Penulis: Suzanne
Collins
Aku melihat seluruh otot di lengan Evelyn siaga, matanya
tidak dingin, tidak seperti mata Jeanine, tapi penuh perhitungan, penilaian,
dan rencana. Aku tak mengerti bagaimana bisa wanita ini tunduk pada keinginan
Marcus. Saat itu ia pasti belum menjadi wnita yang sekarang, yang sekuat baja
dan tahan banting.
Tori berdiri di hadapan Evelyn selama beberapa saat. Lalu,
ia muncur dengan terpincang-pincang, menjauhi pistol itu menuju pinggir
ruangan.
“Orang-orang yang membantu kami untuk mengalahkan faksi Erudite
akan diberi penghargaan,” Evelyn mengumumkan. “Orang-orang yang menentang kami
akan diadili dan dihukum sesuai dengan kejahatannya.” Ia mengeraskan suaranya
saat mengucapkan kalimat terakhir itu, dan aku kaget karena suaranya mencapai
seluruh penjuru ruangan.
Di belakangnya, pintu tangga terbuka, dan Tobias melangkah
masuk dengan diikuti Marcus dan Caleb, nyaris tak teperhatikan. Nyaris. Namun,
aku melihatnya karena aku terbiasa memperhatikan Tobias. Aku menatap sepatunya
saat Tobias mendekat. Sepatu kets hitam dengan lubang-lubang tali sepatu
berwarna krom. Sepatu itu berhenti tepat di sampingku, lalu Tobias berjongkok
hingga sejajar bahuku.
Aku memandangnya, menduga akan melihat matanya yang dingin
dan keras.
Tapi ternyata tidak.
Evelyn masih berbicara, tapi suaranya memudar di telingaku.
“Kau benar,” ujar Tobias pelan sambil menyeimbangkan
dirinya. Ia tersenyum sedikit. “Aku memang mengenalmu. Aku hanya perlu
diingatkan.”
Aku membuka mulut, tapi tak tahu harus berkata apa.
Lalu, seluruh monitor di lobi Erudite—setidaknya yang tidak
hancur akibat penyerbuan—berkedip menyala, termasuk sebuah proyektor yang
terletak di atas dinding tempat gambar Jeanine dulu berada.
Evelyn berhenti di tengah-tengah apa pun yang sedang
dikatakannya. Tobias meraih tanganku dan membantuku berdiri.
“Apa ini?” tuntuk Evelyn.
“Ini,” kata Tobias, hanya kepadaku, “adalah informasi yang
akan mengubah segalanya.”
Kakiku bergetar akibat rasa lega sekaligus cemas.
“Kau berhasil?” tanyaku.
“Kau yang
berhasil,” balas Tobias. “Yang kulakukan hanya memaksa Caleb bekerja sama.”
Aku memeluknya. Ia memegang wajahku dengan kedua tangan dan
menciumku. Aku mendekatkan diri hingga jarak di antara kami lenyap,
menghancurkan semua rahasia yang kami simpan dan perasaan curiga yang kami
rasakan—untuk selamanya, kuharap.
Lalu, aku mendengar suara.
Kami memisahkan diri dan memandang ke dinding, di sana ada
gambar proyeksi seorang wanita berambut cokelat pendek. Ia duduk di meja logam
dengan tangan dilipat, di suatu tempat yang tak kukenali. Latar belakangnya
terlalu redup.
“Halo,” wanita itu menyapa. “Namaku Amanda Ritter. Dalam file ini aku akan memberitahukan apa
yang perlu kalian ketahui. Aku adalah pemimpin organisasi yang memperjuangkan
keadilan dan kedamaian. Beberapa dekade terakhir ini, perjuangan kami menjadi
semakin penting—dan karena jadi makin sulit. Karena ini.”
Gambar-gambar muncul sebentar di dinding, nyaris terlalu
cepat untuk dilihat. Seorang pria yang sedang berlutut dengan pistol ditekankan
ke dahi. Seorang wanita yang mengacukan pistol ke arah pria itu, dengan wajah
tanpa ekspresi.
Di kejauhan, seseorang yang bertubuh kecil tergantung di
lehernya dari tiang telepon/
Lubang di tanah sebesar rumah, penuh mayat.
Masih ada gambar-gambar lainnya, tapi gerakannya semakin
cepat, sehingga aku hanya melihat kilasan darah, tulang, kematian, kekejaman,
wajah-wajah kosong, mata-mata hampa, tatapan-tatapan ngeri.
Saat aku merasa mual, saat aku merasa seakan-akan bakal
menjerit jika melihat lebih banyak lagi, wanita tadi muncul kembali di layar,
di balik mejanya.
“Kalian tak ingat itu,” katanya. “Tapi, kalau kalian pikir
ini adalah tindakan kelompok teroris atau rezim pemerintahan yang zalim, kalian
hanya setengah benar. Sebagian orang di gambar-gambar tadi, yang melakukan
tindakan mengerikan itu, adalah tetangga kalian. Kerabat kalian. Rekan kerja
kalian. Perjuangan yang kami lakukan bukanlah untuk melawan satu kelompok
tertentu. Tapi, untuk melawan sifat manusia itu sendiri—atau setidaknya akibat
dari itu.”
Inilah yang menyebabkan Jeanine mau meperbudak pikiran dan
membunuh orang—agar kami semua tidak mengetahuinya. Agar kami semua tidak tahu,
aman, dan berada di dalam pagar
perbatasan.
Ada sebagian dari diriku yang memahami itu.
“Karena itulah kalian begitu penting,” lanjut Amanda. “Perjuangan
kami dalam melawan kekerasan dan kekejaman hanya mampu untuk mengobati gejala
penyakit, bukan menyembuhkannya. Kalian-lah
penyembuh itu.
“Agar kalian tetap aman, kami merancang suatu cara agar
kalian terpisah dari kami. Dari pasokan air kami. Dari teknologi kami. Dari
struktur masyarakat kami. Kami membentuk masyarakat kalian dalam suatu cara
dengan harapan, kalian akan menemukan kembali nilai moral yang telah dilupakan
oleh sebagian besari dari kami. Seiring waktu, kami harap kalian akan mulai
melakukan perubahan yang tak bisa dilakukan oleh sebagian besar dari kami.
“Alasan mengapa aku meninggalkan video ini untuk kalian
adalah agar kalian tahu kapan saatnya membantu kami. Kalian akan tahu waktu itu
telah tiba begitu di antara ada banyak orang dengan benak yang lebih fleksibel
dibandingkan yang lain. Kalian harus menyebut orang-orang seperti itu sebagai
Divergent. Begitu jumlah mereka
semakin banyak, para pemimpin kalian harus memberikan perintah kepada faksi
Amity untuk membuka kunci gerbang selamanya, agar kalian dapat keluar dari
isolasi kalian.”
Itulah yang ingin orangtuaku lakukan: untuk menerapkan apa
yang telah kami pelajari dan menggunakannya untuk menolong orang lain.
Abnegation hingga akhir hayat.
“Informasi dalam video ini dikhususkan untuk orang-orang
yang ada dalam pemerintahan,” kata Amanda. “Kalian harus memulai dalam keadaan
bersih. Tapi jangan lupakan kami.”
Ia tersenyum sedikit.
“Aku akan bergabung dengan kalian,” lanjutnya. “Seperti
kalian semua, aku akan melupakan namaku, keluargaku, dan rumahku dengan
sukarela. Aku akan memiliki identitas baru, dengan kenangan palsu dan riwayat
hidup palsu. Tapi, agar kalian tahu bahwa informasi yang kusampaikan ini
bernar, aku akan memberitahu kalian nama yang akan kugunakan.”
Senyumannya melebar, dan sesaat aku merasa mengenalinya.
“Nama yang akan kugunakan adalah Edith Prior,” katanya. “Dan,
ada banyak hal yang akan kulupakan dengan senang hati.”
Video berhenti. Sinar biru penyektor menerangi dinding. Aku
mencengkeram tangan Tobias. Sesaat suasana hening seperti napas yang ditahan.
Lalu, teriakan-teriakan mulai terdengar.[]
The endnya bgtu doang yah.Keren hbis tapi msih agak gantung yah.
ReplyDelete