Insurgent (Divergent #2) (25)

Penulis: Suzanne Collins

“Sekarang,” lanjutnya. “Saat kau berkata ‘mampu melawan simulasi’, apa yang kau maksud?”

“Biasanya, itu artinya kami sadar sedang berada dalam simulasi,” jelas Tobias. Kali ini tampak lebih tenang karena menjawab pertanyaan secara apa adanya tanpa emosi. Saat ini ia terdengar seperti tidak berada di bawah pengaruh serum kejujuran itu, walaupun sikap tubuhnya yang membungkuk dan matanya yang berkeliaran menunjukkan sebaliknya. “Namun, simulasi penyerangan itu berbeda. Simulasi menggunakan serum simulasi yang berbeda, serum dengan pemancar jarak jauh. Terbukti pemancar jarak jauh itu juga tidak berfungsi pada Divergent, karena pada pagi harinya aku terbangun dengan pikiranku sendiri.”

“Kau bilang, kau tidak berada dalam pengaruh simulasi, pada awalnya. Bisakah kau menjelaskan apa maksudmu?”

“Maksudku, saat aku ditemukan dan dibawa ke Jeanine, ia menyuntikkan jenis serum simulasi yang secara khusus ditargetkan untuk Divergent. Aku sadar selama simulasi yang itu, tapi itu tak banyak gunanya.”

“Video dari markas Dauntless memperlihatkan bahwa kau yang menjalankan simulasi itu,” ujar Niles dengan muram. “Bagaimana kau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi?”

“Saat simulasi berjalan, mata kita masih melihat dan memproses apa yang terjadi di dunia nyata, tapi otak kita tidak lagi memahaminya. Namun pada tingkatan tertentu, otak kita masih tahu apa yang kita lihat dan di mana kita berada. Pada dasarnya, simulasi baru ini merekam respons emosionalku terhadap stimulus dari luar,” jelas Tobias sambil menutup matanya selama beberapa detik, “dan bereaksi dengan mengubah penampilan stimulus tersebut. Simulasi itu membuat lawanku jadi kawan, dan kawanku jadi lawan. Dalam pikiranku, aku sudah mematikan simulasi itu. Namun yang sebenarnya terjadi adalah, aku menerima instruksi untuk terus menjalankannya.”

Christina mengangguk-angguk sepanjang penjelasan Tobias. Aku merasa lebih tenang saat melihat banyak orang yang juga melakukan itu. Inilah sisi baik dari serum kejujuran, aku menyadari. Denan begini, kesaksian Tobias tak dapat dibantah.

“Kami sudah melihat video mengenai apa yang akhirnya terjadi padamu di ruang kendali,” lanjut Niles, “tapi video itu membingungkan. Tolong jelaskan itu kepada kami.”

“Seseorang memasuki ruangan. Aku pikir ia itu prajurit Dauntless yang ingin menghentikanku menghancurkan simulasi. Aku melawannya, lalu …” Tobias merengut, berusaha melawan. “…lalu ia berhenti, sehingga aku bingung. Bahkan, kalaupun aku sadar aku akan tetap bingung. Kenapa ia menyerah? Kenapa ia tidak membunuhku?”

Matanya mencari-cari di kerumunan hingga menemukan wajahku. Jantungku berdetak di kerongkongan, di pipiku.

“Aku masih tak mengerti,” ujar Tobias dengan lembut, “bagaimana ia tahu itu bisa berhasil.”

Di ujung jariku.

“Kupikir konflik emosi yang kualami itu mengacaukan simulasi tersebut,” lanjut Tobias. “Lalu, aku mendengar suaranya. Dan, entah bagaimana itu membuatku bisa melawan simulasi tersebut.”

Mataku panas. Selama ini aku berusaha untuk tidak mengingat momen itu, ketika kupikir ia sudah meninggalkanku dan aku akan mati, ketika yang ingin kulakukan hanyalah merasakan detak jantungnya. Saat ini pun aku berusaha untuk tidak memikirkannya. Aku berkedip untuk menghilangkan air mata dari mataku.

“Akhirnya, aku mengenalinya,” lanjut Tobias. “Kami kembali ke ruang kendali dan menghentikan simulasi itu.”

“Siapa nama orang itu?”

“Tris,” jawab Tobias. “Maksudku, Beatrice Prior.”

“Apakah kau sudah mengenalnya sebelum kejadian tersebut?”

“Ya.”

“Bagaimana?”

“Dulu aku instrukturnya,” jawab Tobias. “Sekarang, kami pacaran.”

“Aku punya pertanyaan terakhir,” lanjut Niles. “Di faksi Candor, sebelum seseorang diterima dalam komunitas kami, ia harus mengungkapkan dirinya sepenuhnya. Mengingat buruknya keadaan saat ini, kami juga mengharuskanmu melakukan itu. Jadi, Tobias Eaton: apa penyesalan terbesarmu?”

Aku memandang Tobias, dari sepatu kets-nya yang usang ke jari-jarinya yang panjang hingga alisnya yang lurus.

“Aku menyesali …” Tobias memiringkan kepalanya dan menghela napas. “Aku menyesali pilihanku.”

“Pilihan apa?”

“Dauntless,” jawab Tobias. “Aku dilahirkan untuk faksi Abnegation. Aku berniat meninggalkan faksi dan menjadi factionless. Tapi kemudian, aku bertemu dengan dirinya, dan … aku merasa mungkin bisa melakukan lebih banyak dengan pilihanku itu.”

Dirinya.

Selama sesaat, aku merasa seolah memandang orang yang berbeda, yang duduk dengan mengenakan kulit Tobias, yang hidupnya ternyata tidak semudah dugaanku. Ia ingin meninggalkan faksi Dauntless, tapi ia tinggal karena aku. Ia tak pernah menceritakan itu kepadaku.

“Memilih faksi Dauntless untuk menghindari ayahku adalah tindakan pengecut,” katanya. “Aku menyesali tindakan pengecut itu. Itu artinya aku tak layak berada di faksiku. Aku akan selalu menyesalinya.”

Aku mengira para Dauntless akan berteriak marah, mungkin malah menerjang ke kursi Tobias dan memukulinya sampai babak belur. Mereka mampu melakukan yan lebih parah dari itu. Tapi tidak. Mereka hanya berdiri diam membisu, dengan wajah membatu, sambil menatap pemuda yang tidak mengkhianati mereka tapi tak pernah benar-benar merasa layak berada bersama mereka.

Selama sesaat, kami semua diam. Aku tak tahu siapa yang mulai berbisik—bisikan itu seolah berasal dari ketiadaan, datang dari entah siapa. Tapi seseorang berbisik, “Terima kasih atas kejujuranmu,” dan yang lainnya mengikuti.

“Terima kasih atas kejujuranmu,” bisik mereka.

Aku tidak ikut.

Aku adalah satu-satunya yang menyebabkan Tobias bertahan di faksi yang ingin ditinggalkannya. Aku tak layak untuk itu.

Mungkin ia berhak tahu.

***

Niles berdiri di tenah ruangan sambil memegang jarum suntik. Lampu di atasnya membuat jarum itu berkilau. Di sekelilingku, para Dauntless dan Candor menungguku untuk melangkah maju dan mengungkapkan seluruh hidupku di hadapan mereka.

Pikiran itu kembali lagi: Mungkin aku bisa melawan serum itu. Tapi, aku tak tahu apakah harus mencobanya. Mungkin lebih baik bagi orang-orang yang kusayangi kalau aku berterus terang.

Aku berjalan dengan kaku ke tengah ruangan saat Tobias beranjak dari sana. Saat kami berpapasan, ia meraih tanganku dan meremas jari-jariku. Lalu, ia pergi dan tinggallah aku, Niles, serta jarum suntik itu. Aku menyeka samping leherku dengan antiseptic, tapi saat Niles mengulurkan tangannya yang memegang alat suntik, aku menarik diri.

“Aku lebih suka melakukannya sendiri,” kataku sambil mengulurkan tangan. Aku tak akan pernah membiarkan orang lain menyuntikku, tidak setelah membiarkan Eric menyuntikku dengan serum simulasi penyerangan setelah tes finalku. Tentu saja isi alat suntik itu tak bisa kuganti walaupun aku menyuntikkannya sendiri, tapi setidaknya dengan begini, aku sendirilah yang menyebabkan kehancuranku.

“Kau tahu caranya?” tanya Niles sambil mengangkat alisnya yan tebal.

“Ya.”

Niles memberikan alat suntik itu kepadaku. Aku meletakkannya di atas pembuluh darah leherku, menusukkan jarumnya, lalu menekannya. Aku nyaris tidak merasakan sakitnya. Aku terlalu dipengaruhi adrenalin.

Seseorang menghampiri sambil membawa tempat sampah dan aku melemparkan jarum suntik itu ke sana. Setelah itu, efek serum tersebut langsung terasa. Serum itu membuat darah di pembuluh darahku seperti timah. Aku nyaris roboh saat berjalan ke kursi—Niles harus meraih lenganku dan menuntunku ke sana.



No comments:

Post a Comment