Penulis: Suzanne
Collins
“Drew, yang membantu Peter dengan pisau mentega itu,” lanjut
Tobias. “Tampaknya saat Drew ditendang dari Dauntless, ia mencoba bergabung
dengan kelompok factionless tempat
Edward berada. Kau lihat sendiri Drew tak ada di mana pun.”
“Edward membunuhnya?” tanyaku.
“Hampir,” jawb Tobias. “Tampaknya itulah sebabnya anak
pindahan lain—yang seingatku bernama Myra?—meninggalkan Edward. Terlalu lembut
untuk menghadapinya.”
Aku merasa hampa saat berpikir bahwa Drew hampir di tangan
Edward. Drew juga pernah menyerangku.
“Aku tak mau membicarakan ini,” kataku.
“Oke,” sahut Tobias. Ia menyentuh bahuku. “Apakah berada di
rumah Abnegation lagi membuatmu susah? Tadinya aku berniat menanyakan itu.
Kalau iya, kita bisa pergi ke tempat lain.”
Aku menghabiskan rotiku yang kedua. Semua rumah Abnegation
sama, jadi ruangan duduk ini persis sama dengan ruang duduk di rumahku dan
memang membangkitkan kenangan, kalau aku memperhatikannya. Cahaya yang menembur
tirai setiap pagi, cukup banyak sehingga ayahku bisa membaca. Bunyi ketak-ketuk
jarum rajut ibuku setiap malam. Tapi, aku tidak merasa seperti tercekik. Ini
bagus.
“Ya,” kataku. “Tapi tidak sesulit yang kau kita.”
Tobias mengangkat sebelah alisnya.
“Sungguh. Simulasi-simulasi di markas Erudite itu ...
membantuku, entah bagaimana. Untuk bertahan, mungkin.” Aku mengerutkan dahi.
“Atau mungkin tidak. Mungkin simulasi-simulasi itu membantuku berhenti
mempertahankan semuanya.” Itu kedengarannya benar. “Kapan-kapan kuceritakan.”
Suaraku terdengar jauh.
Tobias menyentuh pipiku dan, walaupun kami berada di ruangan
penuh orang yang dipenuhi tawa dan obrolan di sana-sini, ia pelan-pelan
menciumku.
“Wah, Tobias,” komentar pria di kiriku. “Bukannya kau
dibesarkan sebagai Orang Kaku? Kupikir yang paling jauh yang kaum kalian adalah
... membelai tangan atau semacamnya.”
“Lalu, bagaimana anak-anak Abnegation bisa lahir?” tanya
Tobias sambil mengangkat alis.
“Anak-anak itu dilahirkan semata-mata dengan kekuatan
kehendak,” timpal wanita yang bertengger di lengan kursi. “Memangnya kau tak
tahu, Tobias?”
“Tidak, aku tak tahu itu.” Ia menyeringai. “Maaf.”
Mereka semua tertawa. Kami
semua teratawa. Tiba-tiba aku menyadari mungkin saat ini aku melihat faksi
sejati Tobias. Faksi itu tidak dicirkan oleh satu bakal tertentu. Faksi itu
mencakup semua warna, semua kegiatan, semua bakat, dan semua kekurangan.
Aku tak tahu apa yang mengikat mereka. Satu-satunya kesamaan
yang mereka miliki, sejauh yang kutahu, adalah kegagalan. Apa pun itu, itu
tampaknya cukup.
Saat memandang Tobias sekarang, aku merasa akhirnya melihat
Tobias yang sejati, padahal selama ini kami begitu dekat. Jadi, seberapa baik
aku mengenalinya jika aku tak pernah melihat ini?
***
Matahari mulai terbenam. Sektor Abnegation jauh dari hening.
Para Dauntless dan factionless
berkeliaran di jalanan, sebagian memegang botol dan sebagian lagi memegang
pistol.
Di depanku, Zeke mendorong kursi roda Shauna melewati rumah
Alice Brewster, mantan pemimpin Abnegation. Mereka tidak melihatku.
“Lagi!” kata Shauna.
“Yakin?”
“Iya!”
“Oke ...,” Zeke mulai berlari kecil di belakang kursi roda.
Lalu, saat ia sudah terlalu jauh sehingga aku nyaris tak melihatnya, Zeke
mengangkat tubuhnya pada pegangan kursi roda sehingga kakinya tak menyentuh
tanah, dan bersama-sama mereka terbang di tengah jalan. Shauna memekik dan Zeke
tertawa.
Aku berbelok ke kiri di percabangan jalan berikutnya dan
menyusuri trotoar retak-retak menuju bangunan tempat Abnegation melakukan
pertemuan faksi bulanannya.Walalupun rasanya sudah lama sekali sejak terakhir
kali aku ke sana, aku masih ingat tempatnya. Satu blok ke selatan, dua blok ke
barat.
Matahari beringsut menuju cakrawala saat aku berjalan.
Cahaya malam seolah membuat warna-warna terkuras dari bangunan-bangunan
sehingga semuanya tampak kelabu.
Bagian depan markas Abnegation hanyalah kotak dari semen,
seperti semua bangunan lain di sektor Abnegation. Namun, saat aku mendorong
pintu depan hingga terbuka, lantai kayu yang kukenal dan deretan bangku kayu
yang disusun berbetntuk persegi menyapaku. Di tengah ruangan ada kaca atao
berbentuk kotak yang memungkinkan sinar matahari oranye masuk. Itu satu-satunya
hiasan ruangan ini.
Aku duduk di bangku yang biasa di duduki keluargaku. Dulu
aku biasanya duduk di samping ayahku, dan Caleb di samping ibuku. Sekarang, aku merasa seperti
satu-satunya yang tersisa. Prior terakhir.
“Bagus, ya?” Marcus masuk dan duduk di depanku, dengan
tangan dilipat di pangkuannya. Sinar matahari berada di antara kami berdua.
Ada memar besar di rahang tempat Tobias memukulnya, dan
rambutnya baru dicukur.
“Lumayan,” kataku sambil menegakkan tubuh. “Apa yang akan
kau lakukan di sini?”
“Aku melihatmu masuk.” Marcus mengamati kuku-kukunya dengan
saksama. “Dan, aku ingin bicara denganmu mengenai informasi yang Jeanine
Matthews curi.”
“Bagaimana kalau kau terlambat? Bagaimana kalau aku sudah
tau apa itu?”
Marcus mendongak dari kukunya, dan mata gelapnya menyipit.
Tatapan matanya jauh lebih beracun daripada tatapan Tobias, walaupun Tobias
memiliki mata ayahnya. “Tak mungkin.”
“Kau kan tak tahu itu.”
“Oh, aku memang tahu. Karena aku melihat apa yang terjadi
pada orang-orang saat mereka mendengar kebenaran itu. Mereka seakan-akan telah
melupakan apa yang mereka cari, dan hanya berkeliaran sambil berusaha
mengingatnya.”
Rasa dingin merambat naik di tulang punggungku dan menyebar
ke tanganku, membuat bulu romaku berdiri.
“Aku tahu Jeanine memutuskan untuk membunuh setengah faksi
untuk mencuri informasi itu, jadi itu pasti sangat penting,” kataku. Aku
berhenti. Aku juga tahu hal lain, tapi baru menyadarinya.
Tepat sebelum aku menyerang Jeanine, ia berkata, “Ini bukan
tentang dirimu! Ini bukan tentang aku!”
Dan, ini yang
dimaksud itu artinya apa yang Jeanine lakukan terhadapku—mencoba mencari
simulasi yang berfungsi padaku. Pada Divergent.
“Aku tahu informasi itu ada kaitannya dengan Divergent,” aku
membeberkan. “Aku tahu informasi itu adalah tentang apa yang ada di luar pagar
perbatasan.”
“Itu tidak sama dengan mengetahui apa yang ada di luar
pagar.”
“Yah, jadi kau mau memberitahuku atau hanya ingin
menggantungkannya di atas kepalaku dan membuatku melompat untuk meraihnya?”
“Aku ke sini bukan untuk berdebat demi menyenangkan diri
sendiri. Dan tidak, aku tak akan mengatakannya kepadamu. Bukan karena tak mau,
melainkan karena aku tak tahu cara menggambarkannya kepadamu. Kau harus
melihatnya sendiri.”
Saat Marcus berbicara, aku melihat sinar matahari berubah
lebih oranye dan bukan kuning, menyebabkan bayangan yang lebih gelap menimpa
wajahnya.
“Kurasa mungkin Tobias benar,” kataku. “Kau senang menjadi satu-satunya orang yang
tahu. Kau senang aku tidak tahu. Itu membuatmu merasa penting. Itu sebabnya,
kau tak mau memberitahuku karena informasi itu tak dapat digambarkan.”
“Itu tidak benar.”
“Bagaimana aku tahu itu tidak benar?”
Marcus melotot dan aku membalas tatapannya.
No comments:
Post a Comment