Penulis: Suzanne
Collins
“Lynn. Sekali ini tutup mulutmu,” perintah Shauna tanpa
mengalihkan pandangan dariku. Ia tampak tegang, seolah menyangkan aku bakal
menyerangnya kapan pun. Dengan kekuatan otak superku.
“Oh!” Uriah berseru, menyelamatkanku. “Tris, kau kenal
Lauren?”
“Yeah,” sahut
Lauren sebelum aku sempat menjawabnya. Suaranya tajam dan jelas, seolah
membentak Uriah, padahal memang begitulah cara bicaranya. “Ia masuk ruang
ketakutanku untuk berlatih waktu inisiasi dulu. Jadi, mungkin ia mengenalku
dengan lebih baik daripada yang seharusnya.”
“Oh, ya? Kupikir anak pindahan melewati ruang ketakutan
Four,” Uriah berkomentar.
“Memangnya ia bakal kasih izin?” tukas Lauren sambil
mendengus.
Sesuatu dalam diriku menjadi hangat dan lembut. Four mengizinkan
aku melaluinya.
Aku melihat kilasan warna biru di balik bahu Lauren yan
membuatku memandang melewatinya agar bisa melihat dengan lebih jelas.
Lalu, pistol menyalak.
Pintu-pintu kaca meledak menjadi serpihan-serpihan. Prajurit
Dauntless dengan ikat lengan biru berdiri di trotoar di luar. Mereka membawa
senjata yang tak pernah kulihat, senjata dengan sinar biru tipis yang memancar
dari atas larasnya.
“Pengkhianat!” teriak seseorang.
Para Dauntless menyiagakan senjata mereka, hampir serentak.
Aku tak membawa pistol untuk dikeluarkan, jadi aku merunduk ke belakang deretan
Dauntless yan setia di depanku, sol sepatuku meremukkan pecahan kaca, dan
menghunuskan pisau dari saku belakangku.
Di sekelilingku, orang-orang roboh. Teman-teman anggota
faksiku. Teman-teman terdekatku. Mereka semua roboh—mereka pasti mati, atau
sekarat—saat ledakan peluru yang memekakkan telinga menyesaki pendengaranku.
Lalu aku terdiam. Salah satu sinar biru itu mengenai dadaku.
Aku menukik ke samping untuk menghindari jalur tembakannya, tapi gerakanku tak
cukup cepat.
Senjata itu ditembakkan. Aku roboh.[]
15
Rasa sakit itu memudar menjadi rasa nyeri tumpul. Aku
menyelipkan tanganku ke balik jaket dan meraba-raba apakah tubuhku terluka.
Aku tidak berdarah. Tapi, kekuatan tembakan itu membuatku
pingsan, jadi pastilah aku membentur sesuatu. Aku meraba bahuku dan merasakan
benjolan keras di kulit yan dulunya mulus.
Aku mendengar derakan di lantai di samping wajahku. Tabung
logam seukuran tanganku menggelindin dan berhenti saat mengenai kepalaku.
Sebelum aku sempat memindahkannya, asap putih meluber dari kedua ujungnya.
Sambil terbatuk, aku melemparkan benda itu menjauhiku, jauh ke dalam lobi.
Namun, itu bukan satu-satunya tabung. Tabung lain ada di mana-mana dan memenuhi
ruangan dengan asap yang tidak membakar atau menyengat. Asap itu sebenarnya
hanya menghalangi pandanganku selama beberapa detik sebelum menguap habis.
Apa maksudnya?
Prajurit Dauntless terbaring di lantai di sekelilingku
dengan mata tertutup. Aku mengerutkan kening saat mengamati tubuh Urian—ia
tampaknya tak berdarah. Aku tak melihat luka di dekat organ vitalnya, yan
berarti ia tidak mati. Jadi, apa yang membuatnya pingsan? Aku menengok melewati
bahu kiriku. Lynn roboh dalam posisi aneh, setengah meringkuk. Ia juga pingsan.
Para Dauntless pembelot berjalan memasuki lobi dengan
senjata teracun. Aku memutuskan untuk melakukan yang biasanya kulakukan saat
tak yakin apa yang terjadi: aku pura-pura seperti yang lain. Aku membiarkan
kepalaku tergeletak dan menutup mata. Jantungku berdetak kencang saat langkah
kaki para Dauntless itu mendekat, semakin dekat, berdecit di lantai marmer. Aku
menggigit lidahku agar tidak menjerit kesakitan saat salah satunya menginjak
tanganku.
“Entah kenapa kiita tak boleh menembak kepala mereka semua,”
kata salah satu dari mereka. “Kalau tak ada tentara di sini, kita menang.”
“Bob, kita tak boleh membunuh semua orang,” ujar suara dingin.
Bulu kudukku berdiri. Aku dapat mengenali suara itu di mana
pun. Itu suara Eric, pemimpin faksi Dauntless.
“Tak ada orang berarti tak ada yang tersisa untuk
menciptakan kondisi yang makmur,” lanjut Eric. “lagi pula, bertanya itu bukan
tugasmu.” Ia mengeraskan suaranya. “Sebagian di lift, sebagian di tangga, kiri
dan kanan! Laksanakan!”
Beberapa langkah di kiriku ada pistol. Jika aku membuka
mata, aku bisa meraih senja itu dan menembak Eric sebelum ia menyadari apa yang
menghantamnya. Tapi, tidak ada jaminan aku sanggup menyentuh pistol itu tanpa
menjadi panic lagi.
Aku menunggu sampai mendengar langkah kaki terakhir
menghilang di balik pintu lift atau di tangga barulah aku membuka mata. Semua
orang di lobi tampaknya pingsan. Apa pun yang mereka gunakan untuk membius
kami, pastilah itu memicu simulasi karena kalau tidak aku tak mungkin menjadi
satu-satunya orang yang sadar. Ini tidak masuk akal—ini tidak mengikuti aturan
simulasi yang kukenal—tapi aku tak punya waktu untuk membiarkannya.
Aku meraih pisauku dan berdiri, berusaha mengabaikan nyeri
di bahuku. Aku berlari ke salah satu Dauntless pembelot yang mati di dekat
pintu. Ia separuh baya, ada sedikit uban di rambutnya yang gelap. Aku berusaha
untuk tidak melihat luka tembak di kepalanya, tapi cahaya lampu yang
remang-remang menyinari sesuatu yang seperti tulang, dan aku mual.
Berpikirlah. Aku
tak peduli siapa pembelot itu, atau siapa namanya, atau berapa usianya. Aku
hanya peduli dengan ban lengan biru yang ia gunakan . Aku harus memusatkan
perhatianku pada benda itu. Aku berusaha mengaitkan jariku di kain itu, tapi
ban lengan itu tidak mau lepas. Tampaknya benda itu melekat ke jaket hitamnya.
Jadi, aku juga harus mengambil jaketnya juga.
Aku membuka jaketku dan melemparkannya ke wajah prajurit
tadi agar tak perlu memandangnya. Kemudian, aku membuka jaketnya dan
menariknya, pertama dari lengan kiri lalu dari lengan kanan. Aku mengatupkan
gigi saat menarik jaket itu dari bawah tubuhnya yang berat.
“Tris!” panggil seseorang. Aku berbalik dengan jaket di
tangan yang satu dan pisau di tangan yang lain. Aku menyembunyikan pisau
itu—para Dauntless yang menyerang tadi tidak membawa pisau dan aku tak mau
menarik perhatian.
Uriah berdiri di belakangku.
“Divergent?” tanyaku. Bukan waktunya untuk kaget.
“Yeah,” jawabnya.
“Ambil jaket,” kataku.
Uriah berjongkok di samping salah satu Dauntless pembelot,
yang ini masih muda, tapi tidak cukup tua untuk menjadi anggota Dauntless. Aku
berjengit saat melihat wajahnya yang pucat karena kematian. Orang semuda itu
seharusnya tidak mati, bahkan seharusnya tak ada di sini.
Dengan wajah panas karena marah, aku mengenakan jaket
prajurit tadi. Uriah juga mengenakan jaketnya, mulutnya mengerucut.
“Cuma mereka yang
mati,” katanya pelan. “Menurutmu apakah ada yang salah?”
“Mereka pasti sudah tahu kita akan menembak mereka, tapi
mereka tetap datang,” sahutku. “Tanya-tanyanya nanti saja. Sekarang, kita harus
naik.”
“Naik ke sana? Kenapa?” tanyanya. “Kita seharusnya keluar
dari sini.”
“Kau mau lari sebelum tahu apa yang terjadi?” Aku memandang
marah ke arahnya. “Sebelum para Dauntless di atas tahu apa yang terjadi?”
“Bagaimana kalau ada yang mengenali kita?”
No comments:
Post a Comment