Penulis: Suzanne
Collins
“Tentu,” sahut Uriah.
Marlene melambai saat mereka pergi. Biasanya, ia berjalan
dengan agak melonjak, seperti sedang main tali. Sekarang, langkahnya lebih
halus—lebih anggun, mungkin, tapi yang jelas tanpa kegirangan anak kecil yang
selalu kukaitkan dengannya. Aku bertanya-tanya apa yang ia lakukan saat berada
di bawah pengaruh simulasi.
Bibir Lynn mengerucut.
“Apa?” tanyaku.
“Tak ada,” jawabny dengan ketus. Ia menggeleng. “Akhir-akhir
ini mereka saling berduaan.”
“Uriah butuh teman, sepertinya,” kataku. “Apalagi dengan
Zeke dan segalanya.”
“Yah. Itu mimpi buruk. Satu hari ia di sini, tapi di hari
lain …” Lynn mendesah. “Berapa lama pun seseorang dilatih agar jadi berani,
kita tak pernah tahu apakah mereka memang berani atau tidak hingga sesuatu yang
nyata terjadi.
Matanya menatapku. Aku tak pernah memperhatikan keanehan
mata Lynn, cokelat keemasan. Lalu sekarang, setelah rambutnya tumbuh dan
kepalanya yang botak bukan hal pertama yang kupandang, aku juga melihat
hidungnya yang indah serta bibirnya yang penuh—ia menarik tanpa perlu berusaha.
Sesaat aku iri terhadapnya, tapi kemudian aku berpikir pasti ia mencukur kepala
karena benci.
“Kau itu berani,”
kata Lynn. “Aku tak perlu mengatakannya karena kau sendiri sudah tahu. Tapi,
aku ingin kau tahu bahwa aku tahu.”
Lynn memujiku, tapi aku merasa seakan-akan ia menamparku
dengan sesuatu.
Lalu ia menambahkan, “Jangan mengacaukannya.”
***
Beberapa jam kemudian, setelah makan dan tidur siang, aku
duduk di tepi ranjangku untuk mengganti perban bahuku. Aku melepaskan kaus dan
membiarkan tank top-ku tetap
terpasang—ada banyak Dauntless di sekelilingku, mereka berkumpul di antara
ranjang-ranjang, saling bercanda dan tertawa. Aku baru saja selesai memasang
salep penyembuh saat mendengar pekikan tawa. Uriah berlari di antara
ranjang-ranjang sambil memanggul Marlene. Marlene melambai saat mereka lewat,
wajahnya merah.
Lynn, yang sedang duduk di ranjang sebelah, mendengus. “Aku
tak mengerti kenapa mereka bisa saling tebar
pesona, apalagi dengan semua kejadian ini.”
“Jadi, seharusnya Uriah it uterus-terusan mondar-mandir
sambil cemberut?” aku bertanya sambil meraih ke bahuku untuk menekankan perban
ku kulit. “Mungkin kau bisa memetik pelajaran darinya.”
“Lihat tuh siapa yang bicara,” bahas Lynn. “Padahal, kau it
uterus-terusan menangis. Kami seharusnya memanggilmu Beatrice Prior, Ratu
Tragedi.”
Aku berdiri dan menonjok lengannya, lebih keras daripada
jika aku bercanda dan lebih lembut daripada jika aku serius. “Tutup mulutmu.”
Tanpa memandangku, Lynn mendorong bahuku hingga aku jatuh ke
ranjang. “Aku tak mau diperintah si Kaku.”
Aku melihat senyum samar di bibirnya dan menahan diri agar
tidak meringis.
“Siap berangkat?” tanya Lynn.
“Kalian mau ke mana?” tanya Tobias yang menyelinap di antara
ranjangku dan ranjangnya agar bisa berdiri di lorong bersama kami. Mulutku
terasa kering. Sepanjang hari ini, aku tak bicara dengannya dan aku tak tahu
apa yang kuharapkan. Apakah kami akan canggung atau kembali seperti biasa?
“Ke atas gedung Hancock untuk memata-matai faksi Erudite,”
sahut Lynn. “Ikut?”
Tobias memandangku. “Tidak, ada yang harus kuurus di sini.
Hati-hati.”
Aku mengangguk. Aku tahu ia tak ingin ikut—Tobias berusaha
menghindari ketinggian, jika mungkin. Ia menyentuh lenganku dan menahanku
sebentar. Tubuhku menegang—Tobias belum menyentuhku sejak pertengkaran kami
tadi—lalu ia melepaskanku.
“Sampai nanti,” gumamnya. “Jangan bertindak bodoh.”
“Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku,” kataku sambil
mengerutkan kening.
“Maksudku bukan begitu,” bantahnya. “Maksudku jangan biarkan
yang lain bertindak bodoh. Mereka akan mendengarmu.”
Tobias memajukan tubuh seolah-olah akan mengecupku, lalu
sepertinya sesuatu membuatnya mengurungkan niatnya dan ia menegakkan tubuhnya
lagi sambil menggigit bibir. Itu tindakan yang remeh, tapi rasanya seperti
ditolak. Aku menghindari matanya dan mengejar Lynn.
Aku dan Lynn menyusuri koridor menuju lift. Sebagian
Dauntless sudah menandai dinding dengan kotak-kotak berwarna. Markas Candor ini
seperti labirin bagi mereka, dan mereka ingin mengetahui rutenya. Aku hanya
tahu cara mencapai tempat-tempat penting: area tidur, kafetaria, lobi, ruang
interogasi.
“Kenapa semua orang meninggalkan markas Dauntless?” tanyaku.
“Para pengkhianat itu tak ada di sana, kan?”
“Tidak. Mereka di markas Erudite. Kami pergi karena markas
Dauntless memiliki kamera pengawas paling banyak dibandingkan area lain di
kota,” jelas Lynn. “Kami tahu Erudite mungkin bisa mengakses semua video.
Selain itu, perlu waktu sangat lama untuk menemukan semua kamera, jadi kami
pikir sebaiknya pergi saja.”
“Pintar.”
“Ya, kadang-kadang.”
Lynn menekan tombol menuju lantai satu. Aku menatap bayangan
kami di pintu. Ia lebih tinggi beberapa senti dariku. Walaupun atasan serta
celana gombrong itu menyamarkannya, aku tahu tubuh Lynn berlekuk seperti
seharusnya.
“Apa?” tanyanya sambil cemberut ke arahku.
“Kenapa kau mencukur kepalamu?”
“Inisiasi,” jawabnya. “Aku cinta Dauntless, tapi pria
Dauntless tidak menganggap gadis-gadis Dauntless sebagai ancaman pada inisiasi.
Aku muak. Jadi kupikir, kalau aku tidak terlihat seperti anak perempuan,
mungkin mereka tak akan memandangku begitu.”
“Kupikir kau bisa memanfaatkan sikap meremehkan itu.”
“Lalu apa? Pura-pura pingsan setiap kali melihat sesuatu yang
mengerikan?” Ia memutar bola matanya. “Apa kau pikir aku ini tak punya harga
diri?”
“Kurasa kesalahan yang dilakukan oleh Dauntless adalah
menolak untuk bersikap cerdas,” kataku. “Kita tak perlu menonjok muka orang
untuk menunjukkan kekuatan kita.”
“Mungkin sebaiknya mulai saat ini kau pakai baju biru saja,”
sahut Lynn, “kalau mau bersikap seperti seorang Erudite. Lagi pula, kau juga
melakukannya, tapi tanpa mencukur rambut.”
Aku keluar dari lift sebelum mengatakan sesuatu yang bakal
kusesali. Lynn memang cepat memaafkan, tapi juga cepat panas, seperti Dauntless
pada umumnya. Seperti aku, kecuali untuk bagian “cepat memaafkan” itu.
Seperti biasa, sejumlah Dauntless bersenjata berat berjalan
mondar-mandir di depan pintu, berjaga-jaga jika ada penyusup. Tepat di depan
mereka berdirilah sekuruman Dauntless yang lebih muda, termasuk Uriah, Marlene,
Shauna kakak Lynn, dan Lauren, pengajar peserta inisiasi asli Dauntless seperti
Four yang mengajar anak pindahan faksi pada masa inisiasi. Saat menggerakkan kepala,
telinganya berkilau karena ditindik dari atas hingga bawah.
Lynn tiba-tiba berhenti dan aku menubruknya. Ia mengumpat.
“Manis sekali kau,” komentar Shauna sambil tersenyum ke arah
Lynn. Mereka tidak mirip, kecuali warna rambutnya, yaitu cokelat sedang, tapi
rambut Shauna sepanjang dagu, seperti rambutku.
“Ya, memang itu tujuanku. Menjadi manis,” balas Lynn.
Shauna merangkul bahu Lynn. Rasanya aneh melihat Lynn dengan
saudara perempuannya—melihat Lynn punya hubungan dengan seseoran. Shauna
melirikku dan senyumannya lenyap. Ia tampak waspada.
“Hai,” sapaku, karena tak ada yang bisa kukatakan.
“Halo,” ia membalas.
“Oh, Tuhan. Kau juga terpengaruh kata-kata Ibu, ya?” Lynn
menutup wajahnya dengan sebelah tangan. “Shauna—”
No comments:
Post a Comment