Penulis: Suzanne
Collins
Christina mengalihkan pandangan. Awalnya kupikir ia tersipu,
tapi kemudian aku melihat wajahnya berkerut seakan-akan Fernando menamparnya
dan bukan memujinya. Masih terlalu dini bagi Christina sejak kematian Will
untuk dirayu.
Aku membantu Christina mengarahkan ujung tangga melintasi
jendela kelas dan menyeberangi celah di antara gedung. Marcus membantu kami
menstabilkannya. Fernando bersorak saat tangga itu mengenai jendela Erudite di
seberang gang.
“Saatnya memecahkan kaca,” kataku.
Fernando mengambil alat pemecah kaca dari sakunya, lalu
memberikannya kepadaku. “Kurasa kau lebih pintar membidiknya.”
“Kurasa tidak,” kataku. “Lengan kananku sakit. Aku harus
melemparnya dengan tangan kiri.”
“Biar aku saja,” kata Christina.
Ia menekan tombol di samping alat itu, lalu melemparkannya
menyeberangi gang, dengan ayunan rendah. Aku mengepalkan tangan saat menunggu
alat itu mendarat. Alat itu memantul di kosen jendela, lalu bergulir ke
kacanya. Kemudian, muncul kilatan cahaya oranye, dan jendela itu—serta jendela
di atasnya, di abwahnya, dan di sampingnya—hancur menjadi ratusan kepingan
kecil yang menghujani para Candor di bawah. Pada saat yang bersamaan, faksi
Candor memutar tubuh dan menembak ke langit. Orang-orang langsung tiarap, tapi
aku tetap berdiri. Sebagian diriku mengagumi gerakan serempak yang sempurna
itu, dan sebagian lain merasa jijik karena sekali lagi Jeanine Matthews
mengubah satu faksi dari manusia biasa menjadi setengah mesin. Peluru-peluru
itu sama sekali tidak mengenai jendela kelas ataupun masuk ke ruangan.
Saat para Candor tidak menembak lagi, aku mengintip ke bawah
ke arah mereka. Mereka sudah kembali ke posisi awal, setengah menghadap Madison
Avenue dan setengah menghadap Washington Street.
“Mereka hanya bereaksi terhadap gerakan, jadi ... jangan
jatuh dari tangga,” kataku. “Yang pertama menyeberang harus menahan tangga di
sana.”
Aku melihat Marcus, yang seharusnya menawarkan diri dengan
sukarela untuk setiap tugas yang ada ternyata tidak melakukannya.
“Tidak merasa sebagai kaum Kaku hari ini, Marcus?” tanya
Christina.
“Kalau aku jadi kau, aku akan berhati-hati dengan siapa yang
kuhina,” balas Marcus. “Aku masih satu-satunya yang bisa menemukan apa yang
kita cari.”
“Apakah itu ancaman?”
“Biar aku saja,” kataku, sebelum Marcus bisa menjawab. “Aku
juga punya darah kaum Kaku, kan?”
Aku menyelipkan alat kejut ke balik ikat pinggang celana
jinsku, lalu memanjat ke meja agar lebih mudah mencapai jendela. Christina
menahan tangga dari samping saat aku merangkak ke atasnya dan mulai bergerak
maju.
Begitu melewati jendela, aku meletakkan kakiku di tepi
tangga dan tanganku di anak tangganya. Tangga aluminium ini terasa cukup padat
dan mantap. Tangga itu berderak dan bergoyang menahan beban tubuhku. Aku
berusaha untuk tidak memandang ke bawah, ke arah para Candor, ataupun berpikir
senjata mereka diangkat dan ditembakkan ke arahku.
Sambil menarik napas pendek-pendek, aku menatap sasaranku.
Jendela Erudite. Tinggal beberapa anak tangga lagi.
Angin bertiup di gang, mendorongku ke satu sisi, dan aku
teringat ketika aku memanjat Bianglala bersama Tobias. Saat itu, ia yang
menahanku. Sekarang, tak ada yang menjagaku agar tetap seimbang.
Aku melihat sekilas ke tanah, tiga lantai di bawah sana.
Batu bata di sana tampak lebih kecil daripada seharusnya, begitu juga dengan
barisan budak Candor milik Jeanine. Lenganku—terutama yang kanan—terasa sakit
saat aku merayap senti demi senti menyeberangi celah itu.
Tangga bergeser, nyaris ke tepi bingkai jendela di seberang
sana. Christina memang menahan tangga di belakang, tapi ia tak bisa menahan
agar ujung tangga di kosen jendela seberang tidak jatuh. Aku mengatupkan gigiku
dan berusaha untuk tidak menyebabkan tangga bergerak-gerak, tapi aku tak
mungkin menggerakkan kedua kakiku sekaligus. Aku harus membiarkan tangga
bergoyang sedikit. Tinggal empat anak tangga lagi.
Tangga tersentak ke kiri, lalu, saat aku menggerakkan kaki
kananku ke depan, kakiku melesat dari tepi anak tangga.
Aku memekik saat tubuhku bergeser ke samping, lenganku
memeluk tangga dan kakiku tergantung di udara.
“Kau baik-baik saja?” seru Christina dari belakang.
Aku tak menjawab. Aku mengangkat kakiku dan menjejakkannya
di bawah tubuhku. Akibat jatuh tadi, tangga bergeser semakin jauh di bingkai
jendela. Sekarang, tangga ini hanya ditahan oleh satu milimeter semen.
Aku memutuskan untuk bergerak cepat. Aku menerjang ke depan
menuju ksen jendela tepat pada saat tangga bergeser jatuh. Tanganku meaih kosen
jendela itu sementara semen menggores ujung jari yang menahan tubuhku.
Terdengar teriakan dan jeritan dari belakangku.
Aku menggertakkan gigi sambil mengangkat tubuhku, bahu
kananku memekik kesakitan. Aku menendang dinding bangunan itu, untuk
mendapatkan daya dorong, tapi sia-sia. Aku berteriak dengan gigi terkatup
sambil mengangkat tubuhku ke atas dan melewati bingkai jendela, setengah
tubuhku sudah masuk dan setengah lagi masih tergantung. Untungnya Christina
tidak membiarkan tangga jatuh terlalu jauh. Para Candor di bawah tidak
menembakku.
Aku menaikkan tubuhku ke ruangan Erudite di seberang gang.
Ternyata ini kamar mandi. Aku roboh ke lantai dengan beralaskan bahu kiriku,
dan berusaha bernapas walau sakit. Keringat menetes dari keningku.
Seorang wanita Erudite keluar dari balik tirai kamar mandi,
menyebabkan aku buru-buru berdiri, mengeluarkan alat kejut, lalu
mengacungkannya ke arahnya, semuanya tanpa berpikir.
Ia langsung berhenti bergerak, sambil mengangkat tangan.
Tisu toilet menempel di sepatunya.
“Jangan tembak!” Matanya seolah menonjol dari kepalanya.
Lalu, aku ingat aku berpakaian seperti anggota faksi
Erudite. Aku meletakkan alat kejut itu di tepi wastafel.
“Mohon maaf,” kataku. Aku berusaha meniru cara bicara
Erudite yang resmi. “Aku sedikit tegang, dengan semua yang terjadi. Kami
kembali ke sini untuk mengambil sejumlah hasil tes kami dari ... Laboratorium
4-A.”
“Oh,” kata wanita itu. “Itu tampaknya kurang bijaksana.”
“Data ini sangat penting,” kataku, berusaha terdengar arogan
seperti sejumlah Erudite yang pernah kutemui. “Aku lebih suka tidak membiarkannya
ditembus peluru.”
“Aku sama sekali tidak berhak mencegahmu mengambilnya,” kata
wanita itu. “Nah, sekarang permisi. Aku akan mencuci tangan, lalu berlindung.”
“Kedengarannya bagus,” kataku. Aku memutuskan untuk tidak
memberi tahu bahwa ada tisu toilet yang menempel di sepatunya.
Aku kembali ke jendela. Di seberang gang, Christina dan
Fernando sedang berusaha menaikkan tangga kembali ke bingkai jendela. Walaupun
lengan dan tanganku sakit, aku mengulurkan tubuh keluar jendela, lalu meraih
ujung tangga dan menaikkannya ke bingkai jendela. Lalu, aku menahannya saat
Christina merangkak untuk memyeberang.
Kali ini tangganya lebih stabil. Christina berhasil
menyeberang tanpa kesulitan. Ia menggantikanku memegangi tangga saat aku
menggeser tempat sampah ke depan pintu agar tak ada orang yang masuk. Kemudian,
aku menyiram jariku dengan air dindin untuk meredakan sakitnya.
“Ini cerdas, Tris,” Christina memuji.
“Tak perlu seheran itu.”
“Tapi ....” Ia berhenti. “Erudite itu termasuk hasil tesmu,
kan?”
No comments:
Post a Comment