Penulis: Suzanne
Collins
Aku tak tahu apa yang menguatkan Tobias untuk berjalan
melewati pintu rumah itu. Baginya, rumah ini pastilah berisi gaung teriakan
orangtua, lecutan ikat pinggang, dan jam-jam yang dihabiskannya di lemari kecil
yang gelap. Namun, Tobias tidak tampak terganggu saat membawa aku dan Peter ke
dapur. Yang jelas, ia tampak lebih tinggi. Namun, mungkin itulah Tobias—ketika
disangka lemah, ia justru kuat.
Tori, Harrison, dan Evelyn berdiri di dapur. Pemandangan itu
membuatku bingung. Aku menyandarkan bahuku ke dinding dan menutup mata
rapat-rapat. Siluet meja eksekusi masih tercetak di pelupuk mataku. Aku membuka
mata. Berusaha bernapas. Mereka bicara, tapi aku tak bisa mendengar kata-kata
mereka. Mengapa Evelyn di sini, di ruamh Marcus? Di mana Marcus?
Evelyn merangkul Tobias dengan satu tangan dan menyentuh
wajahnya dengan tangan yang lain, lalu menempelkan pipinya ke pipi Tobias. Ia
mengatakan sesuatu kepada anaknya itu. Tobias tersenyum saat menjauhkan diri.
Ibu dan anak, berdamai. Aku tak yakin apakah itu bijaksana.
Tobias memutar tubuhku, lalu dengan tangan yang satu di
lenganku dan tangan yang lain di pinggangku untuk menghindari luka di bahu,
mendorongku ke tangga. Kami menaiki tangga bersama-sama.
Di atas sana ada kamar lama orangtuanya dan juga kamar lama
Tobias serta kamar mandai yang terletak di antara kedua kamar itu. Hanya itu.
Ia membawaku ke kamarnya. Sejenak aku berdiri di sana dan memandangi ruangan
tempat Tobias menghabiskan hidupnya.
Ia terus memegangi tanganku. Sejak kami meninggalkan tangga
gedung itu, Tobias selalu memegangiku dengan sedemikian rupa seakan-akan
berpikir aku bakal pecah kalau ia tidak memegangiku.
“Marcus tidak masuk ke kamar ini setelah aku pergi, aku
yakin,” kata Tobias. “Karena tak ada yang berubah saat aku kembali kemari.”
Anggota faksi Abnegation tidak punya banyak dekorasi karena
itu dipandang sebagai sesuatu untuk menyenangkan diri sendiri, tapi Tobias
memiliki barang-barang yang diperbolehkan untuk kami miliki. Setumpuk kertas.
Rak buku kecil. Dan, anehnya, patung kaca biru di lemari bajunya.
“Ibuku menyelundupkan itu untukku waktu aku masih kecil. Ia
menyuruhku menyembunyikannya,” jelas Tobias. “Pada hari upacara, aku memasukkan
patung itu ke lemariku sebelum pergi. Agar ayahku tak melihatnya. Pembangkangan
kecil-kecilan.”
Aku mengangguk. Aneh rasanya berada di suatu tempat dengan
satu kenangan yang begitu kuat. Kamar ini adalah Tobias yang berusia enam belas
tahun, yang akan memilih Dauntless untuk melarikan diri dari ayahnya.
“Yuk, kita obati kakimu,” ajak Tobias. Tapi, ia tidak
bergerak, hanya menggeserkan jari-jarinya ke bagian dalam sikuku.
“Baiklah,” aku menurut.
Kami masuk ke kamar mandi dan aku duduk di tepi bathtub. Tobias duduk di sampingku,
dengan satu tangan di lututku saat ia berbalik untuk menyalakan keran dan
menutup lubang kuras. Air memenuhi bathtub
itu, menutupi jari kakiku. Darah menyebabkan air berubah menjadi merah muda.
Tobias berjongkok di dalam bathtub dan meletakkan kakiku di pangkuannya, menepuk-nepuk luka
yang dalam dengan handuk. Aku tak merasakannya. Bahkan, saat ia membalurkan
sabun di atas luka-luka itu, aku tak merasakan apa pun. Air berubah menjadi
abu-abu.
Aku mengambil sabun itu dan menggosokkannya di tanganku
hingga kulitku tertutupi busa putih. Aku meraih ke arah Tobias dan menggerakkan
jari-jariku di tangannya, berhati-hati membersihkan garis-garis telapak
tangannya dan sela-sela jarinya. Rasanya enak bisa melakukan sesuatu,
membersihkan sesuatu, dan menyentuh Tobias lagi.
Lantai kamar mandi jadi basah saat kami membasuh tubuh kami
dengan air untuk menghilangkan sabun. Air itu membuatku merasa dingin sehingga
menggigil, tapi aku tak peduli. Tobias mengambil handuk dan mulai mengeringkan
tanganku.
“Aku tidak ....” Aku terdengar seperti tercekik. “Seluruh
keluargaku sudah meninggal, atau jadi
pengkhianat. Bagaimana mungkin aku ....”
Kata-kataku terdengar tak masuk akal. Tangis mengambil alih
tubuhku, pikiranku, semuanya. Tobias menarik dan memelukku, menyebabkan air
merendam kakiku. Pelukannya kuat. Aku mendengar detak jantungnya dan, setelah
beberapa saat, irama itu membuatku tenang.
“Sekarang, aku yang akan menjadi keluargamu,” Tobias
menenangkan.
“Aku mencintaimu,” kataku.
Aku pernah mengucapkan itu, sebelum pergi ke markas Erudite,
tapi saat itu Tobias sedang tidur. Aku tak tahu mengapa aku tidak mengatakannya
saat Tobias bisa mendengarnya. Mungkin aku takut untuk memercayainya dengan
sesuatu yang begitu pribadi seperti pengakuanku itu. Atau, takut aku tak tahu
seperti apa rasanya mencintai seseorang. Tapi sekarang, kupikir aku mengerikan
adalah tidak mengatakan itu hingga semuanya terlambat. Tidak mengatakannya
hingga segalanya sangat terlambat bagiku.
Aku miliknya, dan ia milikku, dan selama ini memang seperti
itu.
Tobias menatapku sementara aku menunggu sambil mencengkeram
lengannya agar tidak limbung saat ia memikirkan jawabannya.
Ia mengerutkan kening ke arahku “Coba ulangi.”
“Tobias,” aku mengulangi, “aku mencintaimu.”
Kulit Tobias licin akibat air dan baunya seperti keringat
dan kausku menempel ke lengannya saat ia menggerakkan tangannya memeluk
tubuhku. Ia mencium pipiku.
“Aku juga mencintaimu,” katanya.[]
37
Tobias berbaring di sampingku saat aku tertidur. Kukira aku
bakal mimpi buruk, tapi sepertinya tubuhku terlalu llelah karena pikiranku
tetap kosong. Saat aku membuka mata lagi, Tobias sudah pergi, tapi ada setumpuk
pakaian di sampingku di tempat tidur.
Aku bangkit dan pergi ke kamar mandi. Tubuhku terasa sakit,
kulitku seperti dikikis hingga bersih dan setiap tarikan napasku agak
menyengat, tapi stabil. Aku tidak menyalakan lampu kamar mandi karena tahu
cahayanya pucat dan terang, seperti lampu-lampu di kompleks Erudite. Aku mandi
dalam gelap, nyaris tak bisa membedakan sabun dan contitioner, sambil meyakinkan diriku bahwa setelah mandi aku akan
seperti baru dan kuat, bahwa air akan menyembuhkanku.
Sebelum meninggalkan kamar mandi, aku mencubit keras-keras
agar darah mengalir ke permukaan kulitku. Memang konyol, tapi aku tak mau
tampak lemah dan lelah di hadapan semua orang.
Saat kembali ke kamar Tobias, Uriah sedang menggeletak
telungkup di tempat tidur. Christina sedang memegang patung biru di meja
Tobias, mengamatinya. Sementara itu, Lynn duduk di atas Uriah sambil memegang
bantal, dengan seringai nakal yang merayap naik di wajahnya.
Lynn menepuk belakang kepala Uriah keras-keras Christina
menyapa, “Hei, Tris!”, sementara Uriah berseru, “Aw! Kok kau bisa bikin bantal itu jadi menyakitkan, Lynn?”
“Itu karena kekuatanku yang luar biasa,” sahut Lynn. “Kau
kena tampar, Tris? Sebelah pipimu merah banget.”
Seoertinya aku mencubit salah satu pipiku terlalu keras.
“Bukan, ini cuma ... semangat pagiku.”
Aku berusaha bercanda seakan-akan itu bahasa baru. Christina
tertawa mendengar komentarku itu, mungkin dengan agak terlalu keras, tapi aku
menghargai usahanya. Uriah melambung beberapa kali di tempat tidur saat
beringsut ke tepi.
No comments:
Post a Comment