Insurgent (Divergent #2) (15)

Penulis: Suzanne Collins

Wanita Erudite itu menurunkan pistolnya. Aku dan Peter berjalan bersama ke pintu. Tobias mengikuti kami, berjalan mundur agar bisa mengacungkan pistolnya ke si Wanita Erudite. Pada saat terakhir sebelum melewati ambang pintu, ia membanting pintu di antara dirinya dan wanita itu.

Lalu kami lari.

Kami semua berlari kencang di lorong tengah kebun dengan terengah-engah. Udara malam itu berat bagai selimut dan baunya seperti hujan. Teriakan-teriakan mengikuti kami. Pintu-pintu mobil dibanting. Aku berlari lebih kencang daripada yang biasanya kulakukan, seolah-olah aku bernapas dengan menghirup adrenalin bukan udara. Deru mesin mobil mengejarku di antara pepohonan Tobias menggenggam tanganku.

Kami berlari melewati ladang jagung dalam satu barisan panjang. Mobil-mobil itu berhasil menyusul kami. Sianar lampu depan mobil merayap menembus batang-batang tinggi, menyinari daun di sini dan bonggol jagung di sana.

“Berpencar!” seru seseorang, sepertinya Marcus.

Kami berpencar dan menyebar di ladang itu seperti air yang melimpah. Aku meraih lengan Caleb. Aku mendengar Susan terengah di belakang kakakku.

Kami menembus pohon-pohon jagung. Daun-daun tebal menggores pipi dan lenganku. Aku menatap tulang belikat Tobias sambil berlari. Aku mendengar bunyi bergedebuk dan jeritan. Jeritan di mana-mana, di kiri, di kanan. Bunyi tembakan. Para Abnegation mati lagi. Mati seperti waktu aku berpura-pura berada di bawah kendali simulasi. Dan yang kulakukan hanyalah lari.

Akhirnya, kami tiba di pagar perbatasan. Tobias berlari di sepanjang pagar sambil mendorongnya sampai menemukan lubang. Ia menahan pagar itu agar aku, Caleb, dan Susan bisa merangkak menembusnya. Sebelum kami berlari lagi, aku berhenti dan memandang ladang jagung yang baru kami tinggalkan. Aku melihat sinar lampu depan mobil di kejauhan. Tapi, aku tak mendnegar apa pun.

“Di mana yang lain?” bisik Susan.

Aku menjawab, “Tiada.”

Susan terisak. Tobias menarikku ke sisinya dengan kasar dan mulai berjalan. Wajahku panas akibat tergore-gores daun jagung, tapi mataku kering. Kematian para Abnegation hanyalah beban lain yang tak bisa kulepaskan.

Kami menghindari jalan tanah yang digunakan Erudite dan Dauntless untuk mencapai kompleks Amity dan mengikuti jalur kerete api menuju kota. Di sini tak ada tempat untuk bersembunyi. Tak ada pohon atau bangunan yang bisa melindungi kami. Tapi itu bukan masalah. Para Erudite tak bisa berkendara menembus pagar perbatasan, dan mereka perlu waktu untuk mencapai gerbang.

“Aku harus ... berhenti ...” kata Susan dari suatu tempat di kegelapan di belakangku.

Kami berhenti. Susan roboh ke tanah, menangis. Caleb berjongkok di sampingnya. Aku dan Tobias memandang ke arah kota, yang masih terang karena saat ini belum tengah malam. Aku ingin merasakan sesuatu. Takut, marah, sedih. Tapi tidak. Yang kurasakan hanyalah keinginan untuk terus berjalan.

Tobias memandangku.

“Yang tadi itu apa, Tris?” tanyanya.

“Apa?” kataku, dan aku malu mendengar betapa lemahnya suaraku. Aku tak tahu apakah yang Tobias maksud itu tentang Peter atau yang terjadi sebelumnya atau yang lain.

“Kau mematung! Ada yang bakal membunuhmu tapi kau cuma duduk di sana!” Sekarang, Tobias berteriak. “Kupikir aku bisa mengharapkanmu untuk setidaknya menyelamatkan dirimu sendiri!”

“Hei!” seru Caleb. “Biarkan ia, oke?”

“Tidak,” jawab Tobias sambil menatapku. “Ini tak boleh dibiarkan.” Suaranya melembut. “Apa yang terjadi?”

Ia masih percaya aku ini kuat. Cukup kuat sehingga tak membutuhkan rasa simpati darinya. Dulu kupikir Tobias benar, tapi sekarang aku tak yakin. Aku berdeham.

“Aku panik,” kataku. “Itu tak akan terjadi lagi.”

Tobias mengangkat sebelah alisnya.

“Tak akan,” aku mengulangi, kali ini dengan lebih keras.

“Oke.” Ia kelihatannya tak percaya. “Kita harus pergi ke tempat yang aman. Mereka akan berkumpul dan mulai mencari kita.”

“Menurutmu mereka menganggap kita sepenting itu?” tanyaku.

“Kita, ya,” jawabnya. “Mungkin sebenarnya yang mereka kejar itu kita, selain Marcus, yang kemungkinan besar sudah mati.”

Aku tak tahu berharap Tobias mengucapkan itu dengan cara seperti apa—mungkin dengan perasaan lega karena Marcus, ayah sekaligus ancaman hidupnya, akhirnya tiada. Atau dengan rasa sakit dan sedih karena ayahnya mungkin terbunuh, lagi pula biasanya rasa sedih itu tidak masuk akal. Tapi, ia mengatakannya seakan-akan itu fakta belaka, seperti ke arah mana kami pergi atau pukul berapa sekarang.

“Tobias ...” ujarku, tapi kemudian aku sadar aku tak tahu harus mengucapkan apa.

“Saatnya pergi,” kata Tobias sambil menoleh.

Caleb membantu Susan berdiri. Ia bergerak hanya dengan bantuan lengan Caleb di punggungnya, yang mendorongnya maju.

Saat itu aku baru sadar bahwa inisiasi Dauntless mengajarkanku satu pelajaran penting: bagaimana untuk terus maju.[]

8

Kami memutuskan untuk mengikuti jalur kereta api menuju kota karena tak satu pun dari kami yang pintar menentukan arah. Aku berpindah dari balok rel ke balok rel. Tobias meniti di relnya, hanya sesekali tampak limbung, Caleb dan Susan berjalan dengan lunglai di belakang kami. Aku berjengit setiap kali mendengar bunyi yang tak kukenal, tegang hingga menyadari itu hanya suara angin atau decit sepatu Tobias di atas rel. Andai kami mampu untuk terus berlari, tapi sudah bagus saat ini kakiku bisa bergerak.

Lalu, aku mendengar erangan rendah dari rel.

Aku menunduk dan menekankan telapak tanganku ke rel sambil menutup mata untuk merasakan logam di bawah tanganku. Getarannya terasa seperti desahan yang menjalar di seluruh tubuhku. Aku memandang ke sepanjang rel di antara lutut Susan tapi tidak melihat cahaya kereta api, tapi itu tak berarti apa-apa. Kereta bisa saja bergerak tanpa peluit ataupun lampu untuk memberikan kedatangannya.

Aku melihat kilau gerbong kereta yang kecil, jauh tapi mendekat dengan cepat.

“Datang,” kataku.  Walaupun sangat ingin duduk, dengan susah payak aku berhasil berdiri dan menyeka tanganku ke celana jins. “Kurasa kita harus naik.”

“Walaupun seandainya kereta itu dijalankan faksi Erudite?” tanya Caleb.

“Jika Erudite menjalankan kereta, mereka pasti sudah membawanya ke kompleks Amity saat mencari kita,” jelas Tobias. “Kurasa risikunya sepadan. Kita tak bisa bersembunyi di kota. Dan di sini kita hanya menunggu mereka menemukan kita.”

Kami semua menjauhi rel. Caleb mengajari Susan cara menaiki kereta yang sedang bergerak, dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh seorang mantan Erudite. Aku menatap gerobong pertama yang mendekat sambil mendengarkan irama benturan gerbong itu di atas balok rel dan kisikan roda logam dengan rel logam.


Saat gerbong pertama melewatiku, aku mulai berlari. Aku mengabaikan kakiku yang terasa panas. Caleb membantu Susan menaiki gerbong tengah, lalu ia sendiri melompat masuk. Aku menarik napas cepat, lalu melemparkan tubuhku ke kanan dan menghantam lantai gerbong dengan kaki terjuntai di tepinya. Caleb meraih lengan kiriku dan menarikku masuk. Tobias menggunakan pegangan kereta untuk mengayunkan tubuhnya masuk menyusulku.

No comments:

Post a Comment