Insurgent (Divergent #2) (88)

Penulis: Suzanne Collins

Aku melangkah mendekati Tobias, sehingga jarak kami hanya beberapa senti dan yang lain tak bisa mendengar kata-kataku.

“Aku masih orang yang lebih suka mati daripada membunuhmu,” kataku, terkenang dengan simulasi penyerangan dan perasaan saat jantungnya berada di bawah tanganku. “Aku masih orang yang kau kenal. Dan saat ini, aku mengatakan padamu bahwa aku tahu ... aku tahu informasi ini akan mengubah segalanya. Semua yang telah kita lakukan, dan semua yang akan kita lakukan.”

Aku menatap Tobias seolah-olah bisa menyampaikan kebenaran itu dengan mataku, padahal itu tak mungkin. Tobias mengalihakan padangan, dan aku tak yakin ia mendengar apa yang baru saja kukatakan.

“Cukup,” ujar Tori. “Bawa Tris ke bawah. Ia akan diadili bersama semua kriminal perang lainnya.”

Tobias tidak bergerak. Uriah meraih tanganku dan membawaku menjauhi Tobias, melalui laboratorium, melintasi ruangan cahaya, melewati koridor biru. Therese dari factionless bergabung bersama kami di sana, sambil menatapku curiga.

Begitu kami tiba di tangga, aku merasakan sesuatu menyodok samping tubuhku. Saat menoleh, aku melihat segulung perban di tangan Uriah. Aku mengambilnya, berusaha memberikan senyuman terima kasih kepadanya tapi gagal.

Saat kami menuruni tangga, aku membalutkan perban itu erat-erat di tanganku sambil melangkah melewati jasad-jasad tanpa memandang wajah mereka. Uriah memegangi sikuku agar aku tidak jatuh. Perban itu tidak membantu meredakan rasa nyeri akibat gigitan tadi, tapi membuatku merasa agak lebih baik, begitu juga dengan kenyataan bahwa Uriah, setidaknya, tidak tampak membenciku.

Untuk pertama kalinya kebijakan faksi Dauntless untuk mengabaikan usia tidak tampak seperti sesuatu yang menguntungkan. Itu justru tampak seperti sesuatu yang mengecamku. Mereka tak akan berkata, Tapi ia masih muda. Ia pasti bingung. Mereka bakal berkata, Ia sudah dewasa dan menentukan pilihannya.

Tentu saja aku sepakat dengan mereka. Aku memang sudah menentukan pilihanku. Aku memilih ibu dan ayahku, dan apa yang mereka perjuangkan.
***

Berjalan menuruni tangga lebih mudah daripada menaikinya. Kami tiba di lantai lima sebelum aku menyadari kami menuju lobi.

“Berikan pistolmu, Uriah,” kata Therese. “Harus ada yang bisa menembak jika ada pemberontak, dan kau tak bisa melakukannya kalau harus mencaganya agar tak jatuh dari tangga.”

Uriah memberikan pistolnya tanpa bertanya. Aku mengernyit—Therese sudah punya pistol, jadi mengapa Uriah harus memberikan pistolnya? Tapi, aku tak bertanya. Aku sudah punya banyak masalah.

Kami tiba di lantai bawah dan berjalan melintasi sebuah ruang rapat yang penuh dengan orang-orang berpakaian hitam dan putih. Aku berhenti sebentar untuk memandang mereka. Sebagian dari mereka berkumpul dalam kelompok kecil, saling bersandar, dengan air mata membasahai wajah. Yang lainnya sendirian, bersandar di dinding atau duduk di pojokan, dengan mata hampa atau seperti menatap sesuatu yang sangat jauh.

“Akmi harus menembak banyak orang,” gumam Uriah sambil meremas lenganku. “Hanya untuk masuk ke gedung ini. Kami harus melakukannya.”

“Aku mengerti,” kataku.

Aku melihat adik Christina dan ibunya saling menggenggam tangan di sebelah kanan ruangan itu. Di sebelah kiri, ada seorang pemuda dengan rambut gelpa berkilau terkena cahaya lampu—Peter. Ia memegangi bahu seorang wanita paruh baya yang kukenali sebagai ibunya.

“Apa yang dilakukannya di sini?” tanyaku.

“Pengecut kecil itu kemari setelah semua selesai,” jelas Uriah. “Kudengar ayahmu mati. Tapi, tampaknya ibunya baik-baik saja.”

Peter memandang melewati bahunya, dan tatapan kami berserobok, hanya sesaat. Dalam sesaat itu, aku berusaha menghimpun rasa kasihan untuk oerang yang telah menyelamatkan nyawaku. Namun, walaupun kebencian yang pernah kurasakan padanya sudah hilang, aku masih tak merasakan apa-apa.

“Kenapa berhenti?” Therese mendesak. “Ayo jalan.”

Kami melintasi ruangan pertemuan itu menuju lobi utama, tempat aku merangkul Caleb dulu. Robekan gambar raksasa Jeanine tersebar di lantai. Asap yang membubung di udara berkumpul di sekitar rak buku, yang terbakar menjadi abu. Semua komputer hancur lebur dan bertebaran di lantai.

Di tengah ruangan, sejumlah Erudite yang tidak berhasil kabur dan Dauntless pembelot yang selmat duduk berderet. Aku mencari wajah yang kukenal. Aku melihat Caleb di dekat barisan belakang, tampak bingung. Aku mengalihkan pandangan.

“Tris!” aku mendengar. Christina duduk di dekat baris depan, di samping Cara, kakinya dibalut erat dengan kain. Ia memanggilku, dan aku duduk di sampingnya.

“Tak berhasil?” tanyanya pelan.

Aku menggeleng.

Ia mendesah dan merangkulku. Gerakan itu begitu menenangkan sehingga aku nyaris mulai menangis. Tapi, aku dan Christina bukanlah orang yang menangis bersama. Kami ini orang yang bertarung bersama. Jadi, aku menahan air mataku.

“Aku melihat ibu dan adikmu di ruangan sebelah,” kataku.

“Aku juga,” katanya “Keluargaku baik-baik saja.”

“Bagus,” aku berkomentar. “Bagaimana kakimu?”

“Baik. Cara bilang kakiku akan baik-baik saja. Lagi pula, sekarang darahnya sudah tidak banyak. Seorang perawat Erudite menjejalkan sejumlah obat penahan sakit, antiseptik, dan perban ke dalam saku sebelum mereka membawanya ke sini, jadi ekarang kakiku juga tidak terlalu sakit,” ia menjelaskan. Di sampingnya, Cara memeriksa lengan seorang Erudite. “Di mana Marcus?”

“Entahlah,” kataku. “Kami harus berpisah. Seharusnya ia ada di sini. Kecuali, kalau mereka membunuhnya atau apa.”

“Aku tak akan kaget kalau itu terjadi, sungguh,” komentar Christinya.

Selama beberapa waktu, ruangan itu kacau—orang-orang masuk dan keluar, penjaga factionless kami bertukar tempat, orang-orang berpakaian biru Erudite digiring dan duduk bersama kami—tapi perlahan-lahan semuanya menjadi lebih tenang. Lalu, aku melihatnya: Tobias, berjalan melalui pintu tangga.

Aku menggigit bibirku keras-keras. Berusaha untuk tidak berpikir. Berusaha untuk mengabaikan perasaan dingin yang menyelubungi dadaku atauku beban yang memberati kepalaku. Tobias membenciku. Ia tidak memercayaiku.

Christina memelukku lebih erat saat Tobias berjalan melewati kami tanpa sekali pun memandangku. Aku mengamatinya melalui bahuku. Ia berhenti di samping Caleb, meraih lengan kakakku itu, dan memaksanya berdiri. Caleb meronta sebentar, tapi kekuatan kakakku itu tidak sampai setengahnya kekuatan Tobias sehingga tak mampu melepaskan diri.

“Apa?” tanya Caleb, panik. “Kau mau apa?”

“Aku mau kau mematikan sistem keamanan laboratorium Jeanine,” kata Tobias tanpa menoleh ke belakang. “Agar para factionless bisa mengakses komputernya.”

Dan menghancurkannya, pikirku. Jantungku terasa semakin berat, jika itu memang mungkin terjadi. Tobias dan Caleb pergi ke tangga dan hilang lagi.

Christina bersandar kepadaku, dan aku pun sebaliknya, jadi kami saling sokong.

“Jeanine mengaktifkan semua pemancar Dauntless,” kata Christina. “Salah satu kelompok factionless disergap oleh para Dauntless yang dikendalikan simulasi. Mereka datang terlambat dari sektor Abnegation sekitar sepuluh menit lalu. Kurasa factionless menang, walaupun aku tak tahu bagaimana bisa menembak sekelompok orang yang mati otak itu disebut sebagai kemenangan.”



No comments:

Post a Comment