Insurgent (Divergent #2) (78)

Penulis: Suzanne Collins

“Terlepas dari hubungan kita dengan Erudite, dibandingkan faksi-faksi lain, kitalah yang tahu betapa pentingnya peranan faksi Erudite dalam masyarakat,” lanjutnya. “Mereka harus dilindungi dari pembantaian yang tidak perlu, bukan hanya karena mereka itu manusia, melainkan juga karena kita tak mungkin bertahan hidup tanpa mereka. Aku mengusulkan agar kita memasuki kota sebagai pasukan penjaga kedamaian yang tak memihak dan tak menggunakan kekerasan untuk menahan kekerasan yang pastinya bakal terjadi. Tolong diskusikan ini.”

Hujan membasahi panel kaca di atas kepala kami. Johanna duduk di akar pohon dan menunggu, tapi faksi Amity tidak berbicara seperti yang mereka lakukan ketika aku terakhir kali berada di sini. Bisikan-bisikan, yang begitu mirip hujan, berubah menjadi suara-suara biasa. Lalu, aku mendengar sejumlah suara yang lebih keras dibandingkan yang lain, hampir berteriak, tapi tidak juga.

Setiap suara yang meninggi membuatku tersentak. Sepanjang hidup aku sudah mengikuti banyak perdebatan, terutama dalam dua bulan terakhir, tapi baru kali ini aku merasa begitu takut. Para Amitu seharusnya tidak berdebat.

Aku memutuskan untuk tidak menunggu lebih lama lagi. Aku berjalan menyusuri pinggiran area rapat, melewati para Amity yang berdiri dan melompati tangan dan kaki yang terulur. Sebagian dari mereka menatapku—aku mungkin mengenakan baju merah, tapi tato di sepanjang tulang selangkaku tampak begitu jelas, bahkan dari kejauhan.

Aku berhenti di dekat deretan para Erudite. Cara berdiri saat aku mendekat, dengan lengan dilipat.

“Apa yang kau lakukan di sini?” ia bertanya.

“Aku datang untuk memberitahukan apa yang terjadi pada Johanna,” kataku. “Dan untuk meminta bantuanmu.”

“Aku?” tanyanya. “Kenapa—”

“Bukan kau saja,” kataku. Aku berusaha melupakan komentara Cara mengenai hidungku, tapi sulit. “Kalian semua. Aku punya rencana untuk menyelamatkan sebagian data faksi kalian, tapi aku butuh bantuan kalian.”

“Sebenarnya,” tambah Christina yang muncul di kiriku, “kami punya rencana.”

Cara mengalihkan pandangannya dariku ke Christina, lalu kembali menatapku lagi.

Kau mau membantu faksi Erudite?” tanyanya. “Aku bingung.”

“Kau ingin membantu faksi Dauntless,” jawabku. “Apa menurutmu kau ini satu-satu orang yang tidak menuruti perintah faksimu secara membabi-buta?”

“Itu sesuai dengan pola perilakumu,” balas Cara. “Lagi pula, menembak orang yang menghalangi jalanmu adalah sifat seorang Dauntless.”

Aku merasakan cubitan di belakang kerongkonganku. Cara begitu mirip dengan adiknya, Will, hingga kerutan di antara alisnya dan garis-garis gelap di rambutnya yang pirang.

“Cara,” kata Christina. “Kau mau membantu kami atau tidak?”

Cara mendesah. “Tentu saja aku akan membantu kalian. Aku yakin yang lain juga mau. Temui kami di asrama Erudite setelah rapat dan beri tahu kami rencana itu.”
***

Rapat itu berlangsung selama satu jalam lagi. Saat itu, hujan sudah berhenti, tapi airnya masih menetes di dinding dan panel-panel langiut-langit. Aku dan Christina duduk di salah satu dinding sambil memainkan suatu permainan, yaitu saling menaklukkan ibu jari masing-masing. Christina selalu menang.

Akhirnya, Johanna dan orang-orang yang merupakan pemimpin diskusi berbaris rapi di akar pohon. Rambut Johanna sekarang terjuntai menutupu wajahnya yang menunduk. Seharusnya ia mengumukan hasil diskusi itu, tapi ia hanya berdiri dengan lengan dilipat dan jari-jari mengetuk-ngetuk siku.

“Ada apa, ya?” Christina berkomentar.

Akhinya, Johanna mendongak.

“Tampaknya sulit mendapatkan suara bulat,” ujarnya. “Tapi, sebagian besar dari kalian ingin mempertahankan kebijakan untuk tidak terlibat.”

Bagiku tidaklah penting apakah Amity memutuskan untuk ke kota atau tidak. Tapi, aku sudah mulai berharap mereka semua bukan pengecut, dan bagiku keputusan ini terdengar seperti sikap pengecut. Aku duduk merosot kembali di jendela.

“Aku tidak ingin mendorong perpecahan faksi yang telah memberikan begitu banyak hal untukku,” kata Johanna. “Tapi, hati nuraniku memaksaku melawan keputusan ini. Siapa saja yang didorong oleh hati nuraninya untuk pergi ke kota boleh ikut bersamaku.”

Awalnya ku, seperti orang-orang, tak yakin dengan apa yang dikatakannya. Johanna memiringkan kepala sehingga bekas lukanya terlihat kembali, dan menambahkan, “Aku mengerti ini berarti aku tak bisa menjadi bagian dari amity lagi.” Ia agak terisak. “Tapi, tolong diingat bahwa jika aku harus meninggalkan kalian, maka aku melakukannya dengan cinta, bukan dengan kebencian.”

Johanna membungkuk ke arah kerumunan, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga, lalu berjalan keluar. Beberapa Amity berdiri, kemudian sebagian lagi, dan akhirnya semua berdiri. Lalu, sebagian dari mreka—tidak banyak, tapi ada—berjalan di belakang Johanna.

“Itu,” komentar Christina, “bukan yang kuharapkan.”[]

40

Asrama Erudite adalah salah satu kamar tidur terbesar di markas Amity. Di sana ada dua belas tempat tidur: delapan tempat tidur dideretkan berdempetan di dinding depan sementara dua tempat tidur didempetkan di ketiga sisi yang lain, sehingga ada ruang kosong besar di tengah kamar. Sebuah meja besar di tempatkan di sana, ditutupi dengan berbagai peralatan, potongan logam, roda gigi, bagian komputer lama, dan kabel.

Aku dan Christina baru selesai menjelaskan rencan kami, yang kedengarannya jauh lebih tolol karena diungkapkan di hadapan lebih dari selusin Erudite.

“Rencana kalian cepat,” komentar Cara. Ia adalah yang pertama kali memberikan respons.

“Karena itulah kami mendatangi kalian,” kataku. “Agar kalian bisa mengatakan bagaimana cara memperbaikinya.”

“Pertama-tama, data penting yang ingin kalian selamatkan,” kata Cara. “Menyimpannya dalam CD adalah ide yang konyol. CD bisa rusak atau jatuh ke tangan yang salah, seperti semua objek fisik lainnya. Aku menyarankan untuk menggunakna jaringan data.”

“Ja ... apa?”

Ia melirik para Erudite lain. Salah satunya—seorang pemuda berkulit cokelat dan berkacamata—berkata, “Teruskan. Beri tahu mereka. Toh tak ada gunanya lagi merahasiakannya.”

Cara memandangku kembali. “Banyak komputer di kompleks Erudite di rancang supaya bisa mengakses data dari komputer di faksi lain. Karena itulah, Jeanine dengan mudah dapat menjalankan simulasi penyerangan dari komputer Dauntless dan bukan dari komputer Erudite.”

“Apa?” sergah Christina. “Maksudmu kalian bisa berjalan-jalan memasuki data semua faksi kapan pun kalian mau?”

“Orang tak bisa ‘berjalan-jalna’ memasuki data,” bantah pemuda itu. “Itu tak masuk akal.”

“Itu cuma ungkatapn,” kilah Christina. Ia mengerutkan dahi. “Ya, kan?”

“Metafora, atau hanya kiasan?” ujar pemuda itu, juga mengerutkan kening. “Atau apakah metafora itu adalah suatu kategori di bawah ‘kiasan’?”

“Fernando,” Cara memanggil. “Fokus.”

Fernando mengangguk.

“Pada kenyataannya,” lanjut Cara, “jaringan data itu ada, dan secara etis dipertanyakan, tapi aku yakin kita bisa memanfaatkannya. Selain bisa mengakses data, komputer-kompter itu juga bisa mengirimkan data ke faksi-faksi lain. Kalau kita mengirimkan data yang ingin kalian selamatkan itu ke setiap faksi yang ada, maka dataitu tak mungkin bisa dihancurkan.”

“Tadi kau bilang ‘kita’,” kataku, “maksudmu—”



No comments:

Post a Comment