Penulis: Suzanne
Collins
“Alat kejut adalah pilihan yang sangat bagus,” ujar Cara
sambil menjentikkan sehelai rambut dari lengan bajunya. “Lagi pula, menurutku
para Dauntless itu terlalu menyukai pistol.”
Fernando mengulurkan alat kejut itu kepadaku. Andai aku bisa
mengucapkan terima kasih kepada Cara, tapi ia tidak memandangku.
“Bagaimana caraku menyembunyikan benda ini?” tanyaku.
“Tak usah repot-repot,” sahut Fernando.
“Oke.”
“Sebaiknya kita berangkat,” ujar Marcus sambil memandang jam
tangannya.
Jantungku berdetak begitu keras sehingga menandai setiap
detiknya bagiku, tapi bagian lain tubuhku terasa kebas. Aku nyaris tidak
merasakan tanah. Aku tak pernah merasa setakut ini. Selain itu, mengingat semua
yang kulihat dalam simulasi, dan semua
yang kulakukan pada saat simulasi serangan, ini sama seklai tak masuk akal.
Atau mungkin justru iya. Apa pun yang akan ditunjukkan oleh
faksi Abnegation pada semua orang sebelum penyerbuan dilakukan, itu pastilah
cukup untuk memicu Jeanine melakukan tindakan yang drastis dan dahsyat untuk
menghentikan mereka. Dan sekarang, aku akan menyelesaikan pekerjaan mereka,
pekerjaan yang memakan nyawa anggota faksi lamaku. Yang jauh lebih penting
daripada nyawaku yang saat ini dipertaruhkan.
Aku dan Christina memimpin jalan. Kami berlari menyusuri
trotoar di Madison Avenue yang licin dan rata, melewati State Street, menuju
Michigan Avenue.
Saat tinggal setengah blok dari markas Erudite, aku
tiba-tiba berhenti.
Di depan kami berdirilah kerumunan orang berpakaian hitam dan
putih yang memegang senjata dan siap menembak, dalam empat baris yang
masing-masing berjarak dua langkah. Aku mengerjap dan mereka berubah menjadi
para Dauntless dalam pengaruh simulasi di sektor Abnegation, pada saat simulasi
serangan. Kuatkan dirimu! Kuatkan dirimu
kuatkan dirimu kuatkan dirimu .... Aku berkedip lagi dan mereka kembali
menjadi faksi Candor—walaupun sebagiannya, yang berpakaian hitam-hitam, tampak
seperti Dauntless. Kalau tidak hati-hati, aku bisa lupa di mana dan kapan aku
berada.
“Ya Tuhan,” ujar Christina. “Adikku, orangtuaku ... bagaimana kalau mereka ....”
Ia memandangku. Kupikir aku tahu apa yang ia pikirkan karena
aku pernah mengalaminya. Di mana
orangtuaku? Aku harus menemukan mereka. Tapi, jika orangutua Christina
seperti para Candor ini, berada di bawah pengaruh simulasi dan bersenjata, maka
tak ada yang bisa ia lakukan untuk mereka.
Aku bertanya-tanya apakah Lynn berdiri di salah atu barisan
itu, di tempat lain.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Fernando.
Aku melangkah ke arah para Candor itu. Mungkin mereka tidak
diprogram untuk menembak. Aku menatap mata bening seorang perempuan berbaju
putih dan celana panjang hitam. Ia tampak seperti baru pulang dari kantor. Aku
melangkah lagi.
Dor. Secara
naluriah aku tiarap, menutup kepalaku dengan tangan, lalu merayap mundur,
menuju sepatu Fernando. Ia membantuku berdiri.
“Mungkin sebaiknya kita tidak melakukan itu?” katanya.
Aku mencondongkan tubuh ke depan—tidak terlalu jauh—dan
mengintip ke gang di antara bangunan di samping kami dan markas Erudite. Di
gang itu juga ada faksi Candor. Aku tak akan heran jika seluruh kompleks
bangunan Erudite ini dikelilingi pasukan Candor.
“Apakah ada jalan lain menuju markas Erudite?” tanyaku.
“Setahuku tidak,” sahut Cara. “Kecuali, kalau kau mau
melompat dari atap ke atap.”
Ia terkekeh saat mengatakan itu, seakan-akan itu lelucon.
Aku memandangnya dengan alis terangkat.
“Tunggu,” katanya. “Kau tidak memikirkan—”
“Atap?” kataku. “Bukan. Jendela.”
Aku berjalan ke kiri, dengan hati-hati agar tidak mendekati
para Candor sesenti pun. Sisi kiri terjauh dari bangunan di sebelah kiriku
berseberangan dengan markas Erudite. Pasti ada sejumlah jendela yang saling
berhadapan.
Cara menggumamkan sesuatu mengenai pertunjukan ketangkasan
Dauntless yang gila, tapi ikut berlari di belakangku, diikuti Fernando, marcus,
dan Christina. Aku berusaha membuka pintu belakang gedung itu, tapi terkunci.
Christina maju dan berkata, “Mundur.” Ia mengacungkan
pistolnya ke kunci. Aku melindungi wajahku dengan sebelah tangan saat ia
menembak. Kami mendengar ledakan keras, lalu dering bernada tinggi, efek
samping dari menembakkan pistol dari jarak dekat. Kuncinya rusak.
Aku menarik pintu hingga terbuka, lalu berjalan masuk.
Sebuah koridor panjang dengan lantau ubin menyambutku. Pintu-pintu ada di
setiap sisi, sebagian terbuka dan sebagian tertutup. Saat melongok ke ruangan
yang terbuka, aku melihat deretan meja tua dan papan-papan tulis di dinding
seperti yang ada di markas Dauntless. Udaranya apak, seperti halaman-halaman
buku perpustakaan bercampur cairan pembersih.
“Dulu ini gedung komersial,” kata Fernando, “tapi Erudite
mengubahnya menjadi sekolah, untuk pendidikan pasca-Pemilihan. Setelah renovasi
markas Erudite secara besar-besaran sekitar satu dekade yang lalu—ingat, saat
semua bangunan di seberang Millennium saling berhubungan?—mereka tak lagi
mengajar di sini. Terlalu tua, sulit diperbarui.”
“Terima kasih untuk pelajaran sejarahnya,” komentar
Christina.
Saat tiba di ujung koridor, aku berjalan ke dalam salah satu
kelas untuk melihat di mana aku berada. Aku melihat bagian belakang markas
Erudite, di seberang gang, tapi di sana tak ada jendela yang setinggi jalan.
Tepat di luar jendela, begitu dekat sehingga aku bisa
menyentuhnya jika mengulurkan tanganku keluar jendela, ada seorang anak Candor,
gadis kecil, yang memegang senjata sepanjang lengan depannya. Ia berdiri diam,
begitu diam, sehingga aku bertanya-tanya apakah ia masih bernapas.
Aku menjulurkan leher untuk melihat jendela di bagian atas.
Di atas kepalaku, ternaya ada banyak jendela di gedung sekolah ini. Sedangkan
di bagian belakang markas Erudite, ada satu jendela yang letaknya sejajar. Dan
itu di lantai tiga.
“Kabar bagus,” kataku. “Aku menemukan cara untuk ke
seberang.”[]
42
Semua orang menyebar di gedung itu dan mencari lemari tukang
sapu, sesuai instruksiku, agar menemukan tangga. Aku mendengar decitan sepatu
kets di lantai dan teriakan “ketemu—eh, sebentar, di dalamnya cuma ada ember, tak jadi” dan “Tangganya
harus sepanjang apa? Tangga lipat tak bisa, ya?”
Sementara mereka mencari, aku menemukan ruang kelas di
lantai tiga yang berhadapan dengan jendela di markas Erudite. Perlu tiga kali
barulah aku membuka jendela yang benar.
Aku mencondongkan tubuh ke luar, ke atas gang, kemudian
berteriak, “Hei!” Lalu, merunduk secepat mungkin . Tapi, aku tak mendengar
bunyi tembakan—Bagus, pikirku. Mereka tidak bereaksi terhadap suara.
Christina masuk ke kelas sambil membawa tangga. Yang lain
mengikuti di belakangnya. “Dapat satu! Kupikir panjangnya cukup setelah
diulur.”
Ia berbalik terlalu cepat sehingga tangga itu menghantam
Fernando.
“Oh! Maaf, Nando.”
Sentakan itu menyebabkan kacamata Fernando miring. Ia
tersenyum ke arah Christina, melepas kacamata, lalu memasukkan benda itu ke
sakunya.
“Nando?” tanyaku. “Kupikir para Erudite tak suka nama
panggilan?”
“Kalau seorang gadis cantik memanggilmu dengan nama
panggilan,” jelas Fernando, “yang paling logis adalah menanggapinya.”
No comments:
Post a Comment