Penulis: Suzanne
Collins
“Yeah.” Tak ada
yang perlu dikatakan. Ia tampaknya menyadari itu.
“Apa yang terjadi setelah aku tertembak?” tanyanya.
Aku menceritakan tentang koridor biru dengan dua pintu, dan
simulasi yang mengikutinya, sejak aku mengenali ruang latihan Dauntless hingga
menembak diriku sendiri. Aku tak memberitahunya bahwa aku berhalusinasi tentang
Will.
“Sebentar,” katanya. “Itu simulasi? Tanpa pemancar?”
Aku mengernyit. Aku tak pernah memikirkan itu. Terutama tadi.
“Kalau laboratorium itu mengenali orang, mungkin lab itu juga tahu data semua
orang dan dapat memberikan lingkungan tersimulasi yang sesuai dengan faksimu.”
Saat mengetahui keamanan seperti apa yang Jeanine pakai
untuk laboratoriumnya bukanlah hal terpenting. Tapi, senang rasanya karena
merasa berguna dengan memikirkan masalah baru untuk dipecahkan setelah aku
gagal memecahkan masalah paling penting.
Christina duduk lebih tegak. Mungkin ia merasakan yang sama.
“Atau, mungkin racun itu mengandung pemancar.”
Aku tak pernah memikirkan itu.
“Tapi, mengapa Tori melewatinya? Ia kan bukan Divergent.”
Aku memiringkan kepala. “Entahlah.”
Mungkin Tori itu
Divergent, pikirku. Saudara laki-lakinya Divergent. Setelah apa yang
terjadi pada saudaranya itu, Tori mungkin tak akan pernah mengakui bahwa ia
Divergent, walaupun sekarang Divergent semakin diterima.
Aku menyadari orang itu memiliki berlapis-lapis rahasia.
Kita pikir kita kenal dan memahami mereka, tapi motivasi mereka selalu
tersembunyi dari kita, terkubur di dalam hati mereka. Kita tak akan pernah
mengenal mereka, tapi terkadang kita memutuskan untuk memercayai mereka.
“Menurutmu apa yang akan mereka lakukan pada kita jika
mereka memutuskan kita bersalah?” tanya Christina setelah beberapa menit
terdiam.
“Sejujurnya?”
“Memangnya sekarang ini waktunya untuk jujur?”
Aku memandangnya dari sudut mataku. “Kupikir mereka akan
memaksa kita memakan kue banyak-banyak, lalu menyuruh kita tidur lama-lama.”
Christina tertawa. Aku berusaha untuk tidak tertawa—kalau tertawa,
aku akan mulai menangis juga.
***
Aku mendengar teriakan dan mengintip ke arah kerumunan untuk
melihat asalnya.
“Lynn!” Teriakan itu berasal dari Uriah. Ia berlari ke
pintu, tempat dua orang Dauntless yang mengangkut Lynn menggunakan tandu
darurat yang tampaknya dibuat dari rak lemari buku. Lynn tampak pucat—terlalu pucat—dan
tangannya dilipat di atas perutnya.
Aku melompat berdiri dan bergegas ke arahny, tapi sejumlah
pistol factionless menghentikanku
berjalan lebih jauh. Aku mengangkat tangan dan berdiri diam, memandang.
Uriah berjalan mengitari kerumunan kriminal perang, lalu
menunjuk seorang wanita Erudite beruban dan bertampang galak. “Kau. Kemari.”
Wanita itu berdiri dan menepuk celananya. Ia berjalan dengan
langkah ringan ke tepi kerumunan yang sedang duduk, lalu memandang Uriah sambil
menanti.
“Kau dokter, kan?” tanya Uriah.
“Benar,” jawab wanita itu.
“Kalau begitu, perbaiki ia!” Uriah memberengut. “Ia sakit.”
Dokter itu mendekati Lynn dan meminta kedua Dauntless untuk
menurunkannya. Mereka menurut, lalu wanita itu berjongkok di samping tandu.
“Sayang,” katanya. “Tolong jauhkan tanganmu dari lukanya.”
“Tak bisa,” Lynn mengerang. “Sakit.”
“aku tahu rasanya sakit,” ujar si Dokter. “Tapi, aku tak
bisa memeriksa lukamu kalau kau tak menunjukkannya padaku.”
Uriah berlutut di seberang dokter itu dan membantunya
menggeser tangan Lynn menjauhi perut. Dokter itu menyingkapkan kemeja Lynn dari
perutnya. Luka tembakan di kulit Lynn hanya berupa bulatan merah, tapi
dikelilingi sesuatu yang tampak seperti memar. Aku tak pernah melihat memar
yang warnanya segelap itu.
Dokter itu mengerucutkan bibirnya. Aku tahu Lynn sama saja
dengan mati.
“Perbaiki ia!” perintah Uriah. “Kau bisa memperbaikinya,
jadi lakukanlah!”
“Sebaliknya,” ujar si Dokter sambil memandang Uriah. “Karena
kau membakar lantai rumah sakit di gedung ini, aku tak bisa menyembunyikannya.”
“Ada rumah sakit lain!” kata Uriah, nyaris berteriak. “Kau
bisa mengambil barang-barang dari sana dan menyembuhkannya!”
“Kondisinya terlalu parah,” ujar si Dokter, suaranya tenang.
“Kalau kau tidak berkeras untuk membakar semua yang menghalangi jalanmu, aku
bisa mencobanya. Namun dalam situasi ini, mencoba itu tak ada gunanya.
“Tutup mulut!” bentak Uriah sambil mengacungkan pistolnya ke
dada si Dokter. “Bukan aku yang membakar rumah sakitmu! Ia temanku, dan aku ...
aku cuma ....”
“Uri,” panggil Lynn. “Tutup mulut. Sudah terlambat.”
Uriah membiarkan pistolnya jatuh ke lantai dan menggenggam
tangan Lynn, bibirnya bergetar.
“Aku juga temannya,” kataku kepada factionless yang mengacungkan pistol ke arahku. “Bisakah kau
mengacungkan pistol ke arahku itu dari sana?”
Mereka mengizinkanku lewat, dan aku berlari ke samping lynn
lalu memegang tangannya yang lain, yang lengket karena darah. Aku mengabaikan
laras pistol yang diacungkan ke kepalaku dan memusatkan perhatian pada wajah
Lynn, yang sekarang tampak kekuningan dan bukannya putih.
Sepertinya Lynn tidak melihatku. Ia hanya memandang Uriah.
“Aku bersyukur karena tidak mati saat di bawah pengaruh
simulasi,” ucapnya lemah.
“Kau tak bakal mati,” kata Uriah.
“Jangan konyol,” tukas Lynn. “Uri, dengar. Aku juga menyayanginya.
Sungguh.”
“Kau menyayangi siapa?” tanya Uriah, suaranya parau.
“Merlene,” ujar Lynn.
“Yah, kita semua menyayangi Marlene,” jawan Uriah.
“Bukan itu yang kumaksud.” Lynn menggeleng lalu menutup
mata.
Beberapa menit kemudian, barulah tangannya lemas di
tanganku. Aku meletakkan tangan Lynn ke perutnya, lalu mengambil tangan yang
lain dari Uriah dan melakukan yang sama. Uriah menyeka mata sebelum air matanya
jatuh. Kami saling pandang di atas tubuh Lynn.
“Kau harus memberi tahu Shauna,” kataku. “Dan Hector.”
“Oke.” Uriah terisak, lalu menekankan telapak tangannya ke
wajah Lynn. Aku bertanya-tanya apakah pipi Lynn masih hangat. Namun, aku tak
mau menyentuhnya dan merasakan ternyata pipinya sudah tidak hangat.
Aku bangkit dan berjalan kembali ke Christina.[]
No comments:
Post a Comment