Insurgent (Divergent #2) (27)

Penulis: Suzanne Collins

Will, dengan kerutan di antara alisnya, dengan mata hijau seperti seledri, dan kemampuan untuk mengutip manifesto Dauntless dari ingatannya. Aku merasa perutku begitu sakit sampai-sampai nyaris mengerang. Mengingat Will itu menyakitkan. Menyakiti setiap bagian diriku.

Lalu ada yang lain, sesuatu yang lebih buruk dan tak kusadari sebelumnya. Aku rela mati daripada membunuh Tobias, tapi gagasan itu tak pernah terpikirkan olehku saat menghadapi Will. Hanya dalam waktu sepersekian detik, aku memutuskan untuk membunuh Will.

Aku merasa telanjang. Aku tak sadar selama ini menggunakan rahasiaku itu sebagai tameng, sebelum terungkap. Sekarang, semua orang memandangku apa adanya.

“Terima kasih atas kejujuranmu,” kata mereka.

Tapi, Christina dan Tobias tidak mengucapkan apa pun.[]

13

Aku bangkit dari kursi. Aku tidak merasa sepusing tadi, pengaruh serum itu sudah memudar. Orang-orang tampak doyong, dan aku mencari pintu. Aku tak biasa melarikan diri, tapi aku akan melarikan diri dari ini.

Semua orang mulai berbaris keluar seperti Christina. Ia berdiri di tempatku meninggalkannya tadi, tangannya mengepal dan sedang dalam proses membuka. Matanya menatapku tapi tak memandangku. Air mata menggenangi matanya, tapi ia tidak menangis.

“Christina,” kataku, tapi kata yang terpikirkan olehku—Maaf—terasa seperti ejekan dan bukan permintaan maaf. Maaf itu saat sikumu mengenai seseorang, saat kau menyela seseorang. Perasaanku lebih daripada itu.

“Will punya pistol,” aku menjelaskan. “Ia akan membunuhku. Ia dibawah pengaruh simulasi.”

“Kau membunuhnya,” kata Christina. Kata-katanya terasa lebih besar daripada biasanya, seolah-olah membesar di mulutnya sebelum ia mengucapkannya. Ia memandangku selama beberapa saat seakan tidak mengenaliku, lalu pergi.

Seorang gadis yang lebih muda dengan tinggi tubuh serta warna kulit yang sama dengannya meraih tangannya—adik Christina. Aku melihatnya pada Hari Kunjungan, seribu tahun lalu. Serum kejujuran membuat mereka seakan berenang di hadapanku, atau mungkin itu karena air mata yang menggenang di mataku.

“Kau baik-baik saja?” tanya Uriah yang muncul dari kerumunan untuk menyentuh bahuku. Aku belum bertemu dengannya sejak serangan simulasi, tapi saat ini aku tak punya tenaga untuk menyapanya.

Yeah.”

“Hei,” ia meremas bahuku. “Kau melakukan apa yang harus dilakukan, kan? Menyelamatkan kami dari menjadi budak Erudite. Christina akan mengerti itu, pada akhirnya. Setelah kesedihannya reda.”

Aku bahkan tak sanggup mengangguk. Uriah tersenyum kepadaku dan berlalu. Sejumlah Dauntless melewatiku sambil menggumamkan kata-kata yang terdengar seperti ucapan terima kasih, atau pujian, atau kata-kata untuk menentramkan hati. Yang lain memperlihatkan wajah berduka, memandangku sambil menyipitkan mata curiga.

Tubuh-tubuh berpakaian hitam itu tampak meluber di hadapanku. Aku kosong. Segalanya telah ditumpakan keluar dari diriku.

Tobias berdiri di sampingku. Aku menguatkan diri untuk menghadapi reaksinya.

“Aku mendapatkan senjata kita kembali,” katanya sambil mengembalikan pisauku.

Aku memasukkannya ke saku belakang tanpa menatap mata Tobias.

“Kita bisa membahas ini besok,” katanya. Dengan tenang. Namun, tenang itu bahaya jika menyangkut Tobias.

“Oke.”

Ia merangkul bahuku. Tanganku bergerak ke pinggulnya dan aku menariknya ke dekatku.

Aku berpegangan erat sementara kami berjalan bersama menuju lift.

***

Tobias mendapatkan dua pelbet untuk kami di ujung suatu koridor. Kami berbaring dengan kepala hanya berjarak beberapa senti, tanpa bicara.

Saat sudah yakin Tobias tidur, aku menyelinap keluar dari selimut dan berjalan menyusuri koridor, melewati selusinan Dauntless yang sedang tidur. Aku menemukan pintu yang mengarah ke tangga.

Ketika menaikinya, saat ototku mulai panas dan paru-paruku berjuang mendapatkan udara, untuk pertama kalinya sejak beberapa hari aku merasakan kelegaan.

Aku mungkin pintar berlari di tanah yang datar, tapi menaiki tangga itu berbeda. Aku memijat kejang di urat lututku sambil berlari melewati lantai dua belas, dan berusaha mendapatkan udara. Aku meringis saat merasakan kakiku yang panas dan juga dadaku. Menggunakan rasa sakit untuk meredakan rasa sakit. Tak masuk akal.

Saat tiba di lantai delapan belas, kakiku seolah mencair. Aku terhuyung-huyung ke ruangan tempat interogasi tadi. Ruangan itu sudah kosong, tapi bangku teaternya masih ada, begitu juga dengan kursi yang tadi kududuki. Bulan bersinar di balik kabut awan.

Aku meletakkan tanganku di punggung kursi. Rasanya sederhana: dari kayu dan agak berderit. Aneh sekali karena sesuatu yang begitu sederhana bisa punya peranan dalam keputusanku untuk menghancurkan salah satu hubungan penting yang kumiliki, dan merusak yang lainnya.

Tindakanku membunuh Will itu sangat buruk, aku tidak berpikir cukup cepat untuk menemukan solusi lain. Sekarang, aku harus hidup dengan penilaian semua orang dan juga penilaianku sendiri, juga kenyataan bahwa semuanya—termasuk aku—tak akan tetap sama seperti dulu.

Faksi Candor menyanyikan pujian terhadap kebenaran, tapi mereka tak pernah member tahu berapa besar harganya.

Tepi kursi itu menyakiti telapak tanganku. Aku meremasnya terlalu kuat daripada yang kukira. Aku menunduk memandangi kursi itu sebentar, lalu mengangkatnya, membawanya dengan bahuku yang sehat. Aku mencari tangga di tepi ruangan agar bisa memanjat. Yang kulihat hanyalah bangku amfiteater, yang tinggi di atas lantai.

Aku berjalan ke bangku tertinggi, lalu mengangkat kursi tadi ke atas kepalaku. Kursi itu hanya menyentuh birai bawah salah satu jendela. Aku melompat sambil mendorong kursi ke depan dan benda itu meluncur ke birai tadi. Bahuku sakit—aku seharusnya tidak menggunakan lenganku—tapi ada hal lain di benakku.

Aku melompat, meraih birai, lalu mengangkat tubuhku. Lenganku gemetar. Aku mengayunkan kaki ke atas dan menyeret tubuhku ke atas birai itu. Saat tiba di atas, aku berbaring sebentar sambil menarik napas dan mengembuskannya lagi.

Aku berdiri di birai, di bawah lengkungan yang dulunya jendela, dan menatap ke luar ke arah kota. Sungai mati meliuk di sekeliling bangunan ini dan menghilang. Jembatannya, yang cat merahnya terkelupas, membentang di atas lumpur. Di seberang jembatan ada bangunan-bangunan, yang sebagian besarnya kosong. Sulit dipercaya bahwa pernah ada cukup manusia di kota ini untuk mengisi bangunan-bangunan itu.

Selama sesaat, aku membiarkan diriku mengingat interogasi tadi. Wajah Tobias yang datar. Kemarahannya setelah itu, yang ditekan demi kewarasanku. Tatapan kosong Christina. Bisikan, “Terima kasih atas kejujuranmu.” Kata-kata itu mudah di ucapkan karena apa yang kulakukan tidak berdampak apa pun pada mereka.

Aku meraih kursi dan melemparkannya ke atas birai. Teriakan pelan keluar dari mulutku. Yang kemudian menjadi keras dan berubah jadi jeritan. Lalu, aku berdiri di birai Merciless Mart, menjerit saat kursi itu meluncur ke tanah, berteriak hingga kerongkonganku kering. Kursi itu menghantam tanah, dan hancur lebur seperti rangka yang rapuh. Aku duduk di birai itu, bersandar ke salah satu sisi bingkai jendela, dan menutup mata.



No comments:

Post a Comment