Penulis: Suzanne
Collins
Aku tampak lebih tua. Mungkin karena rambutku yang pendek
atau mungkin karena aku memakai semua yang telah terjadi seperti topeng. Apa
pun itu, aku selalu berpikir aku akan bahagia setelah tidak lagi terlihat
seperti anak-anak. Tapi sekarang, yang bisa kurasakan hanyalah gumpalan di
kerongkonganku. Aku bukan lagi anak perempuan yang orangtuaku kenal. Mereka tak
akan pernah mengenali diriku yang sekarang.
Aku berbalik dari cermin dan mendorong pintu menuju koridor
hingga terbuka dengna bagian bawah telapak tanganku.
Saat para Dauntless itu meninggalkanku di ruang tahanan, aku
berdiam di dekat pintu. Tobias tampak seperti ketika kali aku bertemu
dengannya—kaus hitam, rambut pendek, raut wajah keras. Biasanya, aku langsung
berdebar-debar saat melihatnya. Aku ingat saat memegang tangannya di luar ruang
latihan, hanya beberapa detik. Kemudian, saat kami duduk di batu dekat jurang.
Aku merasakan sebersit kerinduan terhadap masa lalu itu.
"Lap”r?” tanya Tobias. Ia menawarkan roti lapis dari
piring di sampingnya.
Aku mengambilnya dan duduk, menyandarkan kepalaku di
bahunya. Kami hanya bisa menunggu, jadi itulah yang kami lakukan. Kami makan
sampai makanannya habis. Lalu, kami duduk sampai merasa tidak nyaman. Kemudian,
kami berbaring berdampingan di lantai, dengan bahu bersentuha, menatap tempat
yang sama di langit-langit putih.
“Kau takut mengungkapkan apa?” tanyanya.
“Apa pun. Semuanya. Aku tak mau mengungkapkan segalanya.”
Tobias mengangguk. Aku menutup mata dan pura-pura tidur. Di
ruangan ini tak ada jam sehingga aku tak bisa menghitung menit-menit menuju
interogasi. Mungkin di tempat ini juga tak ada yang namanya waktu, tapi aku
merasakannya menekanku saat pukul tujuh mendekat tanpa bisa dihindari,
menekanku ke ubin di lantai.
Mungkin waktu tak akan terasa seberat ini jika aku tak
memiliki perasaan bersalah—rasa bersalah karena mengetahui kebenaran dan
menyembunyikannya sehingga tak ada yang bisa melihatnya, termasuk Tobias.
Mungkin seharusnya aku tak merasa takut mengatakan apa pun, karena kejujuran
akan membuatku lebih ringan.
Pastilah akhrinya aku tertidur karena aku terbangun dengan
tersentak saat mendengar pintu dibuka. Beberapa orang Dauntless masuk saat kami
berdiri dan salah satu dari mereka memanggil namaku. Christina mendesak maju
menembus Dauntless lainnya dan mengalungkan lengannya di tubuhku. Jari-jarinya
menekan luka di bahuku sehingga aku mengaduh.
“Kena tembak,” kataku. “Bahu. Au.”
“Oh, Tuhan!” Ia melepaskanku. “Maaf, Tris.”
Ia tidak tampak seperti Christina yang kuingat. Rambutnya
lebih pendek, seperti rambut laki-laki, dan kulitnya keabu-abuan bukan cokelat
hangat. Ia tersenyum memandangku, tapi senyuman itu tidak mencapai matanya yang
masih tampak lelah. Aku berusaha membalas senyumannya, tapi aku terlalu gugup.
Christina akan ada di sini saat aku diinterogasi. Ia akan mendengar apa yang
kulakukan terhadap Will. Ia tak akan pernah memaafkanku.
Kecuali, jika aku melawan pengaruh serum itu dan mengubur
kebenaran—kalau bisa.
Tapi apakah itu yang kuinginkan? Membiarkan kebenaran
bercokol di dalam diriku selamanya?
“Kau baik-baik saja? Aku dengar kau di sini jadi aku meminta
untuk mengawalmu,” katanya saat kami meninggalkan ruang tahanan. “Aku yakin kau
tidak melakukannya. Kau bukang pengkhianat.”
“Aku baik-baik saja,” jawabku. “Dan terima kasih. Kalau
kamu?”
“Oh, aku ....” Suaranya memudar dan ia menggigit bibir.
“Apakah sudah ada yang mengatakan kepadamu ... maksudku, mungkin ini bukan
waktunya, tapi ....”
“Apa?” Ada apa?”
“Mm ... Will meninggal dalam penyerangan itu,” katanya.
Christina memandangku dengan cemas dan seperti mengharapkan
sesuatu. Mengharapkan apa?
Oh. Aku seharusnya
tak tahu Will sudah meninggal. Aku bisa berpura-pura sedih, tapi aku tak akan
bisa melakukannya dengan cukup meyakinkan. Lebih baik mengaku bahwa aku sudah
tahu. Tapi, aku tak tahu bagaimana cara menjelaskan itu tanpa menceritakan
semuanya kepadanya.
Tiba-tiba aku merasa mual. Apakah saat ini aku benar-benar
sedang memikirkan cara terbaik untuk menipu temanku?
“Aku tahu,” kataku. “Aku melihatnya di monitor waktu di
ruang kendali. Aku ikut sedih, Christina.”
“Oh.” Ia mengangguk. “Yah, aku ... senang kau sudah tahu.
Aku benar-benar tak ingin memberitahumu di koridor.”
Tawa pendek. Kilasan senyum. Keduanya tidak seperti biasanya.
Kami masuk ke dalam lift. Aku bisa merasakan Tobias
menatapku—ia tahu aku tak melihat Will di monitor, dan ia tak tahu Will sudah
mati. Aku menatap lurus ke depan dan berpura-pura matanya tidak membuatku
terbakar.
“Jangan mencemaskan serum kejujuran itu,” kata Christina.
“Itu mudah. Kau tak akan tahu apa yang terjadi saat berada di bawah
pengaruhnya. Kau baru mengetahui apa yang kau katakan setelah terbebas dari
pengaruh serum itu. Aku mengalaminya saat masih kecil. Ini biasa di Candor.”
Para Dauntless lain di lift saling pandang. Pada keadaan
normal, seseorang mungkin akan menegurnya karena menceritakan faksi lamanya,
tapi ini bukan situasi normal. Kapan lagi dalam hidupnya Christina bisa
mengawal sahabatnya, yang sekarang tersangka pengkhianat, ke interograsi umum.
“Apakah yang lain baik-baik saja?” tanyaku. “Uriah, Lynn,
Marlene?”
“Semua ada di sini,” katanya. “Kecuali kakak Uriah, Zeke,
yang sekarang bersama para Dauntless lain.”
“Apa?” Zeke yang mengencangkan tali pengaman di tali
luncurku, seorang pengkhianat?
Lift berhenti di lantai atas dan orang-orang keluar.
“Aku tahu,” katanya. “Tak ada yang menyangka.”
Christina memegang tanganku dan menarikku melewati pintu.
Kami berjalan menyusuri koridor marmer hitam—orang bisa tersesat dengan mudah
di markas Candor, karena semuanya tampak sama. Kami berjalan menyusuri koridor
lain, lalu melewati pintu ganda.
Dari luar, Merciless Mart adalah sebuah blok pendek dengan
bagian sempit yang agak tinggi di tengahnya. Dari dalam bagian yang tinggi itu
merupakan ruang kosong setinggi tiga lantai dengan dinding belaka tanpa
jendela. Aku melihat langit menggelap di atasku, tanpa bintang.
Di sini lantai marmernya berwarna putih, dengan simbol hitam
yang diterangi deretan cahaya kuning redup sehingga seluruh ruangan itu
berpendar. Setiap suara bergema.
Sebagian besar faksi Candor dan sisa anggota Dauntless sudah
berkumpul. Sebagian duduk di bangku bertingkat yang mengelilingi ruangan itu.
Namun, karena tempatnya tidak cukup untuk menampung semua orang, siasanya
berkerumun di sekitar simbol Candor. Di tengah simbol, di antara timbangan yang
miring, ada dua kursi kosong.
Tobias meraih tanganku. Aku menautkan jari-jariku dijarinya.
Pengawal Dauntless kami memimpin kami ke tengah ruangan, di
sana kami disapa dengan, yang terbaik, gumaman, dan yang terburuk, ejekan. Aku
melihat Jack Kang di barisan depan bangku bertingkat.
Seorang pria tua berkulit gelap melangkah maju sambil
membawa kotak hitam.
“Namaku Niles,” katanya. “Aku yang akan menjadi juru tanya.
Kau—” Ia menunjuk Tobias. “Kau duluan. Jadi, silakan maju ....”
No comments:
Post a Comment