Penulis: Suzanne
Collins
Iring-iringan memelan saat kami melewati pagar, seolah-olah
mereka mengira seseorang bakal melompat dan menghentikan kami. Keadaan begitu
hening, hanya terdengar bunyi mesin truk dan suara tonggeret dari pepohonan di
kejauhan.
“Menurutmu sudah dimulai?” aku bertanya kepada Fernando.
“Mungkin. Mungkin belum,” jawabnya. “Jeanine punya banyak
informan. Mungkin seseorang memberitahunya ada sesuatu yang bakal terjadi,
sehingga ia memerintahkan semua Dauntless kembali ke markas Erudite.”
Aku mengangguk, tapi sebenarnya aku memikirkan Caleb.
Kakakku itu salah satu informan Jeanine. Aku bertanya-tanya apa yang
menyebabkan Caleb begitu yakin bahwa dunia luar harus tetap disembunyikan dari
kami semua sehingga mau mengkhianati semua orang yang seharusnya disayanginya
demi Jeanine yang tidak peduli pada siapa pun.
“Kau pernah bertemu orang yang namanya Caleb?” tanyaku.
“Caleb,” ulang Fernando. “Ya, ada yang namanya Caleb di
kelas peserta inisiasiku. Brilian, tapi ia ... apa istilah sehari-harinya?
Penjilat.” Ia meringis. “Ada sedikit perpecahan di antara para peserta
inisiasi. Yang menelan semua kata-kata Jeanine dan yang tidak. Jelas aku ini
termasuk yang kedua. Caleb itu termasuk yang pertama. Kenapa kau bertanya?”
“Aku bertemu dengannya saat ditahan,” kataku, suaraku
terdengar begitu jauh, bahkan bagiku sendiri. “Cuma penasaran.”
“Aku tak akan menilainya terlalu keras,” kata Fernando.
“Jeanine itu bisa menjadi luar biasa meyakinkan bagi orang-orang yang tak punya
sifat curigaan. Aku ini pada dasarnya selalu curigaan.”
Aku menatp melewati bahu kiri Fernando, ke ararh kaki langit
yang semakin jelas saat kami mendekati kota. Aku mencari dua menara di bagian
atas The Hub. Saat melihatnya, aku merasa lebih baik sekaligus lebih
buruk—lebih baik karena gedung itu sudah kukenal, dan lebih buruk karena jika
menara terlihat, itu artinya kami semakin dekat.
“Yeah,” kataku.
“Aku juga begitu.”[]
41
Saat kami tiba di kota, semua perbincangan di truk terhenti,
digantikan bibir-bibir terkatup dan wajah-wajah pucat. Marcus mengarahkan
kemudi untuk menghindari lubang sebesar orang dan bagian-bagian bus yang rusak.
Perjalanan lebih mulus saat kami keluar dari wilayah factionless dan masuk ke bagian kota yang bersih.
Lalu, aku mendengar bunyi tembakan. Dari jauh, suara itu
terdengar seperti letupan.
Sesaat aku kebingungan. Yang bisa kulihat hanyalah para
pemimpin Abnegation yang berlutut di trotoar dan para Dauntless berwajah datar
yang memegang senjata. Yang bisa kulihat hanyalah ibuku berbalik untuk menyambut
peluru, dan Will yang roboh. Aku menggigit tinjuku agar tidak menjerit, dan
rasa sakitnya menarikku kembali ke saat ini.
Ibukku menyuruhku berani. Tapi, jika ibuku tahu kematiannya
membuatku begitu ketakutan, apakah ia akan mengorbankan dirinya dengan sukarela
seperti itu?
Marcus berbelok ke Madison Avenue, memisahkan diri dari
iring-iringan truk. Saat kami tinggal dua blok lagi dari Michigan Avenur,
tempat pertempuran terjadi, ia membelokkan truk ke sebuah gang dan mematikan
mesin.
Fernando melompat turun dari bak truk dan mengulurkan
lengannya ke arahku.
“Ayo, Insurgent,” katanya sambil mengedipkan sebelah mata.
“Apa?” tanyaku. Aku meraih lengannya dan meluncur turun ke
samping truk.
Fernando membuka tas yang didudukinya yang penuh berisi baju
biru. Ia memilah-milah pakaian itu, lalu melemparkan baju ke arah Christina dan
aku. Aku mendapatkan kaus biru terang dan celana jins biru.
“Insurgent,” katanya. “Kata benda. Orang yang bertindak
sebagai oposisi terhadap otoritas yang mapan, yang tidak selalu dianggap
sebagai orang yang suka berperang.”
“Apakah kau perlu memberi nama pada semua hal?” tanya Cara
sambil mengusap rambutnya yang pirang pucat untuk merapikan helai-helai yang
mencuat. “Kita hanya melakukan sesuatu dan kebetulan saja dalam atu kelompok.
Tak perlu nama baru.”
“Kebetulan aku menyukai pengelompokan,” jawab Fernando
sambil mengangkat sebelah alisnya yang gelap.
Aku memandang Fernando. Waktu terakhir kali aku menyerbu
markas sebuah faksi, aku melakukannya sambil memegang pistol, dan meninggalkan
mayat-mayat. Aku ingin kali ini berbeda. Aku perlu yang kali ini berbeda. “Aku menyukainya,” kataku. “Insurgent.
Itu sempurna.”
“Betul, kan?” kata Fernando kepada Cara. “Bukan cuma aku.”
“Selamat,” sahut Cara datar.
Aku menatap pakaian Eruditeku sementara yang lain melepaskan
lapisan luar pakaian mereka.
“Bukan waktunya untuk bersopan santun, Kaku!” ujar Christina
sambil menatapku tajam.
Karena tahu ia benar, aku melepaskan baju merah yang
kukenakan dan memakai kaus biru itu. Aku melirik Fernando dan Marcus untuk
memastikan mereka tidak melihat, lalu mengganti celanaku. Aku harus menggulung
jinsnya empat kali. Dan, saat aku memasang ikat pinggang, bagian atasnya
bertumpuk seperti leher kantung kertas yang diremas.
“Tadi ia memanggilmu ‘Kaku’?” tanya Fernando.
“Yeah,” aku
menjawab. “Aku pindah dari faksi Abnegation ke faksi Dauntless.”
“Hmmm.” Ia mengerutkan kening. “Itu perubahan yang luar
biasa. Lompatan kepribadian antargenerasi seperti itu, secara genetik hampir
tak mungkin terjadi akhir-akhir ini.”
“Terkadang, kepribadian tak ada hubungannya dengan pilihan
faksi seseorang,” kataku, sambil memikirkan ibuku. Ia meninggalkan faksi
Dauntless bukan karena tidak cocok di sana, melainkan karena seorang Divergent
lebih aman berada di faksi Abnegation. Lalu ada Tobias, yang pindah ke faksi
Dauntless untuk menghindari ayahnya. “Ada banyak faktor yang perlu
dipertimbangkan.”
Untuk menghindari laki-laki yang menjadi sekutuku. Aku
merasakan hunjaman rasa bersalah.
“Kalau kau terus bicara seperti itu, tak mungkin mereka
tidak menyangka kau ini seorang Erudite,” ujar Fernando.
Aku menyisir rambutku agar rapi, lalu menyelipkannya di
balik telinga.
“Sini,” kata Cara. Ia mengangkat sehelai rambut dari wajahku
dan menjepitkannya ke belakang dengan jepit rambut berwarna perak, seperti
gadis-gadis Erudite.
Christina mengeluarkan pistol yang kami bawa dan
memandangku.
“Kau mau satu?” tanyanya. “Atau kau lebih suka membawa alat
kejut?”
Aku menatap pistol di tangan Christina. Kalau aku tak mengambil
alat kejut itu, maka tak ada yang melindungiku dari orang-orang yang akan
menembakku dengan senang hari. Kalau aku mengambilnya, aku mengakui kelemahanku
di depan Fernando, Cara, dan Marcus.
“Kau tahu apa yang akan Will katakan?” tanya Christina.
“Apa?” kataku, suaraku serak.
“Ia akan bilang padamu untuk melupakannya,” jawabnya.
“Berhentilah bersikap tidak rasional dan ambil pistol sialan ini.”
Will tidak punya kesabaran dalam menghadapi sikap yang tak
rasional. Christina pasti benar. Ia lebih mengenal Will daripada aku.
Selain itu, Christina—yang kehilangan orang yang
disayanginya pada hari itu, seperti aku—mampu memaafkanku, sesuatu yang
pastinya nyaris tak mungkin. Jika situasinya dibalik, aku tak mungkin sanggup
memaagkannya. Jadi, mengapa begitu sulit bagiku untuk memaafkan diriku sendiri?
Aku mengatupkan tanganku di pistol yang Christina sodorkan
kepadaku. Bagian logam yang tadi disentuhnya terasa hangat. Dari belakang
benakku, aku merasakan sodokan ingatan saat menembak Will, dan berusaha
menahannya. Tapi tak bisa. Aku melepaskan pistol itu.
No comments:
Post a Comment