Insurgent (Divergent #2) (85)

Penulis: Suzanne Collins

“Beatrice,” kata Marcus. “Kita harus meninggalkannya.”

“Apa maksudmu meninggalkannya?” aku menuntut. “Kita tak bisa pergi! Sesuatu yang buruk bisa saja terjadi!”

Marcus menekankan telunjuknya ke tulang dadaku, ke celah di antara tulang selangkaku, lalu menconfongkan tubuhnya ke arahku.

“Dengarkan aku,” katanya. “Jeanine Matthews pasti berlindung di laboratoriumnya begitu terjadi serangan, karena itu ruangan paling aman di gedung ini. Dan, setiap saat ia bisa memutuskan Erusite sudah kalah sehingga lebih baik menghapus data itu daripada mengambil risiko ada orang yang menemukannya. Jika itu terjadi, misi kita ini sia-sia.”

Dan, aku akan kehilangan semuanya: orangtuaku, Caleb, dan terakhir, Tobias, yang tak akan pernah memaafkanku karena bekerja sama dengan ayahnya, terutama jika aku tak punya cara untuk membuktikan bahwa ini penting.

“Kita harus meninggalkan temanmu di sini.” Bau mulutnya apak. “Dan meneruskannya, kecuali kalau kau lebih suka aku pergi sendirian.”

“Marcus benar,” kata Christina. “Tak ada waktu lagi. Aku akan di sini dan mencegah Ed mengejarmu.”

Aku mengangguk. Marcus mengangkat tangannya, meninggalkan bekas lingkaran yang menyakitkan. Aku menggosoknya untuk menghilangkan rasa sakit, lalu membuka pintu di ujung tangga. Aku menengok ke belakang sebelum melewatinya. Christina menyunggingkan senyum sakit ke arahku dengan tangan menekan pahanya.[]

44

Ruangan berikutnya lebih mirip koridor: lebar, tidak dalam, dengan ubin biru, dinding biru, dan langit-langit biru, semua dengan corak yang sama. Semuanya bersinar, tapi aku tak tahu dari mana cahaya itu berasal.

Awalnya aku tak melihat pintu, tapi begitu mataku terbiasa dengan warna itu, aku melihat kotak di dinding sebelah kiriku, dan kotak lain di dinding sebelah kanan. Hanya dua pintu.

“Kita harus berpencar,” kataku. “Tak ada waktu untuk mencarinya bersama.”

“Kau mau yang mana?” tanya Marcus.

“Kanan,” aku menjawab. “Eh, sebentar. Kiri.”

“Oke. Aku ke kanan.”

“Kalau aku yang menemukan komputernya,” kataku, “apa yang harus kucari?”

“Kalau kau menemukan komputernya, kau akan menemukan Jeanine. Aku yakin kau tahu bagaimana memaksanya melakukan apa yang kau inginkan. Lagi pula, ia tidak terbiasa dengan rasa sakit,” jawab Marcus.

Aku mengangguk. Kami berjalan dengan kecepatan yang sama menuju pintu masing-masing. Sesaat yang lalu, aku pasti akan mengatakan bahwa berpisah dari Marcus itu melegakan. Tapi, pergi sendirian juga memiliki beban terseniri. Bagaimana jika aku tak bisa melewati keamanan yan gpastinya Jeanine pasang untuk mencegah penyusup masuk? Bagaimana jika, jika entah bagaimana aku berhasil melewatinya, tapi tak dapat menemukan file yang benar?

Aku memegang gagang pintu. Tampaknya tak ada kunci di sana. Saat Tori bilang pengamanan yang luar biasa ketat, kupikir yang dimaksudnya itu alat pemindai mata, kata sandi, dan kunci. Namun sejauh ini, semuanya terbuka.

Mengapa itu membuatku cemas?

Aku membuka pintuku, dan Marcus membuka pintunya. Kami saling pandang. Lalu, aku berjalan memasuki ruangan.
***

Ruangan itu biru, seperti koridor di luar, walaupun di sini lebih jelas dari mana cahayanya berasal. Sinar memancar dari tengah setiap panel, langit-langit, lantai, dan dinding.

Begitu pintu di belakangku tertutup, aku mendengar bunyi seperti gerendel kunci yang terpasang. Aku meraih gagang pintu lagi dan mendorong sekuat tenaga, tapi benda itu tak bergerak. Aku terkurung.

Cahaya kecil menyilaukan menyorotiku dari berbagai sudut. Kelopak mataku tak cukup untuk menahannya, jadi aku harus menekankan telapak tanganku di atas mataku.

Aku mendengar suara feminin yang dingin.

“Beatrice Prior, generasi kedua. Faksi asal: Abnegation. Faksi pilihan: Dauntless. Dipasktikan seorang Divergent.”

Bagaimana ruangan ini tahu siapa aku?

Dan apa artinya “generasi kedua”?

“Status: Penyusup.”

Aku mendengar bunyi klik dan membuka jari-jariku cukup lebar untuk melihat apakah sinar-sinar itu sudah hilang. Ternyata tidak. Namun, alat di langit-langit menyemprotkan asap berwarna. Secara naluriah, aku membekap mulutku. Aku menatap menembus kabut biru itu selama beberapa saat. Lalu, aku tak melihat apa-apa.

Sekarang, aku berdiri dalam kegelapan total. Aku bahkan tak bisa melihat siluet tanganku yang kuacungkan di depan hidungku. Aku seharusnya berjalan dan mencari pintu di dinding ruangan ini, tapi aku terlalu takut untuk bergerak—apa yang bakal terjadi kalau aku bergerak?

Lalu sinar itu terangkat, dan aku berdiri di ruang latihan Dauntless, di dalam lingkaran yang kami gunakan untuk latih tanding. Aku memiliki banyak kenangan di lingkaran ini, sebagian membanggakan, seperti mengalahkan Molly, dan sebagian menghantui—Peter menonjokiku sampai aku pingsan. Aku mengendus. Aroma di udaranya sama, seperti keringat dan debu.

Di seberang lingkaran itu ada pintu biru yang tidak cocok berada di sana. Aku mengernyit memandangnya.

“Penyusup,” kata suara itu, yang terdengar seperti suara Jeanine, tapi itu mungkin khayalanku saja. “Kau punya lima menit untuk mencapai pintu biru sebelum racunnya bekerja.”

Apa?

Tapi, aku tahu apa yang dikatakannya. Racun. Lima menit. Seharusnya aku tidak heran. Ini karya Jeanine, yang tanpa nurani seperti dirinya. Tubuhku bergetar. Aku bertanya-tanya apakah racun itu penyebabnya, apakah racun itu sudah mematikan otakku.

Fokus. Aku tak bisa keluar. Aku harus maju, atau ....

Atau tidak . Aku harus maju.

Aku mulai berjalan ke pintu, tapi seseorang muncul di hadapanku. Orang itu pendek, kurus, dan pirang, dengan lingkaran gelap di bawah matanya. Orang itu aku.

Bayangan? Aku melambai ke arahnya untuk melihat apakah orang itu mengikuti gerakanku. Ternyata tidak.

“Halo,” aku menyapa. Ia tidak menjawab. Aku tidak berpikir ia akan menjawab.

Apa ini? Aku menelan ludah begitu keras sehingga terdengar meletup, padahal telingaku seperti disumpal kapas. Kalau jeanine merancang ini, ini mungkin tes kecerdasan atau logika, yang berarti aku harus berpikir jernih, yang berarti aku harus tenang. Aku mengatupkan tanganku di dada dan menekannya, berharap tekanan itu akan membuatku merasa aman, seperti pelukan.

Gagal.

Aku melangkah ke kanan agar bisa melihat pintu itu dengan lebih baik, tapi kembaranku melompat ke samping dengan sepatu menggores tanah, untuk menghalangi jalanku lagi.

Kupikir aku tahu apa yang akan terjadi jika aku berjalan ke pintu, tapi aku harus mencobanya. Aku berlari, berniat untuk banting arah melewatinya, tapi kembaranku sudah siap menyambut: ia mencengkeram bahuku yang terluka dan memelintirku ke samping. Aku menjerit begitu keras hingga kerongkonganku sakit. Aku merasa seakan-akan ada banyak pisau yang menikam bagian kanan tubuhku dalam-dalam dan semakin dalam. Saat aku mulai jatuh berlutut, ia menendang perutku, menyebabkan aku tergeletak di lantai, menghirup debu.

Saat mencengkeram perutku, aku sadar aku akan melakukan itu kalau berada di posisinya. Yang berarti untuk mengalahkannya, aku harus memikirkan cara untuk mengalahkan diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku menjadi petarung yang lebih hebat dibandingkan diriku sendiri, jika ia tahu semua strategi yang kuketahui, dan pintar serta banyak akal seperti diriku?



No comments:

Post a Comment