The Maze Runner (The Maze Runner #1) (8)

Penulis: James Dashner

8


SUARA alarm akhirnya berhenti setelah berbunyi selama dua menit penuh. Kerumunan orang berkumpul di bagian tengah halaman mengelilingi pintu baja yang disadari Thomas sebagai tempatnya datang kemarin. Kemarin? Pikirnya. Apakah itu benar-benar baru terjadi kemarin?

Seseorang menyenggol sikunya. Dia menoleh dan melihat Chuck sudah berada di sebelah lagi.

“Gimana keadaanmu, Anak-Bawang?” tanya Chuck.

“Baik,” sahutnya meskipun tak benar. Dia menunjuk ke arah pintu Kotak. “Kenapa semua orang kelihatan takut? Bukankah itu cara kalian semua tiba di sini?”

Chuck mengangkat bahu. “Aku tak tahu—kurasa itu biasanya terjadi berkala. Sekali dalam sebulan, setiap bulan, di hari yang sama. Barangkali siapa pun yang bertanggung jawab soal ini tersadar bahwa kau adalah sebuah kesalahan besar, dan mengirim seseorang untuk menggantikanmu.” Dia terkekeh seraya menyikut tulang iga Thomas, suara tawanya yang nyaring membuat Thomas bertambah menyukainya.

Thomas pura-pura menatap tajam teman barunya. “Kau ini menjengkelkan. Sungguh.”

“Ya, tapi kita sekarang berteman, kan?” Chuck kali ini benar-benar tergelak, hingga terbahak-bahak.

“Sepertinya kau tidak memberiku pilihan lain soal itu.” Namun, kenyataannya, dia membutuhkan teman, dan Chuck tampak cukup baik.

Anak itu melipat lengannya, terlihat sangat puas. “Senang malasah itu sudah diatasi, Anak-Bawang. Semua orang membutuhkan seorang teman di tempat ini.”

Thomas menarik bagian leher baju Chuck, berkelakar. “Oke, Teman, kalau begitu, panggil aku dengan namaku. Thomas. Atau aku akan melemparmu ke dalam lubang setelah Kotak itu pergi.” Kata-kata itu memunculkan pemikiran di kepalanya sehingga dia melepaskan Chuck. “Tunggu sebentar, pernahkah kalian—”

“Mencobanya,” Chuck memotong sebelum Thomas menyelesaikan perkataannya.

“Mencoba apa?”

“Turun dengan memasuki Kotak ketika selesai melakukan pengantaran,” jawab Chuck. “Tidak berhasil. Benda itu tidak akan turun hingga benar-benar kosong.”

Thomas teringat Alby pernah mengatakan hal itu. “Aku sudah tahu, tapi bagaimana jika—”

“Mencobanya.”

Thomas berusaha menahan diri untuk tidak mengerang—lama-kelamaan hal ini menjengkelkan. “Ya, ampun, kau ini susah sekali diajak bicara. Mencoba apa?”

“Turun melalui lubang setelah Kotak itu turun. Tidak bisa. Pintunya akan membuka, tapi di sana hanya ada kekosongan, kegelapan, tak ada apa pun. Tak ada tali, nihil. Tak bisa dilakukan.”

Bagaimana mungkin? “Apakah kau—”

“Mencobanya.”

Kali ini Thomas mengerang. “Oke, mencoba apa?”

“Kami melemparkan beberapa benda ke dalam lubang itu. Tak pernah terdengar mencapai dasarnya. Itu terjadi sudah sejak lama.”

Thomas diam sejenak sebelum menjawab, tidak ingin dipotong lagi. “Kau ini apa, sih, pembaca pikiran atau sejenisnya?” Dia mengucapkannya sesinis mungkin.

“Sangat cerdas, itu saja.” Chuck mengedipkan mata.

“Chuck, jangan pernah mengedipkan mata lagi kepadaku.” Thomas mengatakannya sambil tersenyum. Chuck memang agak menjengkelkan, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuat segala hal menjadi tak terlalu buruk. Thomas menarik napas panjang dan kembali memandang kerumunan di sekitar lubang. “Jadi, berapa lama pengantaran akan tiba di sini?”

“Biasanya membutuhkan waktu setengah jam setelah bunyi alarm.”

Thomas berpikir sesaat. Pasti ada cara yang belum pernah mereka coba. “Kau yakin tentang lubang itu? Apakah kalian pernah ....” Dia terdiam, berharap ada sanggahan, tetapi tidak terdengar. “Apakah kalian pernah mencoba menggunakan tali?”

“Ya, mereka pernah mencobanya. Dengan sulur tanaman ivy. Tali terpanjang yang pernah mereka buat. Bisa dibilang percobaan kecil itu tidak berjalan begitu baik.”

“Apa maksudmu?” Apa lagi sekarang? pikir Thomas.

“Aku tidak berada di sini waktu itu, tapi kudengar anak yang menjadi sukarelawan melakukannya baru turun sekitar tiga meter ketika sesuatu menebas di udara dan membelahnya menjadi dua.

“Apa?” Thomas tertawa. “Aku tak percaya itu sedikit pun.”

“Oh, ya, Anak-pintar? Aku pernah melihat tulang-tulangnya. Terpotong menjadi dua seperti pisau yang membelah krim. Mereka menyimpannya di dalam sebuah kotak untuk mengingatkan anak-anak setelahnya agar tak sebodoh itu.”

Thomas menunggu Chuck tersenyum atau tertawa, berpikir bahwa itu hanyalah gurauan—siapa yang pernah mendengar seseorang terbelah menjadi dua? Namun, yang ditunggu tak kunjung muncul. “Kau serius?”

Chuck balas menatapnya. “Aku tidak bohong, Anak-Ba—eh, Thomas. Ayo, kita ke sana dan lihat siapa yang datang. Aku tak percaya kau menjadi anak-bawang hanya dalam waktu sehari. Sungguh sial.”

Saat berjalan ke sana, Thomas melontarkan satu pertanyaan yang belum pernah diutarakan sebelumnya. “Bagaimana kau tahu ini bukan sekadar perbekalan atau semacamnya?”

“Alarm tidak akan berhenti jika itu terjadi,” jawab Chuck dengan ringan. “Bahan perbekalan datang pada waktu yang sama setiap minggu. He, lihat.” Chuck berhenti dan menunjuk seseorang di antara kerumunan. Dia Gally, menatap mereka dengan tajam.

“Sialan,” kata Chuck. “Dia tidak menyukaimu, Sobat.”

“Ya,” Thomas menggerutu. “Aku sudah tahu.” Dan, perasaannya juga sama.

Chuck menggamit Thomas dengan sikunya dan kedua anak itu kembali berjalan ke bagian pinggir kerumunan, kemudian menunggu tanpa berkata apa pun; Thomas sudah lupa semua pertanyaannya. Dia kehilangan minat berbicara setelah melihat Gally.

Akan tetapi, rupanya tidak dengan Chuck. “Kenapa kau tidak bertanya kepadanya ada masalah apa?” Dia mengusulkan, mencoba terdengar tegar.

Thomas ingin menganggap dirinya cukup berani, tetapi sepertinya itu adalah ide terburuk sepanjang sejarah saat ini. “Ya, salah satu alasannya, dia mempunyai lebih banyak sekutu daripada aku. Bukan orang yang tepat diajak berselisih.”

“Ya, tapi kau lebih pintar. Dan, aku berani bertaruh kau juga lebih gesit. Kau bisa mengatasinya dan teman-temannya.”

Salah seorang anak laki-laki yang berdiri di depan mereka menoleh ke belakang melalui bahunya, wajahnya tampak gusar.

Pasti salah satu teman Gally, pikir Thomas. “Bisa tutup mulut?” desisnya kepada Chuck.

Terdebgar suara pintu menutup di belakang mereka. Thomas berbalik dan melihat Alby serta Newt berjalan keluar dari Wisma. Mereka berdua tampak lelah.

Melihat mereka membuat Thomas teringat kembali kepada Ben—termasuk gambaran mengerikan dirinya yang menggeliat kesakitan di atas tempat tidur. “He, Chuck, kau harus memberitahuku mengenai Perubahan ini. apa yang mereka lakukan di sana terhadap Ben yang malang itu?”

Chuck mengangkat bahu. “Tak tahu persisnya. Griever melakukan hal buruk terhadapmu, membuat seluruh tubuhmu mengalami hal yang sangat mengerikan. Saat semuanya selesai, kau akan menjadi ... berbeda.”

Thomas akhirnya merasa melihat kesempatan mendapat jawaban yang utuh. “Berbeda? Apa maksudmu? Dan, apa hubungannya dengan Griever? Inikah yang dimaksud Gally dengan ‘disengat’?”

“Ssst.” Chuck meletakkan jarinya di depan bibirnya.

Thomas nyaris berteriak karena frustrasi, tetapi dia menahan diri. Dia bertekad akan membuat Chuck mengatakannya nanti, entah anak itu mau atau tidak.

Alby dan Newt telah sampai di kerumunan dan menerobos ke paling depan, berdiri tepat di depan pintu yang akan membuka ke Kotak. Semua orang tak bersuara, dan untuk kali pertama, Thomas memperhatikan suara rantai lift berkerencang dan berderit naik, mengingatkannya akan mimpi buruknya sendiri yang menyeramkan sehari sebelumnya. Kesedihan menyelimuti dirinya, hampir seperti dia mengalami kembali saat-saat mengerikan ketika terbangun di kegelapan ingatannya yang hilang. Dia merasa kasihan kepada anak baru ini karena melalui hal yang sama.

Terdengar suara benturan yang teredam, menandakan lift aneh itu telah tiba.

Thomas mengawasi saat Newt dan Alby mengambil posisi di hadapan pintu lift—sebuah celah tepat di bagian tengahnya. Terdapat pegangan pintu melekat di kedua sisinya, dan bersama-sama kedua anak laki-laki itu menyentakkannya hingga membuka. Dengan bunyi logam berkeriut kedua daun pintu itu membuka, dan debu dari bebatuan di sekitarnya mengepul ke udara.

Seluruh Glader tak bersuara. Ketika Newt mencondongkan tubuhnya untuk melihat lebih jelas lagi ke dalam Kotak, suara samar-samar kambing mengembik di kejauhan bergema hingga ke lapangan. Thomas berusaha menjulurkan kepalanya sejauh mungkin, berharap dapat melihat sang pendatang baru.

Dengan sentakan terkejut Newt menarik tubuhnya lagi ke posisi semula, wajahnya berkerut bingung. “Demi ....” Dia tersentak, menoleh ke sekitarnya dengan heran.

Saat itu pula, Alby juga dapat melihat dengan jelas, dengan reaksi yang sama. “Tidak mungkin,” gumamnya, nyaris seoerti tak sadar.

Gelombang suara bertanya-tanya memenuhi udara ketika semua anak mulai mendesak maju untuk melihat pintu kecil yang terbuka itu. Apa yang mereka lihat di dalamnya? Thomas penasaran. Apa yang mereka lihat! Dia selintas merasa ketakutan, sama seperti yang dialaminya pada pagi hari ketika dia melangkah ke jendela untuk melihat Griever.

“Tunggu!” Alby berteriak, membuat semua anak terdiam. “Tunggu dulu!”

“Nah, ada masalah apa?” seseorang balik berteriak.

Alby berdiri tegak. “Dua Anggota Baru dalam dua hari,” katanya, nyaris berbisik. “Kejadian saat ini. selama dua tahun, tidak ada yang berbeda, sekarang ini terjadi.” Lalu, karena alasan tertentu, dia menatap Thomas lurus-lurus. “A[a yang terjadi, Anak-Bawang?”

Thomas balas memandangnya, kebingungan, wajahnya memerah, keberaniannya  menciut. “Bagaimana mungkin aku tahu?”

“Kenapa kau tidak memberi tahu saja kepada kami apa yang ada di dalam sana, Alby?” serua Gally. Terdengar lebih banyak gumaman dan desakan kerumunan yang bergerak maju.

“Kalian semua diam!” bentak Alby. “Beri tahu mereka, Newt.”

Newt memandang ke dalam Kotak di bawah sekali lagi, kemudian memalingkan wajah ke arah kerumunan, dengan sikap kaku.

“Dia anak perempuan,” katanya.

Semua orang sontak berbicara bersamaan. Thomas hanya mendengar beberapa potong komentar di sana sini.

“Anak perempuan?”

“Aku mau lihat lebih dulu!”

“Seperti apa dia?”

“Berapa umurnya?”

Thomas tenggelam di antara gelombang kebingungan. Seorang anak perempuan? Dia bahkan belum memikirkan mengapa hanya ada anak laki-laki di Glade, tanpa seorang pun anak perempuan. Tak ada kesempatan untuk memperhatikannya, sebenarnya. Siapa dia? dia bertanya-tanya. Mengapa—

Newt kembali berdesis menyuruh diam. “Dia pucat sekali,” katanya, kemudian menunjuk ke dalam Kotak. “Kurasa dia sudah mati.”


Beberapa anak laki-laki mengambil gulungan tali yang terbuat dari rangkaian tanaman ivy dan menurunkan Alby dan Newt ke dalam Kotak agar mereka dapat mengambil tubuh anak perempuan itu. Suasana muram dan terkejut melanda sebagian besar Glader, yang ditandai dengan wajah-wajah berduka, mereka menendangi batu-batu, dan tak banyak berbicara. Tak seorang pun berani mengakui bahwa mereka tak sabar lagi ingin melihat anak perempuan itu, tetapi Thomas menduga mereka semua sama penasarannya seperti dirinya.

Gally adalah salah seorang anak yang memegang ujung tali, siap untuk mengangkat anak perempuan itu, Alby, dan Newt keluar dari Kotak. Thomas mengawasinya lekat-lekat. Matanya diselimuti sesuatu yang gelap—hampir seperti daya tarik kuat yang membuat ngeri. Gambaran yang mendadak membuat Thomas merasa lebih takut kepadanya daripada beberapa menit sebelumnya.

Dari kedalaman lorong terdengar suara Alby menandakan bahwa mereka siap, dan Gally beserta beberapa anak lainnya mulai menarik tali. Dengan beberapa dengusan berikutnya tubuh lunglai gadis itu berhasil ditarik keluar, melewati tepi pintu, kemudian ke atas lantai baru yang tersusun di permukaan Glade. Semua orang seketika berlari maju, membentuk kerumunan rapat di sekeliling gadis itu, kegemparan memnuhi udara. Namun, Thomas tetap berdiri di tempatnya. Keheningan sebelumnya membuatnya merasa seram, seolah mereka telah membuka sebuah makam baru.

Meskipun penasaran, Thomas tidak bersusah payah mencoba maju untuk melihatnya—kerumunan anak di depannya terlalu padat. Namun, dia sempat melihat sekilas anak perempuan itu sebelum tertutup oleh kerumunan. Gadis itu kurus, tetapi tak terlalu kecil. Tingginya mungkin sekitar satu setengah meter,  menurut perkiraannya. Umurnya kira-kira lima belas atau enam belas tahun, dan rambutnya berwarna hitam legam. Namun, hal yang paling menarik perhatiannya adalah kulit gadis itu; pucat, seputih permata.

Newt dan Alby merayap naik keluar dari Kotak setelahnya, kemudian bergegas menghampiri tubuh tak bergerak gadis itu, kerumunan bergerak memberi jalan dan menghalangi pandangan Thomas. Hanya beberapa detik kemudian, kerumunan itu membuka lagi, dan Newt langsung menunjuk Thomas.

“Anak-Bawang, kemari,” katanya, tanpa berusaha bersikap sopan.

Jantung Thomas seolah melompat hingga ke tenggorokannya; tangannya mulai berkeringat. Untuk apa menginginkan dirinya? Segalanya kini kian buruk dan memburuk. Dia memaksa dirinya sendiri berjalan maju, mencoba terlihat polos tanpa bersikap seperti orang yang bersalah, tetapi mencoba bertingkah seolah tanpa dosa. Oh, tenanglah, katanya kepada dirinya sendiri. Kau belum melakukan suatu kesalahan. Namun, dia memiliki perasaan aneh bahwa mungkin dia sempat berbuat salah, tetapi tak menyadarinya.

Barisan anak laki-laki yang memberi jalan menuju Newt dan anak perempuan itu memandanginya saat dia lewat, seolah-olah dialah yang bertanggung jawab atas segala kekacauan di Maze, juga terhadap Glade dan Griever. Thomas menghindari tatapan mata semua anak, takut tampak bersalah.

Dia mendekati Newt dan Alby, yang sedang berlutut di sebelah anak perempuan itu. Thomas, tak ingin bertemu pandangan dengan mereka, memusatkan perhatiannya kepada gadis itu. Meskipun tampak pucat, dia terlihat sangat manis. Lebih dari manis. Cantik. Rambutnya tampak sehalus sutra, kulitnya mulus, bibir sempurna, dan berkaki jenjang. Hatinya merasa nyeri karena memikirkan hal itu terhadap seorang anak perempuan yang sudah mati, tetapi dia tak mampu mengalihkan pandangan. Dia tak akan seperti itu tak lama lagi, pikirnya dengan lambung terasa mual. Dia akan mulai membusuk sebentar lagi. Anak itu terkejut dengan pemikirannya sendiri yang sangat mengerikan itu.

“Kau mengenal gadis ini, Bocah?” tanya Alby, terdengar gusar.

Thomas terkejut mendengar pertanyaan itu. “Mengenalnya? Tentu saja aku tidak mengenalnya. Aku tidak kenal siapa pun. Kecuali kalian.”

“Itu tidak ....” Alby mulai berbicara, tetapi berhenti dengan desahan putus asa. “Maksudku, apakah dia terlihat tak asing bagimu? Adakah semacam perasaan bahwa kau pernah melihatnya sebelumnya?”

“Tidak. Tidak ingat.” Thomas beringsut, menunduk menatap kakinya, kemudian ke gadis itu lagi.

Dahi Alby berkerut. “Kau yakin?” Sepertinya dia tak percaya pekataan Thomas, hingga nyaris marah.

Bagaimana mungkin dia berpikir aku berkaitan dengan semua ini? pikir Thomas. Dia membalas tatapan Alby dan menyahut dengan satu-satunya jawaban yang dia tahu. “Ya. Kenapa?”

“Sialan,” gerutu Alby, kembali memandang anak perempuan itu. “Tidak mungkin kebetulan belaka. Dua hari, dua Anak-Bawang, satu hidup, dan satu mati.”

Kemudian, kata-kata Alby mulai terdengar masuk akal dan kepanikan melanda Thomas. “Kau tak berpikir bahwa aku ....” Dia tak mampu menyelesaikan kata-katanya.

“Tenang, Anak-Bawang,” kata Newt. “Kami tak bilang kalau kau yang membunuh gadis ini.”

Pikiran Thomas berputar. Dia yakin tak pernah melihat gadis itu sebelumnya—tetapi kemudian selintas keraguan merasuki pikirannya. “Aku bersumpah dia terlihat asing bagiku,” akhirnya dia menjawab. Sudah terlalu banyyak tuduhan yang menimpanya.

“Apakah kau—”

Sebelum Newt selesai berbicara, tiba-tiba anak perempuan itu bangkit ke posisi duduk. Saat dia menarik napas panjang, matanya membuka dan dia mengerjap, memandang ke kerumunan yang mengelilinginya. Alby menjerit dan terjengkang ke belakang. Newt tersentak dan terlonjak, terhuyung-huyung menjauh dari anak perempuan itu. Thomas tak bergerak, pandangannya terpaku kepada gadis itu, membeku ketakutan.

Matanya yang biru terang bergerak-gerak saat anak itu beberapa kali menarik napas panjang. Bibirnya yang merah muda bergetar saat dia mengocehkan rentetan kalimat yang tak dimengerti. Kemudian, dia mengatakan satu kalimat—suaranya terdengar bergaung dan menyeramkan, tetapi jernih.

Segalanya akan berubah.

Thomas menatap tak mengerti ketika bola mata gadis itu kembali berputar dan dia kembali terjatuh ke tanah. Genggaman tangan kanannya teracung ke udara saat tubuhnya membentur tanah, dan tetap teracung saat anak itu menjadi kaku, menunjuk ke langit. Segumpal kertas tergenggam di tangannya.

Thomas mencoba menelan ludah, tetapi mulutnya terlalu kering. Newt berlari maju dan membuka lipatan jemari gadis itu, merenggut kertas yang digenggamnya. Dengan tangan gemetar dia membukanya, kemudian berlutut, membentangkan kertas itu di permukaan tanah. Thomas beranjak ke belakangnya untuk melihatnya.

Sebuah tulisan dengan tinta hitam yang acak-acakan di atas kertas itu terdiri atas lima kata:

Dia yang terakhir.

Untuk selamanya.[]


No comments:

Post a Comment