Insurgent (Divergent #2) (81)

Penulis: Suzanne Collins

“Alat kejut adalah pilihan yang sangat bagus,” ujar Cara sambil menjentikkan sehelai rambut dari lengan bajunya. “Lagi pula, menurutku para Dauntless itu terlalu menyukai pistol.”

Fernando mengulurkan alat kejut itu kepadaku. Andai aku bisa mengucapkan terima kasih kepada Cara, tapi ia tidak memandangku.

“Bagaimana caraku menyembunyikan benda ini?” tanyaku.

“Tak usah repot-repot,” sahut Fernando.

“Oke.”

“Sebaiknya kita berangkat,” ujar Marcus sambil memandang jam tangannya.

Jantungku berdetak begitu keras sehingga menandai setiap detiknya bagiku, tapi bagian lain tubuhku terasa kebas. Aku nyaris tidak merasakan tanah. Aku tak pernah merasa setakut ini. Selain itu, mengingat semua yang  kulihat dalam simulasi, dan semua yang kulakukan pada saat simulasi serangan, ini sama seklai tak masuk akal.

Atau mungkin justru iya. Apa pun yang akan ditunjukkan oleh faksi Abnegation pada semua orang sebelum penyerbuan dilakukan, itu pastilah cukup untuk memicu Jeanine melakukan tindakan yang drastis dan dahsyat untuk menghentikan mereka. Dan sekarang, aku akan menyelesaikan pekerjaan mereka, pekerjaan yang memakan nyawa anggota faksi lamaku. Yang jauh lebih penting daripada nyawaku yang saat ini dipertaruhkan.

Aku dan Christina memimpin jalan. Kami berlari menyusuri trotoar di Madison Avenue yang licin dan rata, melewati State Street, menuju Michigan Avenue.

Saat tinggal setengah blok dari markas Erudite, aku tiba-tiba berhenti.

Di depan kami berdirilah kerumunan orang berpakaian hitam dan putih yang memegang senjata dan siap menembak, dalam empat baris yang masing-masing berjarak dua langkah. Aku mengerjap dan mereka berubah menjadi para Dauntless dalam pengaruh simulasi di sektor Abnegation, pada saat simulasi serangan. Kuatkan dirimu! Kuatkan dirimu kuatkan dirimu kuatkan dirimu .... Aku berkedip lagi dan mereka kembali menjadi faksi Candor—walaupun sebagiannya, yang berpakaian hitam-hitam, tampak seperti Dauntless. Kalau tidak hati-hati, aku bisa lupa di mana dan kapan aku berada.

“Ya Tuhan,” ujar Christina. “Adikku, orangtuaku ... bagaimana kalau mereka ....”

Ia memandangku. Kupikir aku tahu apa yang ia pikirkan karena aku pernah mengalaminya. Di mana orangtuaku? Aku harus menemukan mereka. Tapi, jika orangutua Christina seperti para Candor ini, berada di bawah pengaruh simulasi dan bersenjata, maka tak ada yang bisa ia lakukan untuk mereka.

Aku bertanya-tanya apakah Lynn berdiri di salah atu barisan itu, di tempat lain.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Fernando.

Aku melangkah ke arah para Candor itu. Mungkin mereka tidak diprogram untuk menembak. Aku menatap mata bening seorang perempuan berbaju putih dan celana panjang hitam. Ia tampak seperti baru pulang dari kantor. Aku melangkah lagi.

Dor. Secara naluriah aku tiarap, menutup kepalaku dengan tangan, lalu merayap mundur, menuju sepatu Fernando. Ia membantuku berdiri.

“Mungkin sebaiknya kita tidak melakukan itu?” katanya.

Aku mencondongkan tubuh ke depan—tidak terlalu jauh—dan mengintip ke gang di antara bangunan di samping kami dan markas Erudite. Di gang itu juga ada faksi Candor. Aku tak akan heran jika seluruh kompleks bangunan Erudite ini dikelilingi pasukan Candor.

“Apakah ada jalan lain menuju markas Erudite?” tanyaku.

“Setahuku tidak,” sahut Cara. “Kecuali, kalau kau mau melompat dari atap ke atap.”

Ia terkekeh saat mengatakan itu, seakan-akan itu lelucon. Aku memandangnya dengan alis terangkat.

“Tunggu,” katanya. “Kau tidak memikirkan—”

“Atap?” kataku. “Bukan. Jendela.”

Aku berjalan ke kiri, dengan hati-hati agar tidak mendekati para Candor sesenti pun. Sisi kiri terjauh dari bangunan di sebelah kiriku berseberangan dengan markas Erudite. Pasti ada sejumlah jendela yang saling berhadapan.

Cara menggumamkan sesuatu mengenai pertunjukan ketangkasan Dauntless yang gila, tapi ikut berlari di belakangku, diikuti Fernando, marcus, dan Christina. Aku berusaha membuka pintu belakang gedung itu, tapi terkunci.

Christina maju dan berkata, “Mundur.” Ia mengacungkan pistolnya ke kunci. Aku melindungi wajahku dengan sebelah tangan saat ia menembak. Kami mendengar ledakan keras, lalu dering bernada tinggi, efek samping dari menembakkan pistol dari jarak dekat. Kuncinya rusak.

Aku menarik pintu hingga terbuka, lalu berjalan masuk. Sebuah koridor panjang dengan lantau ubin menyambutku. Pintu-pintu ada di setiap sisi, sebagian terbuka dan sebagian tertutup. Saat melongok ke ruangan yang terbuka, aku melihat deretan meja tua dan papan-papan tulis di dinding seperti yang ada di markas Dauntless. Udaranya apak, seperti halaman-halaman buku perpustakaan bercampur cairan pembersih.

“Dulu ini gedung komersial,” kata Fernando, “tapi Erudite mengubahnya menjadi sekolah, untuk pendidikan pasca-Pemilihan. Setelah renovasi markas Erudite secara besar-besaran sekitar satu dekade yang lalu—ingat, saat semua bangunan di seberang Millennium saling berhubungan?—mereka tak lagi mengajar di sini. Terlalu tua, sulit diperbarui.”

“Terima kasih untuk pelajaran sejarahnya,” komentar Christina.

Saat tiba di ujung koridor, aku berjalan ke dalam salah satu kelas untuk melihat di mana aku berada. Aku melihat bagian belakang markas Erudite, di seberang gang, tapi di sana tak ada jendela yang setinggi jalan.

Tepat di luar jendela, begitu dekat sehingga aku bisa menyentuhnya jika mengulurkan tanganku keluar jendela, ada seorang anak Candor, gadis kecil, yang memegang senjata sepanjang lengan depannya. Ia berdiri diam, begitu diam, sehingga aku bertanya-tanya apakah ia masih bernapas.

Aku menjulurkan leher untuk melihat jendela di bagian atas. Di atas kepalaku, ternaya ada banyak jendela di gedung sekolah ini. Sedangkan di bagian belakang markas Erudite, ada satu jendela yang letaknya sejajar. Dan itu di lantai tiga.

“Kabar bagus,” kataku. “Aku menemukan cara untuk ke seberang.”[]

42

Semua orang menyebar di gedung itu dan mencari lemari tukang sapu, sesuai instruksiku, agar menemukan tangga. Aku mendengar decitan sepatu kets di lantai dan teriakan “ketemu—eh, sebentar, di dalamnya  cuma ada ember, tak jadi” dan “Tangganya harus sepanjang apa? Tangga lipat tak bisa, ya?”

Sementara mereka mencari, aku menemukan ruang kelas di lantai tiga yang berhadapan dengan jendela di markas Erudite. Perlu tiga kali barulah aku membuka jendela yang benar.

Aku mencondongkan tubuh ke luar, ke atas gang, kemudian berteriak, “Hei!” Lalu, merunduk secepat mungkin . Tapi, aku tak mendengar bunyi tembakan—Bagus, pikirku. Mereka tidak bereaksi terhadap suara.

Christina masuk ke kelas sambil membawa tangga. Yang lain mengikuti di belakangnya. “Dapat satu! Kupikir panjangnya cukup setelah diulur.”

Ia berbalik terlalu cepat sehingga tangga itu menghantam Fernando.

“Oh! Maaf, Nando.”

Sentakan itu menyebabkan kacamata Fernando miring. Ia tersenyum ke arah Christina, melepas kacamata, lalu memasukkan benda itu ke sakunya.

“Nando?” tanyaku. “Kupikir para Erudite tak suka nama panggilan?”

“Kalau seorang gadis cantik memanggilmu dengan nama panggilan,” jelas Fernando, “yang paling logis adalah menanggapinya.”



No comments:

Post a Comment