Insurgent (Divergent #2) (71)

Penulis: Suzanne Collins

“Jadi, masalah yang tidak dibicarakan oleh kami semua,” katanya. Ia memberi isyarat ke arahku. “Kau hampir mati. Seorang banci sadistis menyelamatkanmu. Dan sekarang, kita semua akan berperang dengan para factionless sebagai sekutu.”

“Banci?” tanya Christina.

“Bahasa slang Dauntless.” Lynn menyeringai. “Kata yang sangat menghina, hanya saja tak ada lagi yang menggunakannya.”

“Karena terlalu kasar,” timpal Uriah sambil mengangguk.

“Bukan. Karena sangat tolol sehingga seorang Dauntless yang punya otak tak akan mengucapkannya, apalagi memikirkannya. Banci. Berapa umurmu, dua belas?”

“Tambah setengah,” balas Uriah.

Aku merasa mereka bersenda gurau untukku agar aku tak perlu mengatakan apa pun. Aku cukup tertawa. Dan aku tertawa, cukup untuk menghangatkan batu yang terbentuk di perutku.

“Ada makanan di bawah,” ujar Christina. “Tobias bikin telur orak-arik, yang, ternyata, menjijikkan.”

“Hei,” aku protes. “Aku suka telur orak-arik.”

“Kalau begitu, mungkin itu sarapan Orang Kaku.” Ia meraih lenganku. “Yuk.”

Kami bersama-sama menuruni tangga dengan langkah kaki bergemuruh, yang pasti tak diizinkan di rumah orangtuaku. Ayahku selalu memarahiku jika aku berlari menuruni tangga. “Jangan mencari perhatian,” katanya. “Itu tindakan tak sopan terhadap orang-orang di sekitarmu.”

Aku mendengar suara-suara di ruang duduk—sebenarnya bahkan seperti nyanyian, yang sesekali diselingin gelak tawa dan diiringi irama pelan alat musik petik, banyo atau gitar. Aku tak menduga akan mendengar itu di rumah Abnegation, yang segala sesuatunya selalu tenang, berapa banyak pun orang yang berkumpul di dalamnya. Suara-suara, tawa, dan musik itu menghidupkan dinding-dinding muram. Aku bahkan merasa hangat.

Aku berdiri di pintu menuju ruang duduk. Lima orang berdesakan di sofa untuk tiga orang, memainkan permainan kartu yang pernah kulihat di markas Candor. Seorang pria duduk di sofa kecil sambil memangku seorang wanita, dan seseorang bertengger di lengan sofa itu sambil memegang sekaleng sup. Tobias duduk di lantai, punggungnya bersandar ke meja kopi. Setiap bagian sikapnya menunjukkan rasa santai—satu kaki dilipat, satu lagi lurus, lengan disandarkan di lututnya, dan kepala yang dimiringkan untuk mendengarkan. Aku tak pernah melihat sikap Tobias senyaman ini tanpa senjata. Kupikir itu tak mungkin.

Perutku terasa berat. Biasanya, perasaan seperti ini kurasakan saat menyadari aku dibohongi, tapi kali ini aku tak tahu siapa tepatnya yang membohongiku, atau tentang apa. Tapi, aku tak menyangka seperti inilah menjadi factionless. Selama ini aku diajari bahwa menjadi factionless itu lebih buruk daripada mati.

Aku berdiri beberapa lama hingga akhirnya orang-orang menyadari kehadiranku. Percakapan mereka perlahan-lahan mereda. Aku mengusapkan tanganku ke pinggiran baju. Terlalu banyak mata, dan terlalu hening.

Evelyn berdeham. “Semuanya, ini Tris Prior. Aku yakin kemarin kalian mendengar banyak tentangnya.”

“Dan Christina, Uriah, serta Lynn,” tambah Tobias. Aku bersyukur atas usaha Tobias mengalihkan perhatian semua orang dariku, tapi ternayata itu tak berhasil.

Aku berdiri diam di kosen pintu selama beberapa saat, hingga seorang pria factionless—yang tua, dengan kulit keriput dihiasi tato-tato—berbicara.

“Bukannya kau itu seharusnya sudah mati?”

Beberapa orang tertawa, dan aku berusaha tersenyum. Hanya sedikit dan miring.

“Seharusnya,” aku membalas.

“Tapi, kami tak suka memenuhi keinginan Jeanine Matthews,” ujar Tobias. Ia bangkit dan memberikan kaleng berisi kacang kepadaku—tapi isinya bukan kacang, isinya telur orak-arik. Kaleng aluminium itu membuat jari-jariku hangat.

Tobias duduk, jadi aku duduk di sampingnya, dan menyuapkan telur ke mulutku. Walau tidak lapar, aku tahu aku perlu makan, jadi aku mengunyah dan menelan. Aku sudah tahu bagaimana cara factionless makan, jadi aku memberikan telur itu ke Christina dan mengambil kaleng buah peach dari Tobias.

“Kenapa semua orang berkumpul di rumah Marcus?” aku bertanya pada Tobias.

“Evelyn mengusir Marcus. Ia bilang ini rumahnya juga, dan Marcus sudah bertahun-tahun menggunakan rumah ini, jadi sekarang giliran Evelyn.” Tobias tersenyum lebar. “Terjadi pertengkaran besar di halaman depan, tapi akhirnya Evelyn menang.”

Aku melirik ibu Tobias. Ia ada di ujung sana ruangan, sedang berbicara dengan Peter dan makan telur dari kaleng lain. Perutku bergolak. Tobias membicarakan ibunya hampir dengan penuh hormat. Tapi, aku masih ingat apa yang Evelyn katakan kepadaku tentang keberadaanku yang sementara dalam hidup Tobias.

“Ada roti, lho.” Tobias mengambil keranjang dari meja kopi dan memberikannya kepadaku. “Ambil dua. Kau perlu itu.”

Saat aku mengunyah kulit roti, aku memandang Peter dan Evelyn lagi.

“Kurasa Evelyn sedang berusaha merekrut Peter,” jelas Tobias. “Ia punya cara untuk membuat kehidupan factionless terdengar sangat menarik.”

“Apa pun asalkan Peter keluar dari faksi Dauntless. Aku tak peduli ia pernah menyelamatkan nyawaku. Aku masih tak menyukainya.”

“Semoga kita tak perlu lagi memikirkan pengelompokan faksi saat ini semua berakhir. Kurasa itu pasti menyenangkan.”

Aku tak mengatakan apa pun. Aku tak ingin mulai bertengkar dengannya di sini. Atau, mengingatkannya bahwa tidak mudah membujuk Dauntless dan Candor untuk bergabung bersama factionless dalam menentang sistem faksi. Bakal ada perang lain.

Pintu depan terbuka, dan Edward masuk. Hari ini ia mengenakan penutup mata berlukiskan mata biru, lengkap dengan kelopak yang setengah terpejam. Mata superbesar itu menyebabkan wajahnya yang tampan tampak mengerikan sekaligus menarik.

“Eddi!” seseorang berseru menyapa. Namun, tatapan mata Edward yang masih berfungsi sudah tertumbuk pada Peter. Ia berjalan melintasi ruangan dan nyaris menendang kaleng makanan dari tangan seseorang. Peter menempelkan tubuhnya ke bayangan kosen pintu seolah-olah berusaha melenyapkan diri.

Edward berhenti beberapa seti dari kaki Peter, dan tiba-tiba menyentakkan tubuhnya ke arah Peter seperti akan melayangkan tinju. Peter tersentak ke belakang cukup keras hingga kepalanya menghantam dinding. Edward menyeringai, dan factionless di sekeliling kami tertawa.

“Tak terlalu berani di siang bolong, ya?” tanya Edward. Lalu, ia berkata ke Evelyn, “Pastikan kau tidak memberinya barang-barang. Entah apa yang bakal dilakukannya dengan benda-benda itu.”

Sambil bicara begitu, Edward menarik garpu dari tangan Peter.

“Kembalikan,” Peter memprotes.

Edward menghantamkan tangannya yang bebas ke leher Peter, dan menempelkan ujung garpu yang dipegangnya tepat di jakun Peter. Peter mematung, wajahnya merah padam.

“Tutup mulutmu saat berada di dekatku,” ujar Edward dengan suara rendah, “atau aku akan melakukan ini lagi, lain kali aku bakal menusukkan ini menembus kerongkonganmu.”

“Cukup,” Evelyn berseru. Edward menurunkan garpu dan melepaskan Peter. Lalu, ia berjalan melintasi ruangan dan duduk di samping orang yang memanggilnya “Eddie” tadi.

“Aku tak tahu apakah kau sudah tahu,” kata Tobias, “tapi Edward agak labil.”

“Aku bisa melihatnya,” sahutku.




No comments:

Post a Comment