Insurgent (Divergent #2) (14)

Penulis: Suzanne Collins

Sepasang Dauntless pembelot berdiri di samping pintu ruang makan sambil memegang senjata. Tubuhku tegang. Tiba-tiba semua ini terasa begitu nyata bagiku. Aku tak bersenjata dan digiring ke bangunan yang dikepung oleh Erudite dan Dauntless. Jika mereka melihatku, tak ada tempat untuk melarikan diri. Mereka akan menembakku di tempat.

Aku menimbang-nimbang untuk melarikan diri. Tapi, aku harus lari ke mana supaya mereka tak bisa menangkapku? Aku berusaha bernapas normal. Aku hampir melewati mereka—jangan memandang, jangan memandang. Beberapa langkah lagi—pandang ke tempat lain, ke tempat lain.

Susan menggandeng lenganku.

“Aku menceritakan lelucon kepadamu,” katanya, “dan kau merasa itu sangat lucu.”

Aku menutup mulutku dengan tangan dan memaksakan diri terkikik sehingga suaranya tinggi dan asing. Namun dari senyuman Susan, tampaknya upayaku meyakinkan. Kami saling bergandengan tangan seperti gadis-gadis Amity, melirik ke arah para Dauntless, lalu terkikik lagi. Aku takjub karena berhasil melakukannya, apalagi dengan hati yang terasa berat.

“Terima kasih,” aku menggumam saat kami di dalam.

“Sama-sama,” jawabnya.

Tobias duduk di depanku di salah satu meja panjang sementara Susan duduk di sampingku. Para Abnegation yang lain menyebar di ruangan itu. Caleb dan Peter duduk beberapa kursi dariku.

Aku mengetuk-ngetukkan jari di lutut seolah sedang menunggu sesuatu terjadi. Kami duduk lama di sana. Aku pura-pura mendengarkan cerita seorang gadis Amity di sebelah kiriku. Tapi, aku sering memandang Tobias dan ia membalas pandanganku. Kami seperti saling melemparkan rasa takut.

Akhirnya, Johanna masuk bersama seorang wanita Erudite. Pakaiannya yang berwarna biru terang tampak berkilau di atas kulitnya yang berwarna cokelat gelap. Matanya mencari-cari di ruang makan sementara bicara kepada Johanna. Aku manhan napas saat wanita itu melihatku—dan mengembuskan napas saat ia mengalihkan pandangan tanpa berhenti sejenak pun. Ia tidak mengenaliku.

Setidaknya, belum/

Seseorang mengetuk dan ruangan itu langsung sunyi. Ini dia. Ini saatnya Johanna menyerahkan kami, atau tidak.

“Kawan-kawan Erudite dan Dauntless ini mencari sejumlah orang,” Johanna mengumumkan. “Beberapa Abnegation, tiga Dauntless, dan seorang mantan peserta inisiasi Erudite. Ia tersenyum. “Dalam rangka menjaga agar kerja sama kita tetap utuh, aku memberi tahu bahwa dulu sebenarnya orang-orang yang dicari itu memang ada di sini, tapi saat ini sudah pergi. Mereka minta izin untuk menggeledah tempat ini, yang berarti kita harus melakukan pemungutan suara. Apakah ada yang keberatan dengan penggeledahan ini?”

Suaranya yang tegang menyiratkan bahwa siapa pun yang keberatan harus tutup mulut. Aku tak tahu apakah Amity menangkap hal seperti itu, tapi tak ada yang bicara. Johanna mengangguk ke arah si Wanita Erudite.

“Tiga di sini,” perintah wanita itu kepada Dauntless penjaga yang berkerumun di pintu. “Sisanya, geledah bangunan ini dan laprokan jika menemukan sesuatu. Laksanakan.”

Mereka bisa menemukan banyak. Pecahan-pecahan harddisk. Pakaian yang lupa kubuang. Keanehan karena tidak ada pernak-pernik dan hiasan di tempat tinggal kami. Aku merasakan denyutan di balik mataku saat ketiga prajurit Dauntless yang tinggal mondar-mandir di antara deretan meja.

Tengkukku merinding saat salah satunya berjalan di belakangku. Langkah kakinya keras dan berat. Walaupun bukan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku senang tubuhku kecil dan sederhana. Aku tidak menarik perhatian orang.

Tapi Tobias iya. Sikap tubuhnya begitu percaya diri dan matanya seolah menyatakan semua yang ditatapnya adalah miliknya. Itu bukan sikap seorang Amity. Itu sikap khas Dauntless.

Wanita Dauntless yang berjalan menghampiri Tobias langsung melihatnya. Matanya menyipit saat mendekat dan ia langsung berhenti tepat di belakang Tobias.

Aku berharap kerah atasan Tobias lebih tinggi. Seandainya tatonya tak sebanyak itu. Seandainya ....

“Rambutmu pendek juga untuk seorang Amity,” wanita itu berkomentar.

... potongan rambut Tobias tidak seperti seorang Abnegation.

“Panas,” jawab Tobias.

Alasan itu mungkin meyakinkan kalau ia tahu cara menyampaikannya, tapi Tobias mengucapkannya dengan kasar.

Wanita itu mengulurkan tangan dan, dengan jari telunjuknya, menarik kerah leher Tobias untuk melihat tatonya.

Tobias bergerak.

Ia meraih pergelangan tangan wanita itu dan menyentakkannya ke depan sehingga wanita tersebut limbung. Kepadalanya menghantam ujung meja, lalu wanita itu roboh. Di seberang ruangan, pistol menyalak, seseorang menjerit, dan semua orang menukik ke bawah meja atau berjongkok di samping bangku-bangku.

Semuanya kecuali aku. Sebelum pistol itu berbunyi, aku duduk di tempatku yang biasa sambil mencengkeram pinggiran meja. Walau sadar aku ada di kafetaria, mataku tak melihatnya. Yang kulihat justru gang tempatku melarikan diri setelah ibuku meninggal. Aku menatap pistol di tanganku, menatap kulit di antara alis Will.

Leherku mengeluarkan suara berdeguk pelan, yang bakal menjadi suara jeritan seandainya gigiku tidak terkatup rapat. Kilasan kenangan itu lenyap, tapi aku masih tak bisa bergerak.

Tobias mencengkeram tengkuk wanita Dauntless itu dan menikungnya hingga berdiri. Tangannya memegang senjata wanita itu. Tobias menggunakan wanita itu sebagai tameng sambil menembak prajurit Dauntless di seberang ruangan melalui atas bahu kanan wanita itu.

“Tris,” Tobias berseru. “Bila bantu sedikit?”

Aku mengangkat kausku cukup tinggi untuk meraih gagang pistol. Jari-jariku menyentuh logam yang terasa begitu dingin dan menyakiti ujung-ujung jariku. Tapi itu tidak mungkin. Udara di sini sangat panas. Seorang pria Dauntless di ujung lorong membidikkan revolvernya ke arahku. Titik hitam di ujung larasnya membesar mengelilingiku. Yang bisa kudengar hanyalah detak jantungku.

Caleb menerjang ke depan dan meraih pistolku. Ia memegangnya dengan kedua tangan, lalu menembak lutut pria Dauntless yang berdiri beberapa langkah darinya itu.

Pria Dauntless itu menjerit dan roboh, sambil mencengkeram kaki, sehingga Tobias mendapat kesempatan untuk menembak kepalanya. Rasa sakitnya hanya sekejap.

Seluruh tubuhku gemetar dan aku tak bisa menghentikannya. Tobias masih mencengkeram leher wanita Dauntless itu, tapi kali ini ia membidikkan pistolnya ke si Wanita Erudite.

“Kalau kau bicara sepatah kata pun,” ujar Tobias, “akan kutembak.”

Mulut wanita Erudite itu terbuka, tapi ia tak bicara.

“Siapa pun yang ikut kami, larilah sekarang,” seru Tobias, suaranya membahana di ruangan.

Seketika itu juga, para Abnegation bangkit dari persembunyian mereka di bawah meja dan bangku, lalu bergerak ke pintu. Caleb menarikku berdiri dari bangku. Aku berjalan ke pintu.

Lalu, aku melihat sesuatu. Sekilas gerakan kecil. Wanita Erudite itu mengangkat pistol kecil dan membidik seorang pra berbaju kuning di depanku. Nalurilah, dan bukan akal sehat, yang mendorongku untuk menukik. Tanganku menubruk pria itu. Pelurunya menghunjam dinding, bukan pria itu ataupun aku.

“Jatuhkan pistol itu,” Tobias memerintahkan sambil membidikkan revolvernya ke si Wanita Erudite. “Bidikanku sangat bagus, dan aku yakin bidikanmu tidak.”

Aku berkedip beberapa kali ini menghilangkan kabur di mataku. Peter menatap balik ke arahku. Aku baru saja menyelamatkan nyawanya. Ia tidak mengucapkan terima kasih dan aku mengabaikannya.



No comments:

Post a Comment