The Maze Runner (The Maze Runner #1) (7)

Penulis: James Dashner

7


MEREKA memulai Tur dari Kotak, yang saat itu tertutup—pintu logam gandanya terbujur rata di atas tanah, bercat putih, pudar, dan terkelupas. Hari telah terang benderang, bayangan-bayangan memanjang di arah berlawanan dari yang dilihat Thomas kemarin. Dia masih belum menandai letak matahari, tetapi sepertinya akan muncul setiap saat dari dinding bagian barat.

Alby menunjuk ke pintu di bawah. “Itu Kotak. Sekali dalam sebulan, kita akan mendapatkan seorang Anggota Baru sepertimu, selalu. Sekali dalam seminggu, kita mendapatkan perbekalan, beberapa potongan pakaian juga makanan. Tak terlalu banyak—sebagian besar kita usahakan sendiri di Glade.

Thomas mengangguk, seluruh tubuhny merasa gelisah menahan keinginan untuk bertanya. Apa perlu plester untuk menutup mulutku, pikirnya.

“Kita hampir tak tahu sama sekali tentang Kotak ini, kau mengerti?” Alby meneruskan. “Dari mana datangnya, bagaimana benda ini bisa sampai ke sini, siapa yang mengirimnya. Orang-orang sialan yang mengirim kita kemari tidak memberi tahu apa pun. Kita mempunyai listrik untuk semua keperluan kita, bercocok tanam dan mengumpulkan hampir semua kebutuhan makanan kita, membuat pakaian, dan sebagainya. Mencoba mengirim kembali seorang anak-bawang berotak udang ke dalam Kotak sekali waktu—benda itu tak akan bergerak hingga kami mengeluarkannya lagi.”

Thomas bertanya-tanya tentang apa yang ada di balik pintu itu ketika Kotak tidak berada di sana, tetapi dia menahan mulutnya berbicara. Perasaannya campur aduk—penasaran, frustrasi, takjub—semua diliputi dengan perasaan ngeri yang masih ada setelah menyaksikan Griever pagi ini.

Alby terus berbicara, tanpa bersusah payah memandang Thomas. “Glade terbagi menjadi empat.” Dia mengangkat jemarinya satu per satu saat menyebutkan empat kata berikutnya. “Kebun, Rumah Darah, Wisma, Tempat-orang-mati. Kau mengerti?”

Thomas ragu-ragu, kemudian menggelengkan kepala bingung.

Alby mengerjapkan mata dengan cepat ketika dia melanjutkan; seolah banyak sekali hal yang akan diberitahukannya sekaligus. Dia menunjuk ke sudut timur laut, tempat ladang-ladang dan pepohonan buah-buahan berlokasi. “Kebun-kebun—tempat kami menumbuhkan berbagai jenis tanaman pangan. Air dipompa melalui pipa-pipa di dalam tanah—dari dulu seperti itu, jika tidak, kami sudah setengah mati kelaparan sejak lama. Tak pernah ada hujan turun di sini. Tidak pernah.” Dia menunjuk ke sudut tenggara, ke arah kandang-kandang hewan dan sebuah gudang. “Rumah Darah—tempat kami memelihara dan menyembelih hewan.” Dia menuding ke bagian tempat tinggal yang tampak mengenaskan. “Wisma—tempat bodoh yang besarnya dua kali lipat dibanding ketika anak-anak pertama datang karena kami terus merombaknya ketika mereka mengirimi kami kayu  dan anak-anak baru. Tak terlalu bagus, tapi berguna. Lagi pula, kebanyakan dari kami tidur di luar.”

Thomas merasa pusing. Terlalu banyak pertanyaan di kepalanya sehingga membuatnya sulit menangkap semua keterangan itu.

Alby menunjuk ke sudut barat daya, area hutan yang berhadapan dengan pohon kering dan bangku-bangku. “Sebut itu Tempat-orang-mati. Ada pemakaman di belakang sudut itu, di kawasan hutan yang lebih rapat. Hanya itu yang ada di sana. Kau bisa pergi ke sana untuk duduk dan beristirahat, berjalan-jalan, terserah.” Dia menelan ludah, seolah ingin mengubah topik pembicaraan. “Kau akan menghabiskan dua minggu setelah ini dengan bekerja dalam satu hari masing-masing untuk empat Pengawas pekerjaan yang berbeda—hingga kita tahu di bidang mana hasil terbaikmu. Pembersih, Pencincang, Pemungut, Pengolah-lahan—pasti ada satu yang sesuai untukmu. Ayo.”

Alby berjalan menuju Pintu Selatan, berlokasi di antara yang disebutnya Tempat-orang-mati dan Rumah Darah. Thomas mengikutinya, mengernyitkan hidung saat mendadak bau kotoran dan pupuk menyeruak dari kandang-kandang hewan. Pemakaman? Pikirnya. Mengapa mereka membutuhkan pemakaman di tempat yang penuh dengan anak-anak berumur belasan tahun? Hal itu jauh lebih mengganggunya daripada ketidaktahuannya tentang beberapa kata yang dilontarkan Alby—seperti  Pemberdih dan Pemungut—kedengarannya tidak terlalu menyenangkan. Dia hampir saja menyela Alby seperti yang biasa dilakukannya sejauh ini, tetapi berusaha menahan mulutnya.

Mereka frustrasi, dia mengalihkan perhatiannya ke kandang-kandang di dalam area Rumah Darah.

Beberapa ekor sapi menggigit dan mengunya di dekat sebuah bak yang penuh berisi rumput hijau. Babi-babi duduk bermalas-malasan di sebuah kubangan berlumpur, hanya goyangan sesekali ekor mereka yang menandaakan mereka hidup. Kandang yang lain memuat domba, juga terlihat beberapa kandang ayam dan kalkun. Para pekerja bergerak gesit di sekitar area itu, seolah mereka telah menghabiskan seluruh hidup mereka di ladang.

Kenapa aku ingat hewan-hewan ini? Thomas bertanya-tanya. Tak ada yang baru atau menarik dari mereka—dia tahu nama mereka, pakan mereka, dan wujud mereka. Mengapa hal semacam itu yang masih tersangkut di dalam ingatannya, alih-alih di mana dia pernah melihat hewan-hewan tersebut, atau dengan siapa dia melihatnya? Kehilangan memorinya sungguh mengherankan di tengah keruwetan pikirannya.

Alby menunjuk ke gudang besar di sudut belakang, cat merahnya memudar menjadi kekuningan. “Di belakang sana tempat para Pencincang bekerja. Pekerjaan yang kotor. Menjijikkan. Jika kau menyukai darah, kau bisa menjadi seorang Pencincang.”

Thomas menggelengkan kepala. Pencincang kedengarannya sama sekali tak bagus. Sembari terus berjalan, dia memusatkan perhatiannya ke sisi lain Glade, ke tempat yang disebut Alby dengan Tempat-orang-mati. Pepohonan di sana tumbuh lebih rapat dan padat dibandingkan sudut yang mereka lewati, lebih hidup dan dipenuhi dedaunan. Bayangan-bayangan gelap memenuhi area hutan di kedalamannya, berlawanan dengan waktu sesungguhnya. Thomas mendongak, memicingkan mata dan melihat bahwa matahari akhirnya tampak meskipun terlihat ganjil—berwarna lebih oranye daripada biasanya. Hal ini membuatnya tersentak karena merupakan satu lagi contoh ganjil dari kenangan terpilih dalam pikirannya.

Dia kembali mengalihkan pandangan ke Tempat-orang-mati, sebuah cakram ingatan yang berkilau masih terbayang dalam pikirannya. Mengerjap untuk mengenyahkannya, dia tiba-tiba melihat sorotan sinar merah lagi, berkedip-kedip dan bergerak-gerak di kedalaman hutan yang gelap. Tanda apakah itu? Dia bertanya-tanya, merasa jengkel karena Alby tidak menjawab pertanyaannya sedari awal. Sikap main rahasia ini sungguh mengesalkan.

Alby berhenti berjalan, dan Thomas terkejut saat menyadari mereka telah mencapai Pintu Selatan; dua sisi tembok yang memagari jalan keluar menjulang di depan mereka. Susunan batu kelabu terlihat retak-retak dan diselimuti tanaman ivy, tampak begitu tua daripada semua benda yang bisa dibayangkan Thomas. Dia menjulurkan leher untuk melihat bagian atas tembok-tembok yang menjulang di atasnya; pikirannya berputar dengan sensasi yang aneh bawah dia seolah sedang melihat ke bawah alih-alih ke atas. Dia terhuyung-huyung mundur, seklai lagi terpukau akan struktur tempat tinggal barunya, kemudian akhirnya kembali mengalihkan perhatian kepada Alby, yang membelakangi jalan keluar.

Maze ada di luar sana.” Alby menunjuk dengan ibu jarinya dari atas bahu, kemudian terdiam. Thomas menandang ke arah yang ditunjuk, melalui celah di antara tembok-tembok yang menunjukkan jalan keluar dari Glade. Lorong di antara tampak sama persis dengan yang sebelumnya dilihatnya dari jendela di sebelah Pintu Timur tadi pagi-pagi sekali. Pikiran ini membuatnya menggigil dan bertanya-tanya apakah Griever akan datang menyerang kapan saja. Dia mundur selangkah tanpa sadar. Tenang, dia mencela dirinya sendiri, merasa malu.

Alby meneruskan. “Dua tahun, aku berada di sini. Belum pernah ada yang lebih lama dari itu. Beberapa anak sebelumku sudah mati.” Thomas terbelalak, jantungnya berdegup lebih cepat. “Dua tahun kami telah mencoba memecahkan masalah ini, tapi gagal. Tembok-tembok sialan di luar sana juga bergerak pada malam hari, sama seringnya dengan pintu-pintu di sini. Susah mencari jalan keluar, aku juga tak tahu mengapa begitu sulit.” Dia mengangguk ke arah bangunan bertembok beton tempat para Pelari semalam menghilang.

Sekali lagi kepala Thomas ditikam rasa nyeri—terlalu banyak hal yang dipikirkannya sekaligus. Mereka telah berada di sini selama dua tahun? Dinding-dinding di dalam Maze bergerak? Berapa banyak anak yang telah mati? Dia melangkah maju, ingin melihat sendiri Maze itu, seolah jawaban-jawaban pertanyaannya tercetak di permukaan tembok-temboknya.

Alby merentangkan tangan dan mendorong dada Thomas, membuatnya terhuyung kembali ke belakang. “Jangan pergi ke sana, Bodoh.”

Thomas berusaha menahan perasaan meluapnya. “Kenapa?”

“Kau kita aku mengirim Newt kepadamu sebelum bangun hanya untuk main-main? Anak-Bawang, itu adalah Aturan Nomor Satu, satu-satunya hal yang membuatmu tak termaafkan jika melanggarnya. Tak seorang pun—seorang pun—diizinkan masuk ke maze kecuali pada Pelari. Jika kau langgar aturan itu, dan bahkan bila kau tak terbunuh oleh Griever, kami sendiri yang akan melakukannya, kau mengerti?”

Thomas mengangguk, mengerutu dalam hati, merasa yakin bawah Alby hanya melebih-lebihkan. Dia berharap begitu. Di sisi lain, meskipun dia yakin tentang kata-katanya semalam kepada Chuck, kini segalanya tak mungkin lagi. Dia ingin menjadi seorang Pelari. Dia akan menjadi Pelari. Jauh di dasar hatinya dia tahu bahwa dia harus pergi ke sana, ke dalam Maze. Meskipun dengan segala yang telah dia ketahui dan saksikan langsung, dorongan itu sangat besar seperti rasa lapar atau haus.

Sebuah gerakan dari bagian kiri atas tembok Pintu Selatan mengalihkan perhatiannya. Terkejut, dia bereaksi cepat, menoleh tepat ketika tampak sekelebat sinar perak. Sepetak tanaman ivy bergoyang saat benda itu lenyap di baliknya.

Thomas menuding ke dinding. “Apa itu?” tanya anak itu sebelum diminta untuk tutup mulut lagi.

Alby tak merepotkan diri untuk menoleh. “Tidak ada pertanyaan hingga selesai, Bocah. Berapa kali harus kukatakan kepadamu?” Dia terdiam, lalu mendesah. “Itu Serangga-mesin—itulah cara para Kreator mengawasi kita. Kau sebaiknya tidak—”

Kata-katanya terpotong oleh suara alarm yang nyaring dari segala arah. Thomas menutup kedua telinganya dengan tangan, menengok ke sekelilingnya saat sirene berbunyi, jantungnya seperti hendak melompat keluar dari tempatnya. Namun, saat melihat Alby, dia terdiam.

Alby tidak terlihat takut—dia seperti ... kebingungan. Heran. Suara alarm membahana di udara.

“Ada apa?” tanya Thomas. Kelegaan menjalari dadanya melihat pemandu perjalanannya tidak tampak sedang menghadapi akhir dunia—meskipun demikian, Thomas mulai merasa lelah dikejutkan berbagai gelombang kepanikan.

“Ini aneh” adalah satu-satunya kalimat yang dilontarkan Alby saat dia mengedarkan pandangan ke Glade, memicingkan mata. Thomas memperhatikan orang-orang di Rumah Darah menoleh ke sekelilingnya, rupanya juga merasa bingung. Salah seorang berteriak kepada Alby, seorang anak bertubuh kurus pendek yang berlumuran lumpur.

“Ada apa ini?” tanya anak laki-laki itu, memandang Thomas karena alasan tertentu.

“Aku tak tahu,” Alby bergumam dengan suara nyaris tak terdengar.

Akan tetapi, Thomas tak tahan lagi. “Alby! Apa yang sedang terjadi?”

“Kotak itu, Anak Bodoh, Kotak!” Setelah mengucapkan itu Alby bergegas ke bagian tengah Glade yang bagi Thomas terlihat seperti kepanikan.

“Memangnya kenapa dengan benda itu?” tuntut Thomas, segera menyusulnya. Bicaralah kepadaku! Dia ingin berteriak kepada Alby.

Akan tetapi, Alby tak menjawab ataupun melambatkan langkahnya, dan saat mereka semakin dekat dengan Kotak, Thomas dapat melihat puluhan anak berlari di sekitar halaman. Dia melihat Newt dan memanggilnya, mencoba menekan rasa takutnya, mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa segalanya akan baik-baik saja, bahwa pasti ada penjelasan yang masuk akal atas semua ini.

“Newt, ada apa?” dia berteriak.

Newt menoleh sekilas kepadanya, kemudian mengangguk dan menghampirinya, anehnya tampak tenang di tengah kekacauan ini. dia menepuk punggung Thomas dengan keras. “Ini artinya ada seorang Anak-Bawang datang di dalam Kotak.” Dia terdiam sejenak seolah berharap Thomas akan terkesan. “Saat ini juga.”

“Jadi?” Saat Thomas menatap Newt lebih lekat, dia menyadari bahwa ekspresi tenang yang diduganya ternyata adalah raut terkejut—bahkan mungkin kegembiraan.

Jadi?” sahut Newt, nyaris ternganga. “Anak-Bawang, kami belum pernah mendapatkan dua orang baru dalam satu bulan, apalagi dua hari berturut-turut.”


Setelah mengatakan itu, dia berlari menuju Wisma.[]


No comments:

Post a Comment