Insurgent (Divergent #2) (28)

Penulis: Suzanne Collins

Lalu, aku memikirkan Al.

Aku bertanya-tanya berapa lama Al berdiri di birai sebelum melemparkan diri melewatinya, memasuki The Pit di markas Dauntless.

Al pasti berdiri lama di sana, memerinci semua hal buruk yang dilakukannya—salah satunya adalah hampir membunuhku—lalu memerinci hal-hal baik, heroik, dan berani yang tidak dilakukannya, dan akhirnya memutuskan ia sudah lelah. Lelah, bukan hanya lelah menjalani hidup, tapi juga lelah ada. Lelah menjadi Al.

Aku membuka mata dan menatap kepingan-kepinan kursi yang terlihat samar-samar di bawah sana. Untuk pertama kalinya, aku merasa memahami Al. Aku lelah menjadi Tris. Aku telah melakukan hal-hal buruk. Aku tak bisa membatalkannya, dan semua itu sudah menjadi bagian diriku. Dan, sering kali semua itu terasa seperti diriku seutuhnya.

Aku memajukan tubuh ke udara sambil berpegangan ke tepi jendela dengan satu tangan. Beberapa senti lagi, maka berat badanku akan menarikku ke tanah. Aku tak akan bisa menghentikannya.

Tapi, aku tak melakukannya. Orangtuaku kehilangan nyawa mereka karena menyayangiku. Menghilangkan nyawaku tanpa alasan yang bagus adalah cara yang sangat buruk untuk membalas pengorbanan mereka, tak peduli apa yang telah kulakukan.

“Biarlah rasa bersalah mengajarkanmu bagaimana harus bersikap di lain waktu,” bagitulah yang biasanya ayahku katakan.

“Ibu sayang kamu. Apa pun yang terjadi,” begitulah yang ibuku katakana.

Sebagian dari diriku berharap bisa membakar mereka dari benakku, agar aku tak perlu meratapi mereka. Tapi, sebagian lainnya takut siapa aku jadinya tanpa mereka.

Pandanganku kabur akibat air mata. Aku menurunkan diriku kembali ke ruang interogasi.

***

Aku kembali ke perbetku pada pagi hari, dan Tobias sudah bangun. Ia berbalik dan berjalan ke lift. Aku mengikutinya karena tahu itulah yang diinginkannya. Kami berada di dalam lift, bersebelahan. Aku mendengar dengingan di telingaku.

Lift itu tiba di lantai dua. Aku mulai gemetar. Awalnya dari tanganku, lalu merambat ke lengan dan dadaku, hingga getaran itu menjalar ke seluruh tubuhku dan aku tak bisa menghentikannya. Kami berdiri di antara lift, tepat di atas symbol Candor lain, timbangan yang miring. Simbol  itu juga ada di bagian tengah punggung Tobias.

Ia tidak memandangku untuk waktu yang lama. Tobias berdiri dengan lengan bersilang dan kepala menunduk sampai aku tak tahan lagi, sampai aku merasa ingin menjerit. Aku harus mengucapkan sesuatu, tapi tak tahu harus berkata apa. Aku tak bisa minta maaf, karena yang kukatakan itu kebenaran, dan aku tak bisa mengubah kebenaran menjadi kebohongan. Aku tak bisa memberikan alasan.

“Kau tidak mengatakannya kepadaku,” ujar Tobias. “Kenapa?”

“Karena aku tidak ….” Aku menggeleng. “Aku tak tahu caranya.”

Ia memberengut. “Itu cukup mudah, Tris—”

“Oh, ya,” kataku sambil mengangguk. “Itu sangat mudah. Aku hanya perlu menghampirimu dan berkata, ‘Tahu tidak? Aku menembak Will dan sekarang rasa bersalah mencabik-cabikku. Nah, kita sarapan apa?’ Begitu, kan? Begitu, kan?” Tiba-tiba semuanya terasa terlalu berat, terlalu berat untuk kupikul. Air mata menggenangi mataku dan aku membentak, “Kenapa kau tidak mencoba membunuh seorang sahabatmu dan menghadapi konsekuensinya?”

Aku menutup wajahku dengan tangan. Aku tak ingin Tobias melihatku menangis lagi. Ia menyentuh bahuku.

“Tris,” panggil Tobias, kali ini dengan lembut. “Maaf. Seharusnya aku tak berpura-pura mengerti. Aku cuma ingin ….” Ia terdiam sebentar. “Aku berharap kau cukup memercayaiku untuk menceritakan hal-hal yang seperti itu.”

Aku memang memercayaimu, itulah yang ingin kukatakan. Tapi itu tidak benar. Aku tak yakin Tobias akan tetap mencintaiku walaupun aku telah melakukan hal-hal buruk. Aku tak percaya ada oran yan mau melakukan itu. Tapi itu bukan masalah Tobias. Itu masalahku.

“Maksudku,” lanjut Tobias, “aku baru tahu dari Caleb bahwa kau hampir tenggelam di tangki air. Apakah menurutmu itu tidak sedikit aneh?”

Tepat pada saat aku mau minta maaf.

Aku menyeka pipiku keras-keras dengan jari-jariku dan menatap Tobias.

“Ada yang lebih aneh,” kataku, berusaha agar suaraku santai. “Seperti mengetahui bahwa ibu pacarmu yang seharus sudah mati ternyata masih hidup dengan melihatnya sendiri. Atau, mendengar rencananya untuk bersekutu dengan factionless, tapi ia tak pernah menceritakannya kepadamu. Menurutku itu tampaknya agak aneh.”

Tobias menarik tangannya dari bahuku.

“Jangan pura-pura cuma aku yang punya masalah,” kataku. “Kalau aku tak percaya padamu, kau sendiri juga tak percaya padaku.”

“Aku pikir pada akhirnya kita jua akan membahas itu,” tukas Tobias. “Apakah aku harus langsung menceritakan semuanya padamu?”

Aku merasa begitu frustrasi sampai-sampai tak bisa mengucapkan sepatah kata pun selama sesaat. Pipiku panas.

“Sialan, Four!” aku membentak. “Kau tak perlu menceritakan semuanya kepadaku secepatnya, tapi aku harus menceritakan semuanya kepadamu secepatnya? Apa kau tak bisa melihat betapa konyolnya itu?”

“Pertama-tama, tolong janan gunakan nama itu sebagai senjata untuk melawanku,” hardiknya sambil menunjukku. “Keuda, aku tidak membuat rencana untuk bersekutu dengan factionless. Aku hanya mempertimbangkannya. Aku pasti akan memberitahumu kalau sudah membuat keputusan. Dan ketiga, ini akan berbeda kalau kau meman berniat untuk memberitahuku tentang Will, tapi jelas kau tak berniat untuk itu.”

“Aku memang memberitahumu tentang Will!” kataku. “Itu bukan serum kejujuran. Itu aku. Aku mengatakannya karena aku memilih untuk itu.”

“Apa maksudmu?”

“Aku sadar. Di bawah pengaruh serum itu. Aku bisa berbohong. Aku dapat merahasiakannya darimu. Tapi, aku tidak melakukannya karena kupikir kau harus mengetahui kebenarannya.”

“Itu cara yang bagus untuk memberitahuku!” kata Tobias sambil merengut. “Di depan lebih dari seratus orang! Betapa pribadinya!”

“Oh, jadi memberitahumu saja tidak cukup, ya? Tempatnya juga harus bagus, ya?” Aku mengangkat alis. “Apakah lain kali aku juga harus membuat teh dan memastikan pencahayaannya pas?”

Tobias mengerang frustrasi dan berbalik, lalu berjalan beberapa langkah menjauhiku. Saat berbalik kembali, pipinya bebercak-bercak. Aku tak ingat pernah melihat wajahnya berubah warna.

“Kadang-kadang,” ujarnya pelan, “menghadapimu itu sulit sekali, Tris.” Ia memalingkan muka.

Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku tahu itu memang tidak mudah, tapi aku tak akan bisa melewati mingu terakhir ini tanpa dirinya. Namun, aku hanya memelototinya, jantungku berdetak di telingaku.

Aku tak sanggup mengatakan aku membutuhkannya. Aku tak bisa membutuhkannya, titik—atau sebenarnya, kami tak bisa saling membutuhkan, karena siapa tahu berapa lama kami bertahan hidup dalam perang ini?

“Maaf,” kataku. Kemarahanku sudah lenyap. “Seharusnya aku jujur padamu.”

“Cuma itu? Cuma itu yang ingin kau katakana?” ia mengernyit.

“Kau mau aku mengakatan apa lagi?”

Tobias hanya menggeleng. “Tak ada, Tris. Tak ada.”

Aku memandangnya berlalu. Aku merasa ada lubang di dalam diriku, yang membesar dengan begitu cepatnya hingga bisa membuatku hancur.[]



No comments:

Post a Comment