Insurgent (Divergent #2) (70)

Penulis: Suzanne Collins

Aku tak tahu apa yang menguatkan Tobias untuk berjalan melewati pintu rumah itu. Baginya, rumah ini pastilah berisi gaung teriakan orangtua, lecutan ikat pinggang, dan jam-jam yang dihabiskannya di lemari kecil yang gelap. Namun, Tobias tidak tampak terganggu saat membawa aku dan Peter ke dapur. Yang jelas, ia tampak lebih tinggi. Namun, mungkin itulah Tobias—ketika disangka lemah, ia justru kuat.

Tori, Harrison, dan Evelyn berdiri di dapur. Pemandangan itu membuatku bingung. Aku menyandarkan bahuku ke dinding dan menutup mata rapat-rapat. Siluet meja eksekusi masih tercetak di pelupuk mataku. Aku membuka mata. Berusaha bernapas. Mereka bicara, tapi aku tak bisa mendengar kata-kata mereka. Mengapa Evelyn di sini, di ruamh Marcus? Di mana Marcus?

Evelyn merangkul Tobias dengan satu tangan dan menyentuh wajahnya dengan tangan yang lain, lalu menempelkan pipinya ke pipi Tobias. Ia mengatakan sesuatu kepada anaknya itu. Tobias tersenyum saat menjauhkan diri. Ibu dan anak, berdamai. Aku tak yakin apakah itu bijaksana.

Tobias memutar tubuhku, lalu dengan tangan yang satu di lenganku dan tangan yang lain di pinggangku untuk menghindari luka di bahu, mendorongku ke tangga. Kami menaiki tangga bersama-sama.

Di atas sana ada kamar lama orangtuanya dan juga kamar lama Tobias serta kamar mandai yang terletak di antara kedua kamar itu. Hanya itu. Ia membawaku ke kamarnya. Sejenak aku berdiri di sana dan memandangi ruangan tempat Tobias menghabiskan hidupnya.

Ia terus memegangi tanganku. Sejak kami meninggalkan tangga gedung itu, Tobias selalu memegangiku dengan sedemikian rupa seakan-akan berpikir aku bakal pecah kalau ia tidak memegangiku.

“Marcus tidak masuk ke kamar ini setelah aku pergi, aku yakin,” kata Tobias. “Karena tak ada yang berubah saat aku kembali kemari.”

Anggota faksi Abnegation tidak punya banyak dekorasi karena itu dipandang sebagai sesuatu untuk menyenangkan diri sendiri, tapi Tobias memiliki barang-barang yang diperbolehkan untuk kami miliki. Setumpuk kertas. Rak buku kecil. Dan, anehnya, patung kaca biru di lemari bajunya.

“Ibuku menyelundupkan itu untukku waktu aku masih kecil. Ia menyuruhku menyembunyikannya,” jelas Tobias. “Pada hari upacara, aku memasukkan patung itu ke lemariku sebelum pergi. Agar ayahku tak melihatnya. Pembangkangan kecil-kecilan.”

Aku mengangguk. Aneh rasanya berada di suatu tempat dengan satu kenangan yang begitu kuat. Kamar ini adalah Tobias yang berusia enam belas tahun, yang akan memilih Dauntless untuk melarikan diri dari ayahnya.

“Yuk, kita obati kakimu,” ajak Tobias. Tapi, ia tidak bergerak, hanya menggeserkan jari-jarinya ke bagian dalam sikuku.

“Baiklah,” aku menurut.

Kami masuk ke kamar mandi dan aku duduk di tepi bathtub. Tobias duduk di sampingku, dengan satu tangan di lututku saat ia berbalik untuk menyalakan keran dan menutup lubang kuras. Air memenuhi bathtub itu, menutupi jari kakiku. Darah menyebabkan air berubah menjadi merah muda.

Tobias berjongkok di dalam bathtub dan meletakkan kakiku di pangkuannya, menepuk-nepuk luka yang dalam dengan handuk. Aku tak merasakannya. Bahkan, saat ia membalurkan sabun di atas luka-luka itu, aku tak merasakan apa pun. Air berubah menjadi abu-abu.

Aku mengambil sabun itu dan menggosokkannya di tanganku hingga kulitku tertutupi busa putih. Aku meraih ke arah Tobias dan menggerakkan jari-jariku di tangannya, berhati-hati membersihkan garis-garis telapak tangannya dan sela-sela jarinya. Rasanya enak bisa melakukan sesuatu, membersihkan sesuatu, dan menyentuh Tobias lagi.

Lantai kamar mandi jadi basah saat kami membasuh tubuh kami dengan air untuk menghilangkan sabun. Air itu membuatku merasa dingin sehingga menggigil, tapi aku tak peduli. Tobias mengambil handuk dan mulai mengeringkan tanganku.

“Aku tidak ....” Aku terdengar seperti tercekik. “Seluruh keluargaku sudah meninggal, atau jadi pengkhianat. Bagaimana mungkin aku ....”

Kata-kataku terdengar tak masuk akal. Tangis mengambil alih tubuhku, pikiranku, semuanya. Tobias menarik dan memelukku, menyebabkan air merendam kakiku. Pelukannya kuat. Aku mendengar detak jantungnya dan, setelah beberapa saat, irama itu membuatku tenang.

“Sekarang, aku yang akan menjadi keluargamu,” Tobias menenangkan.

“Aku mencintaimu,” kataku.

Aku pernah mengucapkan itu, sebelum pergi ke markas Erudite, tapi saat itu Tobias sedang tidur. Aku tak tahu mengapa aku tidak mengatakannya saat Tobias bisa mendengarnya. Mungkin aku takut untuk memercayainya dengan sesuatu yang begitu pribadi seperti pengakuanku itu. Atau, takut aku tak tahu seperti apa rasanya mencintai seseorang. Tapi sekarang, kupikir aku mengerikan adalah tidak mengatakan itu hingga semuanya terlambat. Tidak mengatakannya hingga segalanya sangat terlambat bagiku.

Aku miliknya, dan ia milikku, dan selama ini memang seperti itu.

Tobias menatapku sementara aku menunggu sambil mencengkeram lengannya agar tidak limbung saat ia memikirkan jawabannya.

Ia mengerutkan kening ke arahku “Coba ulangi.”

“Tobias,” aku mengulangi, “aku mencintaimu.”

Kulit Tobias licin akibat air dan baunya seperti keringat dan kausku menempel ke lengannya saat ia menggerakkan tangannya memeluk tubuhku. Ia mencium pipiku.

“Aku juga mencintaimu,” katanya.[]

37
Tobias berbaring di sampingku saat aku tertidur. Kukira aku bakal mimpi buruk, tapi sepertinya tubuhku terlalu llelah karena pikiranku tetap kosong. Saat aku membuka mata lagi, Tobias sudah pergi, tapi ada setumpuk pakaian di sampingku di tempat tidur.

Aku bangkit dan pergi ke kamar mandi. Tubuhku terasa sakit, kulitku seperti dikikis hingga bersih dan setiap tarikan napasku agak menyengat, tapi stabil. Aku tidak menyalakan lampu kamar mandi karena tahu cahayanya pucat dan terang, seperti lampu-lampu di kompleks Erudite. Aku mandi dalam gelap, nyaris tak bisa membedakan sabun dan contitioner, sambil meyakinkan diriku bahwa setelah mandi aku akan seperti baru dan kuat, bahwa air akan menyembuhkanku.

Sebelum meninggalkan kamar mandi, aku mencubit keras-keras agar darah mengalir ke permukaan kulitku. Memang konyol, tapi aku tak mau tampak lemah dan lelah di hadapan semua orang.

Saat kembali ke kamar Tobias, Uriah sedang menggeletak telungkup di tempat tidur. Christina sedang memegang patung biru di meja Tobias, mengamatinya. Sementara itu, Lynn duduk di atas Uriah sambil memegang bantal, dengan seringai nakal yang merayap naik di wajahnya.

Lynn menepuk belakang kepala Uriah keras-keras Christina menyapa, “Hei, Tris!”, sementara Uriah berseru, “Aw! Kok kau bisa bikin bantal itu jadi menyakitkan, Lynn?”

“Itu karena kekuatanku yang luar biasa,” sahut Lynn. “Kau kena tampar, Tris? Sebelah pipimu merah banget.”

Seoertinya aku mencubit salah satu pipiku terlalu keras. “Bukan, ini cuma ... semangat pagiku.”

Aku berusaha bercanda seakan-akan itu bahasa baru. Christina tertawa mendengar komentarku itu, mungkin dengan agak terlalu keras, tapi aku menghargai usahanya. Uriah melambung beberapa kali di tempat tidur saat beringsut ke tepi.



No comments:

Post a Comment