Penulis: Suzanne
Collins
Aku terpincang-pincang menuju pintu itu, yang berupa panel
kaca buram. Pintu bergeser sehingga aku bisa masuk. Aku melihat Jeanine yang
menempel di dinding dan Tori yang berdiri beberapa langkah darinya sambil
memegang pistol.
Di belakang mereka ada meja kaca yang ditenggeri kotak
perak—komputer—dan keyboard. Seluruh
dinding di depanku ditutupi monitor komputer.
Jeanine menatapku, tapi Tori tak beringsut sesenti pun.
Tampaknya ia tak mendengarku. Wajahnya merah dan dinodai air mata, tangannya
gemetar.
Aku tak yakin sanggup menemukan file video itu sendirian. Kalau Jeanine ada, aku bisa menyuruhnya
mencarikan file itu. Namun, kalau
Jeanine mati ....
“Jangan!” aku berteriak. “Tori, jangan!”
Tapi, jarinya sudah di pelatuk. Aku berlari sekencang
mungkin ke arah Tori, tanganku menghantam pinggir tubuhnya. Pistol meledak. Aku
mendengar jeritan.
Kepalaku menghantam ubin. Sambil mengabaikan bintang-bintang
dalam padanganku, aku melemparkan tubuhku ke arah Tori. Aku mendorong pistol itu
ke depan dan menyingkirkannya dari kami.
Kenapa tidak kau
ambil, dasar bodoh?!
Tinju Tori mengenai samping leherku. Aku tersedak. Ia
memanfaarkan kesempatan itu untuk mendorongku dan merangkak ke arah pistol.
Jeanine merosot di dinding, dara menggenangi kakinya. Kaki! Aku teringat dan langsung meninju
paha Tori keras-keras, di dekat luka bekas tembakannya. Ia menjerit, dan aku
berdiri.
Aku melangkah ke arah pistol yang jatuh itu, tapi Tori
terlalu cepat. Ia memeluk kakiku dan menariknya. Lututku menghantam lantai,
tapi aku masih di atas Tori. Aku melayangkan tinju ke arah tulang rusuknya.
Tori mengerang, tapi tak berhenti. Saat aku menjulurkan
tubuh ke arah pistol itu, ia menghunjamkan giginya ke tanganku. Rasa sakitnya
berbeda dibandingkan semua hantaman yang pernah kurasakan, bahkan juga berbeda
dari luka tembakan. Aku menjerit lebih keras daripada yang kuduga. Air mata
mengaburkan pandanganku.
Aku menyentakkan tanganku dari gigitannya, pinggiran
pandanganku menghitam, lalu menukik dan meraih gagang pistol itu. Aku memutar
tubuh dan mengacungkan pistol ke arah Tori.
Tanganku. Tanganku berlumuran darah, begitu juga dengan dagu
Tori. Aku menyembunyikan tanganku dari pandangan agar lebih mudah mengabaikan
rasa sakitnya. Kemudian aku bangkit, sambil terus mengacungkan pistol ke arah
Tori.
“Aku tak menyangka kau ini pengkhianat, Tris,” ujar Tori.
Suaranya seperti geraman, bukan suara yang bisa dibuat manusia.
“Memang bukan,” aku mendesah. Aku mengerjap agar air mata
mengalir ke pipiku sehingga pandanganku lebih jelas. “saat ini aku tak bisa
menjelaskannya, tapi ... kumohon percayalah padaku. Kumohon. Ada sesuatu yang
penting. Sesuatu yang tempatnya hanya diketahui Jeanine—”
“Itu benar!” ujar Jeanine. “Tempatnya bukan di komputer itu, Beactrive, dan hanya aku yang tahu
letaknya. Kalau kau tak membantuku lolos dari sini, aku akan membawanya mati
bersamaku.”
“Ia itu pembohong,” seru Tori. “Pembohong! Kalau kau percaya padanya, kau itu tolol sekaligus
pengkhianat, Tris!”
“Aku percaya padanya,” sahutku. “aku percaya padanya karena
itu masuk akal! Informasi paling sensitif yang ada dan itu tidak disembunyikan
dalam komputer itu, Tori!” Aku
menarik napas dalam dan merendahkan suaraku. “Tolong dengarkan aku. Aku juga
sangat membenci Jeanine sepertimu. Aku tak punya alasan untuk membelanya. Aku
memberitahumu yang sebenarnya. Ini penting.”
Tori diam. Saat kupikir aku menang, kusangka aku berhasil
membujuknya. Namun Tori berkata, “Tak ada yang lebih penting dibandingkan
kematiannya.”
“Kalau itu yang kau yakini,” aku menjawab, “aku tak bisa
mengubah pendirianmu. Tapi, aku juga tak akan membiarkanmu membunuhnya.”
Tori mendorong tubuhnya bangkit hingga berlutut dan menyeka
darahku dari dagunya. Ia mendongak dan menatap mataku.
“Aku ini pemimpin Duntless,” ujar Tori. “Bukan kau yang
memutuskan apa yang akan kulakukan.”
Lalu, sebelum aku sempat berpikir—
Sebelum aku bahkan berpikir untuk menembakkan pistol yang
kupegang—
Tori menghunuskan sebuah pisau panjang dari samping sepatu
botnya, menerjang, lalu menusuk perut Jeanine.
Aku menjerit. Jeanine mengeluarkan suara yang
mengerikan—suara berdeguk, menjerit, sekarat. Aku melihat gigi Tori yang
digertakkan. Aku mendengarnya menggumamkan nama saudara laki-lakinya—“Jonathan
Wu”—dan aku melihat pisau itu menusuk lagi.
Lalu, mata Jeanine jadi hampa.[]
46
Tori berdiri dengan pandangan liar, lalu berbalik
menghadapku.
Aku merasa kebas.
Semua risiko yang kuambil untuk datang ke sini—berkonspirasi
dengan Marcus, meminta bantuan para Erudite, merangkak menyeberangi tangga tiga
lantai dari tanah, menembak diriku dalam simulasi—dan semua pengorbanan yang
kulakukan—hubunganku dengan Tobias, nyawa Fernando, berdiri di antara
Dauntless—semua itu sia-sia.
Sia-sia.
Sesaat kemudian, pintu kaca terbuka lagi. Tobias dan Uriah
menyerbu masuk seolah siap bertarung—Uriah terbatuk, mungkin akibat racun
itu—tapi pertempuran telah selesai. Jeanine sudah mati. Tori menang. Dan, aku
seorang Dauntless pembelot.
Saat melihatku, Tobias berhenti di tengah-tengah langkahnya,
nyaris tersandung kaki sendiri. Matanya membelalak.
“Tris ini pengkhianat,” ujar Tori. “Ia hampir saja
menembakku demi membela Jeanine.”
“Apa?” seru Uriah. “Tris, apa yang terjadi? Apakah yang
dikatakan Tori itu benar? Kenapa kau di sini?”
Tapi, aku hanya memandang Tobias. Secercah harapan
mengoyakku, dan anehnya terasa sakit, saat bercampur dengan perasaan bersalah
karena telah mengelabuinya. Tobias itu keras kepala dan angkuh, tapi ia
milikku—mungkin ia mau mendengarkan, mungkin semua yang kulakukan tidak sia-sia—
“Kau tahu kenapa aku di sini,” aku menjawab dengan pelan.
“Ya, kan?”
Aku mengulurkan pistol Tori. Tobias melangkah maju, agak
goyah, dan mengambil pistol itu.
“Kami menemukan Marcus di ruangan sebelah, terperangkap
dalam simulasi,” ujar Tobias. “Kau ke sini bersamanya.”
“Itu benar,” kataku. Darah akibat gigitan Tori mengali rurun
di lenganku.
“Aku memercayaimu,” geram Tobias. Tubuhnya bergetar karena
marah. “Aku memercayaimu dan kau
meninggalkanku demi bekerja sama dengannya?”
“Tidak.” Aku menggeleng. “Ia mengatakan sesuatu kepadaku.
Dan semua yang kakakku bilang, semua yang Jeanine katakan saat aku di markas
Erudite, sangat pas dengan apa yang Marcus sampaikan kepadaku. Dan aku
ingin—aku harus mengetahui
kebenarannya.”
“Kebenarannya.” Tobias mendengus. “Kau pikir bisa
mendapatkan kebenaran dari seorang
pembohong, pengkhianat, dan sosiopat?”
“Kebenaran?” tanya Tori. “Apa yang kalian bicarakan?”
Aku dan Tobias saling pandang. Mata Tobias yang biru, yang
biasanya begitu bijak, kali ini tampak keras dan kritis, seakan-akan sepasang
mata itu mengupas setiap lapisan diriku dan menyelidikinya.
“Menurutku,” kataku. Aku harus berhenti dan menarik napas
karena aku belum berhasil meyakinkan Tobias. Aku gagal. Ini mungkin hal
terakhir yang mereka izinkan untuk kukatakan sebelum emnahanku.
“Menurutku kaulah
pembohong itu!” kataku, suaraku menguak. “Kau bilang mencintaiku, memercayaiku.
Kau pikir aku lebih perseptif dibandingkan kebanyakan orang. Namun begitu, aku
meyakini sifat perseptifku, kepercayaan itu, cinta itu diuji, dan aku tidak malu dengan air mata yang berkilauan
di pipiku ataupun suaraku yang serak. “Jadi, kau pasti berbohong saat
mengatakan semua itu kepadaku ... pasti. Karena aku tak percaya rasa cintamu
itu begitu rapuh.”
No comments:
Post a Comment