Insurgent (Divergent #2) (29)

Penulis: Suzanne Collins

14

“Oke, apa yang kau lakukan di sini?” tanya suatu suara.

Aku sedang duduk di matras di salah satu koridor. Tadi aku ke sini untuk melakukan sesuatu,tapi begitu tiba aku lupa. Karena itulah, aku hanya duduk. Aku mendongak. Lynn. Aku mengenalnya pertama kali waktu ia menginjak jari kakiku di lift bangunan Hancock. Saat ini ia berdiri di depanku dengan alis terangkat. Rambutnya sudah lebih panjang—masih pendek sebenarnya, tapi aku tak bisa melihat kulit kepalanya lagi.

“Sedang duduk,” jawabku. “Kenapa?”

“Kau itu konyol, tahu.” Ia sudah mendesah. “Kuatkan dirimu. Kau itu dauntless, dan sudah saatnya kau bersikap seperti seorang Dauntless. Kau mencoreng nama baik kita di hadapan faksi Candor.”

“Memangnya apa yang kulakukan?”

“Kau bersikap seolah-olah tidak mengenal kami.”

“Aku cuma memikirkan Christina.”

“Christina.” Lynn mendengus. “Ia itu sedang mabuk cinta. Semua orang mati. Itulah yang terjadi dalam peperangan. Nanti juga ia bakal menyadarinya.”

“Yeah, semua orang mati, tapi biasanya bukan sahabatmu yang membunuh mereka.”

“Terserahlah.” Lynn mendesah dengan tak sabar. “Ayo.”

Karena tak menemukan alasan untuk menolak, aku bangkit dan mengikutinya menyusuri koridor-koridor. Lynn berjalan dengan cepat dan sulit mengimbangi kecepatannya.

“Di mana pacarmu yang menyeramkan itu?” tanyanya.

Bibirku mengerucut seolah baru mencicipi sesuatu yang masam. “Ia tidak menyeramkan.”

“Tentu saja tidak,” ujar Lynn sambil meringis.

“Aku tak tahu ia di mana.”

Lynn mengangkat bahu. “Yah, kau bisa memilihkan ranjang untuknya juga. Kami berusaha melupakan anak-anak Dauntless-Erudite keparat itu. Meneguhkan hati kembali.”

Aku tertawa. “Anak-anak Dauntless-Erudite keparat, ya?”

Lynn mendorong pintu hingga terbuka. Kami berdiri di ruangan besar terbuka yang membuatku teringat dengan lobi gedung ini. Tidak mengherankan, lantai di sini hitam dengan symbol putih besar di tengah ruangannya, tapi sebagian besarnya sudah ditutupi ranjang bertingkat. Pria, wanita, dan anak-anak Dauntless ada di mana-mana. Tak ada seorang Candor pun yang tampak.

Lynn membawaku ke sebelah kiri ruangan ke antara deretan ranjang bertingkat. Ia memandang anak laki-laki yang duduk di ranjang bawah—usianya beberapa tahun lebih muda daripada kami. Anak itu sedang berusaha melepaskan ikatan tali sepatunya.

“Hec,”  panggil Lynn, “cari ranjang lain.”

“Apa? Enak saja,” bantah anak itu tanpa mendongak. “Aku tak mau pindah lagi cuma karena kau ingin mengobrol pada malam hari dengan salah satu teman bodohmu.:

“Ia ini bukan temanku,” hardik Lynn. Aku nyaris tertawa. Lynn benar—yang pertama kali dilakukannya saat bertemu denganku adalah menginjak jari kakiku. “Hec, ini Tris. Tris, ini adikku, Hector.”

Saat mendengar namaku, Hector langsung mendongak dan menatapku, dengan mulut ternganga.

“Senang bertemu denganmu,” sapaku.

“Kau Divergent,” katanya. “Ibuku menyuruh menjauhimu karena kau mungkin berbahaya.”

Yeah. Ia ini Diverent besar yang mengerikan, dan bakal meledakkan kepalamu hanya dengan kekuatan otaknya,” cemooh Lynn sambil menusuk di antara mata Hector dengan jari telunjuknya. “Jangan bilang kau percaya dongeng tentang Divergent itu.”

Wajah Hector memerah dan ia merenggut barang-barangnya dari tumpukan di samping tempat tidur. Aku merasa menyesal karena menyebabkan ia harus pindah hingga melihatnya menjatuhkan barang-barangnya beberapa ranjang dari tempat kami. Ternyata ia tak perlu pergi jauh.

“Seharusnya aku yang begitu,” kataku. “Tidur di sana, maksudku.”

“Aku tahu,” Lynn tersenyum lebar. “Hec pantas mendapatkannya. Ia menyebut Zeke pengkhianat tepat di wajah Uriah. Bukan berarti itu tidak benar, tapi bersikap berengsek seperti itu kan tak perlu. Aku pikir Hector jadi begitu karena berada di Candor. Ia merasa seolah-olah bisa mengatakan apa pun yang diinginkannya. Hei, Mar!”

Marlene melongok dari salah satu ranjang dan tersenyum lebar ke arahku.

“Hei, Tris!” sapa Marlene. “Selamat datang. Apa, Lynn?”

“Bisakah kau meminta gadis-gadis yang lebih kecil memberikan beberapa potong pakaian?” kata Lynn, “Tapi jangan gaun. Jins, pakaian dalam, dan mungkin sepatu?”

“Tentu,” kata Marlene.

Aku meletakkan pisauku di samping ranjang bawah.

“‘Dongeng anak-anak’ apa yang kau bilang tadi?” tanyaku.

Divergent. Orang-orang dengan kekuatan otak istimewa? Yang benar saja.” Ia mengangkat bahu. “Aku tahu kau memercayainya, tapi aku tidak.”

“Jadi, menurutmu kenapa aku sadar pada saat simulasi?” tanyaku. “Atau bahkan benar-benar melawannya?”

“Aku rasa para pemimpin memilih orang secara acak, lalu mengubah simulasinya untuk orang itu.”

“Kenapa mereka melakukan itu?”

Lynn menggerakkan tangannya di wajahku. “Mengalihkan perhatian. Membuat orang terlalu sibuk mencemaskan tentang Divergent—seperti ibuku—sehingga lupa mengkhawatirkan apa yang dilakukan para pemimpin. Semacam jenis pengendalian pikiran yang lain.”

Lynn tidak menatap mataku dan menendan lantai marmer dengan ujung sepatunya. Aku bertanya-tanya apakah ia ingat saat terakhir kali pikirannya dikendalikan. Saat simulasi penyerangan itu.

Aku begitu sibuk dengan kejadian di faksi Abnegation sehingga nyaris melupakan kejadian di faksi Dauntless. Ratusan Dauntless terbangun dengan menyadari tanda hitam pembunuh tercoreng di dahi mereka, dan mereka bahkan tidak memilih untuk melakukan itu.

Aku memutuskan untuk tidak membantah Lynn. Kalau ia ingin percaya bahwa ada konspirasi pemerintah, kurasa aku tak bisa menggoyahkan pendiriannya. Ia harus mengalaminya sendiri.

“Aku membawakan pakaian,” ujar Marlene yang tiba di depan ranjang kami. Ia menyodorkan setumpuk pakaian hitam seukuran tubuhnya, yang diberikannya kepadaku dengan air muka bangga. “Aku bahkan membuat kakakmu merasa bersalah sehingga mau menyerahkan gaun, Lynn. Ia bawa tiga.”

“Kau punya kakak?” tanyaku kepada Lynn.

“Ya,” jawabnya. “umurnya delapan belas. Ia ada di kelas inisiasi Four.”

“Siapa namanya?”

“Shauna,” jawab Lynn. Ia memandang Marlene. “Aku sudah bilang kepadanya dalam waktu dekat ini tak akan ada orang yang memerlukan gaun, tampaknya ia tidak mendengarkan, seperti biasanya.”

Aku ingat Shauna. Ia salah seorang yang menangkapku setelah meluncur di kabel gantung.”

“Kurasa bertarung dengan gaun itu lebih mudah,” Marlene berkomentar, sambil mengetuk-ngetuk dagunya. “Dengan gaun, kaki kita lebih bebas bergerak. Lagi pula, siapa yang peduli jika orang-orang itu melihat pakaian dalam kita sekilas, asalkan kita menghajar mereka?”

Lynn diam, seolah menganggap itu ide yang bagus tapi tak mau mengakuinya.

“Apaan, nih, omong-omong soal menunjukkan pakaian dalam?” tanya Uriah sambil melangkahi ranjang. “Apa pun itu, aku ikut.”

Marlene menonjok lengannya.

“Beberapa dari kami akan ke gedung Hancock malam ini,” kata Uriah. “Kalian semua harus ikut. Kita berangkat pukul sepuluh.”

“Main seluncuran dari tali gantung?” tanya Lynn.

“Tidak. Mengamat-amati. Kami dengar faksi Erudite menyalakan lampu sepanjang malam, sehingga memandang melalui jendela mereka jadi lebih mudah. Melihat apa yang mereka kerjakan.”

“Aku ikut,” kataku.

“Aku juga,” timpal Lynn.


“Apa? Oh. Aku juga,” tambah Marlene sambil tersenyum kepada Uriah. “Aku akan mengambil makanan. Ikut?”

No comments:

Post a Comment