Insurgent (Divergent #2) (31)

Penulis: Suzanne Collins

“Lynn. Sekali ini tutup mulutmu,” perintah Shauna tanpa mengalihkan pandangan dariku. Ia tampak tegang, seolah menyangkan aku bakal menyerangnya kapan pun. Dengan kekuatan otak superku.

“Oh!” Uriah berseru, menyelamatkanku. “Tris, kau kenal Lauren?”

Yeah,” sahut Lauren sebelum aku sempat menjawabnya. Suaranya tajam dan jelas, seolah membentak Uriah, padahal memang begitulah cara bicaranya. “Ia masuk ruang ketakutanku untuk berlatih waktu inisiasi dulu. Jadi, mungkin ia mengenalku dengan lebih baik daripada yang seharusnya.”

“Oh, ya? Kupikir anak pindahan melewati ruang ketakutan Four,” Uriah berkomentar.

“Memangnya ia bakal kasih izin?” tukas Lauren sambil mendengus.

Sesuatu dalam diriku menjadi hangat dan lembut. Four mengizinkan aku melaluinya.

Aku melihat kilasan warna biru di balik bahu Lauren yan membuatku memandang melewatinya agar bisa melihat dengan lebih jelas.

Lalu, pistol menyalak.

Pintu-pintu kaca meledak menjadi serpihan-serpihan. Prajurit Dauntless dengan ikat lengan biru berdiri di trotoar di luar. Mereka membawa senjata yang tak pernah kulihat, senjata dengan sinar biru tipis yang memancar dari atas larasnya.

“Pengkhianat!” teriak seseorang.

Para Dauntless menyiagakan senjata mereka, hampir serentak. Aku tak membawa pistol untuk dikeluarkan, jadi aku merunduk ke belakang deretan Dauntless yan setia di depanku, sol sepatuku meremukkan pecahan kaca, dan menghunuskan pisau dari saku belakangku.

Di sekelilingku, orang-orang roboh. Teman-teman anggota faksiku. Teman-teman terdekatku. Mereka semua roboh—mereka pasti mati, atau sekarat—saat ledakan peluru yang memekakkan telinga menyesaki pendengaranku.

Lalu aku terdiam. Salah satu sinar biru itu mengenai dadaku. Aku menukik ke samping untuk menghindari jalur tembakannya, tapi gerakanku tak cukup cepat.

Senjata itu ditembakkan. Aku roboh.[]

15

Rasa sakit itu memudar menjadi rasa nyeri tumpul. Aku menyelipkan tanganku ke balik jaket dan meraba-raba apakah tubuhku terluka.

Aku tidak berdarah. Tapi, kekuatan tembakan itu membuatku pingsan, jadi pastilah aku membentur sesuatu. Aku meraba bahuku dan merasakan benjolan keras di kulit yan dulunya mulus.

Aku mendengar derakan di lantai di samping wajahku. Tabung logam seukuran tanganku menggelindin dan berhenti saat mengenai kepalaku. Sebelum aku sempat memindahkannya, asap putih meluber dari kedua ujungnya. Sambil terbatuk, aku melemparkan benda itu menjauhiku, jauh ke dalam lobi. Namun, itu bukan satu-satunya tabung. Tabung lain ada di mana-mana dan memenuhi ruangan dengan asap yang tidak membakar atau menyengat. Asap itu sebenarnya hanya menghalangi pandanganku selama beberapa detik sebelum menguap habis.

Apa maksudnya?

Prajurit Dauntless terbaring di lantai di sekelilingku dengan mata tertutup. Aku mengerutkan kening saat mengamati tubuh Urian—ia tampaknya tak berdarah. Aku tak melihat luka di dekat organ vitalnya, yan berarti ia tidak mati. Jadi, apa yang membuatnya pingsan? Aku menengok melewati bahu kiriku. Lynn roboh dalam posisi aneh, setengah meringkuk. Ia juga pingsan.

Para Dauntless pembelot berjalan memasuki lobi dengan senjata teracun. Aku memutuskan untuk melakukan yang biasanya kulakukan saat tak yakin apa yang terjadi: aku pura-pura seperti yang lain. Aku membiarkan kepalaku tergeletak dan menutup mata. Jantungku berdetak kencang saat langkah kaki para Dauntless itu mendekat, semakin dekat, berdecit di lantai marmer. Aku menggigit lidahku agar tidak menjerit kesakitan saat salah satunya menginjak tanganku.

“Entah kenapa kiita tak boleh menembak kepala mereka semua,” kata salah satu dari mereka. “Kalau tak ada tentara di sini, kita menang.”

“Bob, kita tak boleh membunuh semua orang,” ujar suara dingin.

Bulu kudukku berdiri. Aku dapat mengenali suara itu di mana pun. Itu suara Eric, pemimpin faksi Dauntless.

“Tak ada orang berarti tak ada yang tersisa untuk menciptakan kondisi yang makmur,” lanjut Eric. “lagi pula, bertanya itu bukan tugasmu.” Ia mengeraskan suaranya. “Sebagian di lift, sebagian di tangga, kiri dan kanan! Laksanakan!”

Beberapa langkah di kiriku ada pistol. Jika aku membuka mata, aku bisa meraih senja itu dan menembak Eric sebelum ia menyadari apa yang menghantamnya. Tapi, tidak ada jaminan aku sanggup menyentuh pistol itu tanpa menjadi panic lagi.

Aku menunggu sampai mendengar langkah kaki terakhir menghilang di balik pintu lift atau di tangga barulah aku membuka mata. Semua orang di lobi tampaknya pingsan. Apa pun yang mereka gunakan untuk membius kami, pastilah itu memicu simulasi karena kalau tidak aku tak mungkin menjadi satu-satunya orang yang sadar. Ini tidak masuk akal—ini tidak mengikuti aturan simulasi yang kukenal—tapi aku tak punya waktu untuk membiarkannya.

Aku meraih pisauku dan berdiri, berusaha mengabaikan nyeri di bahuku. Aku berlari ke salah satu Dauntless pembelot yang mati di dekat pintu. Ia separuh baya, ada sedikit uban di rambutnya yang gelap. Aku berusaha untuk tidak melihat luka tembak di kepalanya, tapi cahaya lampu yang remang-remang menyinari sesuatu yang seperti tulang, dan aku mual.

Berpikirlah. Aku tak peduli siapa pembelot itu, atau siapa namanya, atau berapa usianya. Aku hanya peduli dengan ban lengan biru yang ia gunakan . Aku harus memusatkan perhatianku pada benda itu. Aku berusaha mengaitkan jariku di kain itu, tapi ban lengan itu tidak mau lepas. Tampaknya benda itu melekat ke jaket hitamnya. Jadi, aku juga harus mengambil jaketnya juga.

Aku membuka jaketku dan melemparkannya ke wajah prajurit tadi agar tak perlu memandangnya. Kemudian, aku membuka jaketnya dan menariknya, pertama dari lengan kiri lalu dari lengan kanan. Aku mengatupkan gigi saat menarik jaket itu dari bawah tubuhnya yang berat.

“Tris!” panggil seseorang. Aku berbalik dengan jaket di tangan yang satu dan pisau di tangan yang lain. Aku menyembunyikan pisau itu—para Dauntless yang menyerang tadi tidak membawa pisau dan aku tak mau menarik perhatian.

Uriah berdiri di belakangku.

“Divergent?” tanyaku. Bukan waktunya untuk kaget.

Yeah,” jawabnya.

“Ambil jaket,” kataku.

Uriah berjongkok di samping salah satu Dauntless pembelot, yang ini masih muda, tapi tidak cukup tua untuk menjadi anggota Dauntless. Aku berjengit saat melihat wajahnya yang pucat karena kematian. Orang semuda itu seharusnya tidak mati, bahkan seharusnya tak ada di sini.

Dengan wajah panas karena marah, aku mengenakan jaket prajurit tadi. Uriah juga mengenakan jaketnya, mulutnya mengerucut.

“Cuma mereka yang mati,” katanya pelan. “Menurutmu apakah ada yang salah?”

“Mereka pasti sudah tahu kita akan menembak mereka, tapi mereka tetap datang,” sahutku. “Tanya-tanyanya nanti saja. Sekarang, kita harus naik.”

“Naik ke sana? Kenapa?” tanyanya. “Kita seharusnya keluar dari sini.”

“Kau mau lari sebelum tahu apa yang terjadi?” Aku memandang marah ke arahnya. “Sebelum para Dauntless di atas tahu apa yang terjadi?”

“Bagaimana kalau ada yang mengenali kita?”



No comments:

Post a Comment