Penulis: Suzanne
Collins
Aku mendongak dan berhenti bernapas.
Mata-mata berkilauan di kegelapan. Sosok-sosok gelap duduk
di dalam gerbong, jumlahnya lebih banyak daripada kami.
Para factionless.
***
Angin berciut-ciut di gerbong itu. Semua orang berdiri dan
memegang senjata—kecuali aku dan Susan yang tak punya senjata. Seorang pria factionless dengan penutup mata
mengacungkan pistolnya ke Tobias. Aku bertanya-tanya bagaimana ia bisa
mendapatkan senjata itu.
Di sampingnya, seorang wanita factionless yang lebih tua memegang pisau—jenis yang biasa
kugunakan untuk memotong roti. Di belakang pria tadi seseorang memegang papapn
kayu besar dengan paku yang menyembul.
“Aku tak pernah melihat Amity yang memegang senjata,” kata
si Wanita factionless yang memegang
pisau.
Pria factionless
dengan pistol itu terlihat tidak asing. Ia mengenakan pakaian compang-camping
dengan berbagai warna—kau hitam yang dilapisi jaket faksi Abnegation yang
robek, celana jins biru yang dijahit dengan benang merah, serta sepatu bot
cokelat. Pakaian dari semua faksi terpampang di kerumunan di depanku: celana
hitam Candor dengan atasan Dauntless hitam, gaun kuning dengan kaus lengan
panjang warna biru. Sebagian besar tampak robek atau luntur, tapi sebagian lagi
tidak. Baru dicuri, aku membayangkan.
“Mereka bukan Amity,” kata pria yang memegang pistol.
“Mereka faksi Dauntless.”
Lalu, aku mengenali pria itu. Edward. Seorang peserta
inisiasi yang meninggalkan faksi Dauntless setelah Peter menyerangnya dengan
pisau mentega. Karena itulah, ia memakai penutup mata.
Aku ingat menahan kepalanya saat Edward berbaring sambil
berteriak di lantai, dan membersihkan darah setelah ia pergi.
“Halo, Edward,” aku menyapa.
Ia memajukan kepalanya ke arahku tapi tidak menurunkan
pistolnya. “Tris.”
“Apa pun kalian itu,” kata si Wanita, “kalian harus turun
dari kereta ini kalau ingin tetap hidup.”
“Tolonglah,” Susan memohon, bibirnya bergetar. Matanya
digenangi air mata. “Kami sedang melarikan diri ... yang lain sudah mati dan
aku tidak ....” Ia mulai terisak lagi. “Rasanya aku tak sanggup terus berlari,
aku ....”
Aku merasakan dorongan aneh untuk menghantamkan kepalaku ke
tembok. Tangisan orang lain membuatku merasa tak nyaman. Mungkin aku egoid.
“Kami melarikan diri dari faksi Erudite,” Caleb menjelaskan.
“Kalau kami turun, mereka bisa menemukan kami dengan mudah. Jadi, kami akan
sangat berterima kasih kalau kalian mengizinkan kami ikut ke kota bersama
kalian.”
“Oh, ya?” Edward memiringkan kepalanya. “Memangnya apa yang
pernah kau lakukan untuk kami?”
“Aku menolongmu, padahal yang lain tak mau,” aku menjawab.
“Ingat?”
“Kau, okelah. Tapi yang lain?” kata Edward. “Tidak ada.”
Tobias maju sehingga pistol Edward nyaris menyentuh
lehernya.
“Namaku Tobias Eaton,” kata Tobias. “Kurasa kau tak ingin
mendorongku dari kereta ini.”
Pengaruh nama itu terhadap orang-orang di gerbong begitu
cepat dan membingungkan: mereka menurunkan senjata mereka, lalu saling bertukar
pandang penuh arti.
“Eaton? Sungguh?” tanya Edward dengan alis terangkat. “Harus
kuakui, aku tak menyangkanya.” Ia berdeham. “Baiklah, kalian boleh ikut. Tapi
begitu tiba di kota, kalian harus ikut bersama kami.”
Lalu, ia tersenyum sedikit. “Kami kenal seseorang yang
mencarimu, Tobias Eaton.”
***
Aku dan Tobias duduk di pinggir gerbong dengan kaki
menjuntai dari tepinya.
“Kau tahu siapa yang mencarimu itu?”
Tobias mengangguk.
“Siapa?”
“Sulit dijelaskan,” katanya. “Banyak yang harus kuceritakan
kepadamu.”
Aku bersandar ke tubuhnya.
“Yah,” kataku. “Aku juga.”
***
Aku tak tahu berapa lama lagi sebelum akhirnya mereka
menyuruh kami turun. Saat mereka melakukannya, kami ada di bagian kota tempat
para factionelss tinggal, sekita satu
setengah kilometer dari tempatku dibesarkan. Aku mengenali setiap bangunan di
sini, yang kulewati sat berjalan pulang setiap kali ketinggalan busa dari
sekolah. Bangunan dengan bata yang rusak. Bangunan yang disandari lampu jalan
yang roboh.
Kami berempat berdiri berbaris di pintu gerbong kereta.
Susan gemetar.
“Bagaimana kalau kita terluka?” tanyanya.
Aku menggenggam tangannya. “Kita lompat sama-sama. Aku dan
kau. Aku sudah sering melakukan ini dan tak pernah terluka.”
Susan mengangguk dan meremas jari-jemariku dengan begitu
kuat sampai terasa sakit.
“Pada hitungan ketiga. Satu,” kataku, “Dua. Tiga.”
Aku melompat dan menarik Susan bersamaku. Kakiku menghantam
tanah dan terus berlari, tapi Susan jatuh ke trotoar dan berguling ke samping.
Walaupun lututnya tergores, tampaknya ia baik-baik saja. Yang lain melompat
turun tanpa kesulihatn—bahkan Caleb, yang setahuku baru satu kali melompat
turun dari kereta.
Aku heran siapa di antara para factionelss yang mengenal Tobias. Mungkin Drew atau Molly, yang
gagal pada inisiasi Dauntless—tapi mereka tidak tahu nama asli Tobias. Selain
itu, mungkin Edward sudah membunuh mereka, dilihat dari sikapnya yang siap
menembak kami. Pasti orang itu dari faksi Abnegation, atau dari sekolah.
Tampaknya Susan sudah tenang. Sekarang, ia berjalan sendiri,
di samping Caleb. Pipinya kering dan tak ada air mata baru yang membasahinya.
Tobias berjalan di sampingku, menyentuh bahuku dengan
lembut.
“Sudah lama aku tak mengecek bahumu,” katanya. “Bagaimana
rasanya?”
“Baik-baik saja. Untungnya aku bawa obat pereda sakit,”
kataku. Aku senang bisa membicarakan sesuatu yang remeh—yah, seremeh sebuah
luka. “Kurasa aku tidak membiarkannya sembuh dengan baik. Aku selalu
menggunakan lenganku atau mendarat di atasnya.”
“Akan ada banyak waktu untuk menyembuhkannya setelah ini
semua selesai.”
“Yeah.” Atau mungkin tak sembuh pun tak masalah,
tambahku tanpa bicara, karena aku bakal
mati.
“Ini,” ujar Tobias seraya mengambil pisau kecil dari sakut
belakangnya dan memberikannya kepadaku. “Buat jaga-jaga.”
Aku memasukkan pisau itu ke sakuku. Sekarang, aku merasa
semakin gugup.
Para factionless memimpin
kami menyusuri jalan dan berbelok ke kiri menuju gang kotor yang bau sampah.
Tikur-tikus berlarian di depan kami sambil mencicit ketakutan. Aku hanya bisa
melihat ekor mereka yang menyelinap di antara tumpukan sampah, tong sampah
kosong, kotak kardus basah. Aku bernapas menggunakan mulut agar tidak muntah.
Edward berhenti di samping bangunan bata yang sudah hancur
dan menarik pintu besinya dengan keras. Aku meringis, setengah berharap seluruh
bangunan itu akan runtuh jika ia menarik terlalu keras. Jendela-jendelanya
begitu tebal dan kotor sehingga nyaris tak tembus cahaya. Aku mengikuti Edward
memasuki ruangan apak itu. Di bawah sinar lentera yang berkedap-kedip, aku
melihat ... orang-orang.
Yang duduk di samping gulungan matras. Yang berusaha membuka
kaleng makanan. Yang menyesap air dari botol. Juga, anak-anak yang berbaur di
antara orang-orang dewasa. Mereka tidak mengenakan warna pakaian
tertentu—anak-anak factionless.
Kami berada di gudang factionless,
dan para factionless, yang seharusnya
terpisah-pisah, terisolasi, dan tanpa komunitas ... ada di dalamnya.
Bersama-sama, seperti sebuah faksi.
Aku tak tahu apa yang kuharapkan dari mereka, tapi aku kaget
melihat betapa normalnya mereka. Mereka tidak bertengkar satu sama lain atau
saling menghindar. Sebagian dari mereka menceritakan lelucon, sebagian lain
bicara dengan pelan. Namun, perlahan-lahan tampaknya mereka sadar kami
seharusnya tak di sini.
No comments:
Post a Comment