Penulis: Suzanne
Collins
“Jadi, masalah yang tidak dibicarakan oleh kami semua,”
katanya. Ia memberi isyarat ke arahku. “Kau hampir mati. Seorang banci sadistis
menyelamatkanmu. Dan sekarang, kita semua akan berperang dengan para factionless sebagai sekutu.”
“Banci?” tanya Christina.
“Bahasa slang Dauntless.” Lynn menyeringai. “Kata yang
sangat menghina, hanya saja tak ada lagi yang menggunakannya.”
“Karena terlalu kasar,” timpal Uriah sambil mengangguk.
“Bukan. Karena sangat tolol sehingga seorang Dauntless yang
punya otak tak akan mengucapkannya, apalagi memikirkannya. Banci. Berapa
umurmu, dua belas?”
“Tambah setengah,” balas Uriah.
Aku merasa mereka bersenda gurau untukku agar aku tak perlu
mengatakan apa pun. Aku cukup tertawa. Dan aku tertawa, cukup untuk
menghangatkan batu yang terbentuk di perutku.
“Ada makanan di bawah,” ujar Christina. “Tobias bikin telur
orak-arik, yang, ternyata, menjijikkan.”
“Hei,” aku protes. “Aku suka
telur orak-arik.”
“Kalau begitu, mungkin itu sarapan Orang Kaku.” Ia meraih
lenganku. “Yuk.”
Kami bersama-sama menuruni tangga dengan langkah kaki
bergemuruh, yang pasti tak diizinkan di rumah orangtuaku. Ayahku selalu
memarahiku jika aku berlari menuruni tangga. “Jangan mencari perhatian,”
katanya. “Itu tindakan tak sopan terhadap orang-orang di sekitarmu.”
Aku mendengar suara-suara di ruang duduk—sebenarnya bahkan
seperti nyanyian, yang sesekali diselingin gelak tawa dan diiringi irama pelan
alat musik petik, banyo atau gitar. Aku tak menduga akan mendengar itu di rumah
Abnegation, yang segala sesuatunya selalu tenang, berapa banyak pun orang yang
berkumpul di dalamnya. Suara-suara, tawa, dan musik itu menghidupkan
dinding-dinding muram. Aku bahkan merasa hangat.
Aku berdiri di pintu menuju ruang duduk. Lima orang
berdesakan di sofa untuk tiga orang, memainkan permainan kartu yang pernah
kulihat di markas Candor. Seorang pria duduk di sofa kecil sambil memangku
seorang wanita, dan seseorang bertengger di lengan sofa itu sambil memegang
sekaleng sup. Tobias duduk di lantai, punggungnya bersandar ke meja kopi.
Setiap bagian sikapnya menunjukkan rasa santai—satu kaki dilipat, satu lagi
lurus, lengan disandarkan di lututnya, dan kepala yang dimiringkan untuk
mendengarkan. Aku tak pernah melihat sikap Tobias senyaman ini tanpa senjata.
Kupikir itu tak mungkin.
Perutku terasa berat. Biasanya, perasaan seperti ini
kurasakan saat menyadari aku dibohongi, tapi kali ini aku tak tahu siapa
tepatnya yang membohongiku, atau tentang apa. Tapi, aku tak menyangka seperti
inilah menjadi factionless. Selama
ini aku diajari bahwa menjadi factionless
itu lebih buruk daripada mati.
Aku berdiri beberapa lama hingga akhirnya orang-orang
menyadari kehadiranku. Percakapan mereka perlahan-lahan mereda. Aku mengusapkan
tanganku ke pinggiran baju. Terlalu banyak mata, dan terlalu hening.
Evelyn berdeham. “Semuanya, ini Tris Prior. Aku yakin
kemarin kalian mendengar banyak tentangnya.”
“Dan Christina, Uriah, serta Lynn,” tambah Tobias. Aku
bersyukur atas usaha Tobias mengalihkan perhatian semua orang dariku, tapi
ternayata itu tak berhasil.
Aku berdiri diam di kosen pintu selama beberapa saat, hingga
seorang pria factionless—yang tua,
dengan kulit keriput dihiasi tato-tato—berbicara.
“Bukannya kau itu seharusnya sudah mati?”
Beberapa orang tertawa, dan aku berusaha tersenyum. Hanya sedikit
dan miring.
“Seharusnya,” aku membalas.
“Tapi, kami tak suka memenuhi keinginan Jeanine Matthews,”
ujar Tobias. Ia bangkit dan memberikan kaleng berisi kacang kepadaku—tapi
isinya bukan kacang, isinya telur orak-arik. Kaleng aluminium itu membuat
jari-jariku hangat.
Tobias duduk, jadi aku duduk di sampingnya, dan menyuapkan
telur ke mulutku. Walau tidak lapar, aku tahu aku perlu makan, jadi aku
mengunyah dan menelan. Aku sudah tahu bagaimana cara factionless makan, jadi aku memberikan telur itu ke Christina dan
mengambil kaleng buah peach dari
Tobias.
“Kenapa semua orang berkumpul di rumah Marcus?” aku bertanya
pada Tobias.
“Evelyn mengusir Marcus. Ia bilang ini rumahnya juga, dan
Marcus sudah bertahun-tahun menggunakan rumah ini, jadi sekarang giliran
Evelyn.” Tobias tersenyum lebar. “Terjadi pertengkaran besar di halaman depan,
tapi akhirnya Evelyn menang.”
Aku melirik ibu Tobias. Ia ada di ujung sana ruangan, sedang
berbicara dengan Peter dan makan telur dari kaleng lain. Perutku bergolak. Tobias
membicarakan ibunya hampir dengan penuh hormat. Tapi, aku masih ingat apa yang
Evelyn katakan kepadaku tentang keberadaanku yang sementara dalam hidup Tobias.
“Ada roti, lho.” Tobias mengambil keranjang dari meja kopi
dan memberikannya kepadaku. “Ambil dua. Kau perlu itu.”
Saat aku mengunyah kulit roti, aku memandang Peter dan
Evelyn lagi.
“Kurasa Evelyn sedang berusaha merekrut Peter,” jelas
Tobias. “Ia punya cara untuk membuat kehidupan factionless terdengar sangat menarik.”
“Apa pun asalkan Peter keluar dari faksi Dauntless. Aku tak
peduli ia pernah menyelamatkan nyawaku. Aku masih tak menyukainya.”
“Semoga kita tak perlu lagi memikirkan pengelompokan faksi
saat ini semua berakhir. Kurasa itu pasti menyenangkan.”
Aku tak mengatakan apa pun. Aku tak ingin mulai bertengkar
dengannya di sini. Atau, mengingatkannya bahwa tidak mudah membujuk Dauntless
dan Candor untuk bergabung bersama factionless
dalam menentang sistem faksi. Bakal ada perang lain.
Pintu depan terbuka, dan Edward masuk. Hari ini ia
mengenakan penutup mata berlukiskan mata biru, lengkap dengan kelopak yang
setengah terpejam. Mata superbesar itu menyebabkan wajahnya yang tampan tampak
mengerikan sekaligus menarik.
“Eddi!” seseorang berseru menyapa. Namun, tatapan mata
Edward yang masih berfungsi sudah tertumbuk pada Peter. Ia berjalan melintasi
ruangan dan nyaris menendang kaleng makanan dari tangan seseorang. Peter
menempelkan tubuhnya ke bayangan kosen pintu seolah-olah berusaha melenyapkan
diri.
Edward berhenti beberapa seti dari kaki Peter, dan tiba-tiba
menyentakkan tubuhnya ke arah Peter seperti akan melayangkan tinju. Peter
tersentak ke belakang cukup keras hingga kepalanya menghantam dinding. Edward
menyeringai, dan factionless di
sekeliling kami tertawa.
“Tak terlalu berani di siang bolong, ya?” tanya Edward.
Lalu, ia berkata ke Evelyn, “Pastikan kau tidak memberinya barang-barang. Entah
apa yang bakal dilakukannya dengan benda-benda itu.”
Sambil bicara begitu, Edward menarik garpu dari tangan
Peter.
“Kembalikan,” Peter memprotes.
Edward menghantamkan tangannya yang bebas ke leher Peter,
dan menempelkan ujung garpu yang dipegangnya tepat di jakun Peter. Peter
mematung, wajahnya merah padam.
“Tutup mulutmu saat berada di dekatku,” ujar Edward dengan
suara rendah, “atau aku akan melakukan ini lagi, lain kali aku bakal menusukkan
ini menembus kerongkonganmu.”
“Cukup,” Evelyn berseru. Edward menurunkan garpu dan
melepaskan Peter. Lalu, ia berjalan melintasi ruangan dan duduk di samping
orang yang memanggilnya “Eddie” tadi.
“Aku tak tahu apakah kau sudah tahu,” kata Tobias, “tapi
Edward agak labil.”
“Aku bisa melihatnya,” sahutku.
No comments:
Post a Comment