The Maze Runner (The Maze Runner #1) (11)

Penulis: James Dashner

11


SEPERTINYA Ben hanya pulih sedikit sejak Thomas melihatnya di Wisma. Dia hanya mengenakan celana pendek, kulitnya yang lebih putih-dari-warna-putih membalut tulang-tulangnya seperti selembar kain membalut erat seikat galah. Pembuluh-pembuluh darah menjalari seluruh tubuhnya, berdenyut dan berwarna hijau—tetapi tidak begitu nyata seperti kemarin. Matanya yang merah darah memandang Thomas seolah dia melihat calon santapannya.

Ben membungkuk, siap menyerang kembali. Sebilah belati kini tampak tergenggam di tangan kanannya. Thomas merasakan ketakutan yang memuncak, tak percaya dengan kejadian yang dialaminya.

Ben!

Thomas menoleh ke sumber suara, terkejut melihat Alby berdiri di tepi pemakaman, hanya terlihat sebagai bayangan di sinar yang mulai berkurang. Kelegaan membanjiri tubuh Thomas—Alby memegang sebuah busur besar, sebatang anak panah teracung siap membunuh, terarah tepat ke Ben.

“Ben,” ulang Alby. “Berhenti sekarang juga, atau kau tidak akan hidup sampai besok.”

Thomas menoleh kembali kepada Ben, yang memandang Alby dengan licik, lidahnya terjulur membasahi bibirnya. Ada masalah apa dengan anak ini? pikir Thomas. Anak itu telah berubah menjadi monster. Kenapa?

“Kalau kau membunuhku,” Ben memekik, ludah berhamburan dari mulutnya, cukup jauh hingga mengenai wajah Thomas, “kau membunuh orang yang salah.” Dia kembali menatap Thomas. “Dialah anak yang ingin kau bunuh.” Suaranya penuh dengan kegilaan.

“Jangan bodoh, Ben,” kata Alby, suaranya tenang dengan tetap membidik anak panahnya. “Thomas baru tiba di sini—tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kau masih terganggu karena Perubahan. Kau seharusnya tak meninggalkan pembaringanmu.”

“Dia bukan salah seorang dari kita!” teriak Ben. “Aku melihatnya—dia ... dia jahat. Kita harus membunuhnya! Biarkan aku menghabiskannya!”

Thomas tak sadar terhuyung mundur, merasa ngeri mendengar kata-kata Ben. Apa maksudnya, dia pernah melihatnya? Kenapa dia berpikir bahwa Thomas jahat?

Alby belum menggerakkan senjatanya sedikit pun, tetap membidik Ben. “Serahkan urusan itu kepadaku dan para Pengawas, Bodoh.” Kedua tangannya tampak mantap memegang busur, seakan-akan dia bersandar pada sebuah dahan sebagai penopang. “Sekarang, singkirkan badan kurusmu itu dan kembalilah ke Wisma.”

“Dia akan membawa kita pulang,” kata Ben. “Dia akan membawa kita semua keluar dari Maze. Lebih baik kita semua melompat dari Tebing! Lebih baik kita saling membunuh!”

“Apa yang kkau bicarakan—” Thomas mencoba menyela.

“Diam kau!” bentak Ben. “Tutup mulut-pengkhianatanmu itu!”

“Ben,” kata Alby tenang. “Aku akan menghitung sampai tiga.”

“Dia jahat, dia jahat, dia jahat ...,” Ben kini berbisik, nyaris berirama. Tubuhnya berayun-ayun, melempar belati berpindah-pindah dari kedua tangannya, matanya tepancang kepada Thomas.

“Satu.”

“Jahat, jahat, jahat, jahat, jahat ....” Ben tersenyum, barisan giginya seperti berkilau, kehijauan di bawah cahaya yang memudar.

Thomas ingin berbalik, pergi dari sini. Namun, dia tak sanggup bergerak. Dia terlalu terpukau, terlalu ketakutan.

“Dua.” Suara Alby mengeras, bernada mengancam.

“Ben,” kata Thomas, mencoba menjelaskan. “Aku bukan ... aku bahkan tidak tahu—”

Ben berteriak, melengking penuh kemurkaan, dan melompat di udara, mengibaskan belatinya.

Tiga!” teriak Alby.

Terdengar bunyi dawai melenting. Suara benda memelesat membelah udara. Bunyi jleb yang membuat ngilu terdengar ketika ia menemukan sasarannya.

Kepala Ben terentak dengan keras ke kiri, memutar tubuhnya hingga dia mendarat ke tanah di atas lambungnya, kakinya terarah kepada Thomas. Anak itu tak mengeluarkan suara.

Thomas terlonjak dan kemudian maju terhuyung-huyung. Tangkai anak panah yang panjang telah menembus pipi Ben, darah yang keluar tak sebanyak yang diperkirakan Thomas, tetapi tetap merembes keluar. Tampak hitam di kegelapan, mirip minyak. Satu-satunya gerakan berasal dari jari manis kanan Ben yang berkedut. Thomas melawan dorongan untuk muntah. Apakah Ben mati karenanya? Apakah ini salahnya?

“Ayo,” kata Alby. “Para Pemungut akan mengurus dia besok.”

Apa yang sedang terjadi di sini? Pikir Thomas, dunia seperti berputar saat dia memandang tubuh tak bernyawa itu, Apa yang pernah kulakukan pada anak ini?

Dia mengangkat wajah, menginginkan jawaban, tetapi Alby telah pergi, dahan-dahan yang bergoyang adalah satu-satunya tanda bahwa dia tadinya berdiri di sana.


Thomas memicingkan mata ketika bertemu sinar matahari yang membutakan saat dia keluar dari hutan. Dia berjalan terpincang-pincang, pergelangan kakinya nyeri, meskipun dia tak ingat sebabnya. Salah satu tangannya dengan hati-hati memegangi tempat dia digigit tadi, dan tangan yang satu lagi meremas perutnya seolah-olah itu dapat mencegah perasaan ingin muntahnya yang kini tak dapat dihindari. Gambaran kepala Ben muncul di benaknya, tersentak ke arah yang tak wajar, darah mengaliri anak panah hingga terkumpul, menetes, berceceran di tanah ....

Itu gambaran terakhir yang mampu diingatnya.

Dia jatuh berlutut di sebelah salah satu pohon meranggas di tepi hutan dan muntah, terbatuk-batuk dan meludahkan setiap rasa masam dan menjijikkan dari isi perutnya. Seluruh tubuhnya gemetar, dan sepertinya muntah isi perutnya. Seluruh tubuhnya gemetar, dan sepertinya muntah ini tidak akan berakhir.

Dan kemudian, seolah otaknya mengolok-oloknya, mencoba membuatnya lebih buruk, sebuah pemikiran terlintas.

Dia sejauh ini telah berada di Glade selama 24 jam. Satu hari penuh. Baru sebentar. Dan, dia sudah melihat semua hal ini. Semua hal mengerikan.


Semoga saja semua itu dapat menjadi lebih baik.



Malam itu, Thomas berbaring telentang menatap langit yang berkelap-kelip, mengira-ngira apakah dia tak pernah sanggup tidur lagi. Setiap kali dia memejamkan mata, bayangan raksasa Ben menerjangnya, ekspresi wajah anak itu penuh kegilaan, memenuhi pikirannya. Entah dengan mata terbuka atau tidak, dia bersumpah masih dapat mendengar suara benturan lembap dari anak panah menembus pipi Ben.

Thomas tahu dia tidak akan dapat melupakan menit-menit mengerikan di pemakaman itu.

“Tolong katakan sesuatu,” kata Chuck untuk kali kelima sejak mereka membentangkan kantong tidur.

“Tidak,” jawab Thomas, seperti sebelumnya.

“Semua orang tahu apa yang telah terjadi. Hal semacam itu kadang terjadi satu atau dua kali—beberapa korban-sengatan-Griever menggila dan menyerang semua orang. Tidak usah menganggap dirimu spesial.”

Untuk kali pertama, Thomas berpikir bahwa kepribadian Chuck telah berubah dari setengah menjengkelkan menjadi tak tertahankan. “Chuck, untung aku sedang tidak membawa busur milik Alby sekarang.”

“Aku hanya berusaha—”

“Tutup mulutmu, Chuck. Pergilah tidur sana.” Thomas tak sanggup lagi menahannya.

Tak lama kemudian, “teman”-nya akhirnya tertidur, dan berdasarkan suara-suara dengkur yang berasal dari Glade, sepertinya semua orang juga telah terlelap. Berjam-jam kemudian, larut malam, hanya Thomas yang masih terjaga. Dia ingin menangis, tetapi tidak melakukannya. Dia ingin menemukan Alby dan meninjunya, entah dengan alasan apa, tetapi tetap bergeming. Dia ingin berteriak, menendang, meludah, dan membuka Kotak serta melompat ke kegelapan di bawahnya. Namun, dia juga tak melakukannya.

Dia memejamkan mata dan berusaha mengusir pikiran-pikiran dan gambaran-gambaran suram itu dan akhirnya tertidur.


Chuck harus menyeret Thomas keluar dari kantong tidurnya pada keesokan paginya, menyeretnya ke bawah air pancuran, lalu menyeretnya ke kamar ganti. Sepanjang waktu, Thomas merasa hampa dan tak peduli, kepalanya berdenyut-denyut, tubuhnya menjerit menginginkan lebih banyak waktu tidur. Sarapan dilaluinya begitu saja, dan satu jam setelahnya Thomas tak mampu mengingat makanan yang disantapnya. Dia merasa sangat lelah, otaknya seakan-akan dimasuki seseorang yang menusuk tengkoraknya belasan kali di beberapa tempat. Rasa panas lambungnya membakar dadanya.

Akan tetapi, dia melihat orang-orang yang tadinya tidur telah mulai bekerja di ladang-ladang besar di Glade.

Dia berdiri dengan Newt di baris terdeoan gudang Tumah Darah, bersiap untuk sesi latihan pertamanya dengan seorang Pengawas. Meskipun melewati pagi yang berat, Thomas merasa sangat antusias untuk mengetahui lebih banyak, dan kesempatan untuk mengalihkan pikirannya dari Ben dan tempat pemakaman itu. Sapi-sapi melenguh,  domba-domba mengembik, babi-babi menguik di sekelilingnya. Tak jauh darinya, seekor anjing menyalak, membuat Thomas berharap Frypan tidak membawa arti baru dari kata hot dog. Hot dog, pikirnya. Kapan kali terakhir aku memakan hot dog? Bersama dengan siapa aku saat memakannya?

“Tommy, kau ini mendengarkanku atau tidak?”

Thomas tersentak dari lamunannya dan memusatkan perhatian kembali kepada Newt, yang entah sudah berapa lama mengoceh. Thomas tak menangkap satu pun kata yang diucapkannya. “Ya, maaf. Aku tak bisa tidur semalam.”

Newt memaksakan sebuah senyum mengasihani. “Tidak heran. Kau baru saja berurusan dengan anak penyerang itu. Kau mungkin berpikir aku bodoh karena menyuruhmu bekerja hari ini setelah kejadian seperti itu.”

Thomas mengangkat bahu. “Pekerjaan mungkin hal terbaik yang bisa kulakukan. Apa pun untuk mengalihkan pikiranku dari hal itu.”

Newt mengangguk, dan senyumnya terlihat lebih tulus. “Kau sepintar seperti kelihatannya, Thommy. Itulah salah satu alasan kami menjalankan tempat ini dengan menyenangkan dan tampak sibuk. Kalau kau malas, kau akan merasa sedih. Mulai putus asa. Sederhana dan mudah.”

Thomas mengangguk, acuh tak acuh menendang sebuah kerikil menyeberangi lantai tanah lapang Glade yang retak-retak dan berdebu. “Jadi, bagaimana kabar terakhir gadis yang kemarin?” Jika ada hal lain yang mampu menembus kabut kemuramannya pagi itu, hal itu adalah pikiran-pikirannya tentang anak perempuan itu. Dia ingin tahu lebih banyak tentangnya, memahami keterkaitan yang ganjil yang dirasakannya terhadap gadis itu.

“Masih koma, tidur. Anak-medis menyuapinya dengan sup yang mampu dibuat Frypan, memeriksa organ-organ utamanya, dan sebagainya. Dia kelihatannya baik-baik saja, hanya sekarang tak sadarkan diri.”

“Itu juga sangat aneh.” Jika bukan melulu karena peristiwa Ben di pemakaman, Thomas yakin dia hanya akan memikirkan anak perempuan itu semalam. Mungkin dia tak akan bisa tidur karena alasan yang sama sekali berbeda. Dia ingin mengetahui siapa gadis itu dan apakah dia benar-benar mengenalnya.

“Ya,” kata Newt. “Aneh adalah kata yang bagus, kayaknya.”

Thomas memandang melewati bahu Newt ke arah gudang besar yang berwarna merah pudar, menyingkirkan pemikiran tentang gadis itu. “Jadi, apa yang lebih dulu? Memerah susu sapi atau menyembelih beberapa anak babi malang?”

Newt tertawa, Thomas tersadar suara tawa itu jarang sekali didengarnya sejak dia datang. “Kami selalu membuat Anggota-Anggota Baru memulai dengan tugas Pencincang. Jangan khawatir, itu tidak termasuk membantu memotong-motong makan Frypan. Pencincang melakukan apa pun dan segala yang berhubungan dengan binatang.”

“Sayang aku tak bisa mengingat seluruh kehidupanku. Mungkin aku suka membunuh hewan-hewan.” Thomas hanya bercanda, tetapi tampaknya Newt tak mengerti.

Newt menunjuk ke gudang. “Oh, kau akan tahu seberapa baik dan ahlinya dirimu saat matahari terbenam malam ini. Ayo kita temui Winston—dia Pengawasnya.”


Winston adalah seorang anak dengan wajah penuh jerawat, pendek tetapi kekar, dan menurut penglihatan Thomas, Pengawas itu terlalu mencintai pekerjaannya. Mungkin dia dikirim ke tempat ini karena menjadi pembunuh berantai, pikirnya.

Winston mengajak Thomas berkeliling selama satu jam pertama, menunjukkan kandang-kandang dengan masing-masing jenis binatang di dalamnya, tempat ayam-ayam dan kalkun, semua yang lalu-lalang di dalam gudang. Seekor anjing berbulu hitam legam bernama Bark, yang terlalu gesit untuk Thomas, menempel di kakinya sepanjang tur. Bertanya-tanya mengenai asal hewan itu, Thomas bertanya kepada Winston, yang hanya mengatakan bahwa Bark memang selalu ada di situ. Untungnya, ia diberi nama itu hanya sebagai gusauan karena ia cukup pendiam—Bark berarti menyalak.

Sejam berikutnya diisi dengan bekerja mengurus hewan-hewan pertanian—memberi makan, bersih-bersih, membetulkan pagar kandang, mengangkut Plung. Plung. Kotoran. Thomas menyadari dirinya semakin sering menggunakan istilah Glader.


Jam ketiga adalah saat terberat bagi Thomas. Dia harus mengawasi Winston menyembelih seekor babi dan mulai menyiapkan bagian-bagiannya untuk dimakan kemudian. Thomas bersumpah tentang dua hal saat dia keluar untuk istirahat makan siang. Yang pertama, dia tak ingin pekerjaan yang berhubungan dengan hewan-hewan. Kedua, dia tidak akan pernah lagi memakan sesuatu yang berasal dari babi.

Winston menyuruhnya untuk pergi sendiri, karena dia akan tetap berada di sekitar Rumah Darah, yang tak menjadi masalah bagi Thomas. Ketika berjalan menuju Pintu Timur, dia tak mampu berhenti membayangkan Winston di salah satu sudut gelap gudang, mencacah kaki-kaki babi. Anak itu membuat Thomas merasa gelisah.

Thomas baru saja melewati Kotak ketika dia terkejut melihat seseorang memasuki Glade dari arah Maze, melalui Pintu Barat, di sebelah kirinya—seorang anak berwajah Asia dengan lengan kokoh dan berambut hitam pendek, yang sepertinya agak lebih tua daripada Thomas. Pelari itu berhenti setelah tiga langkah masuk, kemudian membungkuk dan meletakkan kedua tangannya ke lutut, terengah-engah. Dia seolah-olah baru saja berlari tiga puluh kilometer, wajahnya merah padam, keringat membanjiri kulitnya, bajunya basah kuyup.

Thomas memandanginya, diselimuti rasa ingin tahu—dia belum pernah melihat seorang Pelari begitu dekat ataupun berbicara dengannya. Lagi pula, beberapa hari terakhir ini, Pelari itu pulang beberapa jam lebih awal. Thomas melangkah maju, sangat ingin menemuinya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.


Akan tetapi, sebelum dia sempat menyusun kalimat, anak laki-laki itu roboh ke tanah.[]


No comments:

Post a Comment