Penulis: Suzanne
Collins
Sepasang Dauntless pembelot berdiri di samping pintu ruang
makan sambil memegang senjata. Tubuhku tegang. Tiba-tiba semua ini terasa
begitu nyata bagiku. Aku tak bersenjata dan digiring ke bangunan yang dikepung
oleh Erudite dan Dauntless. Jika mereka melihatku, tak ada tempat untuk
melarikan diri. Mereka akan menembakku di tempat.
Aku menimbang-nimbang untuk melarikan diri. Tapi, aku harus
lari ke mana supaya mereka tak bisa menangkapku? Aku berusaha bernapas normal.
Aku hampir melewati mereka—jangan
memandang, jangan memandang. Beberapa langkah lagi—pandang ke tempat lain, ke
tempat lain.
Susan menggandeng lenganku.
“Aku menceritakan lelucon kepadamu,” katanya, “dan kau
merasa itu sangat lucu.”
Aku menutup mulutku dengan tangan dan memaksakan diri
terkikik sehingga suaranya tinggi dan asing. Namun dari senyuman Susan,
tampaknya upayaku meyakinkan. Kami saling bergandengan tangan seperti
gadis-gadis Amity, melirik ke arah para Dauntless, lalu terkikik lagi. Aku
takjub karena berhasil melakukannya, apalagi dengan hati yang terasa berat.
“Terima kasih,” aku menggumam saat kami di dalam.
“Sama-sama,” jawabnya.
Tobias duduk di depanku di salah satu meja panjang sementara
Susan duduk di sampingku. Para Abnegation yang lain menyebar di ruangan itu.
Caleb dan Peter duduk beberapa kursi dariku.
Aku mengetuk-ngetukkan jari di lutut seolah sedang menunggu
sesuatu terjadi. Kami duduk lama di sana. Aku pura-pura mendengarkan cerita
seorang gadis Amity di sebelah kiriku. Tapi, aku sering memandang Tobias dan ia
membalas pandanganku. Kami seperti saling melemparkan rasa takut.
Akhirnya, Johanna masuk bersama seorang wanita Erudite.
Pakaiannya yang berwarna biru terang tampak berkilau di atas kulitnya yang
berwarna cokelat gelap. Matanya mencari-cari di ruang makan sementara bicara
kepada Johanna. Aku manhan napas saat wanita itu melihatku—dan mengembuskan
napas saat ia mengalihkan pandangan tanpa berhenti sejenak pun. Ia tidak
mengenaliku.
Setidaknya, belum/
Seseorang mengetuk dan ruangan itu langsung sunyi. Ini dia.
Ini saatnya Johanna menyerahkan kami, atau tidak.
“Kawan-kawan Erudite dan Dauntless ini mencari sejumlah
orang,” Johanna mengumumkan. “Beberapa Abnegation, tiga Dauntless, dan seorang
mantan peserta inisiasi Erudite. Ia tersenyum. “Dalam rangka menjaga agar kerja
sama kita tetap utuh, aku memberi tahu bahwa dulu sebenarnya orang-orang yang
dicari itu memang ada di sini, tapi saat ini sudah pergi. Mereka minta izin
untuk menggeledah tempat ini, yang berarti kita harus melakukan pemungutan
suara. Apakah ada yang keberatan dengan penggeledahan ini?”
Suaranya yang tegang menyiratkan bahwa siapa pun yang
keberatan harus tutup mulut. Aku tak tahu apakah Amity menangkap hal seperti
itu, tapi tak ada yang bicara. Johanna mengangguk ke arah si Wanita Erudite.
“Tiga di sini,” perintah wanita itu kepada Dauntless penjaga
yang berkerumun di pintu. “Sisanya, geledah bangunan ini dan laprokan jika
menemukan sesuatu. Laksanakan.”
Mereka bisa menemukan banyak. Pecahan-pecahan harddisk. Pakaian yang lupa kubuang.
Keanehan karena tidak ada pernak-pernik dan hiasan di tempat tinggal kami. Aku
merasakan denyutan di balik mataku saat ketiga prajurit Dauntless yang tinggal
mondar-mandir di antara deretan meja.
Tengkukku merinding saat salah satunya berjalan di
belakangku. Langkah kakinya keras dan berat. Walaupun bukan untuk pertama
kalinya dalam hidupku, aku senang tubuhku kecil dan sederhana. Aku tidak
menarik perhatian orang.
Tapi Tobias iya. Sikap tubuhnya begitu percaya diri dan
matanya seolah menyatakan semua yang ditatapnya adalah miliknya. Itu bukan
sikap seorang Amity. Itu sikap khas Dauntless.
Wanita Dauntless yang berjalan menghampiri Tobias langsung
melihatnya. Matanya menyipit saat mendekat dan ia langsung berhenti tepat di
belakang Tobias.
Aku berharap kerah atasan Tobias lebih tinggi. Seandainya
tatonya tak sebanyak itu. Seandainya ....
“Rambutmu pendek juga untuk seorang Amity,” wanita itu
berkomentar.
... potongan rambut Tobias tidak seperti seorang Abnegation.
“Panas,” jawab Tobias.
Alasan itu mungkin meyakinkan kalau ia tahu cara
menyampaikannya, tapi Tobias mengucapkannya dengan kasar.
Wanita itu mengulurkan tangan dan, dengan jari telunjuknya,
menarik kerah leher Tobias untuk melihat tatonya.
Tobias bergerak.
Ia meraih pergelangan tangan wanita itu dan menyentakkannya
ke depan sehingga wanita tersebut limbung. Kepadalanya menghantam ujung meja,
lalu wanita itu roboh. Di seberang ruangan, pistol menyalak, seseorang
menjerit, dan semua orang menukik ke bawah meja atau berjongkok di samping
bangku-bangku.
Semuanya kecuali aku. Sebelum pistol itu berbunyi, aku duduk
di tempatku yang biasa sambil mencengkeram pinggiran meja. Walau sadar aku ada
di kafetaria, mataku tak melihatnya. Yang kulihat justru gang tempatku
melarikan diri setelah ibuku meninggal. Aku menatap pistol di tanganku, menatap
kulit di antara alis Will.
Leherku mengeluarkan suara berdeguk pelan, yang bakal
menjadi suara jeritan seandainya gigiku tidak terkatup rapat. Kilasan kenangan
itu lenyap, tapi aku masih tak bisa bergerak.
Tobias mencengkeram tengkuk wanita Dauntless itu dan
menikungnya hingga berdiri. Tangannya memegang senjata wanita itu. Tobias
menggunakan wanita itu sebagai tameng sambil menembak prajurit Dauntless di
seberang ruangan melalui atas bahu kanan wanita itu.
“Tris,” Tobias berseru. “Bila bantu sedikit?”
Aku mengangkat kausku cukup tinggi untuk meraih gagang
pistol. Jari-jariku menyentuh logam yang terasa begitu dingin dan menyakiti
ujung-ujung jariku. Tapi itu tidak mungkin. Udara di sini sangat panas. Seorang
pria Dauntless di ujung lorong membidikkan revolvernya ke arahku. Titik hitam
di ujung larasnya membesar mengelilingiku. Yang bisa kudengar hanyalah detak
jantungku.
Caleb menerjang ke depan dan meraih pistolku. Ia memegangnya
dengan kedua tangan, lalu menembak lutut pria Dauntless yang berdiri beberapa
langkah darinya itu.
Pria Dauntless itu menjerit dan roboh, sambil mencengkeram
kaki, sehingga Tobias mendapat kesempatan untuk menembak kepalanya. Rasa
sakitnya hanya sekejap.
Seluruh tubuhku gemetar dan aku tak bisa menghentikannya.
Tobias masih mencengkeram leher wanita Dauntless itu, tapi kali ini ia
membidikkan pistolnya ke si Wanita Erudite.
“Kalau kau bicara sepatah kata pun,” ujar Tobias, “akan
kutembak.”
Mulut wanita Erudite itu terbuka, tapi ia tak bicara.
“Siapa pun yang ikut kami, larilah sekarang,” seru Tobias,
suaranya membahana di ruangan.
Seketika itu juga, para Abnegation bangkit dari
persembunyian mereka di bawah meja dan bangku, lalu bergerak ke pintu. Caleb menarikku
berdiri dari bangku. Aku berjalan ke pintu.
Lalu, aku melihat sesuatu. Sekilas gerakan kecil. Wanita
Erudite itu mengangkat pistol kecil dan membidik seorang pra berbaju kuning di
depanku. Nalurilah, dan bukan akal sehat, yang mendorongku untuk menukik.
Tanganku menubruk pria itu. Pelurunya menghunjam dinding, bukan pria itu
ataupun aku.
“Jatuhkan pistol itu,” Tobias memerintahkan sambil
membidikkan revolvernya ke si Wanita Erudite. “Bidikanku sangat bagus, dan aku yakin bidikanmu tidak.”
Aku berkedip beberapa kali ini menghilangkan kabur di
mataku. Peter menatap balik ke arahku. Aku baru saja menyelamatkan nyawanya. Ia
tidak mengucapkan terima kasih dan aku mengabaikannya.
No comments:
Post a Comment