The Maze Runner (The Maze Runner #1) (61)

Penulis : James Dashner

61

Jam-jam yang berlalu berikutnya seolah gambar yang kabur dengan suara-suara tak jelas bagi Thomas.

Sopir menjalankan kendaraan dengan cepat dan ugal-ugalan, melewati beberapa kota besar dan kecil, hujan yang deras membuat gelap sebagian besar pemandangan di luar. Lampu-lampu dan bangunan-bangunan tampak cekung dan berair, seperti halusinasi akibat pengaruh obet. Pada suatu ketika beberapa orang di luar menyerbu bus, pakaian mereka compang-camping, rambut mereka melekat di kepala, luka-luka aneh yang dilihat Thomas pada wanita tadi juga menutupi wajah-wajah mengerikan orang-orang ini. Mereka menubruk sisi-sisi kendaraan itu seolah ingin ikut masuk, ingin melarikan diri dari kehidupan mereka yang mengerikan.

Kecepatan bus tak berkurang. Teresa tak bersuara di sebelah Thomas.

Akhirnya, Thomas memberanikan diri bertanya kepada wanita yang duduk di seberangnya.

“Apa yang terjadi?” tanya anak itu dengan ragu.

Wanita itu menoleh kepadanya. Rambut hitamnya yang basah terjuntai membingkai wajahnya. Kedua matanya penuh kesedihan. “Ceritanya sangat panjang.” Suaranya lebih ramah daripada yang diperkirakan Thomas, memunculkan harapan bahwa orang itu benar-benar berniat baik kepada mereka—bahwa semua penyelamat mereka adalah teman. Meskipun terdapat fakta bahwa mereka telah melindas seorang wanita dengan darah dingin.

“Tolong,” ujar Teresa. “Beri tahu kami.”

Wanita itu menatap Thomas dan Teresa bergantian, kemudian mendesar. “Ini akan memakan waktu sebelum kalian mendapatkan semua memori itu kembali, jika ada kesempatan—kami bukan ilmuwan, kami tak tahu apa yang telah mereka lakukan kepada kalian, atau cara mereka melakukannya.

Jantung Thomas mencelus mendengar bahwa dia mungkin akan kehilangan memori selamanya, tetapi dia tetap mendesak. “Siapa mereka?” tanya anak itu.

“Semuanya bermula dari ledakan energi matahari,” kata wanita itu, tatapan menerawang.

“Apa—” Teresa hendak menyela, tetapi Thomas berdesis pelan.

Biarkan dia bicara, katanya melalui pikiran. Sepertinya dia akan bercerita.

Oke.

Wanita itu nyaris tampak tak sadar saat berkata-kata, tanpa mengalihkan ttapannya yang kosong ke kejauhan. “Ledakan energi matahari tidak bisa diperkirakan sebelumnya. Ledakan itu sesungguhnya wajar, tetpi kali ini belum pernah terjadi sebelumnya, sangat besar, lidah apinya semakin tinggi setiap waktu—dan itu terpantau hanya beberapa menit sebelum panasnya menyapu Bumi. Pertama-tama satelit-satelit kita habis terbakar, dan ribuan satelit lainnya mati seketika, jutaan alinnya menyusul dalam beberapa hari, dan tak terhitung lagi daratan yang menjadi gurun mati. Kemudian, muncul penyakit itu.”

Wanita itu berhenti sejenak, menarik napas. “Saat ekosistem rusak, mustahil mengendalikan penyekit itu—bahkan meskipun hanya membentenginya di Amerika Selatan. Hutan belantaran musnah, tetapi serangga-serangga tidak. Orang-orang kini menyebutnya Flare. Ini penyakit yang sangat, sangat mengerikan. Hanya orang-orang terkaya yang bisa dirawat, tak seorang pun dapat diobati. Kecuali rumor-rumor dari daerah pegunungan Andes itu benar.”

Thomas hampir melanggar sarannya sendiri—banyak pertanyaan memenuhi benaknya. Kengerian tumbuh dalam hatinya. Anak itu duduk dan mendengarkan saat wanita itu melanjutkan ceritanya.

“Sedangkan kalian, semuanya—kalian hanya sebagian kecil dari jutaan anak tanpa orangtua. Mereka menguji ribuan anak, memilih kalian untuk dikumpulkan dalam satu kelompok besar. Tes paling akhir. Semua yang kalian jalani dalam kehidupan dihitung dan dibahas. Dengan beberapa perlakuan untuk melihat reaksi kalian, gelombang otak kalian, dan pikiran-pikiran kalian. Semuanya dalam rangka untuk memperoleh hasil yang tepat untuk menolong kita menemukan cara mengalahkan penyakit Flare ini.”

Wanita itu terdiam lagi, menyelipkan helaian rambut ke belakang telinganya. “Sebagian besar efek-efek fisik disebabkan oleh hal yang lain. Awalnya berbagai khayalan mulai muncul, kemudian insting hewani mulai menguasai sifat manusia setiap orang. Akhirnya, nafsu itu menguasai mereka, menghancurkan sifat-sifat manusiawi mereka. Semuanya ada di dalam otak. Flare hidup di dalam otak mereka. Itu hal yang sangat mengerikan. Lebih baik mati daripada mengidap penyakit itu.”

Wanita itu mengalihkan tatapan kosongnya dan menoleh ke arah Thomas, kemudian kepada Teresa, dan kembali kepada Thomas. “Kami tak akan membiarkan mereka melakukan semua itu terhadap anak-anak. Kami sudah bersumpah demi hidup kami untuk melawan WICKED. Kita tak boleh kehilangan sifat-sifat manusia kita, tak peduli bagaimana akhirnya nanti.”

Dia melipat kedua tangannya di atas pangkuannya, memandang kedua anak di seberangnya. “Kalian akan tahu lebih banyak pada saatnya nanti. Kita tinggal jauh di utara. Kita terpisah dari kawasan Andes beribu-ribu kilometer. Mereka menyebutnya Scorch—tempat itu terbenteng luas. Letaknya berpusat di sekitar wilayang yang biasa disebut garis khatulistiwa—saat ini hanya tersisa panas dan debu di sana, dipenuhi orang-orang buas yang digerogoti Flare tanpa bisa ditolong lagi. Kita akan mencoba melewati daratan itu—menemukan obatnya. Tapi, sebelum itu, kita akan melawan WICKED dan menghentikan semua eksperimen dan tes ini.” Dia menatap baik-baik Thomas, kemudian Teresa. “Kami berharap kalian mau bergabung dengan kami.”

Kemudian, wanita itu mengalihkan pandangan, menatap ke luar jendelanya.

Thomas memandang Teresa, kedua alis matanya terangkat bingung. Gadis itu hanya menggelengkan kepala kemudian bersandar pada bahu Thomas dan memejamkan mata.

Aku terlalu lelah memikirkannya, kata gadis itu. Yang penting kita sudah selamat sekarang.

Mungkin, sahut Thomas. Mungkin.

Dia mendengar suara dengkuran lembut gadis itu, tetapi Thomas tahu dirinya tidak mungkin bisa tidur. Dia merasakan gejolak kemarahan berbagai emosi yang berkecamuk, dia tak bisa memilahnya satu per satu. Namun, itu lebih baik daripada kehampaan yang dirasakannya sebelumnya. Anak itu duduk dan memandang hujan dan kedelapan melalui kaca endela, benaknya dibanjiri kata-kata seperti Flare, penyakit, eksperimen, Scorch, dan WICKED. Dia hanya bisa duduk dan berharap bahwa segalanya akan lebih baik sekarang daripada yang mereka lalui di Maze. Namun, ketika tubuhnya berguncang dan berayun mengikuti gerakan bus, merasakan kepala Teresa membentur pelan bahunya sesekali ketika bus melewati jalan tak rata, merasakan gadis itu beringsut dan kembali tertidur, mendengar gumam percakapan Glader yang lain, pikirannya selalu kembali ke satu hal.

Chuck.


Dua jam kemudian, bus berhenti.

Mereka tiba di sebuah lahan parkir berlumpur yang mengelilingi sebuah bangunan tak jelas dengan beberapa baris jendela. Wanita dan para penolong lainnya menggiring kesembilan belas anak laki-laki dan satu anak perempuan itu masuk memlalui pintu depan dan naik ke tangga, kemudian menuju sebuah ruang asrama yang sangat besar dengan rangkaian tempat tidur bertingkat berjajar di salah satu dinding. Di sisi berlawanan tampak deretan meja berlaci. Jendela-jendela bertirai berjajar di setiap dinding ruangan itu.

Thomas memandang semuanya dengan perasaan hampa dan tak bersuara—dia sepertinya tak lagi bisa dibuat terkejut atau terkesan oleh apa pun.

Tempat itu berwarna-warni. Bercat dinding kuning terang, selimut-selimut merah, tirai-tirai jendela hijau. Setelah suasana kelabu Glade, kini mereka seolah dipindahkan ke rangkaian pelangi yang hidup. Memandangi semua ini, melihat deretan tempat tidur dan meja, semuanya barus dan rapi—semua hal yang tampak normal ini sungguh melampaui perasaannya. Terlalu indah untuk jadi kenyataan. Minho dengan sangat baik mengomentari dunia baru mereka itu, “Aku sudah mati dan pergi ke surga.”

Thomas sulit merasa gembira, seolah-olah dia telah mengkhianati Chuck karena mendapatkan semua ini. Namun, dia merasakan sesuatu di sini. Sesuatu.

Pemimpin yang tadi menyopiri bus, meninggalkan para Glader ke beberapa orang pengurus—sembilan atau sepuluh orang pria dan wanita bercelana panjang hitam ketat dan baju putih, rambut mereka sangat rapi, dengan wajah dan tangan yang tampak halus. Mereka tersenyum.

Warna-warna. Tempat tidur. Para pengurus. Thomas merasakan kebahagiaan yang tak masuk akal bergejolak dalam dirinya. Meskipun demikian, sebuah lubang yang sangat besar mengintai di tengah-tengahnya. Kemuraman pekat yang mungkin tak akan pernah pergi—kenangan-kenangannya akan Chuck dan pembunuhannya yang tragis. Pengorbanannya. Namun, di luar itu, di luar segalanya, di luar semua yang dikatakan wanita itu di dalam bus tadi tentang dunia yang mereka masuki kembali, Thomas merasa aman untuk kali pertama sejak keluar dari Kotak.

Tempat-tempat tidur ditandai, baju dan perlengkapan kamar mandi dibagikan, makan malam telah disiapkan. Piza. Piza sungguhan, yang enah dan gurih. Thomas menikmati setiap gigitannya, rasa lapar menyingkirkan hal-hal yang lain, suasana gembira dan lega di sekitarnya tampak jelas. Sebagian besar Glader masih tetap tak berbicara hingga saat ini, mungkin khawatir jika berbicara akan melenyapkan segalanya. Namun, senyum mulai tampak di sana sini. Thomas telah sangat terbiasa melihat wajah-wajah yang putus asa, rasanya hampir membuncah melihat wajah-wajah bahagia. Terutama ketika hatinya sendiri juga telah mengalami hal yang berat.

Tak lama setelah makan, tak seorang pun membantah ketika diberi tahu bahwa waktu tidur telah tiba.


Demikian pula dengan Thomas. Dia merasa seolah sanggup tidur selama satu bulan.[]

1 comment:

  1. Maaf sebelumnya please kalau bisa tolong terjemahin novel the scocrh trials dan the power of six


    Terima kasih

    ReplyDelete