Insurgent (Divergent #2) (77)

Penulis: Suzanne Collins

“Mmm ...” kataku. Bukan kata pembuka yang brilian. Aku mengusapkan telapak tanganku ke baju. “Keadaan semakin buruk.”

Lalu, kata-kata pun mulai mengalir keluar, tanpa embel-embel dan tanpa tedeng aling-aling. Aku menjelaskan bahwa para Dauntless telah bersekutu dengan para factionless. Mereka berencana untuk menghancurkan Erudite, sehingga salah satu dari dua faksi penting tak ada lagi. Aku mengatakan padanya bahwa ada informasi penting di kompleks Erudtie yang harus diselamatkan, selain semua pengetahuan yang mereka miliki. Saat selesai, aku sadar belum mengatakan pada Johanna mengapa hal ini melibatkan dirinya atau faksinya, tapi aku tak tahu bagaimana cara mengungkapkannya.

“Aku bingung, Beatrice,” ujar Johanna. “Kau sebenarnya ingin kami melakukan apa?”

“Aku ke sini bukan untuk meminta bantuanmu,” kataku. “Kupikir kau harus tahu ada banyak orang yang akan mati, sebentar lagi. Aku tahu kau tak akan mau diam di sini tanpa melakukan apa pun saat itu terjadi, bahkan jika sebagian anggota faksimu ingin diam di sini.”

Johanna menunduk, bibirnya yang miring menunjukkan bahwa aku benar.

“Aku juga mau meminta izin darimu agar kami bisa berbicara dengan Erudite yang kau amankan di sini,” aku melanjutkan. “Aku tahu mereka disembunyikan, tapi aku harus bertemu mereka.”

“Lalu kau mau apa?” tanya Johanna.

“Menembak mereka,” aku menjawab sambil memutar bola mataku.

“Itu tidak lucu.”

Aku mendesah. “Maaf. Aku butuh informasi. Cuma itu.”

“Yah, kau harus menunggu sampai besok,” kata Johanna. “Kalian bisa tidur di sini.”
***

Aku tidur begitu kepalaku menyentuh bantal, tapi bangun lebih cepat daripada rencana. Dari sinar di dekat cakrawala, aku tahu matahari akan terbit.

Di seberang gang di antara dua tempat tidur ada Christina, wajahnya menempel di kasur dan ditutup bantal. Lemari pakaian yang ditenggeri lampu berdiri di antara tempat tidur kami. Lantai papan kamar ini selalu berderak jika diinjak. Dan, di dinding sebelah kiri ada cermin, yang diletakkan begitu saja. Semua orang kecuali faksi Abnegation meremehkan cermin. Aku masih merasa kaget setiap kali melihat cermin di tempat terbuka.

Aku berpakaian, tanpa repot-repot untuk pelan-pelan—jika Christina sudah tidur nyenyak, entakan kali lima ratus orang Dauntless pun tak akn membuatnya terbangung, walaupun bisikan seorang Erudite mungkin bisa membangunkannya. Itu memang keunikannya.

Aku keluar saat matahari mengintip melalui ranting-ranting pohon. Ada sekelompok kecil Amity berkumpul di dekat kebun. Aku mendekat untuk melihat apa yang mereka lakukan.

Para Amity itu berdiri membentuk lingkaran, dengan tangan dikatupkan. Sebagian dari mereka adalah remaja tanggung dan sebagian lagi orang dewasa. Yang paling tua, seorang wanita dengan rambut beruban yang dikepang, berbicara.

“Kami percaya pada Tuhan yang memberikan kedamaian dan merawatnya,” ia berujar. “Jadi, kita saling memberikan kedamaian, dan merawatnya.”

Aku tak menganggap itu sebagai aba-aba, tapi tampaknya para Amity menganggapnya begitu. Mereka semua mulai bergerak serempak, mencari seseorang di seberang lingkaran, lalu berpegangan tangan. Setelah semua orang berpasangan, mereka berdiri selama beberapa saat, saling pandang. Sebagian dari mereka menggumamkan kata-kata, sebagian tersenyum, dan sebagian lagi hanya berdiri diam. Lalu, mereka berpisah dan berpindah ke orang lain, dan mengulangi rangkaian aksi tadi.

Aku tak pernah melihat upacara religius faksi Amity. Aku hanya mengenal agama faksi orangtuaku, yang masih dipertahankan oleh sebagian diriku dan ditentang oleh sebagian yang lain sebagai suatu tindakan bodoh—doa sebelum makam malam, pertemuan mingguan, pelayanan, dan puisi tentang Tuhan yang tanpa pamrih. Namun, upacara Amity ini berbeda, misterius.

“Mari bergabung,” ajak wanita beruban itu. Perlu beberapa saat sebelum aku menyadari ia bicara kepadaku. Ia memanggilku, sambil tersenyum.

“Oh, tidak,” kataku. “Aku cuma—”

“Mari,” ia mengulangi. Aku merasa seperti tak punya pilihan selain menghampiri dan berdiri di antara mereka.

Wanita itu mendekatiku dan memegang tanganku. Jari-jarinya kering dan kasar sementara matanya mencari-cari mataku dengan gigih, walaupu aku merasa aneh membalas tatapannya.

Begitu aku menatapnya, efeknya langsung terasa dan aneh. Aku berdiri diam, setiap bagian tubuhku juga diam, seakan-akan lebih berat daripada biasanya, hanya saja beratnya tidak menyenangkan. Mata wanita itu cokelat, seluruhnya cokelat, dan tak bergerak.

“Semoga kedamaian Tuhan bersamamu,” katanya, dengan suara pelan, “bahkan di tengah masalah.”

“Kenapa?” tanyaku pelan, sehingga tak ada yang bisa mendengar. “Setelah semua yang kulakukan ....”

“Ini bukan tentang dirimu,” katanya. “Ini hadiah. Kau tak dapat meraihnya, kalau iya itu namanya bukan hadiah.”

Ia melepaskanku dan bergerak ke orang lain, tapi aku berdiri dengan tangan terulur, sendirian. Seseorang mendekat untuk meraih tanganku, tapi aku mengundurkan diri dari kelompok itu, mulanya dengan berjalan, lalu berlari.

Aku berlari secepat mungkin menuju pepohonan, dan baru berhenti saat paru-paruku serasa terbakar.

Aku menyandarkan dahiku ke batang pohon terdekat, walaupun kulitku tergores, dan berusaha untuk tidak menangis.
***

Belakangan di pagi itu aku berjalan menembus hujan gerimis menuju rumah kaca utama. Johanna mengadakan rapat darurat.

Aku mencari tempat yang sebisa mungkin tersembunyi di pojok ruangan, di antara dua tanaman besar yang berada dalam larutan mineral. Perlu beberapa menit bagiku untuk menemukan Christina yang mengenakan baju kuning Amitu di sebelah kanan ruangan. Namun, Marcus lebih mudah dilihat. Ia berdiri di akar-akar pohon raksasa bersama Johanna.

Johanna mengatupkan tangannya di depan dada dan rambutnya diikat ke belakang. Kejadian yang menimbulkan guratan bekas luka di wajahnya juga merusak matanya—pupilnya begitu besar dibandingkan selaput pelanginya, dan mata kirinya tidak bergerak bersamaan dengan mata yang sebelah kanan saat ia mengedarkan pandangan ke arah Amity di depannya.

Tapi, yang ada di sana bukan hanya para Amity. Ada orang-orang dengan rambut yang dipotong pendek dan sanggul ketat yang pastilah Abnegation. Lalu, ada beberapa deret orang berkacamata yang pastilah Erudite. Cara ada di antara mereka.

“Aku menerima pesan dari kota,” Johanna mengumumkan setelah semua orang diam. “Dan, aku ingin membahasnya dengan kalian.”

Ia menyentakkan tepi bajunya, lalu mengatupkan tangan di depan. Johanna tampak gugup.

“Faksi Dauntless telah bersekutu dengan para factionless,” ia menjelaskan. “Mereka berniat untuk menyerang Erudite dalam waktu dua hari. Serangan mereka akan dilancarkan terhadap Erudite yang tak bersalah dan pengetahuan yang mereka raih dengan susah payah dan bukannya terhadap pasukan Erudite-Dauntless.

Johanna menunduk, menarik napas dalam, lalu melanjutkan: “Aku tahu kita tidak memiliki pemimpin sehingga aku tak berhak untuk memperlakukan kalian seolah-olah aku ini seorang pemimpin,” ujarnya. “Tapi, aku harap kalian akan memaafkanku, kali ini saja, karena meminta mempertimbangkan keputusan kita yang lalu untuk tetap tidak terlibat.”

Gumaman-gumaman terdengar. Gumaman ini lebih lembut, seperti burung yang terbang dari dahan—tidak seperti gumaman para Dauntless.



No comments:

Post a Comment