Insurgent (Divergent #2) (82)

Penulis: Suzanne Collins

Christina mengalihkan pandangan. Awalnya kupikir ia tersipu, tapi kemudian aku melihat wajahnya berkerut seakan-akan Fernando menamparnya dan bukan memujinya. Masih terlalu dini bagi Christina sejak kematian Will untuk dirayu.

Aku membantu Christina mengarahkan ujung tangga melintasi jendela kelas dan menyeberangi celah di antara gedung. Marcus membantu kami menstabilkannya. Fernando bersorak saat tangga itu mengenai jendela Erudite di seberang gang.

“Saatnya memecahkan kaca,” kataku.

Fernando mengambil alat pemecah kaca dari sakunya, lalu memberikannya kepadaku. “Kurasa kau lebih pintar membidiknya.”

“Kurasa tidak,” kataku. “Lengan kananku sakit. Aku harus melemparnya dengan tangan kiri.”

“Biar aku saja,” kata Christina.

Ia menekan tombol di samping alat itu, lalu melemparkannya menyeberangi gang, dengan ayunan rendah. Aku mengepalkan tangan saat menunggu alat itu mendarat. Alat itu memantul di kosen jendela, lalu bergulir ke kacanya. Kemudian, muncul kilatan cahaya oranye, dan jendela itu—serta jendela di atasnya, di abwahnya, dan di sampingnya—hancur menjadi ratusan kepingan kecil yang menghujani para Candor di bawah. Pada saat yang bersamaan, faksi Candor memutar tubuh dan menembak ke langit. Orang-orang langsung tiarap, tapi aku tetap berdiri. Sebagian diriku mengagumi gerakan serempak yang sempurna itu, dan sebagian lain merasa jijik karena sekali lagi Jeanine Matthews mengubah satu faksi dari manusia biasa menjadi setengah mesin. Peluru-peluru itu sama sekali tidak mengenai jendela kelas ataupun masuk ke ruangan.

Saat para Candor tidak menembak lagi, aku mengintip ke bawah ke arah mereka. Mereka sudah kembali ke posisi awal, setengah menghadap Madison Avenue dan setengah menghadap Washington Street.

“Mereka hanya bereaksi terhadap gerakan, jadi ... jangan jatuh dari tangga,” kataku. “Yang pertama menyeberang harus menahan tangga di sana.”

Aku melihat Marcus, yang seharusnya menawarkan diri dengan sukarela untuk setiap tugas yang ada ternyata tidak melakukannya.

“Tidak merasa sebagai kaum Kaku hari ini, Marcus?” tanya Christina.

“Kalau aku jadi kau, aku akan berhati-hati dengan siapa yang kuhina,” balas Marcus. “Aku masih satu-satunya yang bisa menemukan apa yang kita cari.”

“Apakah itu ancaman?”

“Biar aku saja,” kataku, sebelum Marcus bisa menjawab. “Aku juga punya darah kaum Kaku, kan?”

Aku menyelipkan alat kejut ke balik ikat pinggang celana jinsku, lalu memanjat ke meja agar lebih mudah mencapai jendela. Christina menahan tangga dari samping saat aku merangkak ke atasnya dan mulai bergerak maju.

Begitu melewati jendela, aku meletakkan kakiku di tepi tangga dan tanganku di anak tangganya. Tangga aluminium ini terasa cukup padat dan mantap. Tangga itu berderak dan bergoyang menahan beban tubuhku. Aku berusaha untuk tidak memandang ke bawah, ke arah para Candor, ataupun berpikir senjata mereka diangkat dan ditembakkan ke arahku.

Sambil menarik napas pendek-pendek, aku menatap sasaranku. Jendela Erudite. Tinggal beberapa anak tangga lagi.

Angin bertiup di gang, mendorongku ke satu sisi, dan aku teringat ketika aku memanjat Bianglala bersama Tobias. Saat itu, ia yang menahanku. Sekarang, tak ada yang menjagaku agar tetap seimbang.

Aku melihat sekilas ke tanah, tiga lantai di bawah sana. Batu bata di sana tampak lebih kecil daripada seharusnya, begitu juga dengan barisan budak Candor milik Jeanine. Lenganku—terutama yang kanan—terasa sakit saat aku merayap senti demi senti menyeberangi celah itu.

Tangga bergeser, nyaris ke tepi bingkai jendela di seberang sana. Christina memang menahan tangga di belakang, tapi ia tak bisa menahan agar ujung tangga di kosen jendela seberang tidak jatuh. Aku mengatupkan gigiku dan berusaha untuk tidak menyebabkan tangga bergerak-gerak, tapi aku tak mungkin menggerakkan kedua kakiku sekaligus. Aku harus membiarkan tangga bergoyang sedikit. Tinggal empat anak tangga lagi.

Tangga tersentak ke kiri, lalu, saat aku menggerakkan kaki kananku ke depan, kakiku melesat dari tepi anak tangga.

Aku memekik saat tubuhku bergeser ke samping, lenganku memeluk tangga dan kakiku tergantung di udara.

“Kau baik-baik saja?” seru Christina dari belakang.

Aku tak menjawab. Aku mengangkat kakiku dan menjejakkannya di bawah tubuhku. Akibat jatuh tadi, tangga bergeser semakin jauh di bingkai jendela. Sekarang, tangga ini hanya ditahan oleh satu milimeter semen.

Aku memutuskan untuk bergerak cepat. Aku menerjang ke depan menuju ksen jendela tepat pada saat tangga bergeser jatuh. Tanganku meaih kosen jendela itu sementara semen menggores ujung jari yang menahan tubuhku. Terdengar teriakan dan jeritan dari belakangku.

Aku menggertakkan gigi sambil mengangkat tubuhku, bahu kananku memekik kesakitan. Aku menendang dinding bangunan itu, untuk mendapatkan daya dorong, tapi sia-sia. Aku berteriak dengan gigi terkatup sambil mengangkat tubuhku ke atas dan melewati bingkai jendela, setengah tubuhku sudah masuk dan setengah lagi masih tergantung. Untungnya Christina tidak membiarkan tangga jatuh terlalu jauh. Para Candor di bawah tidak menembakku.

Aku menaikkan tubuhku ke ruangan Erudite di seberang gang. Ternyata ini kamar mandi. Aku roboh ke lantai dengan beralaskan bahu kiriku, dan berusaha bernapas walau sakit. Keringat menetes dari keningku.

Seorang wanita Erudite keluar dari balik tirai kamar mandi, menyebabkan aku buru-buru berdiri, mengeluarkan alat kejut, lalu mengacungkannya ke arahnya, semuanya tanpa berpikir.

Ia langsung berhenti bergerak, sambil mengangkat tangan. Tisu toilet menempel di sepatunya.

“Jangan tembak!” Matanya seolah menonjol dari kepalanya.

Lalu, aku ingat aku berpakaian seperti anggota faksi Erudite. Aku meletakkan alat kejut itu di tepi wastafel.

“Mohon maaf,” kataku. Aku berusaha meniru cara bicara Erudite yang resmi. “Aku sedikit tegang, dengan semua yang terjadi. Kami kembali ke sini untuk mengambil sejumlah hasil tes kami dari ... Laboratorium 4-A.”

“Oh,” kata wanita itu. “Itu tampaknya kurang bijaksana.”

“Data ini sangat penting,” kataku, berusaha terdengar arogan seperti sejumlah Erudite yang pernah kutemui. “Aku lebih suka tidak membiarkannya ditembus peluru.”

“Aku sama sekali tidak berhak mencegahmu mengambilnya,” kata wanita itu. “Nah, sekarang permisi. Aku akan mencuci tangan, lalu berlindung.”

“Kedengarannya bagus,” kataku. Aku memutuskan untuk tidak memberi tahu bahwa ada tisu toilet yang menempel di sepatunya.

Aku kembali ke jendela. Di seberang gang, Christina dan Fernando sedang berusaha menaikkan tangga kembali ke bingkai jendela. Walaupun lengan dan tanganku sakit, aku mengulurkan tubuh keluar jendela, lalu meraih ujung tangga dan menaikkannya ke bingkai jendela. Lalu, aku menahannya saat Christina merangkak untuk memyeberang.

Kali ini tangganya lebih stabil. Christina berhasil menyeberang tanpa kesulitan. Ia menggantikanku memegangi tangga saat aku menggeser tempat sampah ke depan pintu agar tak ada orang yang masuk. Kemudian, aku menyiram jariku dengan air dindin untuk meredakan sakitnya.

“Ini cerdas, Tris,” Christina memuji.

“Tak perlu seheran itu.”

“Tapi ....” Ia berhenti. “Erudite itu termasuk hasil tesmu, kan?”



No comments:

Post a Comment