The Maze Runner (The Maze Runner #1) (9)

Penulis: James Dashner

9


KEHENINGAN yang ganjil menggantung di seluruh Glade. Seolah angin gaib melintas dan menelan semua suara. Newt telah membacakan dengan keras isi pesan tersebut kepada anak-anak yang tak dapat melihat kertas itu, tetapi alih-alih gaduh karena kebingungan, semua Glader hanya berdiri tercengang.

Thomas sudah mengharapkan adanya teriakan, lontaran pertanyaan, atau perdebatan. Namun, tak seorang pun berkata-kata; semua mata terpaku kepada gadis itu, yang terbaring di sana seolah-olah sedang tertidur, dadanya naik dan turun dengan napas perlahan. Berlawanan dengan pendapat mereka pada awalnya, gadis itu sangat terlihat hidup.

Newt berdiri, dan Thomas mengharapkan adanya penjelasan, pertimbangan, sesuatu yang menenangkan. Namun, yang dia lakukan hanyalah meremas kertas pesan itu dalam genggamannya, urat-urat  nadinya bertonjolan saat dia melakukannya, dan jantung Thomas mencelus. Dia tak tahu pasti sebabnya, tetapi situasi ini membuatnya gelisah.

Alby membentuk corong di mulutnya dengan kedua tangannya. “Anak-anak medis!”

Thomas tak tahu apa arti kata itu—dia ingat pernah mendengarnya sebelumnya—tetapi kemudian mendadak dia terdorong ke samping. Dua anak laki-laki yang lebih tua menerobos kerumunan—salah seorangnya bertubuh tinggi dengan potongan rambut sangat cepak, hidungnya seukuran buah lemon besar. Yang seorang lagi berbadan pendek dan helai-helai rambut di sisi kepalanya mulai kelabu di antara hitam. Thomas hanya berharap mereka akan mendapat penjelasan dari semua ini.

“Jadi, apa yang akan kita lakukan dengan anak perempuan ini?” tanya anak yang lebih tinggi, suaranya jauh lebih melengking daripada yang diperkirakan Thomas.

“Mana aku tahu?” kata Alby. “Kalian berdualah yang Anak-medis—selidikilah!”

Anak-medis, ulang Thomas di kepalanya, mulai paham. Mereka pasti semcam dokter yang ada di tempat ini. Anak yang bertubuh pendek telah berlutut di sisi gadis itu, meraba denyut nadinya dan mendengarkan detak jantungnya.

“Siapa yang bilang Clint boleh menyentuhnya kali pertama?” seseorang berteriak dari kerumunan. Terdengar gelak tawa di beberapa tempat. “Aku yang selanjutnya!”

Bagaimana mungkin mereka bercanda seperti itu? Pikir Thomas. Anak perempuan itu hampir mati. Thomas merasa nyeri.

Kedua mata Alby menyipit, mulutnya menyeringai tanpa ada tanda sedang bergurau. “Siapa pun yang menyentuh gadis ini,” kata Alby, “kalian akan menghabiskan sepanjang malam bersama Griever di dalam Maze. Dibuang, tanpa interogasi.” Dia terdiam, memalingkan wajah perlahan seakan-akan ingin semua orang menatapnya. “Jadi, tak ada yang boleh menyentuhnya! Tak seorang pun!”

Ini adalah kali pertama Thomas senang mendengar perkataan yang keluar dari mulut Alby.

Anak laki-laki bertubuh pendek yang disebut sebagai Anak-medi—Clint, jika anak yang menyebutnya tadi benar—berdiri setelah selesai memeriksa. “Sepertinya dia baik-baik saja. Dugaanmu sama denganku, tapi menurutku dia mengalami koma. Jeff, ayo kita bawa dia ke Wisma.”

Rekannya, Jeff, maju dan meraih lengan gadis itu, sementara Clint memegangi kakinya. Thomas berharap dia dapat berbuat lebih daripada sekadar menonton—dan saat detik demi detik berlalu, dia semakin ragu bahwa yang dikatakannya sebelumnya adalah benar. Anak perempuan itu memang tampak tak asing baginya; dia merasa ada kaitan dengannya meskipun sama sekali tak terbayang seperti apa bentuknya. Pemikiran itu membuat Thomas gugup, dan dia menoleh ke kanan dan kiri, seolah-olah ada orang yang mungkin membawa isi kepalanya.

“Di hitungan ketiga,” Jeff, Anak-medis yang bertubuh lebih tinggi, berkata, sosoknya yang jangkung tampak menggelikan saat separuh membungkuk, seperti seekor belalang sembah. Yang sedang berdoa. “Satu ... dua ... tiga!”

Mereka mengangkat anak perempuan itu dengan sekali entakan, hampir melontarkannya ke udara—jelas dia jauh lebih ringan daripada yang diperkirakan keduanya—dan Thomas nyaris berteriak kepada mereka agar lebih berhati-hati.

“Kita akan segera tahu maksud kedatangannya,” kata Jeff. “Kita dapat memberinya makanan hangat jika ia tak segera bangun.”

“Awasi dia dengan ketat,” ujar Newt. “Pasti ada sesuatu yang spesial tentang gadis ini atau mereka tidak akan mengirimnya kemari.”

Thomas tercekat. Dia tahu bahwa dia dan gadis itu entah bagaimana mempunyai keterkaitan. Kedatangan mereka berselisih sehari, gadis itu tampak tak asing, sepanjang waktu dia merasakan dorongan untuk menjadi seorang Pelari alih-alih memecahkan begitu banyak kejadian mengerikan ini .... Apa arti semua ini?

Alby memandang wajah gadis itu dari dekat sekali lagi sebelum mereka membawanya. “Letakkan dia di sebelah kamar Ben, dan terus awasi dia siang dan malam. Aku harus tahu setiap perkembangannya. Aku tak peduli jika dia mengigau atau terbangun—kalian harus beri tahu aku.”

“Ya,” gumam Jeff, kemudian dia dan Clint berjalan menuju Wisma, tubuh anak perempuan itu melambung-lambung saat mereka pergi, dan para Glader yang lain akhirnya mulai membicarakannya, suara-suara memenuhi udara mengemukakan berbagai teori.

Thomas mengawasi semua ini dalam diam. Perasaan terhubung itu bukan hanya dirasakan olehnya. Beberapa kali tuduhan-tanpa-basa-basi yang diterimanya beberapa menit sebelumnya membuktikan bahwa anak-anak lain juga mencuriagai sesuatu, tetapi apa? Dirinya sudah merasa sangat bingung—dan disalahkan pada sekian banyak hal membuat perasaannya kian buruk. Seakan membaca pikirannya, Alby mendekatinya dan mencengkeram pundaknya.

“Kau belum pernah bertemu dengannya?” dia bertanya.

Thomas sejenak diam sebelum menjawab, “Belum ... bukan, aku tak ingat.” Dia berharap suaranya yang gemetar tidak membocorkan keraguannya. Bagaimana jika dia entah bagaimana memang mengenal anak perempuan itu? Lantas, apa maknanya?

“Kau yakin?” desak Newt, berdiri teppat di samping Alby.

“Aku ... tidak, kurasa tidak. Kenapa kau terus memaksaku seperti ini?” Yang sangat diinginkan Thomas saat ini adalah agar malam segera tiba sehingga dia dapat kembali menyendiri dan pergi tidur.

Alby menggelengkan kepala, kemudian menoleh kepada Newt, melepaskan cengkeramannya di bahu Thomas. “Ini masalah besar. Adakan Pertemuan.”

Dia mengucapkannya cukup pelan sehingga Thomas merasa tidak ada yang mendengarnya, tetapi kata itu terdengar tak menyenangkan. Kemudian sang pemimpin dan Newt berlalu, dan Thomas merasa lega melihat Chuck menghampirinya.

“Chuck, apa itu Pertemuan?”

Anak itu tampak bangga karena mengetahui jawabannya. “Acara berkumpulnya para Pengawas—mereka hanya mengadakan acara itu jika sesuatu yang aneh atau buruk terjadi.”

“Ya, kurasa peristiwa hari ini cukup sesuai dengan kedua alasan itu. Perut Thomas berkeriuk, memutus pemikirannya. “Aku belum menghabiskan sarapanku—bisakah kita mencari makanan? Aku kelaparan.”

Chuck memandangnya, menaikkan kedua alisnya. “Hanya karena melihat anak perempuan manis itu bisa membuatmu lapar? Kau lebih aneh daripada yang kuduga.”

Thomas mendesah. “Thomas carikan aku makanan, itu saja.”


Dapur itu tak terlalu luas, tetapi mempunyai segala yang diperlukan untuk menyiapkan hidangan besar. Sebuah oven besar, microwave, alat pencuci piring, serta beberapa meja. Semua terlihat tua dan agak usang, tetapi bersih. Melihat semua perlengkapan itu dan tata ruang yang tak asing membuat Thomas merasa seolah-olah kenangannya—dalam bentuk ingatan yang sangat utuh—berada tepat di tepi pikirannya. Namun, sekali lagi, bagian-bagian pentingnya hilang—nama-nama, wajah-wajah, berbagai tempat, beragam kejadian. Ini sungguh membuatnya gila.

“Duduklah,” kata Chuck. “Aku akan mencarikan sesuatu untukmu—tapi sumpah ini untuk kali terakhir. Kau harus bersyukur Frypan tidak sedang di sini—dia benci kalau ada yang menjarah isi kulkasnya.”

Thomas merasa lega karena hanya ada mereka berdua. Ketika Chuck sibuk dengan piring-piring dan makanan dari dalam kulkas, Thomas menarik sebuah kursi kayu dari dekat sebuah meja plastik kecil dan duduk. “Ini gila. Bagaimana mungkin ini semua nyata? Seseorang mengirim kita ke sini. Seseorang yang jahat.”

Chuck menghentikan aktivitasnya. “Berhentilah mengeluh. Terima saja semua ini dan jangan memikirkannya.”

“Ya, benar.” Thomas melayangkan pandangan ke luar jendela. Sepertinya kini saat yang tepat untuk mengajukan salah satu dari jutaan pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya. “Jadi, dari mana sumber listrik tempat ini?”

“Siapa yang peduli? Aku tinggal memakainya.”

Kejutan, pikir Thomas. Tak ada jawaban.

Chuck membawa piring-piring berisi sandwich dan wortel ke meja. Rotinya tebal dan putih, wortel-wortelnya berwarna oranye terang. Perut Thomas sudah tak sabar lagi. Anak itu mengambil jatah sandwich-nya dan mulai melahapnya.

“Wah,” dia bergumam dengan mulut penuh. “Setidaknya makanan ini enak.”

Thomas dapat menghabiskan makanannya tanpa komentar dari Chuck. Dan, dia beruntung karena anak itu tampaknya tak berniat mengobrol karena meskupun dengan semua keanehan yang terjadi dalam ingatan Thomas, dia kembali merasa tenang. Perutnya sudah penuh, energinya terisi kembali, bersyukur karena mendapat kesempatan berdiam diri, dan mulai saat ini dia memutuskan akan berhenti mengelih serta berkompromi dengan keadaan.

Setelah gigitan terakhir, Thomas bersandar di kursinya. “Jadi, Chuck,” katanya seraya mengusap mulut dengan serbet. “Apa yang harus kulakukan untuk jadi seorang Pelari?”

“Jangan membahas itu lagi.” Chuck mengangkat wajahnya dari piring, tempatnya memunguti remah-remah. Dia beserdawa pelan, membuat Thomas menjengit.

“Alby bilang bahwa aku akan mulai menjalani beberapa percobaan dengan Pengawas yang berbeda. Jadi, kapan aku bisa bertemu dnegan para Pelari?” Thomas menunggu dengan sabar untuk mendapatkan beberapa informasi aktual dari Chuck.

Chuck memutar bola matanya dengan dramatis, menunjukkan terang-terangan betapa bodohnya ide itu. “Mereka akan kembali beberapa jam lagi. Kenapa tidak kau tanya sendiri pada mereka?”

Thomas mengabaikan sindiran itu, berusaha mengorek lebih dalam. “Apa yang mereka lakukan ketika pulang setiap malam? Ada apa di balik bangunan beton itu?”

“Peta-peta. Mereka berkumpul tepat setelah pulang, sebelum terlupa segalanya.”

Peta-peta? Thomas bingung. “Tapi, jika mereka mencoba membuat sebuah peta, bukankah mereka perlu kertas agar bisa ditulisi di luar sana?” Peta-peta. Hal ini membangkitkan minatnya lebih daripada yang lain untuk sementara. Ini kali pertama ada hal yang dianggap menjadi solusi potensial atas keadaan mereka yang sulit saat ini.

“Tentu saja mereka membawanya, tapi masih banyak hal yang harus mereka bicarakan, diskusikan, dianalisis, serta hal remeh-temeh lainnya. Lagi pula,”—anak laki-laki itu memutar bola matanya—“mereka menghabiskan sebagian besar waktu untuk berlari, bukan menulis.  Itulah sebabnya mereka disebut para Pelari.”

Thomas memikirkan tentang para Pelari dan peta-petanya. Apakah Maze itu berukuran sangat besar sehingga setelah dua tahun sekalipun mereka masih belum menemukan jalan keluar dari sana? Rasanya mustahil. Namun, kemudian, dia teringat kata-kata Alby tentang tembok-tembok yang bergerak. Bagaimana jika mereka semua dihukum harus tinggal di tempat ini hingga akhir hayat?

Dihukum. Kata itu membuat kepanikannya timbul, dan sepercik harapan yang disebabkan oleh santapannya menguap perlahan-lahan.

“Chuck, bagaimana kalau kita semua adalah penjahat? Maksudku—bagaimana jika kita telah melakukan pembunuhan atau semacamnya?”

“Eh?” Chuck mendongak menatapnya seolah Thomas sinting. “Dari mana pikiran menyenangkan itu datang?”

“Coba pikir. Semua ingatan kita terhapus. Kita tinggal di sebuah tempat yang sepertinya tak memiliki jalan keluar, dikelilingi monster-monster haus darah. Lebih mirip sebuah penjara, kan?” Ketika dia mengucapkannya dengan jelas, kemungkinan itu terdengar lebih masuk akal. Dia merasa mual.

“Aku mungkin memang baru berumur dua belas tahun, Sobat.” Chuck menunjuk dadanya sendiri. “Atau paling tua, tiga belas tahun. Kau benar-benar mengira aku bisa melakukan sesuatu yang akan mengirimku ke penjara selama sisa hidupku?”

“Aku tidak peduli tentang hal yang kau lakukan atau tidak. Selain itu, kau memang sudah dikirim ke penjara. Memangnya ini seperti liburan bagimu?” Oh, ya ampun, pikir Thomas. Semoga aku salah.

Chuck terdiam selama beberapa saat. “Aku tak tahu. Ini lebih baik daripada—”

“Ya, aku tahu, tinggal di antara tumpukan kotoran.” Thomas bangkit dan mendorong kembali kursinya ke bawah meja. Dia menyukai Chuck, tetapi berusaha melakukan percakapan yang cerdas dengannya adalah mustahil. Juga membuat frustrasi dan jengkel. “Sana buat lagi sandwich untuk dirimu sendiri—aku akan pergi menyelidiki. Sampai ketemu nanti malam.”

Dia melangkah ke luar dapur san menuju halam sebelum Chuck menawarkan diri menemaninya. Aktivitas Glade telah kembali seperti semula—orang-orang bekerja, pintu Kotak lift tertutup, sinar matahari memancar ke bumi. Tanda-tanda bahwa ada seorang gadis yang membawa pesan bencana tak tampak lagi.

Setelah program turnya terpotong, Thomas memutuskan mengelilingi Glade sendirian untuk melihat dan merasakan tempat itu lebih baik. Dia menuju bagian timur laut, ke arah barisan batang jagung hijau yang tinggi dan tampak siap untuk dipanen. Terdapat pula jenis tanaman lain; tomat, selada, kacang polong, dan masih banyak lagi yang tak dikenali Thomas.

Dia menarik napas dalam-dalam, menyukai bau tanah dan tumbuhan. Dia berharap bau itu akan membawa sebagian ingatan membahagiakan, tetapi hal itu tak terjadi. Ketika semakin dekat, dia melihat beberapa anak laki-laki sedang menyiangi dan memetik di ladang-ladang kecil. Salah seorang anak melambai kepadanya sambil tersenyum. Sebuah senyum tulus.

Mungkin tempat ini tak terlalu buruk, pikir Thomas. Tak mungkin semua anak di sini menyebalkan. Dia kembali menghirup udara segar dan menyingkirkan pemikiran itu—masih banyak hal yang ingin dilihatnya.

Yang berikutnya adalah sudut tenggara, tempat rangkaian pagar kayu yang telah lapuk membatasi beberapa sapi, kambing, domba, dan babi. Namun, tak terlihat adanya kuda. Payah, pikir Thomas. Para Penunggang kuda jelas lebih cepat daripada para Pelari. Ketika semakin dekat, dia merasa bahwa dia pasti pernah berurusan dengan hewan-hewan sebelum di Glade. Bau dan suara mereka—semua terasa tak asing baginya.

Baunya tak senyaman tanaman pertanian, tetapi tetap saja, dia tak membayangkan yang jauh lebih buruk daripada itu. Ketika menjelajah area itu, dia semakin menyadari bahwa para penghuni Glade merawat tempat itu dengan sangat baik dan bersih. Dia terkesan membayangkan keteraturan mereka, dan kerja keras yang mereka lakukan. Dia membayangkan betapa menakutkannya tempat ini jika semua penghuninya pemalas dan bodoh.

Akhirnya, dia tiba di sudut barat daya, di dekat hutan.

Dia sedang berjalan mendekati sekelompok pohon meranggas yang tumbuh jarang di depan hutan yang lebih rapat ketika tiba-tiba dikejutkan oleh getaran halus pada kakinya, diikuti suara-suara berkeretak. Dia menunduk dan sempat melihat sinar matahari sekilas memantul di atas sesuatu yang terbuat dari logam—seekor tikus mainan—melintas melewatinya dan menuju hutan kecil. Makhluk itu sudah menjauh sekitar tiga meter saat disadarinya bahwa itu sama sekali bukan tikus—lebih mirip seekor kadal, dengan sedikitnya enam kaki bergerak gesit di bawah tubuhnya yang panjang dan  berwarna perak.

Sebuah Serangga-mesin. Itu cara mereka mengawasi kita, Alby pernah mengatakannya.

Dia menangkap sekilas sorot lampu merah yang seakan-akan berasal dari mata makhluk itu dan menyapu ke bagian depannya. Akal sehatnya mengatakan bahwa ini pasti khayalannya belaka, tetapi dia bersumpah melihat tulisan terukir tak rapi di punggungnya yang bulat dalam huruf-huruf hijau besar. Sebuah keanehan yang harus diselidikinya.


Thomas berlari mengejar mata-mata yang gesit itu, dan dalam beberapa detik dia telah masuk di antara pepohonan yang tumbuh rapat dan dunia seketika menjadi gelap.[]


No comments:

Post a Comment