Insurgent (Divergent #2) (30)

Penulis: Suzanne Collins

“Tentu,” sahut Uriah.

Marlene melambai saat mereka pergi. Biasanya, ia berjalan dengan agak melonjak, seperti sedang main tali. Sekarang, langkahnya lebih halus—lebih anggun, mungkin, tapi yang jelas tanpa kegirangan anak kecil yang selalu kukaitkan dengannya. Aku bertanya-tanya apa yang ia lakukan saat berada di bawah pengaruh simulasi.

Bibir Lynn mengerucut.

“Apa?” tanyaku.

“Tak ada,” jawabny dengan ketus. Ia menggeleng. “Akhir-akhir ini mereka saling berduaan.”

“Uriah butuh teman, sepertinya,” kataku. “Apalagi dengan Zeke dan segalanya.”

“Yah. Itu mimpi buruk. Satu hari ia di sini, tapi di hari lain …” Lynn mendesah. “Berapa lama pun seseorang dilatih agar jadi berani, kita tak pernah tahu apakah mereka memang berani atau tidak hingga sesuatu yang nyata terjadi.

Matanya menatapku. Aku tak pernah memperhatikan keanehan mata Lynn, cokelat keemasan. Lalu sekarang, setelah rambutnya tumbuh dan kepalanya yang botak bukan hal pertama yang kupandang, aku juga melihat hidungnya yang indah serta bibirnya yang penuh—ia menarik tanpa perlu berusaha. Sesaat aku iri terhadapnya, tapi kemudian aku berpikir pasti ia mencukur kepala karena benci.

Kau itu berani,” kata Lynn. “Aku tak perlu mengatakannya karena kau sendiri sudah tahu. Tapi, aku ingin kau tahu bahwa aku tahu.”

Lynn memujiku, tapi aku merasa seakan-akan ia menamparku dengan sesuatu.

Lalu ia menambahkan, “Jangan mengacaukannya.”

***

Beberapa jam kemudian, setelah makan dan tidur siang, aku duduk di tepi ranjangku untuk mengganti perban bahuku. Aku melepaskan kaus dan membiarkan tank top-ku tetap terpasang—ada banyak Dauntless di sekelilingku, mereka berkumpul di antara ranjang-ranjang, saling bercanda dan tertawa. Aku baru saja selesai memasang salep penyembuh saat mendengar pekikan tawa. Uriah berlari di antara ranjang-ranjang sambil memanggul Marlene. Marlene melambai saat mereka lewat, wajahnya merah.

Lynn, yang sedang duduk di ranjang sebelah, mendengus. “Aku tak mengerti kenapa mereka bisa saling tebar pesona, apalagi dengan semua kejadian ini.”

“Jadi, seharusnya Uriah it uterus-terusan mondar-mandir sambil cemberut?” aku bertanya sambil meraih ke bahuku untuk menekankan perban ku kulit. “Mungkin kau bisa memetik pelajaran darinya.”

“Lihat tuh siapa yang bicara,” bahas Lynn. “Padahal, kau it uterus-terusan menangis. Kami seharusnya memanggilmu Beatrice Prior, Ratu Tragedi.”

Aku berdiri dan menonjok lengannya, lebih keras daripada jika aku bercanda dan lebih lembut daripada jika aku serius. “Tutup mulutmu.”

Tanpa memandangku, Lynn mendorong bahuku hingga aku jatuh ke ranjang. “Aku tak mau diperintah si Kaku.”

Aku melihat senyum samar di bibirnya dan menahan diri agar tidak meringis.

“Siap berangkat?” tanya Lynn.

“Kalian mau ke mana?” tanya Tobias yang menyelinap di antara ranjangku dan ranjangnya agar bisa berdiri di lorong bersama kami. Mulutku terasa kering. Sepanjang hari ini, aku tak bicara dengannya dan aku tak tahu apa yang kuharapkan. Apakah kami akan canggung atau kembali seperti biasa?

“Ke atas gedung Hancock untuk memata-matai faksi Erudite,” sahut Lynn. “Ikut?”

Tobias memandangku. “Tidak, ada yang harus kuurus di sini. Hati-hati.”

Aku mengangguk. Aku tahu ia tak ingin ikut—Tobias berusaha menghindari ketinggian, jika mungkin. Ia menyentuh lenganku dan menahanku sebentar. Tubuhku menegang—Tobias belum menyentuhku sejak pertengkaran kami tadi—lalu ia melepaskanku.

“Sampai nanti,” gumamnya. “Jangan bertindak bodoh.”

“Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku,” kataku sambil mengerutkan kening.

“Maksudku bukan begitu,” bantahnya. “Maksudku jangan biarkan yang lain bertindak bodoh. Mereka akan mendengarmu.”

Tobias memajukan tubuh seolah-olah akan mengecupku, lalu sepertinya sesuatu membuatnya mengurungkan niatnya dan ia menegakkan tubuhnya lagi sambil menggigit bibir. Itu tindakan yang remeh, tapi rasanya seperti ditolak. Aku menghindari matanya dan mengejar Lynn.

Aku dan Lynn menyusuri koridor menuju lift. Sebagian Dauntless sudah menandai dinding dengan kotak-kotak berwarna. Markas Candor ini seperti labirin bagi mereka, dan mereka ingin mengetahui rutenya. Aku hanya tahu cara mencapai tempat-tempat penting: area tidur, kafetaria, lobi, ruang interogasi.

“Kenapa semua orang meninggalkan markas Dauntless?” tanyaku. “Para pengkhianat itu tak ada di sana, kan?”

“Tidak. Mereka di markas Erudite. Kami pergi karena markas Dauntless memiliki kamera pengawas paling banyak dibandingkan area lain di kota,” jelas Lynn. “Kami tahu Erudite mungkin bisa mengakses semua video. Selain itu, perlu waktu sangat lama untuk menemukan semua kamera, jadi kami pikir sebaiknya pergi saja.”

“Pintar.”

“Ya, kadang-kadang.”

Lynn menekan tombol menuju lantai satu. Aku menatap bayangan kami di pintu. Ia lebih tinggi beberapa senti dariku. Walaupun atasan serta celana gombrong itu menyamarkannya, aku tahu tubuh Lynn berlekuk seperti seharusnya.

“Apa?” tanyanya sambil cemberut ke arahku.

“Kenapa kau mencukur kepalamu?”

“Inisiasi,” jawabnya. “Aku cinta Dauntless, tapi pria Dauntless tidak menganggap gadis-gadis Dauntless sebagai ancaman pada inisiasi. Aku muak. Jadi kupikir, kalau aku tidak terlihat seperti anak perempuan, mungkin mereka tak akan memandangku begitu.”

“Kupikir kau bisa memanfaatkan sikap meremehkan itu.”

“Lalu apa? Pura-pura pingsan setiap kali melihat sesuatu yang mengerikan?” Ia memutar bola matanya. “Apa kau pikir aku ini tak punya harga diri?”

“Kurasa kesalahan yang dilakukan oleh Dauntless adalah menolak untuk bersikap cerdas,” kataku. “Kita tak perlu menonjok muka orang untuk menunjukkan kekuatan kita.”

“Mungkin sebaiknya mulai saat ini kau pakai baju biru saja,” sahut Lynn, “kalau mau bersikap seperti seorang Erudite. Lagi pula, kau juga melakukannya, tapi tanpa mencukur rambut.”

Aku keluar dari lift sebelum mengatakan sesuatu yang bakal kusesali. Lynn memang cepat memaafkan, tapi juga cepat panas, seperti Dauntless pada umumnya. Seperti aku, kecuali untuk bagian “cepat memaafkan” itu.

Seperti biasa, sejumlah Dauntless bersenjata berat berjalan mondar-mandir di depan pintu, berjaga-jaga jika ada penyusup. Tepat di depan mereka berdirilah sekuruman Dauntless yang lebih muda, termasuk Uriah, Marlene, Shauna kakak Lynn, dan Lauren, pengajar peserta inisiasi asli Dauntless seperti Four yang mengajar anak pindahan faksi pada masa inisiasi. Saat menggerakkan kepala, telinganya berkilau karena ditindik dari atas hingga bawah.

Lynn tiba-tiba berhenti dan aku menubruknya. Ia mengumpat.

“Manis sekali kau,” komentar Shauna sambil tersenyum ke arah Lynn. Mereka tidak mirip, kecuali warna rambutnya, yaitu cokelat sedang, tapi rambut Shauna sepanjang dagu, seperti rambutku.

“Ya, memang itu tujuanku. Menjadi manis,” balas Lynn.

Shauna merangkul bahu Lynn. Rasanya aneh melihat Lynn dengan saudara perempuannya—melihat Lynn punya hubungan dengan seseoran. Shauna melirikku dan senyumannya lenyap. Ia tampak waspada.

“Hai,” sapaku, karena tak ada yang bisa kukatakan.

“Halo,” ia membalas.

“Oh, Tuhan. Kau juga terpengaruh kata-kata Ibu, ya?” Lynn menutup wajahnya dengan sebelah tangan. “Shauna—”



No comments:

Post a Comment