Penulis: Suzanne
Collins
“Beatrice,” kata Marcus. “Kita harus meninggalkannya.”
“Apa maksudmu meninggalkannya?”
aku menuntut. “Kita tak bisa pergi! Sesuatu yang buruk bisa saja terjadi!”
Marcus menekankan telunjuknya ke tulang dadaku, ke celah di antara
tulang selangkaku, lalu menconfongkan tubuhnya ke arahku.
“Dengarkan aku,” katanya. “Jeanine Matthews pasti berlindung
di laboratoriumnya begitu terjadi serangan, karena itu ruangan paling aman di
gedung ini. Dan, setiap saat ia bisa memutuskan Erusite sudah kalah sehingga
lebih baik menghapus data itu daripada mengambil risiko ada orang yang
menemukannya. Jika itu terjadi, misi kita ini sia-sia.”
Dan, aku akan kehilangan semuanya: orangtuaku, Caleb, dan
terakhir, Tobias, yang tak akan pernah memaafkanku karena bekerja sama dengan
ayahnya, terutama jika aku tak punya cara untuk membuktikan bahwa ini penting.
“Kita harus meninggalkan temanmu di sini.” Bau mulutnya
apak. “Dan meneruskannya, kecuali kalau kau lebih suka aku pergi sendirian.”
“Marcus benar,” kata Christina. “Tak ada waktu lagi. Aku
akan di sini dan mencegah Ed mengejarmu.”
Aku mengangguk. Marcus mengangkat tangannya, meninggalkan
bekas lingkaran yang menyakitkan. Aku menggosoknya untuk menghilangkan rasa
sakit, lalu membuka pintu di ujung tangga. Aku menengok ke belakang sebelum
melewatinya. Christina menyunggingkan senyum sakit ke arahku dengan tangan
menekan pahanya.[]
44
Ruangan berikutnya lebih mirip koridor: lebar, tidak dalam,
dengan ubin biru, dinding biru, dan langit-langit biru, semua dengan corak yang
sama. Semuanya bersinar, tapi aku tak tahu dari mana cahaya itu berasal.
Awalnya aku tak melihat pintu, tapi begitu mataku terbiasa
dengan warna itu, aku melihat kotak di dinding sebelah kiriku, dan kotak lain
di dinding sebelah kanan. Hanya dua pintu.
“Kita harus berpencar,” kataku. “Tak ada waktu untuk
mencarinya bersama.”
“Kau mau yang mana?” tanya Marcus.
“Kanan,” aku menjawab. “Eh, sebentar. Kiri.”
“Oke. Aku ke kanan.”
“Kalau aku yang menemukan komputernya,” kataku, “apa yang
harus kucari?”
“Kalau kau menemukan komputernya, kau akan menemukan
Jeanine. Aku yakin kau tahu bagaimana memaksanya melakukan apa yang kau
inginkan. Lagi pula, ia tidak terbiasa dengan rasa sakit,” jawab Marcus.
Aku mengangguk. Kami berjalan dengan kecepatan yang sama
menuju pintu masing-masing. Sesaat yang lalu, aku pasti akan mengatakan bahwa
berpisah dari Marcus itu melegakan. Tapi, pergi sendirian juga memiliki beban
terseniri. Bagaimana jika aku tak bisa melewati keamanan yan gpastinya Jeanine
pasang untuk mencegah penyusup masuk? Bagaimana jika, jika entah bagaimana aku
berhasil melewatinya, tapi tak dapat menemukan file yang benar?
Aku memegang gagang pintu. Tampaknya tak ada kunci di sana.
Saat Tori bilang pengamanan yang luar biasa ketat, kupikir yang dimaksudnya itu
alat pemindai mata, kata sandi, dan kunci. Namun sejauh ini, semuanya terbuka.
Mengapa itu membuatku cemas?
Aku membuka pintuku, dan Marcus membuka pintunya. Kami
saling pandang. Lalu, aku berjalan memasuki ruangan.
***
Ruangan itu biru, seperti koridor di luar, walaupun di sini
lebih jelas dari mana cahayanya berasal. Sinar memancar dari tengah setiap
panel, langit-langit, lantai, dan dinding.
Begitu pintu di belakangku tertutup, aku mendengar bunyi
seperti gerendel kunci yang terpasang. Aku meraih gagang pintu lagi dan
mendorong sekuat tenaga, tapi benda itu tak bergerak. Aku terkurung.
Cahaya kecil menyilaukan menyorotiku dari berbagai sudut.
Kelopak mataku tak cukup untuk menahannya, jadi aku harus menekankan telapak
tanganku di atas mataku.
Aku mendengar suara feminin yang dingin.
“Beatrice Prior, generasi kedua. Faksi asal: Abnegation.
Faksi pilihan: Dauntless. Dipasktikan seorang Divergent.”
Bagaimana ruangan ini tahu siapa aku?
Dan apa artinya “generasi kedua”?
“Status: Penyusup.”
Aku mendengar bunyi klik dan membuka jari-jariku cukup lebar
untuk melihat apakah sinar-sinar itu sudah hilang. Ternyata tidak. Namun, alat
di langit-langit menyemprotkan asap berwarna. Secara naluriah, aku membekap
mulutku. Aku menatap menembus kabut biru itu selama beberapa saat. Lalu, aku
tak melihat apa-apa.
Sekarang, aku berdiri dalam kegelapan total. Aku bahkan tak
bisa melihat siluet tanganku yang kuacungkan di depan hidungku. Aku seharusnya
berjalan dan mencari pintu di dinding ruangan ini, tapi aku terlalu takut untuk
bergerak—apa yang bakal terjadi kalau aku bergerak?
Lalu sinar itu terangkat, dan aku berdiri di ruang latihan
Dauntless, di dalam lingkaran yang kami gunakan untuk latih tanding. Aku
memiliki banyak kenangan di lingkaran ini, sebagian membanggakan, seperti
mengalahkan Molly, dan sebagian menghantui—Peter menonjokiku sampai aku
pingsan. Aku mengendus. Aroma di udaranya sama, seperti keringat dan debu.
Di seberang lingkaran itu ada pintu biru yang tidak cocok
berada di sana. Aku mengernyit memandangnya.
“Penyusup,” kata suara itu, yang terdengar seperti suara
Jeanine, tapi itu mungkin khayalanku saja. “Kau punya lima menit untuk mencapai
pintu biru sebelum racunnya bekerja.”
“Apa?”
Tapi, aku tahu apa yang dikatakannya. Racun. Lima menit.
Seharusnya aku tidak heran. Ini karya Jeanine, yang tanpa nurani seperti
dirinya. Tubuhku bergetar. Aku bertanya-tanya apakah racun itu penyebabnya,
apakah racun itu sudah mematikan otakku.
Fokus. Aku tak
bisa keluar. Aku harus maju, atau ....
Atau tidak . Aku harus maju.
Aku mulai berjalan ke pintu, tapi seseorang muncul di
hadapanku. Orang itu pendek, kurus, dan pirang, dengan lingkaran gelap di bawah
matanya. Orang itu aku.
Bayangan? Aku melambai ke arahnya untuk melihat apakah orang
itu mengikuti gerakanku. Ternyata tidak.
“Halo,” aku menyapa. Ia tidak menjawab. Aku tidak berpikir
ia akan menjawab.
Apa ini? Aku menelan ludah begitu keras sehingga terdengar
meletup, padahal telingaku seperti disumpal kapas. Kalau jeanine merancang ini,
ini mungkin tes kecerdasan atau logika, yang berarti aku harus berpikir jernih,
yang berarti aku harus tenang. Aku mengatupkan tanganku di dada dan menekannya,
berharap tekanan itu akan membuatku merasa aman, seperti pelukan.
Gagal.
Aku melangkah ke kanan agar bisa melihat pintu itu dengan
lebih baik, tapi kembaranku melompat ke samping dengan sepatu menggores tanah,
untuk menghalangi jalanku lagi.
Kupikir aku tahu apa yang akan terjadi jika aku berjalan ke
pintu, tapi aku harus mencobanya. Aku berlari, berniat untuk banting arah
melewatinya, tapi kembaranku sudah siap menyambut: ia mencengkeram bahuku yang
terluka dan memelintirku ke samping. Aku menjerit begitu keras hingga
kerongkonganku sakit. Aku merasa seakan-akan ada banyak pisau yang menikam
bagian kanan tubuhku dalam-dalam dan semakin dalam. Saat aku mulai jatuh
berlutut, ia menendang perutku, menyebabkan aku tergeletak di lantai, menghirup
debu.
Saat mencengkeram perutku, aku sadar aku akan melakukan itu
kalau berada di posisinya. Yang berarti untuk mengalahkannya, aku harus
memikirkan cara untuk mengalahkan diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku menjadi
petarung yang lebih hebat dibandingkan diriku sendiri, jika ia tahu semua
strategi yang kuketahui, dan pintar serta banyak akal seperti diriku?
No comments:
Post a Comment