Penulis: Suzanne
Collins
Kembaranku mulai bergerak ke arahku lagi, jadi aku
terhuyung-huyung berdiri dan berusaha melupakan rasa sakit di bahuku. Jantungku
berdetak lebih kencang. Aku ingin meninjunya, tapi ia melakukannya duluan. Aku
merunduk pada saat terakhir, dan tinjunya mengenai telingaku, membuatku
kehilangan keseimbangan.
Aku mundur beberapa langkah, berharap ia tak akan
mengejarku. Namun, ia mengejarku. Kembaranku menghampiri lagi, kali ini meraih
bahu dan menarikku ke bawah, menuju lututnya yang ditekuk.
Aku mengangkat tanganku ke antara perutku dan lututnya, lalu
mendorong sekuat yang kubisa. Karena tidak menduga itu, kembaranku terhuyung ke
belakang, tapi tidak jatuh.
Aku berlari ke arahnya. Saat keinginan untuk menendangnya
terlintas di benakku, aku sadar ia
juga ingin melakukan itu. Aku meliuk menghindari kakinya.
Begitu aku ingin melakukan sesuatu, bayanganku juga ingin
melakukannya. Hal terbaik yang bisa aku dan kembaranku lakukan hanyalah berdiri
diam—tapi aku harus mengalahkannya
supaya bisa mencapai pintu itu. Agar selamat.
Aku berusaha merenungkan itu, tapi kembaranku mendekatiku
lagi, dahinya berkerut karena berkonsentrasi. Ia meraih lenganku, dan aku
meraih lengannya, sehingga kami saling mencengkeram lengan.
Pada saat yang bersamaan, kami menyentakkan siku kami ke
belakang, lalu menghantamkannya ke depan. Aku memajukan tubuhku pada detik
terakhir. Sikuku mengenai giginya.
Kami berdua menjerit. Darah mengalir dari bibirnya, dan
turun ke lenganku. Ia menggertakkan gigi dan berteriak, menerjang ke arahku,
lebih kuat daripada yang kukira.
Bobot tubuhnya membuatku terjatuh. Ia menekanku ke lantai
dengan lututnya dan berusaha menonjok mukaku, tapi aku menyilangkan lengan di
depan wajahku. Tinjunya mengenai lenganku. Kulitku seperti dihantam batu.
Sambil mengembuskan napas keras-keras, aku meraih salah satu
pergelangan tangannya, lalu aku melihat bintik-bintik menari-nari di sudut
mataku. Racun.
Fokus.
Saat kembaranku meronta untuk membebaskan dirinya, aku
mengangkat lututku ke dada. Lalu, aku mendorong kembaranku itu, sambil
mendengus, hingga bisa menekankan kakiku ke perutnya. Aku menendangnya, wajahku
panas.
Teka-teki logis: Dalam pertarungan antara dua orang yang
benar-benar seimbang, siapa yang bisa menang?
Jawabannya: Tak ada.
Kembaranku mendorong dirinya hingga bangun dan menyeka darah
dari bibirnya.
Karena itu: Kami tak boleh benar-benar seimbang. Jadi, apa
yang membedakan kami?
Kembaranku berjalan ke arahku lagi, tapi karena perlu waktu
untuk berpikir, aku melangkah mundur setiap kali ia melangkah maju. Ruangan
berayun, lalu memuntir, dan aku bergerak ke samping, menyentuhkan ujung jariku
ke lantai untuk menyeimbangkan diri.
Apa yang membedakan kami? Kami punya massa, tingkat
keahlian, juga pola pikir yang sama ....
Aku melihat pintu melewati bahunya, lalu tersadar: Kami
punya sasaran yang berbeda. Aku harus
mencapai pintu itu. Ia harus melindunginya. Namun bahkan dalam simulasi, tak
mungkin ia merasa seputus asa aku.
Aku berlari ke tepi lingkaran, di sana ada meja. Sesaat yang
lalu, tempat itu kosong. Namun, aku tahu aturan simulasi dan bagaimana cara
mengendalikannya. Sebuah pistol muncul di atas meja itu begitu aku
memikirkannya.
Aku menghantam meja itu, bintik-bintik berkerumun
menghalangi pandanganku. Aku tak merasa sakit saat menubruk meja. Aku merasakan
jantungku berdetak di wajahku, seolah-olah jantungku terlepas dari tambatannya
di dadaku dan mulai bergerak ke otak.
Di seberang ruangan, sebuah pistol muncul di lantai di depan
kembaranku. Kami berdua meraih senjata kami.
Aku merasakan berat pistol itu, dan kemulusannya, lalu aku
melupakan kembaranku. Aku melupakan racun itu. Aku melupakan segalanya.
Kerongkonganku menegang, dan aku merasa seolah-olah ada
tangan yang mengelilingnya, meremasnya. Kepalaku berdenyut karena tiba-tiba
kehabisan suara. Aku merasakan detak jantungku di mana-mana, di segala tempat.
Di seberang ruangan, yang berdiri di antara aku dan tujuanku
bukanlah kembaranku lagi. Tapi Will. Tidak,
tidak. Tak mungkin itu Will. Aku memaksa diriku untuk menarik napas. Racun
itu menghalangi oksigen ke otakku. Will hanyalah halusinasi dalam simulasi. Aku
menarik napas sambil terisak.
Sesaat aku melihat kembaranku lagi. Ia memegang pistol tapi
gemetar. Senjata itu dipegangnya sejauh mungkin dari tubuhnya. Ia selemah aku.
Tidak, tidak persis. Ia tidak bakal buta dan kehabisan udara. Tapi, ia hampir
selemah aku. Hampir.
Lalu Will kembali. Matanya kosong karena berada dalam
simulasi. Rambutnya membentuk halo kuning di sekeliling kepalanya.
Gedung-gedung bata menjulang di setiap sisi. Namun, di belakang Will ada pintu.
Pintu yang memisahkanku dari ayah dan kakakku.
Bukan. Bukan. Itu pintu yang memisahkanku dari Jeanine dan
tujuanku.
Aku harus mencapai pintu itu. Harus.
Aku mengangkat pistol, walaupun bahuku sakit karenanya, dan
satu tanganku memegangi tangan yang lainnya untuk memantapkan peganganku.
“Aku ....” Aku tersedak. Air mata mengaliri pipiku, turun
hingga ke mulutku. Aku merasakan asin. “Aku minta maaf.”
Dan, aku melakukan apa yang tak bisa dilakukan kembaranku
karena ia tidak cukup putus asa:
Aku menembak.[]
45
Aku tak lagi melihatnya mati.
Aku menutup mata begitu menekan pelatuk. Saat membuka mata
kembali, Tris lainlah yang tergeletak di lantai di antara bintik-bintik hitam
yang menghalangi pandanganku. Akulah yang tergeletak di sana.
Aku menjatuhkan pistol dan berlari ke pintu, nyaris terjatuh
menimpa kembaranku. Aku melemparkan tubuh ke arah pintu, menekan gagangnya, dan
tersungkur keluar. Tanganku kebas. Aku menekankannya ke punggungku, lalu
mengguncangkannya agar bisa merasakan kembali.
Ruangan berikutnya dua kali lebih besar daripada ruangan
pertama dan juga disinari cahaya biru, tapi lebih pucat. Di tengah ruangan ada
sebuah meja besar dan dindingnya ditempeli berbagai foto, diaram, dan daftar.
Aku menarik napas dalam-dalam, pandanganku mulai jernih dan
detak jantungku kembali normal. Aku melihat wajahku, Tobias, Marcus, dan Uriah
di antara foto-foto di dinding itu. Daftar panjang yang sepertinya nama-nama
zat kimia ditempelkan di dinding di samping doto kami. Setiap nama zat tersebut
dicoret menggunakan tinta merah. Pasti di sinilah Jeanine membuat serum
simulasi.
Aku mendnegar suara-suara dari depanku dan memarahi diriku
sendiri. Apa yang kau lakukan? Cepat!
“Nama kakakku,” begitulah yang kudengar. “Aku ingin
mendengarmu mengatakannya.”
Suara Tori.
Bagaimana caranya melewati simulasi tadi? Apakah Tori juga
Divergent?
“Aku tidak membunuhnya.” Suara Jeanine.
“Kau pikir itu artinya kau tak bersalah? Kau pikir itu
berarti kau tak pantas mati?”
Tori tidak berteriak, tapi meraung, seluruh kesedihannya
keluar dari mulutnya. Aku bergegas ke pintu. Namun terlalu cepat, pinggulku
menghantam sudut meja di tengah ruangan sehingga aku harus berhenti sambil
meringis kesakitan/
“Alasan dari tindakanku di luar pemahamanmu,” ujar Jeanine.
“Aku rela melakukan pengorbanan demi kebaikan yang lebih besar. Itu takkan
pernah kau pahami, bahkan walaupun kita pernah jadi teman sekelas!”
No comments:
Post a Comment