Insurgent (Divergent #2) (74)

Penulis: Suzanne Collins

“Aku minta maaf karena harus memberitahukaan ini kepada kalian. Siapa saja yang tertembak alat pemancar simulsi harus tetapi di sini,” ujar Tori, “karena jika tidak, kalian bisa diaktivasi sebagai senjata Erudite kapan saja.”

Terdengar beberapa teriakan protes, tapi tampaknya tak ada yang kaget. Mereka tahu benar Jeanine mampu melakukan apa dengan simulasi, mungkin.

Lynn mengerang dan memadang Uriah. “Kita harus tinggal?

Kau yang harus tinggal,” jawab Uriah.

“Kau juga tertembak, kan?” tanya Lynn. “Aku melihatnya.”

“Divergent, ingat?” jawab Uriah. Lynn memutr bola matanya sehingga Uriah buru-buru melanjutkan, mungkin agar tidak mendengar teori konspirasi Divergent Lynn lagi. “Omong-omong, aku berani taruhan tak ada yang akan mengecek. Lagi pula, apa mungkin Jeanine bakal mengaktivasimu, terutama, jika ia tahu semua orang yang sudah dipasangai pemancar simulasi tetap tinggal di sini?”

Lynn mengerutkan kening, mempertimbangkannya. Namun, ia tampak lebih ceria—seceria yang mungkin dilakukannya—saat Tori mulai bicara lagi.

“Sisanya akan dibagi menjadi kelompok-kelompok yang terdiri atas factionless dan Dauntless,” lanjut Tori. “Satu kelompok besar akan berusaha menembus markas Erudite dan menaiki gedung itu, membersihkannya dari pengaruh Erudite. Kelompok-kelompok lain yang lebih kecil akan langsung naik ke lantai atas gedung itu untuk mengurus para pejabat penting Erudite. Kalian akan menerima penugasannya malam ini.”

“Penyerbuan akan dilakukan dalam waktu tiga hari,” Evelyn berkata. “Persiapkan diri kalian. Ini bakal berbahaya dan sulit. Namun, para factionless sudah terbiasa dengan yang namanya sulit—”

Para factionless bersorak-sorai mendengar itu dan membuatku teringat bahwa kami, Dauntless, adalah faksi yang beberapa minggu lalu mengkritik faksi Abnegation karena memberikan makanan dan barang kebutuhan lainnya kepada para factionless. Bagaimana mungkin itu bisa dilupakan dengan mudah?

“Dan para Dauntless akrab dengan bahaya—”

Semua yang ada di sekelilingku meninju udara dan berteriak. Aku merasakan suara mereka di dalam kepalku, juga api kemenangan menyala di dadaku yang membuatku ingin bergabung dengan mereka.

Ekspresi Evelyn begitu kosong untuk seseorang yang memberikan pidato yang berapi-api. Wajahnya tampak seperti topeng.

“Ganyang Erudite!” seru Tori. Semua orang mengikuti kata-katanya. Semua suara bergabung menjadi satu, tanpa memedulikan faksi. Kami memiliki musuh yang sama, tapi apakah itu berarti kami berteman?

Aku melihat Tobias tidak ikut berseru, begitu juga dengan Christina.

“Ini rasanya tidak benar,” Christina berkomentar.

“Apa maksudmu?” tanya Lynn saat suara-suara di sekeliling kami semakin keras. “Apakah kau tak ingat apa yang mereka lakukan terhadap kita? Membuat pikiran kita berada di bawah pengaruh simulasi dan memaksa kita menembak orang tanpa menyadarinya? Membunuh setiap pemimpin Abnegation?”

“Memang,” jawab Christina. “Hanya saja ... menyerbu markas suatu faksi dan membunuhi semua orang di sana, bukankah itu yang dilakukan faksi Erudite terhadap faksi Abnegation?”

“Ini beda. Ini bukan penyerbuan tiba-tiba dan tanpa sebab,” bantah Lynn sambil cemberut.

“Ya,” sahut Christina. “Yeah, aku tahu.”

Ia memandangku. Aku hanya diam. Christina betul—ini rasanya tidak benar.

Aku berjalan ke rumah Eaton untuk mencari ketenangan.

Aku membuka pintu depan dan menaiki tangga. Saat tiba di kamar lama Tobias, aku duduk di tempat tidur dan memandang keluar jendela, ke arah para factionelss dan Dauntless yang berkumpul mengelilngi api, tertawa dan mengobrol. Tapi, mereka tidak berbaur. Masih ada sekat di antara mereka, para factionless di sebelah sini dan para Dauntless di sebelah sana.

Aku memandang Lynn, Uriah, dan Christina di dekat salah satu api unggun. Uriah menangkap api, dengan cepat sehingga tak mungkin terbakar. Senyumannya lebih mirip wajah yang meringis, seperti sedih.

Setelah beberapa menit, aku mendengar suara langkah kaki di tangga. Tobias masuk ke kamar, setelah melepaskan sepatunya di depan pintu.

“Ada apa?” tanya Tobias.

“Tidak apa-apa, sungguh,” aku menenangkan. “Cuma berpikir. Aku kaget karena factionless mau bekerja sama dengan Dauntless dengan begitu mudahnya. Dauntless kan tak pernah bersikap baik kepada mereka.”

Tobias berdiri di sampingku di dekat jendela dan mencondongkan tubuh ke bingkainya.

“Ini memang bukan persekutuan alami,” jelas Tobias. “Tapi, kita punya tujuan yang sama.”

“Saat ini. Tapi, apa yang terjadi saat tujuannya berubah? Para factionless ingin menyingkirkan sistem faksi, sendangkan para Dauntless tidak.”

Tobias mengatupkan bibirnya hingga membentuk garis. Tiba-tiba aku teringat saat Marcus dan johanna berjalan bersama di kebun—Marcus menunjukkan ekspresi yang sama dengan Tobias pada waktu merahasiakan sesuatu dari Johanna.

Apakah ekspresi Tobias ini sama dengan ayahnya? Atau apakah ekspresi ini berarti lain?

“Kau ikut grupku,” lanjut Tobias. “Saat penyerbuan. Kuharap kau tak keberatan. Kita harus menunjukkan arah ke ruang kendali.”

Penyerbuan. Kalau aku ikut dalam penyerbuan, aku tak bisa memburu informasi yang Jeanine curi dari faksi Abnegation. Aku harus memilih salah satu.

Tobias bilang mengurusi faksi Erudite lebih penting daripada mencari kebenaran. Ia mungkin benar seandainya tidak berjanji bahwa factionless akan mendapatkan seluruh data Erudite. Tapi, ia membuatku tak punya pilihan lain. Aku harus menolong Marcus, jika ada kemungkinan bahwa yang dikatannya itu benar. Tindakanku bertentangan dengan orang yang paling kucintai.

Saat ini, aku harus berbohong.

Aku menautkan jari-jariku.

“Ada apa?” tanya Tobias.

“Aku masih tak sanggup menembak.” Aku memandangnya. “Dan setelah yang terjadi di markas Erudite ...” aku berdeham. “Mempertaruhkan nyawa rasanya tidak menarik lagi.”

“Tris.” Tobias membelai pipiku dengan jarinya. “Kau tak perlu pergi.”

“Aku tak ingin terlihat seperti pengecut.”

“Hei.” Jari-jarinya memegang bagian bawah rahangku, rasanya dingin di kulitku. Ia menatapku lekat-lekat. “Kau sudah melakukan banyak hal untuk faksi ini dibandingkan siapa pun. Kau ....”

Ia mendesar, lalu menempelkan dahinya ke dahiku.

“Kau adalah orang paling berani yang pernah kukenal. Tinggallah di sini. Sembuhkan dirimu.”

Tobias menciumku, dan aku merasa mulai hancur lagi, dimulai dari bagian terdalam dari diriku. Tobias pikir aku akan ada di sini, padahal aku bakal melakukan yang lain, bekerja sama dengan ayah yang dibencinya. Ini—ini kebohongan paling buruk yang pernah kukatakan. Aku tak akan bisa memperbaikinya.

Saat kami berpisah, aku takut Tobias mendengar napasku bergetar, jadi aku berbalik dan memandang jendela.[]


No comments:

Post a Comment