Penulis: James Dashner
5
MEREKA sampai di dekat belakang Wisma—itu sebutan Chuck
untuk bangunan miring yang tersusun dari kayu dan barisan jendela itu—dalam
bayang-bayang gelap antara bangunan itu dan tembok batu di belakangnya.
“Kita akan ke mana?” tanya Thomas, masih merasa tertekan
melihat tembok-tembok itu dari dekat, memikirkan maze, kebingungan, juga perasaan takutnya. Dia memaksa dirinya
sendiri untuk berhenti memikirkannya atau bisa gila. Dia mencoba mengembalikan
perasaannya seperti biasa dengan berusaha melontarkan lelucon yang tak
membantu. “Kalau kau ingin minta ucapan selamat malam, lupakan saja.”
Chuck tak menghentikan langkahnya. “Diam dan tetaplah berada
di dekatku.”
Thomas mengembuskan napas keras-keras dan mengankat bahu
sebelum mengikuti anak itu melintasi bagian belakang bangunan. Mereka
berjingkat-jingkat hingga mencapai sebuah jendela kecil yang berdebu, sinar
lampu temaram menerangi sebagian batu dan tanaman ivy. Thomas mendengar seseorang bergerak di bagian dalamnya.
“Kamar mandi,” Chuck berbisik.
“Lalu?” Perasaan tak nyaman mulai menjalari Thomas.
“Aku suka melakukan ini kepada anak-anak lain. Membuatku
gembira sebelum waktu tidur tiba.”
“Melakukan apa?” Thomas merasakan bahwa Chuck membawanya ke
sesuatu yang tak baik. “Mungkin sebaiknya aku ....”
“Tutup mulut dan lihat saja nanti.” Chuck melangkah tanpa
suara ke dalam kotak kayu besar yang berada persis di bawah sebuah jendela. Dia
merunduk hingga kepalanya tepat berada di bawah jarak pandang orang yang berada
di dalam. Kemudian, dia mengangkat tangannya dan perlahan mengetuk kaca
jendela.
“Ini konyol,” bisik Thomas. Tak ada waktu yang lebih buruk
daripada saat ini untuk bercanda—Newt atau Alby bisa saja berada di dalam sana.
“Aku tidak mau terlibat masalah—aku baru saja sampai di sini!”
Chuck menutup mulutnya menahan tawa. Tanpa memedulikan
Thomas, dia menjulurkan tangan dan mengetuk jendela lagi.
Sebentuk bayangan melintar di depan sinar, kemudian jendela
itu terbuka. Thomas melompat bersembunyi, menempelkan punggungnya serapat
mungkin ke dinding. Dia tidak percaya begitu bodoh telah terseret mempermainkan
seseorang saat ini. posisi orang di balik jendela itu akan melindunginya selama
beberapa saat, tetapi dia tahu bahwa Chuck dan dirinya akan segera terlihat
jika orang itu menjulurkan kepalanya ke luar jendela.
“Siapa itu?” bentak anak laki-laki dari kamar mandi itu,
terdengar kasar dan menggelegar marah. Thomas tersentak menahan napas ketika
dia menyadari bahwa anak itu adalah Gally—dia sudah mengenal suara itu sebelumnya.
Tanpa peringatan, Chuck tiba-tiba menjulurkan kepalanya ke
arah jendela dan menjerit sekuat tenaga. Suara benturan keras di dalam
menandakan bahwa keusilan itu berhasil—dan sumpah serapah berhamburan
menunjukkan Gally sama sekali tidak mengalaminya. Thomas membeku saat dia
mendengar Gally membuka pintu di dalam dan berlari ke luar kamar mandi.
Thomas akhirnya tersadar dari keterpanaannya dan berlari
menyusul Chuck, teman baru—dan satu-satunya itu. Dia baru saja berbelok di
sudut ketika Gally keluar dengan berteriak marah dari Wisma, seperti binatang
buas ganas yang terlepas.
Dia langsung menunjuk Thomas. “Kemari!” bentaknya.
Jantung Thomas seolah berhenti berdetak. Sepertinya dia akan
mendapatkan sebuah pukulan di wajahnya. “Bukan aku yang melakukannya, sumpah,”
ujarnya, meskipun saat berdiri di sana, dia mengukur anak laki-laki di
hadapannya itu, dan merasa tak seharusnya terlalu takut. Gally tidak terlalu
besar—Thomas dapat mengalahkannya jika perlu.
“Bukan kau?” Gally menggeram. Dia berjalan perlahan-lahan
mendekati Thomas dan berhenti tepat di hadapannya. “Kalau begitu, bagaimana
bisa kau tahu sesuatu yang tidak kau lakukan?”
Thomas tak menyahut. Dia merasa gelisah, tetapi tidak
setakut beberapa saat sebelumnya.
“Aku bukan orang bodoh, Anak-Bawang,” Gally meludah. “Aku
melihat wajah Chuck dari balik jendela.” Dia menuding lagi, kali ini tepat ke
dada Thomas. “Tapi, sebaiknya kau secepatnya memutuskan siapa yang kau inginkan
sebagai teman dan lawan, kau dengar itu? Sekali lagi keusilan semaca itu—aku
tak peduli apakah itu idemu atau bukan—akan ada darah yang tumpah. Mengerti,
Anak-Bawang?” Namun, sebelum Thomas sempat menjawab Gally telah membalikkan
badan pergi.
“Thomas hanya ingin peristiwa ini berakhir. “Maaf,”
gumamnya, meringis karena terdengar bodoh.
“Aku mengenalmu,” Gally menambahkan tanpa menoleh. “Aku
melihatmu ketika mengalami Perubahan, dan aku akan membongkar siapa sebenarnya
dirimu.”
Thomas mengawasi saat anak pengganggu itu menghilang masuk ke Wisma. Dia tak ingat secara pasti, tetapi sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa dia belum pernah membenci seseorang sekuat seperti saat ini. dia merasa terkejut menyadari betapa benci dirinya terhadap anak itu. Dia sangat, sangat tak menyukainya. Thomas membalikkan badan dan melihat Chuck berdiri di sana, menunduk, tampak jelas terlihat malu. “Terima kasih banyak, Teman.”
Thomas mengawasi saat anak pengganggu itu menghilang masuk ke Wisma. Dia tak ingat secara pasti, tetapi sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa dia belum pernah membenci seseorang sekuat seperti saat ini. dia merasa terkejut menyadari betapa benci dirinya terhadap anak itu. Dia sangat, sangat tak menyukainya. Thomas membalikkan badan dan melihat Chuck berdiri di sana, menunduk, tampak jelas terlihat malu. “Terima kasih banyak, Teman.”
“Maaf—jika aku tahu Gally yang berada di dalam sana, aku tak
akan pernah melakukannya, sumpah.”
Thomas, merasa terkejut dengan dirinya sendiri, malah
tertawa. Satu jam lalu, dia tak pernah membayangkan akan meneluarkan tawa dari
mulutnya.
Chuck menatap Thomas lekat-lekat dan perlahan-lahan
menyeringai kikuk. “Kenapa?”
Thomas menggelengkan kepala. “Tak perlu minta maaf Anak ...
ingusan itu layak mendapatkannya, dan aku bahkan tak tahu apa artinya ingusan.
Tadi itu luar biasa.” Perasaannya kini jauh lebih baik.
Beberapa jam kemudian, Thomas telah berbaring di dalam
kantong tidur yang empuk di sebelah Chuck di atas hamparan rumput dekat
kebun-kebun. Thomas sebelumnya tak memperhatikan adanya halaman berumput luas,
dan hanya sedikit anak yang memilih tempat itu sebagai lokasi untuk tidur.
Thomas merasa agak aneh dengan keadaan ini, tetapi tampaknya tak banyak kamar
tersedia di dalam Wisma. Setidaknya di luar sini cukup hangat, yang membuat dia
memikirkan untuk kali kesekian juta mengenai di mana mereka berada kini. Pikirannya sulit menggali kembali
nama-nama tempat, atau mengingat berbagai negara dan penguasanya, juga cara
dunia diatur. Dan, tak seorangpun anak di Glade memiliki petunjuk—setidaknya
mereka tidak menceritakannya jika mengetahuinya.
Dia berbaring tanpa bersuara lama sekali, memandang
bintang-bintang dan mendengarkan suara-suara rendah mengobrol di Glade. Sulit
sekali memejamkan mata, dan dia tak mampu menyingkirkan rasa putus asa dan
kehilangan harapan yang memenuhi tubuh dan pikirannya—perasaan gembiranya akan
keusilan Chuck pada Gally tadi telah menguap. Ini adalah hari yang seolah tiada
akhir—dan aneh.
Semua ini terasa ... ganjil. Dia mengingat banyak hal kecil
tentang hidup—makan, pakaian, belajar, bermain, gambaran umum tentang kejadian
di dunia. Namun, setiap detail yang akan melengkapi gambar kenangannya entah
mengapa terhapus. Seolah dirinya melihat sebuah gambar melalui dasar air yang
keruh. Di atas segalanya, mungkin dia merasa ... sedih.
Chuck memotong lamunannya. “Nah, Anak-Bawang, kau berhasil
bertahan di Hari Pertama.”
“Nyaris tidak.” Jangan
sekarang, Chuck, Thomas ingin berkata seperti itu. Perasaanku sedang buruk untuk diajak bicara.
Chuck beringsut dan bertumpu di salah satu sikunya,
memandang Thomas. “Kau akan belajar banyak beberapa hari berikutnya,
membiasakan diri dengan semuanya. Mengerti?”
“Eng, ya, oke, kurasa. Omong-omong, dari mana asal semua
kata-kata dan istilah ganjil itu?” Seolah mereka menyerap beberapa bahasa dan
kemudian meleburnya menjadi bahasa mereka sendiri.
Chuck merebahkan dirinya kembali dengan suara keras. “Aku
tak tahu—aku baru berada di sini selama sebulan, ingat, kan?”
Thomas berpikir mengenai Chuck. Mempertimbangkan kemungkinan
dia mengetahui lebih banyak dari yang diucapkannya. Anak itu susah ditebak,
lucu, dan tampak polos, tapi siapa yang tahu? Dia sama misteriusnya dengan
semua hal yang ada di Glade.
Menit demi menit berlalu, dan hari yang panjang akhirnya
mulai meinmbulkan rasa kantuk Thomas. Namun—seperti sebuah pukulan di
otaknya—sesuatu berkelebat di dalam kepalanya. Sesuatu yang tak terduga, dia
tak yakin dari mana asalnya.
Mendadak, Glade, tembok-temboknya, Maze—semua seolah --- tak asing lagi. Damai. Kehangatan menjalari
dadanya, dan untuk kali pertama sejak berada di sini, dia tidak merasa bahwa
Glade adalah tempat terburuk di dunia. Dia merasa tenang, kedua matanya terbuka
lebar, dia menahan napas beberapa saat. Apa
yang terjadi? Pikirnya. Apa yang
telah berubah? Ironisnya, perasaan tenang ini justru membuatnya agak tak
nyaman.
Entah bagaimana, dia tahu apa yang harus dilakukannya. Dia
tak mengerti, perasaan ini—keinginan untuk melakukan sesuatu—sangat aneh,
terkesan asing, tetapi juga wajar pada saat yang sama. Namun, perasaan itu
diyakininya ... benar.
“Aku ingin bergabung dengan orang-orang yang ada di luar
sana,” katanya agak keras, tak mengetahui bahwa Chuck masih terjaga. “Di dalam Maze.”
“Hah?” sahut Chuck. Thomas mendengar nada jengkel dalam
suaranya.
“Para Pelari,” ujar Thomas, berharap dirinya sendiri
mengetahui alasannya. “Apa pun yang mereka lakukan di sana, aku ingin
bergabung.”
“Kau ngomong apa, sih?” Chuck menggerutu dan memutar posisi
tubuhnya. “Sana tidur.”
Thomas merasa semakin yakin meskipun sejujurnya dia tak
mengetahui alasannya. “Aku ingin menjadi seorang Pelari.”
Chuck berbalik lagi dan bertumpu di sikunya. “Kau bisa
melupakan pikiran isengmu itu sekarang juga.”
Thomas tak mengerti dengan reaksi Chuck, tetapi dia
bersikeras. “Jangan mencoba untuk ....”
“Thomas. Si Anak-Bawang. Teman baruku. Lupakan ide itu.”
“Aku akan bilang kepada Alby besok.” Seorang Pelari, pikir Thomas. Aku
bahkan tak tahu sama sekali tentang hal itu, apakah aku sudah benar-benar gila?
Chuck kembali berbaring sambil tertawa. “Kau ini sinting.
Ayo tidur.”
Akan tetapi, Thomas tak menyerah. “Ada sesuatu di luar
sana—yang terasa tak asing.”
“Ayo ... tidur.”
Mendadak sesuatu menyentak pikiran Thomas—seperti kepingan puzzle yang menyatu. Dia belum tahu
wujud akhirnya, tetapi kata-kata selanjutnya seolah keluar dari mulut orang
lain. “Chuck, rasanya aku ... aku pernah
berada di sini sebelumnya.”
Dia mendengar Chuck bangkit, terkesiap. Namun, Thomas membalikkan
tubuhnya dan tak mau berkata apa pun lagi, kahwatir perasaan barunya ini akan
terpengaruh. Melenyapkan ketenangan yang mulai memenuhi hatinya.
Dia kini tertidur mudah daripada dugaannya sebelumnya.[]
No comments:
Post a Comment