Insurgent (Divergent #2) (75)

Penulis: Suzanne Collins
39
“Oh, ya. Kau benar-benar mirip orang sensitif yang suka memetik banyo,” Christina berkomentar.

“Oh, ya?”

“Tidak. Sama sekali tidak, sebenarnya. Cuma ... biar aku perbaiki, ya?”

Christina mengaduk-aduk tasnya sebentar, lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil. Di dalamnya ada tabung dan wadah berbagai ukuran yang kukenali sebagai alat rias, tapi aku tak tahu cara memakainya.

Kami di rumah orangtuaku. Ini satu-satunya tempat yang kurasa sanggup kudatangi. Christina tidak malu-malu untuk melongok ke sana dan ke sini—ia sudah menemukan dua buku teks yang dijejalkaan di antara lemari baju dan dinding, bukti kecenderungan Caleb untuk memilih faksi Erudite.

“Coba kuluruskan. Jadi, kau meninggalkan kompleks Dauntless untuk siap-siap berperang ... dan membawa tas makeup-mu?”

Yep. Kupikir orang akan lebih sulit menembakku jika melihat cantiknya diriku,” katanya sambil melengkungkan sebelah alis. “Diam.”

Christina membuka tutup sebuah tabung hitam seukuran jariku, menampakkan batang berwarna merah. Lipstik, jelas. Ia menyentuhkan lipstik itu ke bibirku dan mengoleskannya hingga bibirku berwarna. Aku bisa melihatnya saat mengecutkan bibirku.

“Apakah seseorang pernah mengatakan padamu mengenai keajaiban mencabut alis?” tanyanya sambil memegang pinset.

“Jauhkan itu dariku.”

“Baiklah.” Ia mendesah. “Aku ingin memakaikan perona pipi, tapi aku yakin warnanya tak cocok untukmu.

“Mengejutkan, mengingat warna kulit kita kan mirip sekali.”

“Ha-ha,” komentarnya.

Saat kami pergi, bibirku sudah merah, bulu mataku lentik, dan aku mengenakan gaun merah terang. Sebilah pisau yang diikatkan di bagian dalam lututku. Ini benar-benar masuk akal.

“Di mana kita bertemu Marcus, sang Penghancur Kehidupan?” tanya Christina. Ia mengenakan baju kuning Amitu dan bukan yang merah, dan warna itu tampak bersinar di kulitnya.

Aku tertawa. “Di belakang markas Abnegation.”

Kami menyusuri trotoar dalam kegelapan. Saat ini orang-orang pasti sedang makan malam—aku yakin—tapi untuk berjaga-jaga jika bertemu seseorang, kami mengenakan jaket hitam untuk menutupi pakaian Amity kami. Aku melompati retakan di semen karena kebiasaan.

“Kalian mau ke mana?” tanya Peter. Aku menoleh. Ia berdiri di trotoar di belakang kami. Entah sudah berapa lama ia di sana.

“kau tak makan malam bersama grup penyerbumu?” tanyaku.

“Aku tak punya kelompok.” Ia menepuk lengannya yang pernah kutembak. “Aku terluka.”

Yeah, benar!” sahut Christina.

“Yah, aku tak mau berperang bersama sekelompok factionless,” sahut Peter, matanya yang hijau berkilat. “Jadi, aku akan tetap di sini.”

“Layaknya seorang pengecut,” cemooh Christina sambil mengerucutkan bibir karena jijik. “Biar orang lain saja yang membereskan masalah ini untukmu.”

“Betul!” sahut Peter dengan keceriaan yang sadis. Ia bertepuk tangan. Selamat menyongsong kematian.”

Peter menyeberangi jalan sambil bersiul-siul, lalu pergi ke arah lain.

“Yah, kita berhasil mengelabuinya,” kata Christina. “Ia tidak bertanya lagi ke mana kita pergi.”

Yeah. Bagus.” Aku berdeham. “Jadi, rencana ini. Ini rencana yang bodoh, kan?’

“ini bukan rencana yang ... bodoh.”

“Yang benar saja. Memercayai Marcus itu bodoh. Mencoba melewati para Dauntless di pagar perbatasan itu bodoh. Melakukan yang bertentangan dengan para Dauntless dan factionless juga bodoh. Kalau digabung, ketiganya itu adalah ... suatu jenis kebodohan yang selama ini tak pernah dikenal manusia.”

“Sayangnya, ini rencana terbaik yang kita miliki,” Christina menekankan. “Jika kita ingin semua orang mengetahui yang sebenarnya.”

Aku memercayai Christina untuk melanjutkan misi ini jika kau merasa bakal mati, jadi rasanya bodoh sekali kalau sekarang aku tak memercayainya. Tadinya aku khawatir ia tak mau pergi bersamaku, tapi aku lupa dari mana Christina berasal: Candor, faksi yang lebih mementingkan kebenaran dibandingkan hal lainnya. Mungkin sekarang ini ia memang seorang Dauntless, tapi ada satu hal yang kupelajari dari semua ini, dan itu adalah kita tak akan mungkin melupakan faksi lama kita.

“Jadi, kau dibesarkan di sini. Apakah kau sudka di sini?” Ia mengerutkan dahi. “Karena kau ingin pergi, kupikir mungkin kau tak suka tinggal di sini.”

Matahari beringsut menuju cakrawala ketika kami berjalan. Dulu aku tak menyadari sinar senja karena cahayanya membuat semua hal di sektor Abnegation tampak semakin ekawarna, tapi sekarang aku merasa warna abu-abu yang tak berubah ini menenangkan.

“Aku menyukai sejumlah hal dan membenci sejumlah lainnya,” aku menjawab. “Dan, ada hal-hal yang baru kusadari selama ini kumiliki setelah kehilangannya.”

Kami tiba di markas Abnegation. Bagian depannya hanyalah dinding semen kotak seperti semua hal lain di sektor Abnegation. Aku ingin sekali ke ruang pertemuan dan menghirup aroma kayu tua, tapi kami tak punya waktu. Kami menyelinap ke gang di samping gedung itu dan berjalan ke belakang. Marcus bilang ia akan menungguku di sana.

Sebuah truk bak terbuka berwarna biru sudah menanti di sana, dengan mesin menyala. Marcus duduk di balik kemudi. Aku membiarkan Christina berjalan di depanku sehingga ia bisa duduk di tengah. Sebisa mungkin aku tak mau duduk di dekat Marcus. Kurasa jika aku membencinya saat bekerja sama dengannya, maka entah bagaimana itu akan mengurangi pengkhianatanku terhadap Tobias.

Kau tak punya pilihan lain, kataku kepada diri sendiri. Tak ada jalan lain.

Dengan itu di benakku, aku menarik pintu hingga tertutup dan mencari sabuk pengaman untuk dipasang. Yang kutemukan hanyalah ujung sabuk pengaman yang berjumbai dan gesper yang patah.

“Dari mana kau mendapatkan rongsokan ini?” tanya Christina.

“Aku mencurinya dari para factionless. Mereka memperbaiki kendaraan. Menyalakannya tidak mudah. Sebaiknya kalian membuang jaket itu.

Aku mengguglung jaket kami, lalu melempatkannya keluar jendela yang setengah terbuka. Marcus memindahkan gigi dan truk itu meraung. Aku setengah berharap mobil ini akan diam saat ia menekan pedal gas, tapi ternayata mobil ini bergerak.

Seingatku, jarak dari sektor Abnegation ke markas Amity itu satu jam dengan mobil, dan perjalanannya memerlukan pengemudi yang terampil. Marcus masuk salah satu jalan utama dan menekankan kakinya ke pedal gas. Kami tersentak ke depan, dan nyaris gagal menghindari lubang di jalan. Aku mencengkeram dasbor untuk menahan tubuhku.

“Tenang, Beatrice,” ujar Marcus. “Aku pernah menyetir.”

“Aku juga pernah melakukan banyak hal, tapi itu bukan berarti aku pintar melakukannya!”

Marcus tersenyum dan menyentakkan truk ke kiri sehingga kami tidak menabrak lampu lalu lintas yang jatuh. Christina bersorak-sorai saat kami menubruk puing-puing lain, seakan-akan baru kali ini bersenang-senang.

“Ini jenis kebodohan yang unik, kan?” katanya, dengan suara yang cukup keras untuk mengatasi gemuruh angin yang memasuki mobil.

Aku mencengeram bangku yang kududuki dan berusaha untuk tidak memikirkan menu makan malamku tadi.
***



No comments:

Post a Comment