjang warna biru. Sebagian besar tampak robek atau luntur, tapi sebagian lagi tidak. Baru dicuri, aku membayangkan.

“Mereka bukan Amity,” kata pria yang memegang pistol. “Mereka faksi Dauntless.”

Lalu, aku mengenali pria itu. Edward. Seorang peserta inisiasi yang meninggalkan faksi Dauntless setelah Peter menyerangnya dengan pisau mentega. Karena itulah, ia memakai penutup mata.

Aku ingat menahan kepalanya saat Edward berbaring sambil berteriak di lantai, dan membersihkan darah setelah ia pergi.

“Halo, Edward,” aku menyapa.

Ia memajukan kepalanya ke arahku tapi tidak menurunkan pistolnya. “Tris.”

“Apa pun kalian itu,” kata si Wanita, “kalian harus turun dari kereta ini kalau ingin tetap hidup.”

“Tolonglah,” Susan memohon, bibirnya bergetar. Matanya digenangi air mata. “Kami sedang melarikan diri ... yang lain sudah mati dan aku tidak ....” Ia mulai terisak lagi. “Rasanya aku tak sanggup terus berlari, aku ....”

Aku merasakan dorongan aneh untuk menghantamkan kepalaku ke tembok. Tangisan orang lain membuatku merasa tak nyaman. Mungkin aku egoid.

“Kami melarikan diri dari faksi Erudite,” Caleb menjelaskan. “Kalau kami turun, mereka bisa menemukan kami dengan mudah. Jadi, kami akan sangat berterima kasih kalau kalian mengizinkan kami ikut ke kota bersama kalian.”

“Oh, ya?” Edward memiringkan kepalanya. “Memangnya apa yang pernah kau lakukan untuk kami?”

“Aku menolongmu, padahal yang lain tak mau,” aku menjawab. “Ingat?”

“Kau, okelah. Tapi yang lain?” kata Edward. “Tidak ada.”

Tobias maju sehingga pistol Edward nyaris menyentuh lehernya.

“Namaku Tobias Eaton,” kata Tobias. “Kurasa kau tak ingin mendorongku dari kereta ini.”

Pengaruh nama itu terhadap orang-orang di gerbong begitu cepat dan membingungkan: mereka menurunkan senjata mereka, lalu saling bertukar pandang penuh arti.

“Eaton? Sungguh?” tanya Edward dengan alis terangkat. “Harus kuakui, aku tak menyangkanya.” Ia berdeham. “Baiklah, kalian boleh ikut. Tapi begitu tiba di kota, kalian harus ikut bersama kami.”

Lalu, ia tersenyum sedikit. “Kami kenal seseorang yang mencarimu, Tobias Eaton.”
***

Aku dan Tobias duduk di pinggir gerbong dengan kaki menjuntai dari tepinya.

“Kau tahu siapa yang mencarimu itu?”

Tobias mengangguk.

“Siapa?”

“Sulit dijelaskan,” katanya. “Banyak yang harus kuceritakan kepadamu.”

Aku bersandar ke tubuhnya.

“Yah,” kataku. “Aku juga.”
***

Aku tak tahu berapa lama lagi sebelum akhirnya mereka menyuruh kami turun. Saat mereka melakukannya, kami ada di bagian kota tempat para factionelss tinggal, sekita satu setengah kilometer dari tempatku dibesarkan. Aku mengenali setiap bangunan di sini, yang kulewati sat berjalan pulang setiap kali ketinggalan busa dari sekolah. Bangunan dengan bata yang rusak. Bangunan yang disandari lampu jalan yang roboh.

Kami berempat berdiri berbaris di pintu gerbong kereta. Susan gemetar.

“Bagaimana kalau kita terluka?” tanyanya.

Aku menggenggam tangannya. “Kita lompat sama-sama. Aku dan kau. Aku sudah sering melakukan ini dan tak pernah terluka.”

Susan mengangguk dan meremas jari-jemariku dengan begitu kuat sampai terasa sakit.

“Pada hitungan ketiga. Satu,” kataku, “Dua. Tiga.”

Aku melompat dan menarik Susan bersamaku. Kakiku menghantam tanah dan terus berlari, tapi Susan jatuh ke trotoar dan berguling ke samping. Walaupun lututnya tergores, tampaknya ia baik-baik saja. Yang lain melompat turun tanpa kesulihatn—bahkan Caleb, yang setahuku baru satu kali melompat turun dari kereta.

Aku heran siapa di antara para factionelss yang mengenal Tobias. Mungkin Drew atau Molly, yang gagal pada inisiasi Dauntless—tapi mereka tidak tahu nama asli Tobias. Selain itu, mungkin Edward sudah membunuh mereka, dilihat dari sikapnya yang siap menembak kami. Pasti orang itu dari faksi Abnegation, atau dari sekolah.

Tampaknya Susan sudah tenang. Sekarang, ia berjalan sendiri, di samping Caleb. Pipinya kering dan tak ada air mata baru yang membasahinya.

Tobias berjalan di sampingku, menyentuh bahuku dengan lembut.

“Sudah lama aku tak mengecek bahumu,” katanya. “Bagaimana rasanya?”

“Baik-baik saja. Untungnya aku bawa obat pereda sakit,” kataku. Aku senang bisa membicarakan sesuatu yang remeh—yah, seremeh sebuah luka. “Kurasa aku tidak membiarkannya sembuh dengan baik. Aku selalu menggunakan lenganku atau mendarat di atasnya.”

“Akan ada banyak waktu untuk menyembuhkannya setelah ini semua selesai.”

Yeah.” Atau mungkin tak sembuh pun tak masalah, tambahku tanpa bicara, karena aku bakal mati.

“Ini,” ujar Tobias seraya mengambil pisau kecil dari sakut belakangnya dan memberikannya kepadaku. “Buat jaga-jaga.”

Aku memasukkan pisau itu ke sakuku. Sekarang, aku merasa semakin gugup.

Para factionless memimpin kami menyusuri jalan dan berbelok ke kiri menuju gang kotor yang bau sampah. Tikur-tikus berlarian di depan kami sambil mencicit ketakutan. Aku hanya bisa melihat ekor mereka yang menyelinap di antara tumpukan sampah, tong sampah kosong, kotak kardus basah. Aku bernapas menggunakan mulut agar tidak muntah.

Edward berhenti di samping bangunan bata yang sudah hancur dan menarik pintu besinya dengan keras. Aku meringis, setengah berharap seluruh bangunan itu akan runtuh jika ia menarik terlalu keras. Jendela-jendelanya begitu tebal dan kotor sehingga nyaris tak tembus cahaya. Aku mengikuti Edward memasuki ruangan apak itu. Di bawah sinar lentera yang berkedap-kedip, aku melihat ... orang-orang.

Yang duduk di samping gulungan matras. Yang berusaha membuka kaleng makanan. Yang menyesap air dari botol. Juga, anak-anak yang berbaur di antara orang-orang dewasa. Mereka tidak mengenakan warna pakaian tertentu—anak-anak factionless.

Kami berada di gudang factionless, dan para factionless, yang seharusnya terpisah-pisah, terisolasi, dan tanpa komunitas ... ada di dalamnya. Bersama-sama, seperti sebuah faksi.


Aku tak tahu apa yang kuharapkan dari mereka, tapi aku kaget melihat betapa normalnya mereka. Mereka tidak bertengkar satu sama lain atau saling menghindar. Sebagian dari mereka menceritakan lelucon, sebagian lain bicara dengan pelan. Namun, perlahan-lahan tampaknya mereka sadar kami seharusnya tak di sini.

No comments:

Post a Comment