Insurgent (Divergent #2) (24)

Penulis: Suzanne Collins

Tobias meremas tanganku, lalu melepaskannya. Aku berdiri bersama Christina di tepi simbol Candor. Udara di ruangan itu hangat—lembap, udara musim panas, udara sore—tapi aku merasa dingin.

Niles membuka kotak hitam itu. Di dalamnya ada dua jarum suntik, satu untuk Tobias dan satu untukku. Ia juga mengambil kapas antiseptik dari sakunya dan memberikan benda itu kepada Tobias. Kami tidak repot-repot melakukan itu di faksi Dauntless.

“Ini akan disuntikkan ke lehermu,” Niles menjelaskan.

Saat Tobias menyekakan antiseptik itu kek kulitnya, aku hanya mendengar angin. Niles mendekat dan menusukkan jarum itu ke leher Tobias, memasukkan cairan putih kebiruan ke pembuluh darahnya. Terakhir kali aku melihat sesuatu disuntikkan ke tubuh Tobias, orang yang melakukannya adalah Jeanine, menyebabkan Tobias berada di bawah kendali simulasi baru yang cukup efektif, bahkan untuk seorang Divergent—atau begitulah yang diyakininya. Saat itu aku mengira telah kehilangan Tobias untuk selamanya.

Aku bergidik.[]

12

“Aku akan mengajukan serangkaian pertanyaan sederhana agar kau terbiasa saat serum itu bekerja sepenuhnya,” ujar Niles. “Nah. Siapa namamu?”

Tobias duduk dengan bahu membungkuk dan kepala menunduk, seolah tubuhnya terlalu berat untuknya. Ia cemberut dan menggeliat di kursinya, lalu melalui gigi terkatup berkata, “Four.”

Mungkin serum kejujuran tidak memungkinkan seseorang yang ada dalam pengaruhnya berbohong, tapi memilih versi kebenaran yang dikatakan: Four adalah namanya, tapi itu bukan namanya.

“Itu nama panggilan,” kata Niles. “Siapa namamu yang sebenarnya?”

“Tobias,” jawabnya.

Christina menyikutku. “Kau tahu itu?”

Aku mengangguk.

“Siapa nama orangtuamu, Tobias?”

Tobias membuka mulut untuk menjawab, lalu mengatupkan rahangnya seolah mencegah kata-katanya keluar.

“Apa hubungannya?” tanya Tobias.

Para Candor di sekitarku saling bergumam, beberapa cemberut. Aku mengangkat alis ke arah Christina.

“Sangat sulit untuk tidak langsung menjawab pertanyaan saat seseorang di bawah pengaruh serum kejujuran,” jelasnya. “Ini artinya ia memiliki tekad yang sangat kuat. Dan mungkin sesuatu yang ingin disembunyikan.”

“Mungkin tadinya ini tak ada hubungannya, Tobias,” kata Niles, “tapi sekarang ada karena kau menolak menjawab pertanyaan itu. Nama orangtuamu, tolong.”

Tobias menutup mata. “Evelyn dan Marcus Eaton.”

Nama keluarga hanyalah tambahan untuk identifikasi, hanya berguna untuk mencegah kebingungan dalam catatan resmi. Saat kami menikah, salah satu pasangan hidup harus mengikuti nama keluarga pasangannya, atau keduanya harus memilih nama keluarga yang baru. Walaupun kami boleh membawa nama keluarga asal ke faksi, kami jarang menyebutkannya.

Tapi, semua orang mengenali nama keluarga Marcus. Aku tahu itu dari kegaduhan di ruangan setelah Tobias bicara. Semua anggota Candor tahu Marcus adalah pejabat pemerintah yang paling berpengaruh, dan sebagian dari mereka pasti sudah membaca artikel yang Jeanine terbitkan mengenai kekejaman Marcus terhadap putranya. Dari berbagai hal yang Jeanine sampaikan, itu salah satu hal yang benar. Dan sekarang, semua orang tahu Tobias adalah anak itu.

Tobias Eaton adalah nama yan berpengaruh.

Niles menunggu hingga suasana hening, lalu melanjutkan. “Jadi kau ini pindahan faksi, ya?”

“Ya.”

“Kau pindah dari Abnegation ke Dauntless?”

Ya,” bentak Tobias. “Bukannya sudah jelas?”

Aku menggigit bibir. Ia harus tenang. Ia sudah mengungkapkan terlalu banyak. Semakin Tobias enggan menjawab pertanyaan, semakin Niles ingin mendengar jawabannya.

“Salah satu tujuan interogasi ini adalah untuk menentukan loyalitasmu,” jelas Niles, “jadi aku harus bertanya: Mengapa kau pindah?”

Tobias memelototi Niles dan menutup mulutnya. Detik-detik berlalu dalam keheningan. Semakin lama Tobias berusaha melawan serum itu, semakin sulit tampaknya itu baginya. Warna meronai pipinya dan napasnya semakin kencang serta berat. Dadaku sakit demi dirinya. Seharusnya perincian masa kecilnya tetap di dalam benaknya, jika ia menginginkannya di sana. Faksi Candor benar-benar tanpa ampun dalam mengorek itu darinya, merenggut kebebasannya.

“Ini mengerikan,” ucapku dengan penuh emosi kepada Christina. “Salah.”

“Apa?” katanya. “Itu pertanyaan sederhana.”

Aku menggeleng. “Kau tak mengerti.”

Christina tersenyum sedikit ke arahku. “Kau benar-benar peduli padanya.”

Aku terlalu sibuk menonton Tobias untuk tak menjawab.

Niles melanjutkan. “Aku akan bertanya lagi. Penting bagi kami untuk memahami sampai mana loyalitasmu terhadap faksi yang kau pilih. Jadi, mengapa kau pindah ke Dauntless, Tobias?”

“Untuk melindungi diriku,” jawab Tobias. “Aku pindah untuk melindungi diriku.”

“Melindungi dirimu dari apa?”

“Dari ayahku.”

Semua obrolan di ruangan itu berhenti. Keheningan yang timbul lebih parah dibandingkan gumamann tadi. Aku berharap Niles terus mengorek, tapi tidak.

“Terima kasih atas kejujuranmu,” ujar Niles. Para Candor mengulangi kalimat itu dengan pelan. Di sekitarku terdengar “Terima kasih atas kejujuranmu” dalam berbagai volume dan nada, dan rasa marahku memudar. Bisikan-bisikan itu seolah menyambut Tobias, merangkulnya dan kemudian mengenyahkan rahasia tergelapnya.

Mungkin bukan kekejaman, melainkan keinginan untuk mengertilah yang memotivasi mereka. Namun, itu tak mengurangi rasa takutku menghadapi serum kejujuran.

“Apakah kesetiaanmu ada pada faksimu yang sekarang, Tobias?” tanya Niles.

“Kesertiaanku ada pada orang-orang yang tidak mendukung penyerangan terhadap faksi Abnegation,” jawab Tobias.

“Omong-omong,” kata Niles, “kurasa kita harus memusatkan perhatian pada kejadian hari itu. Apakah kau ingat berada dalam pengaruh simulasi?”

“Awalnya aku tidak berada di bawah pengaruh simulasi,” ujar Tobias. “Simulasinya tidak bekerja.”

Niles tertawa kecil. “Apa maksudmu simulasinya tidak bekerja?”

“Salah satu cirri khas Divergent adalah benak mereka mampu melawan simulasi,” jelas Tobias. “Aku ini Divergent. Jadi, simulasinya tidak bekerja.”

Beberapa orang menggumam. Christina menyikutku.

“Kau juga?” tanyanya, di dekat telingaku sehingga tetap pelan. “Karena itukah kau sadar?”

Aku memandangnya. Aku sudah menghabiskan bulan-bulan terakhir ini dengan merasa takut terhadap kata “Divergent”, khawatir ada yang tahu apa aku sebenarnya. Tapi, aku tak akan bisa lagi merahasiakannya. Aku mengangguk.

Matanya seolah-olah membesar dan memenuhi rongga matanya, begitulah besarnya. Aku kesulitan mengenali ekspresinya. Kaget? Takut?

Kagum?

“Kau tahu apa artinya itu?” tanyaku.

“Aku mendengarnya ketika masih kecil,” bisik Christina dengan khidmat.

Jelas ini rasa kagum.

“Seolah itu kisah khayalan,” katanya. “’Ada orang-orang dengan kekuatan istimewa di antara kita!’ Seperti itu.”

“Yah, ini bukan fantasi, dan tidak sehebat itu,” kataku. “Ini seperti berada di simulasi Ruang Ketakutan—kau sadar berada di sana dan bisa memanipulasinya. Bagiku, seperti itulah rasanya ketika berada dalam setiap simulasi lainnya.”

“Tapi Tris,” kata Christina sambil memegang sikuku. “Itu mustahil.”

Di tengah ruangan, Niles mengangkat tangan dan berusaha menyuruh orang-orang diam. Namun, terlalu banyak bisikan—sebagian dengan sikap permusuhan, sebagian takut, dan sebagian lagi kagum, seperti Christina. Akhirnya, Niles berdiri dan berseru, “Kalau kalian tidak diam, kalian akan diminta pergi!”

Akhirnya, semua orang diam. Niles duduk.



No comments:

Post a Comment