The Maze Runner (The Maze Runner #1) (6)

Penulis: James Dashner

6


SESEORANG mengguncang tubuh Thomas. Anak itu seketika membuka matanya dan menemukan seraut wajah yang sedang menatapnya sangat dekat, sekelilingnya masih gelap menjelang fajar. Dia hendak berbicara, tetapi sebuah tangan yang dingin membungkamnya, menyuruhnya diam. Kepanikan melandanya hingga dia mengenali sosok itu.

“Ssst, Anak-Bawang. Kita tak mau membangunkan Chuckie, kan?”

Anak itu Newt—dia sepertinya pemimpin nomor dua di tempat ini. napas pagi harinya berbau tak enak.

Meskipun Thomas terkejut, rasa waswasnya lenyap dengan segera. Dia tak bisa menahan diri merasa penasaran, bertanya-tanya tentang maksud Newt membangunkannya. Thomas mengangguk, berusaha memberi tanda mengerti dengan matanya, hingga akhirnya Newt melepaskan bekapannya, kemudian mundur.

“Ayo, Anak-Bawang,” anak jangkung itu berbisik seraya berdiri. Dia mengulurkan tangan dan membantu Thomas bangkit—tenaga anak itu sangat kuat sehingga seolah mampu mencopot tangan Thomas dari persediaannya. “Aku harus menunjukkan sesuatu sebelum jam bangun tidur.”

Sisa kantuk Thomas menguap seketika. “Oke,” sahutnya singkat, siap mengikutinya. Dia tahu bahwa dia seharusnya tetap perlu menyimpan beberapa kecurigaan, belum saatnya memercayai siapa pun, tetapi akhirnya rasa ingin tahunyalah yang menang. Dengan cepat dia berdiri dan mengenakan sepatu. “Kita akan pergi ke mana?”

“Ikuti saja aku. Dan, jangan jauh-jauh.”

Mereka menyelinap melewati tubuh-tubuh terlelap yang bergelimpangan, Thomas nyaris tersandung beberapa kali. Dia menginjak tangan salah seorang anak yang tidur, menyebabkan suara erangan kesakitan, kemudian, sebuah pukulan di betisnya.

“Maaf,” bisiknya, mengabaikan tatapan jengkel Newt.

Setelah melewati daerah berumput dan sampai di halaman berbatu kelabu, Newt mulai berlari menuju tembok sebelah barat. Thomas ragu-eagu pada awalnya, bertanya-tanya mengenai alasan mereka harus berlari, tetapi cepat-cepat menghapus pikiran itu dan berlari menyusulnya.

Cahaya di sekitar mereka temaram, tetapi bayangan berbagai benda yang menghalangi mereka tampak samar-samar lebih gelap dan membuatnya mampu melintas lebih cepat. Dia menghentikan langkah ketika Newt juga berhenti, tepat di sebelah tembok raksasa yang menjulang di atas mereka seperti menara pencakar langit—satu lagi potongan gambar melintas dalam kenangannya yang buram. Thomas melihat beberapa titik cahaya merah bergerak-gerak di sepanjang permukaan dinding, berkelebat, berhenti, mati, kemudian menyala kembali.

“Apa itu?” dia memberanikan diri berbisik, membayangkan suaranya gemetar seperti yang dirasakannya. Sinar merah yang berkelip-kelip itu seolah menyimpan sebuah peringatan.

Newt berdiri hanya beberapa meter di depan tirai tebal tanaman ivy di tembok itu. “Jika tiba saatnya kau perlu tahu, kau akan mengetahuinya, Anak-Bawang.”

“Ya, agak konyol sebenarnya mengirimku ke tempat yang tak masuk akal dan sama sekali tak menjawab semua pertanyaanku.” Thomas berhenti sejenak, merasa terkejut pada dirinya sendiri. “Bocah ingusan,” dia menambahkan, berusaha terdengar sesinis mungkin.

Newt tergelak, tetapi hanya sesaat. “Aku menyukaimu, Anak-Bawang. Sekarang diamlah dan aku akan menunjukkan sesuatu kepadamu.”

Newt melangkah maju dan memasukkan tangannya ke tanaman ivy yang rimbun, menyingkirkan beberapa sulurnya dari tembok yang menampakkan sebuah jendela kecil, kira-kira selebar setengah meter. Saat itu jendela tersebut tampak gelap, seolah dicat hitam pekat.

“Apa yang kita cari?” bisik Thomas.

“Tahan dulu penasaranmu, bocah. Sebentar lagi  kau akan tahu.”

Semenit berlalu, dua menit. Lalu, beberapa menit lagi. Thomas beringsut gelisah, keheranan melihat Newt dapat berdiri di sana, dengan sabar dan bergeming, menatap jendela gelap itu.

Lalu, ada yang berubah pada jendela itu.

Cahaya samar-samar menerobos melalui kacanya, semburatnya menerangi tubuh dan wajah Newt, seolah dia berdiri di dekat kolam renang yang diterangi lampu. Thomas kia terpaku, memicingkan mata, berusaha melihat ke sisi sebelah. Tenggorokannya tercekat. Apakah itu? Pikirnya.

Maze ada di luar sana,” bisik Newt, terbelalak seolah kerasukan. “Segala yang kita lakukan—seluruh hidup kita, Anak-Bawang—berkisar di antara Maze. Setiap detik dari hari yang berharga kita habiskan demi Maze, mencoba memecahkan sesuatu yang tidak tampak oleh kita memiliki risiko yang berbahaya, bukan? Dan, akan kutunjukkan mengapa kita tidak boleh main-main. Mengapa mereka menutup tembok-tembok itu setiap malam. Akam kutunjukkan mengapa kau sebaiknya jangan pernah satu kali pun menginjakkan kaki di sana.”

Newt melangkah mundur, masih berpegangan pada sudut tanaman ivy. Dia memberi isyarat kepada Thomas untuk menggantikan posisi dirinya dan melihat melalui jendela.

Thomas menurut, mencondongkan badan hingga hidungnya menyentuh permukaan kaca. Membutuhkan waktu sedetik bagi matanya untuk terfokus pada sebuah benda bergerak di sebelah, untuk melihat hal yang dimaksud Newt di antara debu dan tanah kering yang menempel di kaca. Dan, saat dia melihatnya, napasnya seolah tertahan di tenggorokan, seperti embusan angin dingin melintas dan membuat udara membeku.

Sesosok makhluk bulat besar seukuran sapi, tetapi berujud tak jelas berputar dan menggeram di lorong seberang. Makhluk itu memanjat tembok, kemudian melompat ke jendela berkaca tebal dengan suara benturan keras. Thomas menjerit tanpa sempat menahannya, terlonjak menjauhi jendela—tetapi benda itu terpental ke belakang, tak mampu memecahkan kacanya.

Thomas menarik napas panjang dua kali lalu melangkah maju sekali lagi. Saat itu terlalu gelap untuk melihat dengan jelas, tetapi beberapa sorot lampu aneh muncul dari tempat yang tak diketahui, menampakkan samar-samar semacam kaki-kaki perak dan kulit tubuh berkilat. Berbagai anggota badan berinstrumen aneh mencuat dari tubuhnya seperti serangkaian lengah; sebuah pisau gergaji, seperangkat gunting beraneka rupa, serta beberapa besi panjang yang hanya bisa ditebak kegunaannya.

Makhluk itu merupakan gabungan mengerikan antara hewan dan mesin, dan sepertinya menyadari sedang diamati, mengetahui apa yang berada di balik tembok-tembok Glade, dan ingin masuk serta menyantap daging segar manusia. Thomas merasakan kengerian yang sangat memenuhi dadanya, berkembang seperti tumor, membuatnya sulit bernapas. Bahkan, dengan memori yang terhapus, dia yakin bahwa dia tak pernah melihat sesuatu yang semengerikan itu.

Dia mundur, keberanian yang dirasakannya semalam telah luntur.

“Benda apa itu?” tanyanya. Sesuatu bergemuruh di lambungnya, dan dia tak yakin apakah masih sanggup makan setelah ini.

“Griever, kami menyebutnya,” jawab Newt. “Pengganggu yang menjijikkan, ya? Kau boleh lega karena Griever hanya keluar saat malam hari. Berterima kasihlah pada tembok-tembok ini.”

Thomas menelan ludah, bertanya-tanya apakah dia akan mampu keluar dari tempat itu. Keinginannya menjadi seorang Pelari mendapat pukulan keras. Tapi, dia harus melakukannya. Entah bagaimana dia tahu bahwa dia harus melakukannya. Ini rasanya sungguh aneh, terutama setelah apa yang baru saja dilihatnya.

Newt memandang jendela itu dengan tata[an kosong. “Sekarang kau sudah tahu makhluk mematikan yang mengintai di dalam Maze, Teman. Kini kau tahu ini bukan waktunya bercanda. Kau sudah dikirim ke Glade, dan kami mengharapkanmu bertahan hidup dan menolong melakukan tugas kita dikirim ke tempat ini.”

“Dan, tugas apakah itu?” tanya Thomas meskipun dia merasa ngeri untuk mendengar jawabannya.

Newt berbalik dan menatapnya tajam. Cahaya pertama fajar mulai menyinari mereka, dan Thomas dapat melihat setiap detail wajah Newt, kulitnya kencang, dahinya berkerut.

“Temukan jalan keluar untuk kita, Anak-Bawang,” kata Newt. “Pecahkan jalan Maze itu dan temukan jalan pulang kita.”


Beberapa jam sesudahnya, pintu-pintu kembali dibuka, bergemuruh, berderum, dan mengguncang tanah hingga selesai, Thomas duduk di dekat meja piknik di luar Wisma. Yang dapat dia pikirkan hanyalah Griever, tentang kegunaan mereka, serta apa yang mereka lakukan di sana sepanjang malam. Dan, seperti apa rasanya diserang sesuatu yang sangat menyeramkan seperti mereka.

Dia mencoba mengenyahkan pikiran itu dari kepalanya dan memikirkan sesuatu yang lain. Para Pelari. Mereka berangkat begitu saja tanpa berkata apa pun pada yang lain, memelesat ke dalam Labirin dengan kecepatan tinggi dan menghilang di setiap tikungan. Dia membayangkan mereka dalam kepalanya sembari menusuk telur dan dagingnya dengan garpu, tak berbicara pada siapa pun, bahkan kepada Chuck, yang duduk membisu di sebelahnya. Anak malang itu sudah lelah berusaha memulai percakapan dengan Thomas, yang menolak menanggapi. Dia hanya ingin sendiri.

Dia sungguh tak mengerti; otaknya telah berusaha sekeras mungkin memperhitungkan kemustahilan keadaan ini. bagaimana mungkin sebuah maze, dengan dinding-dinding raksasa dan tinggi, dapat berwujud sedemikian besar hingga puluhan anak tak mampu menembusnya setelah entah berapa lama mencoba? Bagaimana bisa ada tempat berbentuk semacam ini? Dan, yang lebih penting, mengapa? Apakah kira-kira tujuan tempat ini? Kenapa mereka semua berada di sini? Berapa lama mereka telah berada di tempat ini?

Berusaha sekuat mungkin mengabaikannya, pikirannya masih terbayang oleh sosok Griever yang ganas. Bayangannya yang mengganggu seolah menghantuinya setiap dia mengerjap atau mengusap mata.

Thomas tahu dia seorang anak yang pintar—entah bagaimana dia dapat merasakannya di dalam tulang-tulangnya. Namun, tempat ini sungguh tidak masuk akal. Kecuali satu hal. Dia harus menjadi seorang Pelari. Mengapa perasaannya mengenai hal itu sangat kuat? Bahkan, hingga sekarang, setelah dia melihat makhluk yang hidup di dalam Maze?

Sebuah tepukan di pundaknya membuyarkan lamunannya. Dia menengadah memandang Alby berdiri di sebelahnya, lengannya terlipat.

“Terasa segar, bukan?” kata Alby. “Setelah melihat pemandangan menarik dari jendela pagi ini?”

Thomas berdiri, berharap waktunya untuk mendapat jawaban telah tiba—atau mungkin mengharapkan sesuatu yang dapat mengalihkan perhatiannya dari pikiran-pikiran buruknya. “Lumayan untuk membuatku ingin mempelajari tentang tempat ini,” sahutnya, berusaha menghindari dari memancing kemarahan anak itu seperti kemarin.

Alby mengangguk. “Kau dan aku, Bocah. Tur dimulai sekarang.” Dia mulai beranjak, tetapi kemudian berhenti, mengangkat satu jarinya. “Tidak boleh ada pertanyaan sampai selesai, kau mengerti? Tak ada waktu berdebat denganmu sepanjang hari.”

“Tapi ....” Thomas tak melanjutkan perkataannya ketika alis Alby bertaut. Kenapa anak itu begitu menjengkelkan? “Tapi, beri tahu aku semuanya—aku ingin tahu tentang semua ini.” Dia telah memutuskan semalam untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang betapa anehnya perasaan tak asing tempat ini baginya, perasaan ganjil bahwa dia merasa pernah berada di sini sebelumnya—bahwa dia dapat mengingat beberapa hal tentangnya. Mengutarakan hal itu sepertinya ide yang sangat buruk.

“Aku hanya akan memberi tahu hal yang ingin kuberi tahu, Anak-Bawang. Ayo berangkat.”

“Bolehkan aku ikut?” tanya Chuck dari arah meja.

“Aduh!” pekik Chuck.

“Bukankah kau sudah punya pekerjaan, Bodoh?” tanya Alby. “Membuat banyak ulah?”

Chuck memutar bola matanya, kemudian memandang Thomas. “Selamat bersenang-senang.”

“Akan kucoba.” Thomas mendadak merasa kasihan kepada Chuck, berharap orang-orang memperlakukan anak itu dengan lebih baik. Namun, tak ada yang bisa dia lakukan soal itu—kini saatnya pergi.


Dia berangkat bersama Alby, berharap bahwa Tur secara resmi telah dimulai.[]


No comments:

Post a Comment