Penulis: Suzanne
Collins
“Mmm ...” kataku. Bukan kata pembuka yang brilian. Aku
mengusapkan telapak tanganku ke baju. “Keadaan semakin buruk.”
Lalu, kata-kata pun mulai mengalir keluar, tanpa embel-embel
dan tanpa tedeng aling-aling. Aku menjelaskan bahwa para Dauntless telah
bersekutu dengan para factionless.
Mereka berencana untuk menghancurkan Erudite, sehingga salah satu dari dua
faksi penting tak ada lagi. Aku mengatakan padanya bahwa ada informasi penting
di kompleks Erudtie yang harus diselamatkan, selain semua pengetahuan yang
mereka miliki. Saat selesai, aku sadar belum mengatakan pada Johanna mengapa
hal ini melibatkan dirinya atau faksinya, tapi aku tak tahu bagaimana cara
mengungkapkannya.
“Aku bingung, Beatrice,” ujar Johanna. “Kau sebenarnya ingin
kami melakukan apa?”
“Aku ke sini bukan untuk meminta bantuanmu,” kataku.
“Kupikir kau harus tahu ada banyak orang yang akan mati, sebentar lagi. Aku
tahu kau tak akan mau diam di sini tanpa melakukan apa pun saat itu terjadi,
bahkan jika sebagian anggota faksimu ingin diam di sini.”
Johanna menunduk, bibirnya yang miring menunjukkan bahwa aku
benar.
“Aku juga mau meminta izin darimu agar kami bisa berbicara
dengan Erudite yang kau amankan di sini,” aku melanjutkan. “Aku tahu mereka
disembunyikan, tapi aku harus bertemu mereka.”
“Lalu kau mau apa?” tanya Johanna.
“Menembak mereka,” aku menjawab sambil memutar bola mataku.
“Itu tidak lucu.”
Aku mendesah. “Maaf. Aku butuh informasi. Cuma itu.”
“Yah, kau harus menunggu sampai besok,” kata Johanna.
“Kalian bisa tidur di sini.”
***
Aku tidur begitu kepalaku menyentuh bantal, tapi bangun
lebih cepat daripada rencana. Dari sinar di dekat cakrawala, aku tahu matahari
akan terbit.
Di seberang gang di antara dua tempat tidur ada Christina,
wajahnya menempel di kasur dan ditutup bantal. Lemari pakaian yang ditenggeri
lampu berdiri di antara tempat tidur kami. Lantai papan kamar ini selalu berderak
jika diinjak. Dan, di dinding sebelah kiri ada cermin, yang diletakkan begitu
saja. Semua orang kecuali faksi Abnegation meremehkan cermin. Aku masih merasa
kaget setiap kali melihat cermin di tempat terbuka.
Aku berpakaian, tanpa repot-repot untuk pelan-pelan—jika
Christina sudah tidur nyenyak, entakan kali lima ratus orang Dauntless pun tak
akn membuatnya terbangung, walaupun bisikan seorang Erudite mungkin bisa
membangunkannya. Itu memang keunikannya.
Aku keluar saat matahari mengintip melalui ranting-ranting
pohon. Ada sekelompok kecil Amity berkumpul di dekat kebun. Aku mendekat untuk
melihat apa yang mereka lakukan.
Para Amity itu berdiri membentuk lingkaran, dengan tangan
dikatupkan. Sebagian dari mereka adalah remaja tanggung dan sebagian lagi orang
dewasa. Yang paling tua, seorang wanita dengan rambut beruban yang dikepang,
berbicara.
“Kami percaya pada Tuhan yang memberikan kedamaian dan
merawatnya,” ia berujar. “Jadi, kita saling memberikan kedamaian, dan
merawatnya.”
Aku tak menganggap itu sebagai aba-aba, tapi tampaknya para
Amity menganggapnya begitu. Mereka semua mulai bergerak serempak, mencari
seseorang di seberang lingkaran, lalu berpegangan tangan. Setelah semua orang
berpasangan, mereka berdiri selama beberapa saat, saling pandang. Sebagian dari
mereka menggumamkan kata-kata, sebagian tersenyum, dan sebagian lagi hanya
berdiri diam. Lalu, mereka berpisah dan berpindah ke orang lain, dan mengulangi
rangkaian aksi tadi.
Aku tak pernah melihat upacara religius faksi Amity. Aku hanya
mengenal agama faksi orangtuaku, yang masih dipertahankan oleh sebagian diriku
dan ditentang oleh sebagian yang lain sebagai suatu tindakan bodoh—doa sebelum
makam malam, pertemuan mingguan, pelayanan, dan puisi tentang Tuhan yang tanpa
pamrih. Namun, upacara Amity ini berbeda, misterius.
“Mari bergabung,” ajak wanita beruban itu. Perlu beberapa
saat sebelum aku menyadari ia bicara kepadaku. Ia memanggilku, sambil
tersenyum.
“Oh, tidak,” kataku. “Aku cuma—”
“Mari,” ia mengulangi. Aku merasa seperti tak punya pilihan
selain menghampiri dan berdiri di antara mereka.
Wanita itu mendekatiku dan memegang tanganku. Jari-jarinya
kering dan kasar sementara matanya mencari-cari mataku dengan gigih, walaupu
aku merasa aneh membalas tatapannya.
Begitu aku menatapnya, efeknya langsung terasa dan aneh. Aku
berdiri diam, setiap bagian tubuhku juga diam, seakan-akan lebih berat daripada
biasanya, hanya saja beratnya tidak menyenangkan. Mata wanita itu cokelat,
seluruhnya cokelat, dan tak bergerak.
“Semoga kedamaian Tuhan bersamamu,” katanya, dengan suara
pelan, “bahkan di tengah masalah.”
“Kenapa?” tanyaku pelan, sehingga tak ada yang bisa
mendengar. “Setelah semua yang kulakukan ....”
“Ini bukan tentang dirimu,” katanya. “Ini hadiah. Kau tak
dapat meraihnya, kalau iya itu namanya bukan hadiah.”
Ia melepaskanku dan bergerak ke orang lain, tapi aku berdiri
dengan tangan terulur, sendirian. Seseorang mendekat untuk meraih tanganku,
tapi aku mengundurkan diri dari kelompok itu, mulanya dengan berjalan, lalu
berlari.
Aku berlari secepat mungkin menuju pepohonan, dan baru
berhenti saat paru-paruku serasa terbakar.
Aku menyandarkan dahiku ke batang pohon terdekat, walaupun
kulitku tergores, dan berusaha untuk tidak menangis.
***
Belakangan di pagi itu aku berjalan menembus hujan gerimis
menuju rumah kaca utama. Johanna mengadakan rapat darurat.
Aku mencari tempat yang sebisa mungkin tersembunyi di pojok
ruangan, di antara dua tanaman besar yang berada dalam larutan mineral. Perlu
beberapa menit bagiku untuk menemukan Christina yang mengenakan baju kuning
Amitu di sebelah kanan ruangan. Namun, Marcus lebih mudah dilihat. Ia berdiri
di akar-akar pohon raksasa bersama Johanna.
Johanna mengatupkan tangannya di depan dada dan rambutnya
diikat ke belakang. Kejadian yang menimbulkan guratan bekas luka di wajahnya
juga merusak matanya—pupilnya begitu besar dibandingkan selaput pelanginya, dan
mata kirinya tidak bergerak bersamaan dengan mata yang sebelah kanan saat ia
mengedarkan pandangan ke arah Amity di depannya.
Tapi, yang ada di sana bukan hanya para Amity. Ada
orang-orang dengan rambut yang dipotong pendek dan sanggul ketat yang pastilah
Abnegation. Lalu, ada beberapa deret orang berkacamata yang pastilah Erudite.
Cara ada di antara mereka.
“Aku menerima pesan dari kota,” Johanna mengumumkan setelah
semua orang diam. “Dan, aku ingin membahasnya dengan kalian.”
Ia menyentakkan tepi bajunya, lalu mengatupkan tangan di
depan. Johanna tampak gugup.
“Faksi Dauntless telah bersekutu dengan para factionless,” ia menjelaskan. “Mereka
berniat untuk menyerang Erudite dalam waktu dua hari. Serangan mereka akan
dilancarkan terhadap Erudite yang tak bersalah dan pengetahuan yang mereka raih
dengan susah payah dan bukannya terhadap pasukan Erudite-Dauntless.
Johanna menunduk, menarik napas dalam, lalu melanjutkan:
“Aku tahu kita tidak memiliki pemimpin sehingga aku tak berhak untuk
memperlakukan kalian seolah-olah aku ini seorang pemimpin,” ujarnya. “Tapi, aku
harap kalian akan memaafkanku, kali ini saja, karena meminta mempertimbangkan
keputusan kita yang lalu untuk tetap tidak terlibat.”
Gumaman-gumaman terdengar. Gumaman ini lebih lembut, seperti
burung yang terbang dari dahan—tidak seperti gumaman para Dauntless.
No comments:
Post a Comment