Penulis: Suzanne
Collins
Tobias meremas tanganku, lalu melepaskannya. Aku berdiri
bersama Christina di tepi simbol Candor. Udara di ruangan itu hangat—lembap,
udara musim panas, udara sore—tapi aku merasa dingin.
Niles membuka kotak hitam itu. Di dalamnya ada dua jarum
suntik, satu untuk Tobias dan satu untukku. Ia juga mengambil kapas antiseptik
dari sakunya dan memberikan benda itu kepada Tobias. Kami tidak repot-repot
melakukan itu di faksi Dauntless.
“Ini akan disuntikkan ke lehermu,” Niles menjelaskan.
Saat Tobias menyekakan antiseptik itu kek kulitnya, aku
hanya mendengar angin. Niles mendekat dan menusukkan jarum itu ke leher Tobias,
memasukkan cairan putih kebiruan ke pembuluh darahnya. Terakhir kali aku
melihat sesuatu disuntikkan ke tubuh Tobias, orang yang melakukannya adalah
Jeanine, menyebabkan Tobias berada di bawah kendali simulasi baru yang cukup
efektif, bahkan untuk seorang Divergent—atau begitulah yang diyakininya. Saat
itu aku mengira telah kehilangan Tobias untuk selamanya.
Aku bergidik.[]
12
“Aku akan mengajukan serangkaian pertanyaan sederhana agar
kau terbiasa saat serum itu bekerja sepenuhnya,” ujar Niles. “Nah. Siapa
namamu?”
Tobias duduk dengan bahu membungkuk dan kepala menunduk,
seolah tubuhnya terlalu berat untuknya. Ia cemberut dan menggeliat di kursinya,
lalu melalui gigi terkatup berkata, “Four.”
Mungkin serum kejujuran tidak memungkinkan seseorang yang
ada dalam pengaruhnya berbohong, tapi memilih versi kebenaran yang dikatakan:
Four adalah namanya, tapi itu bukan namanya.
“Itu nama panggilan,” kata Niles. “Siapa namamu yang
sebenarnya?”
“Tobias,” jawabnya.
Christina menyikutku. “Kau tahu itu?”
Aku mengangguk.
“Siapa nama orangtuamu, Tobias?”
Tobias membuka mulut untuk menjawab, lalu mengatupkan
rahangnya seolah mencegah kata-katanya keluar.
“Apa hubungannya?” tanya Tobias.
Para Candor di sekitarku saling bergumam, beberapa cemberut.
Aku mengangkat alis ke arah Christina.
“Sangat sulit untuk tidak langsung menjawab pertanyaan saat
seseorang di bawah pengaruh serum kejujuran,” jelasnya. “Ini artinya ia
memiliki tekad yang sangat kuat. Dan mungkin sesuatu yang ingin disembunyikan.”
“Mungkin tadinya ini tak ada hubungannya, Tobias,” kata
Niles, “tapi sekarang ada karena kau menolak menjawab pertanyaan itu. Nama
orangtuamu, tolong.”
Tobias menutup mata. “Evelyn dan Marcus Eaton.”
Nama keluarga hanyalah tambahan untuk identifikasi, hanya
berguna untuk mencegah kebingungan dalam catatan resmi. Saat kami menikah,
salah satu pasangan hidup harus mengikuti nama keluarga pasangannya, atau
keduanya harus memilih nama keluarga yang baru. Walaupun kami boleh membawa
nama keluarga asal ke faksi, kami jarang menyebutkannya.
Tapi, semua orang mengenali nama keluarga Marcus. Aku tahu
itu dari kegaduhan di ruangan setelah Tobias bicara. Semua anggota Candor tahu
Marcus adalah pejabat pemerintah yang paling berpengaruh, dan sebagian dari
mereka pasti sudah membaca artikel yang Jeanine terbitkan mengenai kekejaman
Marcus terhadap putranya. Dari berbagai hal yang Jeanine sampaikan, itu salah
satu hal yang benar. Dan sekarang, semua orang tahu Tobias adalah anak itu.
Tobias Eaton adalah nama yan berpengaruh.
Niles menunggu hingga suasana hening, lalu melanjutkan.
“Jadi kau ini pindahan faksi, ya?”
“Ya.”
“Kau pindah dari Abnegation ke Dauntless?”
“Ya,” bentak
Tobias. “Bukannya sudah jelas?”
Aku menggigit bibir. Ia harus tenang. Ia sudah mengungkapkan
terlalu banyak. Semakin Tobias enggan menjawab pertanyaan, semakin Niles ingin
mendengar jawabannya.
“Salah satu tujuan interogasi ini adalah untuk menentukan
loyalitasmu,” jelas Niles, “jadi aku harus bertanya: Mengapa kau pindah?”
Tobias memelototi Niles dan menutup mulutnya. Detik-detik
berlalu dalam keheningan. Semakin lama Tobias berusaha melawan serum itu,
semakin sulit tampaknya itu baginya. Warna meronai pipinya dan napasnya semakin
kencang serta berat. Dadaku sakit demi dirinya. Seharusnya perincian masa
kecilnya tetap di dalam benaknya, jika ia menginginkannya di sana. Faksi Candor
benar-benar tanpa ampun dalam mengorek itu darinya, merenggut kebebasannya.
“Ini mengerikan,” ucapku dengan penuh emosi kepada
Christina. “Salah.”
“Apa?” katanya. “Itu pertanyaan sederhana.”
Aku menggeleng. “Kau tak mengerti.”
Christina tersenyum sedikit ke arahku. “Kau benar-benar peduli
padanya.”
Aku terlalu sibuk menonton Tobias untuk tak menjawab.
Niles melanjutkan. “Aku akan bertanya lagi. Penting bagi
kami untuk memahami sampai mana loyalitasmu terhadap faksi yang kau pilih.
Jadi, mengapa kau pindah ke Dauntless, Tobias?”
“Untuk melindungi diriku,” jawab Tobias. “Aku pindah untuk
melindungi diriku.”
“Melindungi dirimu dari apa?”
“Dari ayahku.”
Semua obrolan di ruangan itu berhenti. Keheningan yang
timbul lebih parah dibandingkan gumamann tadi. Aku berharap Niles terus mengorek,
tapi tidak.
“Terima kasih atas kejujuranmu,” ujar Niles. Para Candor
mengulangi kalimat itu dengan pelan. Di sekitarku terdengar “Terima kasih atas
kejujuranmu” dalam berbagai volume dan nada, dan rasa marahku memudar.
Bisikan-bisikan itu seolah menyambut Tobias, merangkulnya dan kemudian
mengenyahkan rahasia tergelapnya.
Mungkin bukan kekejaman, melainkan keinginan untuk
mengertilah yang memotivasi mereka. Namun, itu tak mengurangi rasa takutku
menghadapi serum kejujuran.
“Apakah kesetiaanmu ada pada faksimu yang sekarang, Tobias?”
tanya Niles.
“Kesertiaanku ada pada orang-orang yang tidak mendukung
penyerangan terhadap faksi Abnegation,” jawab Tobias.
“Omong-omong,” kata Niles, “kurasa kita harus memusatkan
perhatian pada kejadian hari itu. Apakah kau ingat berada dalam pengaruh
simulasi?”
“Awalnya aku tidak berada di bawah pengaruh simulasi,” ujar
Tobias. “Simulasinya tidak bekerja.”
Niles tertawa kecil. “Apa maksudmu simulasinya tidak bekerja?”
“Salah satu cirri khas Divergent adalah benak mereka mampu
melawan simulasi,” jelas Tobias. “Aku ini Divergent. Jadi, simulasinya tidak
bekerja.”
Beberapa orang menggumam. Christina menyikutku.
“Kau juga?” tanyanya, di dekat telingaku sehingga tetap
pelan. “Karena itukah kau sadar?”
Aku memandangnya. Aku sudah menghabiskan bulan-bulan
terakhir ini dengan merasa takut terhadap kata “Divergent”, khawatir ada yang
tahu apa aku sebenarnya. Tapi, aku tak akan bisa lagi merahasiakannya. Aku
mengangguk.
Matanya seolah-olah membesar dan memenuhi rongga matanya,
begitulah besarnya. Aku kesulitan mengenali ekspresinya. Kaget? Takut?
Kagum?
“Kau tahu apa artinya itu?” tanyaku.
“Aku mendengarnya ketika masih kecil,” bisik Christina
dengan khidmat.
Jelas ini rasa kagum.
“Seolah itu kisah khayalan,” katanya. “’Ada orang-orang
dengan kekuatan istimewa di antara kita!’ Seperti itu.”
“Yah, ini bukan fantasi, dan tidak sehebat itu,” kataku.
“Ini seperti berada di simulasi Ruang Ketakutan—kau sadar berada di sana dan
bisa memanipulasinya. Bagiku, seperti itulah rasanya ketika berada dalam setiap
simulasi lainnya.”
“Tapi Tris,” kata Christina sambil memegang sikuku. “Itu mustahil.”
Di tengah ruangan, Niles mengangkat tangan dan berusaha
menyuruh orang-orang diam. Namun, terlalu banyak bisikan—sebagian dengan sikap
permusuhan, sebagian takut, dan sebagian lagi kagum, seperti Christina.
Akhirnya, Niles berdiri dan berseru, “Kalau kalian tidak diam, kalian akan
diminta pergi!”
Akhirnya, semua orang diam. Niles duduk.
No comments:
Post a Comment