Insurgent (Divergent #2) (80)

Penulis: Suzanne Collins

Iring-iringan memelan saat kami melewati pagar, seolah-olah mereka mengira seseorang bakal melompat dan menghentikan kami. Keadaan begitu hening, hanya terdengar bunyi mesin truk dan suara tonggeret dari pepohonan di kejauhan.

“Menurutmu sudah dimulai?” aku bertanya kepada Fernando.

“Mungkin. Mungkin belum,” jawabnya. “Jeanine punya banyak informan. Mungkin seseorang memberitahunya ada sesuatu yang bakal terjadi, sehingga ia memerintahkan semua Dauntless kembali ke markas Erudite.”

Aku mengangguk, tapi sebenarnya aku memikirkan Caleb. Kakakku itu salah satu informan Jeanine. Aku bertanya-tanya apa yang menyebabkan Caleb begitu yakin bahwa dunia luar harus tetap disembunyikan dari kami semua sehingga mau mengkhianati semua orang yang seharusnya disayanginya demi Jeanine yang tidak peduli pada siapa pun.

“Kau pernah bertemu orang yang namanya Caleb?” tanyaku.

“Caleb,” ulang Fernando. “Ya, ada yang namanya Caleb di kelas peserta inisiasiku. Brilian, tapi ia ... apa istilah sehari-harinya? Penjilat.” Ia meringis. “Ada sedikit perpecahan di antara para peserta inisiasi. Yang menelan semua kata-kata Jeanine dan yang tidak. Jelas aku ini termasuk yang kedua. Caleb itu termasuk yang pertama. Kenapa kau bertanya?”

“Aku bertemu dengannya saat ditahan,” kataku, suaraku terdengar begitu jauh, bahkan bagiku sendiri. “Cuma penasaran.”

“Aku tak akan menilainya terlalu keras,” kata Fernando. “Jeanine itu bisa menjadi luar biasa meyakinkan bagi orang-orang yang tak punya sifat curigaan. Aku ini pada dasarnya selalu curigaan.”

Aku menatp melewati bahu kiri Fernando, ke ararh kaki langit yang semakin jelas saat kami mendekati kota. Aku mencari dua menara di bagian atas The Hub. Saat melihatnya, aku merasa lebih baik sekaligus lebih buruk—lebih baik karena gedung itu sudah kukenal, dan lebih buruk karena jika menara terlihat, itu artinya kami semakin dekat.

Yeah,” kataku. “Aku juga begitu.”[]

41

Saat kami tiba di kota, semua perbincangan di truk terhenti, digantikan bibir-bibir terkatup dan wajah-wajah pucat. Marcus mengarahkan kemudi untuk menghindari lubang sebesar orang dan bagian-bagian bus yang rusak. Perjalanan lebih mulus saat kami keluar dari wilayah factionless dan masuk ke bagian kota yang bersih.

Lalu, aku mendengar bunyi tembakan. Dari jauh, suara itu terdengar seperti letupan.

Sesaat aku kebingungan. Yang bisa kulihat hanyalah para pemimpin Abnegation yang berlutut di trotoar dan para Dauntless berwajah datar yang memegang senjata. Yang bisa kulihat hanyalah ibuku berbalik untuk menyambut peluru, dan Will yang roboh. Aku menggigit tinjuku agar tidak menjerit, dan rasa sakitnya menarikku kembali ke saat ini.

Ibukku menyuruhku berani. Tapi, jika ibuku tahu kematiannya membuatku begitu ketakutan, apakah ia akan mengorbankan dirinya dengan sukarela seperti itu?

Marcus berbelok ke Madison Avenue, memisahkan diri dari iring-iringan truk. Saat kami tinggal dua blok lagi dari Michigan Avenur, tempat pertempuran terjadi, ia membelokkan truk ke sebuah gang dan mematikan mesin.

Fernando melompat turun dari bak truk dan mengulurkan lengannya ke arahku.

“Ayo, Insurgent,” katanya sambil mengedipkan sebelah mata.

“Apa?” tanyaku. Aku meraih lengannya dan meluncur turun ke samping truk.

Fernando membuka tas yang didudukinya yang penuh berisi baju biru. Ia memilah-milah pakaian itu, lalu melemparkan baju ke arah Christina dan aku. Aku mendapatkan kaus biru terang dan celana jins biru.

“Insurgent,” katanya. “Kata benda. Orang yang bertindak sebagai oposisi terhadap otoritas yang mapan, yang tidak selalu dianggap sebagai orang yang suka berperang.”

“Apakah kau perlu memberi nama pada semua hal?” tanya Cara sambil mengusap rambutnya yang pirang pucat untuk merapikan helai-helai yang mencuat. “Kita hanya melakukan sesuatu dan kebetulan saja dalam atu kelompok. Tak perlu nama baru.”

“Kebetulan aku menyukai pengelompokan,” jawab Fernando sambil mengangkat sebelah alisnya yang gelap.

Aku memandang Fernando. Waktu terakhir kali aku menyerbu markas sebuah faksi, aku melakukannya sambil memegang pistol, dan meninggalkan mayat-mayat. Aku ingin kali ini berbeda. Aku perlu yang kali ini berbeda. “Aku menyukainya,” kataku. “Insurgent. Itu sempurna.”

“Betul, kan?” kata Fernando kepada Cara. “Bukan cuma aku.”

“Selamat,” sahut Cara datar.

Aku menatap pakaian Eruditeku sementara yang lain melepaskan lapisan luar pakaian mereka.

“Bukan waktunya untuk bersopan santun, Kaku!” ujar Christina sambil menatapku tajam.

Karena tahu ia benar, aku melepaskan baju merah yang kukenakan dan memakai kaus biru itu. Aku melirik Fernando dan Marcus untuk memastikan mereka tidak melihat, lalu mengganti celanaku. Aku harus menggulung jinsnya empat kali. Dan, saat aku memasang ikat pinggang, bagian atasnya bertumpuk seperti leher kantung kertas yang diremas.

“Tadi ia memanggilmu ‘Kaku’?” tanya Fernando.

Yeah,” aku menjawab. “Aku pindah dari faksi Abnegation ke faksi Dauntless.”

“Hmmm.” Ia mengerutkan kening. “Itu perubahan yang luar biasa. Lompatan kepribadian antargenerasi seperti itu, secara genetik hampir tak mungkin terjadi akhir-akhir ini.”

“Terkadang, kepribadian tak ada hubungannya dengan pilihan faksi seseorang,” kataku, sambil memikirkan ibuku. Ia meninggalkan faksi Dauntless bukan karena tidak cocok di sana, melainkan karena seorang Divergent lebih aman berada di faksi Abnegation. Lalu ada Tobias, yang pindah ke faksi Dauntless untuk menghindari ayahnya. “Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan.”

Untuk menghindari laki-laki yang menjadi sekutuku. Aku merasakan hunjaman rasa bersalah.

“Kalau kau terus bicara seperti itu, tak mungkin mereka tidak menyangka kau ini seorang Erudite,” ujar Fernando.

Aku menyisir rambutku agar rapi, lalu menyelipkannya di balik telinga.

“Sini,” kata Cara. Ia mengangkat sehelai rambut dari wajahku dan menjepitkannya ke belakang dengan jepit rambut berwarna perak, seperti gadis-gadis Erudite.

Christina mengeluarkan pistol yang kami bawa dan memandangku.

“Kau mau satu?” tanyanya. “Atau kau lebih suka membawa alat kejut?”

Aku menatap pistol di tangan Christina. Kalau aku tak mengambil alat kejut itu, maka tak ada yang melindungiku dari orang-orang yang akan menembakku dengan senang hari. Kalau aku mengambilnya, aku mengakui kelemahanku di depan Fernando, Cara, dan Marcus.

“Kau tahu apa yang akan Will katakan?” tanya Christina.

“Apa?” kataku, suaraku serak.

“Ia akan bilang padamu untuk melupakannya,” jawabnya. “Berhentilah bersikap tidak rasional dan ambil pistol sialan ini.”

Will tidak punya kesabaran dalam menghadapi sikap yang tak rasional. Christina pasti benar. Ia lebih mengenal Will daripada aku.

Selain itu, Christina—yang kehilangan orang yang disayanginya pada hari itu, seperti aku—mampu memaafkanku, sesuatu yang pastinya nyaris tak mungkin. Jika situasinya dibalik, aku tak mungkin sanggup memaagkannya. Jadi, mengapa begitu sulit bagiku untuk memaafkan diriku sendiri?

Aku mengatupkan tanganku di pistol yang Christina sodorkan kepadaku. Bagian logam yang tadi disentuhnya terasa hangat. Dari belakang benakku, aku merasakan sodokan ingatan saat menembak Will, dan berusaha menahannya. Tapi tak bisa. Aku melepaskan pistol itu.



No comments:

Post a Comment