The Maze Runner (The Maze Runner #1) (60)

Penulis : James Dashner

60

Dia akhirnya mengembalikan semuanya ke dalam hati, menelan gelombang rasa sakit kepedihannya. Ketika di Glade, Chuck menjadi sebuah simbol bagi Thomas—bagaikan lentera yang entah kapan akan membuat segalanya di dunia menjadi lebih baik bagi mereka. Tidur di pembaringan. Ucapan selamat malam. Menyantap daging dan telur saat sarapan, pergi ke sekolah sungguhan. Menjadi bahagia.

Akan tetapi, kini Chuck telah pergi. Dan, tubuhnya yang terkulai, yang masih dalam dekapan Thomas, seolah sosok keramat yang beku—bahwa bukan hanya mimpi-mimpi tentang masa depan penuh harapan itu tak akan pernah dilewati melainkan juga bahwa hidup tidak akan pernah sama lagi. Bahwa meskipun dalam pelarian, hari-hari suram menanti di hadapan. Kehidupan yang penuh kedukaan.

Sebagian kenangan Thomas muncul kembali. Namun, tak jelas seolah ternoda lumpur.

Dia menelan rasa sakit itu, menyimpannya rapat-rapat dalam dirinya. Dia melakukannya untuk Teresa. Untuk Newt dan Minho. Kegelapan macam apa pun yang menanti mereka, mereka akan selalu bersama, dan itulah yang paling sejak saat ini.

Thomas melepaskan Chuck, terduduk lunglai, berusaha tak melihat ke baju anak itu, yang gelap berlumuran darah. Dia menghapus air mata di pipinya, mengusap kedua matanya, tanpa merasa malu. Akhirnya, dia mendongak. Memandang Teresa dan kedua mata bulatnya yang biru, dipenuhi kesedihan—sama seperti yang ditunjukkan Thomas untuk Chuck, dia yakin itu.

Gadis itu membungkuk, meraih tangan Thomas, membantunya bangkit. Setelah anak laki-laki itu berdiri, Teresa tak melepaskan tangannya, begitu pula dengan Thomas. Dia meremas tangan gadis itu, mencoba mengatakan perasaaannya. Tak seorang pun membuka mulut, sebagian besar dari mereka memandang tubuh Chuck tanpa ekspresi, seolah mereka telah lama berpisah dari perasaan. Tak ada yang memandang Gally, yang bernapas, tetapi tak bergerak.

Wanita dari WICKED memecah keheningan.

“Semua ini terjadi demi sebuah tujuan,” katanya, kali ini suaranya tak bernada kebencian. “Kalian harus mengerti.”

Thomas memandangnya, meluapkan semua kemarahan melalui tatapannya. Namun, anak itu tak melakukan apa-apa.

Teresa meremas lengan Thomas dengan tangannya yang satu lagi. Sekarang bagaimana? Tanya gadis itu.

Aku tak tahu, jawab anak laki-laki itu. Aku tidak bisa—

Kalimatnya terputus oleh teriakan dan keributan tiba-tiba yang berasal dari luar pintu masuk tempat wanita itu tadi datang. Wanita itu jelas tampak panik, wajahnya memucat ketika dia menoleh ke arah pintu. Thomas mengikuti arah pandangannya.

Beberapa orang pria dan wanita berpakaian jin yang sangat dekil dan jas basah kuyup menerobos pintu masuk dengan senjata-senjata teracung, membentak-bentak dan meneriakkan kata-kata satu sama lain. Mustahil mendengar ucapan mereka. Senjata-senjata mereka—beberapa berupa senapa, sebagian lagi pistol—terlihat ... kuno dan lapuk. Hampir seperti mainan-mainan yang terbengkalai di hutan selama bertahun-tahun, yang baru saja ditemukan oleh anak-anak generasi berikutnya yang siap bermain perang-perangan.

Tidak mungkin, pikir Thomas. Tidak—

Kilat menerangi udara ketika beberapa tembakan meletus dari senjata itu, menembus tubuh sang wanita. Dia langsung mati, dengan tubuh hancur.

Thomas mundur beberapa langkah, nyaris terhuyung-huyung.

Seorang pria berjalan ke arah para Glader, sementara yang lain menyebar di sekitar mereka, mengarahkan senjata mereka ke kiri dan kanan sambil menembak jendela-jendela observasi, menghancurkan kaca-kacanya. Thomas mendengar jeritan, melihat darah, kemudian berpaling, memusatkan perhatian pada pria yang mendekati mereka. Pria itu berambut hitam, wajahnya masih muda, tetapi keriput memenuhi daerah sekitar matanya, seolah dia telah menghabiskan setiap waktu hidupnya mencemaskan hal yang harus dilakukan selanjutnya.

“Kami tak memiliki waktu untuk menjelaskan,” kata pria itu, suaranya tegang seperti wajahnya. “Ikuti saja aku dan berlari seolah hidupmu bergantung pada kakimu. Karena memang begitu kenyataannya.”

Setelah mengatakan itu, sang pria memberi kode gerakan kepada teman-temannya, kemudian berbalik dan berlari melewati pintu-pintu kaca, senjata teracung di depannya. Suara tembakan dan jeritan kesakitan masih bergema di ruangan itu, tetapi Thomas berusaha sekuat tenaga mengabaikannya dan mengikuti perintah tadi.

“Ayo pergi!” Salah seorang penyelamat mereka—Thomas menganggapnya demikian saat ini—berteriak dari belakang.

Setelah sempat tertegun, semua Glader menurutinya, nyaris saling menginjak ketika tergesa-gesa keluar dari ruangan itu, sejauh mungkin dari para Griever dan Maze. Thomas, masih menggandeng Teresa, berlari dengan yang lain, merapat di bagian belakang kelompok itu. Mereka tak punya pilihan lain kecuali meninggalkan tubuh Chuck di sana.

Thomas merasa hampa—dia sungguh-sungguh sudah mati rasa. Dia berlari menyusuri lorong yang panjang, menuju sebuah terowongan yang remang-remang. Naik melalui anak tangga melingkar. Semuanya gelap, berbau seperti bahan elektronik. Turun ke lorong berikutnya. Menaiki beberapa anak tangga lagi. Lalu, ke lorong-lorong selanjutnya. Thomas ingin sekali bersama Chuck, bersorak untuk pelarian mereka, bahagia karena Teresa ada bersamanya. Namun, dia sudah melihat terlalu banyak. Kini hanya ada kehampaan. Ruang kosong. Thomas terus berlari.

Selama mereka berlari, beberapa pria dan wanita memimpin dari depan, sebagian meneriakkan desakan dari belakang.

Mereka sampai di depan deretan pintu kaca lainnya, melewatinya, dan langsung berada di bawah hujan deras yang turun dari langit gelap. Tak ada yang terlihat kecuali kilau suram percikan air hujan yang jatuh ke tanah.

Sang pemimpin tidak berhenti berlari hingga mereka mencapai sebuah bus yang sangat besar, sisi-sisinya penyok dan tergores-gores, sebagian besar kaca jendelanya retak. Hujan mengguyur kendaraan itu, membuat Thomas membayangkan seekor monster raksasa yang mendadak muncul dari dalam samudra.

“Naik!” teriak pria itu. “Cepat!”

Mereka menurutinya, berdesak-desakan di depan pintu saat masuk. Ketika itu rasanya lama sekali, para Glader saling dorong dan berebut naik ke tiga anak tangga bus dan masuk ke barisan tempat duduk.

Thomas ada di bagian belakang, Teresa tepat berada di depannya. Thomas memandang ke langit, merasakan air yang menjatuhi wajahnya—rasanya hangat, nyaris panas, agak pekat. Anehnya, tetesan itu membantunya melupakan sejenak rasa takutnya, membuatnya menaruh perhatian pada hujan. Mungkin itu hanya karena hujan yang sangat deras. Anak itu kembali memusatkan perhatian pada bus, Teresa, dan pelarian mereka.

Mereka hampir sampai ke pintu ketika sebuah tangan tiba-tiba menepuk bahu Thomas, mencengkeram bajunya. Anak itu terpekik saat seseorang merenggutnya ke belakang, membuat lepas pegangannya pada tangan Teresa—dia melihat gadis itu berputar dan melihatnya pada saat bersamaan ketika dia jatuh ke tanah, mencipratkan air. Punggungnya terasa nyeri dan pada saat bersamaan seraut wajah wanita muncul beberapa sentimeter di atasnya, memandangnya terbalik, menghalangi pandangannya pada Teresa.

Rambut berminyak menjuntai, menyentuh Thomas, membingkai wajah di atasnya yang tersembunyi dalam bayangan. Bau tak sedap menusuk penciuman Thomas, seperti bau telur dan susu basi. Wanita itu mundur dan berkas sinar senter cukup menerangi raut wajahnya—kulitnya yang pucat dan keriput ditutupi oleh luka-luka mengerikan, mengeluarkan nanah. Kengerian melanda Thomas, membuatnya tak mampu bergerak.

“Selamatkan kita semua!” seru wanita menyeramkan itu, ludah berhamburan dari mulutnya, memuncrati Thomas. “Selamatkan kita dari Flare!” Dia tertawam hampir terdengar seperti batuk yang terputus-putus.

Wanita itu memekik ketika salah seorang pria penyelamat anak-anak menariknya dan melepaskannya dari Thomas, yang telah mengembalikan kesadarannya dan berusaha berdiri. Dia kembali ke dekat Teresa, memandangi pria itu menyeret sang wanita menjauh, kedua kakinya menendang-nendang tak bertenaga, kedua matanya terpancang kepada Thomas. Wanita itu menudingnya, berseru, “Jangan percaya satu pun perkataan mereka! Kalian harus selamatkan kita dari Flare!”

Ketika sang pria telah menjauh beberapa belas meter dari bus, dia mengempaskan wanita itu ke tanah. “Jaga jarak atau aku akan menembakmu sampai mati!” bentaknya kepada wanita itu, kemudian dia menoleh kepada Thomas. “Masuk ke bus!”

Thomas, gemetar saking ngerinya dengan peristiwa itu, berbalik dan mengikuti Teresa naik ke tangga dan melewati gang antara barisan tempat duduk. Mata-mata terbelalak terarah pada keduanya saat mereka berjalan sampai ke bangku belakang dan mengempaskan diri. Air gelap mengguyur jendela dari luar. Hujan memukul-mukul atap bus, sangat deras. Guntur mengguncang langit di atas mereka.

Apa itu tadi? Tanya Teresa dalam pikiran anak laki-laki itu.

Thomas tak dapat menjawabnya, hanya menggelengkan kepala. Bayangan Chuck kembali membanjirinya, mengalihkan persoalan wanita gila itu, mematikan hatinya. Dia tak memedulikan apa pun, tak merasakan kelegaan telah berhasil meloloskan diri dari Maze. Chuck ....

Salah seorang penyelemat mereka, seorang wanita, duduk di seberang Thomas dan Teresa; sang pemimpin yang tadi berbicara kepada mereka naik ke bus dan duduk di belakang setir, memasukkan gigi persneling. Bus itu mulai bergerak maju.

Pada saat bersamaan, Thomas melihat gerakan berkelebat di luar jendela. Wanita berwajah penuh luka yang sudah berdiri itu kini berlari kencang ke depan bus, melambai-lambaikan kedua tangannya dengan liar, meneriakkan sesuatu yang lenyap ditelan bunyi badai. Kedua matanya diliputi kegilaan atau teror—Thomas tak bisa memastikan.

Anak laki-laki itu mencondongkan tubuh ke kaca jendela ketika wanita itu menghilang dari pandangannya di depan.

“Tunggu!” pekik Thomas, tetapi tak seorang pun mendengarnya. Atau kalaupun mendengar, mereka tak peduli.

Sang sopir menambah kecepatan mesin—bus terlonjak saat menabrak tubuh wanita itu. Satu guncangan nyaris melontarkan Thomas dari kursinya ketika ban-ban depan melindas wanita itu, dan segera diikuti guncangan kedua—dari roda-roda belakang. Thomas memandang Teresa, melihat tatapan mual gadis itu yang jelas sama seperti dirinya.


Tanpa mengatakan sepatah kata pun, sang sopit tetap menginjak pedal gas dan bus berderum maju, menembus malam yang disapu hujan.[]

No comments:

Post a Comment