Penulis: Suzanne
Collins
14
“Oke, apa yang kau lakukan di sini?” tanya suatu suara.
Aku sedang duduk di matras di salah satu koridor. Tadi aku
ke sini untuk melakukan sesuatu,tapi begitu tiba aku lupa. Karena itulah, aku
hanya duduk. Aku mendongak. Lynn. Aku mengenalnya pertama kali waktu ia
menginjak jari kakiku di lift bangunan Hancock. Saat ini ia berdiri di depanku
dengan alis terangkat. Rambutnya sudah lebih panjang—masih pendek sebenarnya,
tapi aku tak bisa melihat kulit kepalanya lagi.
“Sedang duduk,” jawabku. “Kenapa?”
“Kau itu konyol, tahu.” Ia sudah mendesah. “Kuatkan dirimu.
Kau itu dauntless, dan sudah saatnya kau bersikap seperti seorang Dauntless.
Kau mencoreng nama baik kita di hadapan faksi Candor.”
“Memangnya apa yang kulakukan?”
“Kau bersikap seolah-olah tidak mengenal kami.”
“Aku cuma memikirkan Christina.”
“Christina.” Lynn mendengus. “Ia itu sedang mabuk cinta.
Semua orang mati. Itulah yang terjadi dalam peperangan. Nanti juga ia bakal
menyadarinya.”
“Yeah, semua orang mati, tapi biasanya bukan sahabatmu yang
membunuh mereka.”
“Terserahlah.” Lynn mendesah dengan tak sabar. “Ayo.”
Karena tak menemukan alasan untuk menolak, aku bangkit dan
mengikutinya menyusuri koridor-koridor. Lynn berjalan dengan cepat dan sulit
mengimbangi kecepatannya.
“Di mana pacarmu yang menyeramkan itu?” tanyanya.
Bibirku mengerucut seolah baru mencicipi sesuatu yang masam.
“Ia tidak menyeramkan.”
“Tentu saja tidak,” ujar Lynn sambil meringis.
“Aku tak tahu ia di mana.”
Lynn mengangkat bahu. “Yah, kau bisa memilihkan ranjang
untuknya juga. Kami berusaha melupakan anak-anak Dauntless-Erudite keparat itu.
Meneguhkan hati kembali.”
Aku tertawa. “Anak-anak Dauntless-Erudite keparat, ya?”
Lynn mendorong pintu hingga terbuka. Kami berdiri di ruangan
besar terbuka yang membuatku teringat dengan lobi gedung ini. Tidak
mengherankan, lantai di sini hitam dengan symbol putih besar di tengah
ruangannya, tapi sebagian besarnya sudah ditutupi ranjang bertingkat. Pria,
wanita, dan anak-anak Dauntless ada di mana-mana. Tak ada seorang Candor pun
yang tampak.
Lynn membawaku ke sebelah kiri ruangan ke antara deretan
ranjang bertingkat. Ia memandang anak laki-laki yang duduk di ranjang
bawah—usianya beberapa tahun lebih muda daripada kami. Anak itu sedang berusaha
melepaskan ikatan tali sepatunya.
“Hec,” panggil Lynn,
“cari ranjang lain.”
“Apa? Enak saja,” bantah anak itu tanpa mendongak. “Aku tak
mau pindah lagi cuma karena kau ingin
mengobrol pada malam hari dengan salah satu teman bodohmu.:
“Ia ini bukan temanku,” hardik Lynn. Aku nyaris tertawa.
Lynn benar—yang pertama kali dilakukannya saat bertemu denganku adalah
menginjak jari kakiku. “Hec, ini Tris. Tris, ini adikku, Hector.”
Saat mendengar namaku, Hector langsung mendongak dan
menatapku, dengan mulut ternganga.
“Senang bertemu denganmu,” sapaku.
“Kau Divergent,”
katanya. “Ibuku menyuruh menjauhimu karena kau mungkin berbahaya.”
“Yeah. Ia ini
Diverent besar yang mengerikan, dan bakal meledakkan kepalamu hanya dengan
kekuatan otaknya,” cemooh Lynn sambil menusuk di antara mata Hector dengan jari
telunjuknya. “Jangan bilang kau percaya
dongeng tentang Divergent itu.”
Wajah Hector memerah dan ia merenggut barang-barangnya dari
tumpukan di samping tempat tidur. Aku merasa menyesal karena menyebabkan ia
harus pindah hingga melihatnya menjatuhkan barang-barangnya beberapa ranjang
dari tempat kami. Ternyata ia tak perlu pergi jauh.
“Seharusnya aku yang begitu,” kataku. “Tidur di sana,
maksudku.”
“Aku tahu,” Lynn tersenyum lebar. “Hec pantas
mendapatkannya. Ia menyebut Zeke pengkhianat tepat di wajah Uriah. Bukan
berarti itu tidak benar, tapi bersikap berengsek seperti itu kan tak perlu. Aku
pikir Hector jadi begitu karena berada di Candor. Ia merasa seolah-olah bisa
mengatakan apa pun yang diinginkannya. Hei, Mar!”
Marlene melongok dari salah satu ranjang dan tersenyum lebar
ke arahku.
“Hei, Tris!” sapa Marlene. “Selamat datang. Apa, Lynn?”
“Bisakah kau meminta gadis-gadis yang lebih kecil memberikan
beberapa potong pakaian?” kata Lynn, “Tapi jangan gaun. Jins, pakaian dalam,
dan mungkin sepatu?”
“Tentu,” kata Marlene.
Aku meletakkan pisauku di samping ranjang bawah.
“‘Dongeng anak-anak’ apa yang kau bilang tadi?” tanyaku.
“Divergent.
Orang-orang dengan kekuatan otak istimewa? Yang benar saja.” Ia mengangkat
bahu. “Aku tahu kau memercayainya, tapi aku tidak.”
“Jadi, menurutmu kenapa aku sadar pada saat simulasi?”
tanyaku. “Atau bahkan benar-benar melawannya?”
“Aku rasa para pemimpin memilih orang secara acak, lalu
mengubah simulasinya untuk orang itu.”
“Kenapa mereka melakukan itu?”
Lynn menggerakkan tangannya di wajahku. “Mengalihkan
perhatian. Membuat orang terlalu sibuk mencemaskan tentang Divergent—seperti
ibuku—sehingga lupa mengkhawatirkan apa yang dilakukan para pemimpin. Semacam
jenis pengendalian pikiran yang lain.”
Lynn tidak menatap mataku dan menendan lantai marmer dengan
ujung sepatunya. Aku bertanya-tanya apakah ia ingat saat terakhir kali
pikirannya dikendalikan. Saat simulasi penyerangan itu.
Aku begitu sibuk dengan kejadian di faksi Abnegation
sehingga nyaris melupakan kejadian di faksi Dauntless. Ratusan Dauntless
terbangun dengan menyadari tanda hitam pembunuh tercoreng di dahi mereka, dan
mereka bahkan tidak memilih untuk melakukan itu.
Aku memutuskan untuk tidak membantah Lynn. Kalau ia ingin
percaya bahwa ada konspirasi pemerintah, kurasa aku tak bisa menggoyahkan
pendiriannya. Ia harus mengalaminya sendiri.
“Aku membawakan pakaian,” ujar Marlene yang tiba di depan
ranjang kami. Ia menyodorkan setumpuk pakaian hitam seukuran tubuhnya, yang
diberikannya kepadaku dengan air muka bangga. “Aku bahkan membuat kakakmu
merasa bersalah sehingga mau menyerahkan gaun, Lynn. Ia bawa tiga.”
“Kau punya kakak?” tanyaku kepada Lynn.
“Ya,” jawabnya. “umurnya delapan belas. Ia ada di kelas inisiasi
Four.”
“Siapa namanya?”
“Shauna,” jawab Lynn. Ia memandang Marlene. “Aku sudah bilang kepadanya dalam waktu dekat
ini tak akan ada orang yang memerlukan gaun, tampaknya ia tidak mendengarkan,
seperti biasanya.”
Aku ingat Shauna. Ia salah seorang yang menangkapku setelah
meluncur di kabel gantung.”
“Kurasa bertarung dengan gaun itu lebih mudah,” Marlene
berkomentar, sambil mengetuk-ngetuk dagunya. “Dengan gaun, kaki kita lebih
bebas bergerak. Lagi pula, siapa yang peduli jika orang-orang itu melihat
pakaian dalam kita sekilas, asalkan kita menghajar mereka?”
Lynn diam, seolah menganggap itu ide yang bagus tapi tak mau
mengakuinya.
“Apaan, nih, omong-omong soal menunjukkan pakaian dalam?”
tanya Uriah sambil melangkahi ranjang. “Apa pun itu, aku ikut.”
Marlene menonjok lengannya.
“Beberapa dari kami akan ke gedung Hancock malam ini,” kata
Uriah. “Kalian semua harus ikut. Kita berangkat pukul sepuluh.”
“Main seluncuran dari tali gantung?” tanya Lynn.
“Tidak. Mengamat-amati. Kami dengar faksi Erudite menyalakan
lampu sepanjang malam, sehingga memandang melalui jendela mereka jadi lebih
mudah. Melihat apa yang mereka kerjakan.”
“Aku ikut,” kataku.
“Aku juga,” timpal Lynn.
“Apa? Oh. Aku juga,” tambah Marlene sambil tersenyum kepada
Uriah. “Aku akan mengambil makanan. Ikut?”
No comments:
Post a Comment