Insurgent (Divergent #2) (87)

Penulis: Suzanne Collins

Aku terpincang-pincang menuju pintu itu, yang berupa panel kaca buram. Pintu bergeser sehingga aku bisa masuk. Aku melihat Jeanine yang menempel di dinding dan Tori yang berdiri beberapa langkah darinya sambil memegang pistol.

Di belakang mereka ada meja kaca yang ditenggeri kotak perak—komputer—dan keyboard. Seluruh dinding di depanku ditutupi monitor komputer.

Jeanine menatapku, tapi Tori tak beringsut sesenti pun. Tampaknya ia tak mendengarku. Wajahnya merah dan dinodai air mata, tangannya gemetar.

Aku tak yakin sanggup menemukan file video itu sendirian. Kalau Jeanine ada, aku bisa menyuruhnya mencarikan file itu. Namun, kalau Jeanine mati ....

“Jangan!” aku berteriak. “Tori, jangan!”

Tapi, jarinya sudah di pelatuk. Aku berlari sekencang mungkin ke arah Tori, tanganku menghantam pinggir tubuhnya. Pistol meledak. Aku mendengar jeritan.

Kepalaku menghantam ubin. Sambil mengabaikan bintang-bintang dalam padanganku, aku melemparkan tubuhku ke arah Tori. Aku mendorong pistol itu ke depan dan menyingkirkannya dari kami.

Kenapa tidak kau ambil, dasar bodoh?!

Tinju Tori mengenai samping leherku. Aku tersedak. Ia memanfaarkan kesempatan itu untuk mendorongku dan merangkak ke arah pistol.

Jeanine merosot di dinding, dara menggenangi kakinya. Kaki! Aku teringat dan langsung meninju paha Tori keras-keras, di dekat luka bekas tembakannya. Ia menjerit, dan aku berdiri.

Aku melangkah ke arah pistol yang jatuh itu, tapi Tori terlalu cepat. Ia memeluk kakiku dan menariknya. Lututku menghantam lantai, tapi aku masih di atas Tori. Aku melayangkan tinju ke arah tulang rusuknya.

Tori mengerang, tapi tak berhenti. Saat aku menjulurkan tubuh ke arah pistol itu, ia menghunjamkan giginya ke tanganku. Rasa sakitnya berbeda dibandingkan semua hantaman yang pernah kurasakan, bahkan juga berbeda dari luka tembakan. Aku menjerit lebih keras daripada yang kuduga. Air mata mengaburkan pandanganku.

Aku menyentakkan tanganku dari gigitannya, pinggiran pandanganku menghitam, lalu menukik dan meraih gagang pistol itu. Aku memutar tubuh dan mengacungkan pistol ke arah Tori.

Tanganku. Tanganku berlumuran darah, begitu juga dengan dagu Tori. Aku menyembunyikan tanganku dari pandangan agar lebih mudah mengabaikan rasa sakitnya. Kemudian aku bangkit, sambil terus mengacungkan pistol ke arah Tori.

“Aku tak menyangka kau ini pengkhianat, Tris,” ujar Tori. Suaranya seperti geraman, bukan suara yang bisa dibuat manusia.

“Memang bukan,” aku mendesah. Aku mengerjap agar air mata mengalir ke pipiku sehingga pandanganku lebih jelas. “saat ini aku tak bisa menjelaskannya, tapi ... kumohon percayalah padaku. Kumohon. Ada sesuatu yang penting. Sesuatu yang tempatnya hanya diketahui Jeanine—”

“Itu benar!” ujar Jeanine. “Tempatnya bukan di komputer itu, Beactrive, dan hanya aku yang tahu letaknya. Kalau kau tak membantuku lolos dari sini, aku akan membawanya mati bersamaku.”

“Ia itu pembohong,” seru Tori. “Pembohong! Kalau kau percaya padanya, kau itu tolol sekaligus pengkhianat, Tris!”

“Aku percaya padanya,” sahutku. “aku percaya padanya karena itu masuk akal! Informasi paling sensitif yang ada dan itu tidak disembunyikan dalam komputer itu, Tori!” Aku menarik napas dalam dan merendahkan suaraku. “Tolong dengarkan aku. Aku juga sangat membenci Jeanine sepertimu. Aku tak punya alasan untuk membelanya. Aku memberitahumu yang sebenarnya. Ini penting.”

Tori diam. Saat kupikir aku menang, kusangka aku berhasil membujuknya. Namun Tori berkata, “Tak ada yang lebih penting dibandingkan kematiannya.”

“Kalau itu yang kau yakini,” aku menjawab, “aku tak bisa mengubah pendirianmu. Tapi, aku juga tak akan membiarkanmu membunuhnya.”

Tori mendorong tubuhnya bangkit hingga berlutut dan menyeka darahku dari dagunya. Ia mendongak dan menatap mataku.

“Aku ini pemimpin Duntless,” ujar Tori. “Bukan kau yang memutuskan apa yang akan kulakukan.”

Lalu, sebelum aku sempat berpikir—

Sebelum aku bahkan berpikir untuk menembakkan pistol yang kupegang—

Tori menghunuskan sebuah pisau panjang dari samping sepatu botnya, menerjang, lalu menusuk perut Jeanine.

Aku menjerit. Jeanine mengeluarkan suara yang mengerikan—suara berdeguk, menjerit, sekarat. Aku melihat gigi Tori yang digertakkan. Aku mendengarnya menggumamkan nama saudara laki-lakinya—“Jonathan Wu”—dan aku melihat pisau itu menusuk lagi.

Lalu, mata Jeanine jadi hampa.[]

46

Tori berdiri dengan pandangan liar, lalu berbalik menghadapku.

Aku merasa kebas.

Semua risiko yang kuambil untuk datang ke sini—berkonspirasi dengan Marcus, meminta bantuan para Erudite, merangkak menyeberangi tangga tiga lantai dari tanah, menembak diriku dalam simulasi—dan semua pengorbanan yang kulakukan—hubunganku dengan Tobias, nyawa Fernando, berdiri di antara Dauntless—semua itu sia-sia.

Sia-sia.

Sesaat kemudian, pintu kaca terbuka lagi. Tobias dan Uriah menyerbu masuk seolah siap bertarung—Uriah terbatuk, mungkin akibat racun itu—tapi pertempuran telah selesai. Jeanine sudah mati. Tori menang. Dan, aku seorang Dauntless pembelot.

Saat melihatku, Tobias berhenti di tengah-tengah langkahnya, nyaris tersandung kaki sendiri. Matanya membelalak.

“Tris ini pengkhianat,” ujar Tori. “Ia hampir saja menembakku demi membela Jeanine.”

“Apa?” seru Uriah. “Tris, apa yang terjadi? Apakah yang dikatakan Tori itu benar? Kenapa kau di sini?”

Tapi, aku hanya memandang Tobias. Secercah harapan mengoyakku, dan anehnya terasa sakit, saat bercampur dengan perasaan bersalah karena telah mengelabuinya. Tobias itu keras kepala dan angkuh, tapi ia milikku—mungkin ia mau mendengarkan, mungkin semua yang kulakukan tidak sia-sia—

“Kau tahu kenapa aku di sini,” aku menjawab dengan pelan. “Ya, kan?”

Aku mengulurkan pistol Tori. Tobias melangkah maju, agak goyah, dan mengambil pistol itu.

“Kami menemukan Marcus di ruangan sebelah, terperangkap dalam simulasi,” ujar Tobias. “Kau ke sini bersamanya.”

“Itu benar,” kataku. Darah akibat gigitan Tori mengali rurun di lenganku.

“Aku memercayaimu,” geram Tobias. Tubuhnya bergetar karena marah. “Aku memercayaimu dan kau meninggalkanku demi bekerja sama dengannya?”

“Tidak.” Aku menggeleng. “Ia mengatakan sesuatu kepadaku. Dan semua yang kakakku bilang, semua yang Jeanine katakan saat aku di markas Erudite, sangat pas dengan apa yang Marcus sampaikan kepadaku. Dan aku ingin—aku harus mengetahui kebenarannya.”

“Kebenarannya.” Tobias mendengus. “Kau pikir bisa mendapatkan kebenaran dari seorang pembohong, pengkhianat, dan sosiopat?”

“Kebenaran?” tanya Tori. “Apa yang kalian bicarakan?”

Aku dan Tobias saling pandang. Mata Tobias yang biru, yang biasanya begitu bijak, kali ini tampak keras dan kritis, seakan-akan sepasang mata itu mengupas setiap lapisan diriku dan menyelidikinya.

“Menurutku,” kataku. Aku harus berhenti dan menarik napas karena aku belum berhasil meyakinkan Tobias. Aku gagal. Ini mungkin hal terakhir yang mereka izinkan untuk kukatakan sebelum emnahanku.

“Menurutku kaulah pembohong itu!” kataku, suaraku menguak. “Kau bilang mencintaiku, memercayaiku. Kau pikir aku lebih perseptif dibandingkan kebanyakan orang. Namun begitu, aku meyakini sifat perseptifku, kepercayaan itu, cinta itu diuji, dan aku tidak malu dengan air mata yang berkilauan di pipiku ataupun suaraku yang serak. “Jadi, kau pasti berbohong saat mengatakan semua itu kepadaku ... pasti. Karena aku tak percaya rasa cintamu itu begitu rapuh.”



No comments:

Post a Comment