Insurgent (Divergent #2) (23)

Penulis: Suzanne Collins

Aku tampak lebih tua. Mungkin karena rambutku yang pendek atau mungkin karena aku memakai semua yang telah terjadi seperti topeng. Apa pun itu, aku selalu berpikir aku akan bahagia setelah tidak lagi terlihat seperti anak-anak. Tapi sekarang, yang bisa kurasakan hanyalah gumpalan di kerongkonganku. Aku bukan lagi anak perempuan yang orangtuaku kenal. Mereka tak akan pernah mengenali diriku yang sekarang.

Aku berbalik dari cermin dan mendorong pintu menuju koridor hingga terbuka dengna bagian bawah telapak tanganku.

Saat para Dauntless itu meninggalkanku di ruang tahanan, aku berdiam di dekat pintu. Tobias tampak seperti ketika kali aku bertemu dengannya—kaus hitam, rambut pendek, raut wajah keras. Biasanya, aku langsung berdebar-debar saat melihatnya. Aku ingat saat memegang tangannya di luar ruang latihan, hanya beberapa detik. Kemudian, saat kami duduk di batu dekat jurang. Aku merasakan sebersit kerinduan terhadap masa lalu itu.

"Lap”r?” tanya Tobias. Ia menawarkan roti lapis dari piring di sampingnya.

Aku mengambilnya dan duduk, menyandarkan kepalaku di bahunya. Kami hanya bisa menunggu, jadi itulah yang kami lakukan. Kami makan sampai makanannya habis. Lalu, kami duduk sampai merasa tidak nyaman. Kemudian, kami berbaring berdampingan di lantai, dengan bahu bersentuha, menatap tempat yang sama di langit-langit putih.

“Kau takut mengungkapkan apa?” tanyanya.

“Apa pun. Semuanya. Aku tak mau mengungkapkan segalanya.”

Tobias mengangguk. Aku menutup mata dan pura-pura tidur. Di ruangan ini tak ada jam sehingga aku tak bisa menghitung menit-menit menuju interogasi. Mungkin di tempat ini juga tak ada yang namanya waktu, tapi aku merasakannya menekanku saat pukul tujuh mendekat tanpa bisa dihindari, menekanku ke ubin di lantai.

Mungkin waktu tak akan terasa seberat ini jika aku tak memiliki perasaan bersalah—rasa bersalah karena mengetahui kebenaran dan menyembunyikannya sehingga tak ada yang bisa melihatnya, termasuk Tobias. Mungkin seharusnya aku tak merasa takut mengatakan apa pun, karena kejujuran akan membuatku lebih ringan.

Pastilah akhrinya aku tertidur karena aku terbangun dengan tersentak saat mendengar pintu dibuka. Beberapa orang Dauntless masuk saat kami berdiri dan salah satu dari mereka memanggil namaku. Christina mendesak maju menembus Dauntless lainnya dan mengalungkan lengannya di tubuhku. Jari-jarinya menekan luka di bahuku sehingga aku mengaduh.

“Kena tembak,” kataku. “Bahu. Au.”

“Oh, Tuhan!” Ia melepaskanku. “Maaf, Tris.”

Ia tidak tampak seperti Christina yang kuingat. Rambutnya lebih pendek, seperti rambut laki-laki, dan kulitnya keabu-abuan bukan cokelat hangat. Ia tersenyum memandangku, tapi senyuman itu tidak mencapai matanya yang masih tampak lelah. Aku berusaha membalas senyumannya, tapi aku terlalu gugup. Christina akan ada di sini saat aku diinterogasi. Ia akan mendengar apa yang kulakukan terhadap Will. Ia tak akan pernah memaafkanku.

Kecuali, jika aku melawan pengaruh serum itu dan mengubur kebenaran—kalau bisa.

Tapi apakah itu yang kuinginkan? Membiarkan kebenaran bercokol di dalam diriku selamanya?

“Kau baik-baik saja? Aku dengar kau di sini jadi aku meminta untuk mengawalmu,” katanya saat kami meninggalkan ruang tahanan. “Aku yakin kau tidak melakukannya. Kau bukang pengkhianat.”

“Aku baik-baik saja,” jawabku. “Dan terima kasih. Kalau kamu?”

“Oh, aku ....” Suaranya memudar dan ia menggigit bibir. “Apakah sudah ada yang mengatakan kepadamu ... maksudku, mungkin ini bukan waktunya, tapi ....”

“Apa?” Ada apa?”

“Mm ... Will meninggal dalam penyerangan itu,” katanya.

Christina memandangku dengan cemas dan seperti mengharapkan sesuatu. Mengharapkan apa?

Oh. Aku seharusnya tak tahu Will sudah meninggal. Aku bisa berpura-pura sedih, tapi aku tak akan bisa melakukannya dengan cukup meyakinkan. Lebih baik mengaku bahwa aku sudah tahu. Tapi, aku tak tahu bagaimana cara menjelaskan itu tanpa menceritakan semuanya kepadanya.

Tiba-tiba aku merasa mual. Apakah saat ini aku benar-benar sedang memikirkan cara terbaik untuk menipu temanku?

“Aku tahu,” kataku. “Aku melihatnya di monitor waktu di ruang kendali. Aku ikut sedih, Christina.”

“Oh.” Ia mengangguk. “Yah, aku ... senang kau sudah tahu. Aku benar-benar tak ingin memberitahumu di koridor.”

Tawa pendek. Kilasan senyum. Keduanya tidak seperti biasanya.

Kami masuk ke dalam lift. Aku bisa merasakan Tobias menatapku—ia tahu aku tak melihat Will di monitor, dan ia tak tahu Will sudah mati. Aku menatap lurus ke depan dan berpura-pura matanya tidak membuatku terbakar.

“Jangan mencemaskan serum kejujuran itu,” kata Christina. “Itu mudah. Kau tak akan tahu apa yang terjadi saat berada di bawah pengaruhnya. Kau baru mengetahui apa yang kau katakan setelah terbebas dari pengaruh serum itu. Aku mengalaminya saat masih kecil. Ini biasa di Candor.”

Para Dauntless lain di lift saling pandang. Pada keadaan normal, seseorang mungkin akan menegurnya karena menceritakan faksi lamanya, tapi ini bukan situasi normal. Kapan lagi dalam hidupnya Christina bisa mengawal sahabatnya, yang sekarang tersangka pengkhianat, ke interograsi umum.

“Apakah yang lain baik-baik saja?” tanyaku. “Uriah, Lynn, Marlene?”

“Semua ada di sini,” katanya. “Kecuali kakak Uriah, Zeke, yang sekarang bersama para Dauntless lain.”

“Apa?” Zeke yang mengencangkan tali pengaman di tali luncurku, seorang pengkhianat?

Lift berhenti di lantai atas dan orang-orang keluar.

“Aku tahu,” katanya. “Tak ada yang menyangka.”

Christina memegang tanganku dan menarikku melewati pintu. Kami berjalan menyusuri koridor marmer hitam—orang bisa tersesat dengan mudah di markas Candor, karena semuanya tampak sama. Kami berjalan menyusuri koridor lain, lalu melewati pintu ganda.

Dari luar, Merciless Mart adalah sebuah blok pendek dengan bagian sempit yang agak tinggi di tengahnya. Dari dalam bagian yang tinggi itu merupakan ruang kosong setinggi tiga lantai dengan dinding belaka tanpa jendela. Aku melihat langit menggelap di atasku, tanpa bintang.

Di sini lantai marmernya berwarna putih, dengan simbol hitam yang diterangi deretan cahaya kuning redup sehingga seluruh ruangan itu berpendar. Setiap suara bergema.

Sebagian besar faksi Candor dan sisa anggota Dauntless sudah berkumpul. Sebagian duduk di bangku bertingkat yang mengelilingi ruangan itu. Namun, karena tempatnya tidak cukup untuk menampung semua orang, siasanya berkerumun di sekitar simbol Candor. Di tengah simbol, di antara timbangan yang miring, ada dua kursi kosong.

Tobias meraih tanganku. Aku menautkan jari-jariku dijarinya.

Pengawal Dauntless kami memimpin kami ke tengah ruangan, di sana kami disapa dengan, yang terbaik, gumaman, dan yang terburuk, ejekan. Aku melihat Jack Kang di barisan depan bangku bertingkat.

Seorang pria tua berkulit gelap melangkah maju sambil membawa kotak hitam.


“Namaku Niles,” katanya. “Aku yang akan menjadi juru tanya. Kau—” Ia menunjuk Tobias. “Kau duluan. Jadi, silakan maju ....”

No comments:

Post a Comment