Insurgent (Divergent #2) (69)

Penulis: Suzanne Collins

Peter berbelok ke kiri menuju gang lain, yang dipenuhi kotak-kotak kardus berisi selimut lusuh dan bantal kotor—tempat tinggal lama para factionless, pikirku. Ia melompati kotak yang kuterjang dan kutendang ke belakang.

Saat tiba di ujung gang, ia berbelok ke kiri ke arah rawa-rawa. Kami kembali di Michigan Avenue. Di tempat terbuka dari markas Erudite, kalau ada yang memandang ke jalan.

“Ide buruk!” aku berseru.

Peter berbelok ke kanan. Setidaknya jalanan di sini kosong—tak ada tanda jalan yang roboh dan harus dihindari atau lubang yang perlu dilompati. Paru-paruku terbakar seolah-olah aku menghirup racun. Kakiku, yang tadi terasa sakit, sekarang terasa kebas, dan itu lebih baik. Di kejauhan, terdengar teriakan-teriakan.

Tiba-tiba terpikir olehku: Tindakan yang paling tak masuk akal adalah berhenti berlari.

Aku meraih lengan baju Peter dan menyeretnya ke gedung terdekat. Gedung enam lantai, dengan jendela-jendela besar yang disusun membentuk kisi-kisi yang dibatasi pilar-pilar bata. Pintu pertama yang kucoba terkunci, tapi Tobias menembak jendela di sampingnya sampai pecah, lalu membuka kuncinya dari dalam.

Gedung itu benar-benar kosong. Tak ada kursi atau meja satu pun. Dan ada terlalu banyak jendela. Kami berjalan menuju tangga darurat, dan aku merangkak ke bawah tangga pertama sehingga kami terlindung di balik tangga itu. Tobias duduk di sampingku. Peter duduk di depan kami, dengan lutut menempel ke dada.

Aku berusaha menarik napas dan menenangkan diriku, tapi itu sulit. Aku tadi mati. Aku tadi mati, lalu sekarang tidak, kenapa? Karena Peter? Peter?

Aku menatap Peter. Ia masih tampak begitu polos walaupun semua yang dilakukannya membuktikan sebaliknya. Rambutnya tetap rapi di kepalanya, berkilau dan gelap, seolah-olah barusan kami tidak berlari sepanjang satu kilometer dengan kecepatan penuh. Mata bulatnya mengamati tangga, lalu berhenti di wajahku.

“Apa?” tanya Peter. “Kenapa kau memandangku seperti itu?”

“Bagaimana caramu melakukannya?” tanyaku.

“Tak sulit,” katanya. “Aku mewarnai serum pelumpuh dengan warna ungu, lalu menukarnya dengan serum kematian. Mengganti kabel yang seharusnya membaca detak jantungmu dengan yang rusak. Bagian dengan alat pantau jantung itu agak sulit, jadi aku harus meminta bantuan Erudite dengan kendali jarak jauh dan sebangsanya—kau tak akan mengerti walaupun kujelaskan.”

Kenapa kau melakukannya?” tanyaku. “Kau ingin aku mati. Kau bahkan mau melakukannya sendiri! Kenapa berubah?”

Peter mengatupkan bibirnya rapat-rapat, tapi tidak mengalihkan pandangannya, cukup lama. Lalu, ia membuka mulut, ragu-ragu sejenak, dan akhirnya berkata, “Aku tak suka berutang. Oke? Pikiran bahwa aku berutang sesuatu padamu membuatku mual. Aku terbangun tengah malam dengan perasaan seolah ingin muntah. Berutang pada Orang Kaku? Itu konyol. Benar-benar konyol. Dan aku tak bisa begitu.”

“Kau ini bicara apa? Kau berutang padaku?”

Peter memutar bola matanya. “Kompleks Amity. Seseorang menembakku—pelurunya sejajar kepala, dan akan menghantam tepat di antara kedua mataku. Lalu, kau menerjangku sehingga terhindar. Sebelum itu kita impas—aku hampir membunuhmu saat inisiasi, kau hampir membunuhku saat simulasi penyerangan. Kita impas, kan? Tapi setelah itu ....”

“Sinting,” Tobias menimpali. “Dunia tidak seperti itu ... dengan semua orang menghitung-hitung.”

“Tidak?” Peter mengangkat alisnya. “Aku tak tahu kau hidup di dunia yang mana, tapi di duniaku orang-orang hanya melakukan sesuatu untuk orang lain karena dua alasan. Yang pertama, jika orang itu menginginkan sesuatu sebagai balasannya. Dan yang kedua, jika orang itu merasa berutang pada orang lain.”

“Itu bukan alasan mengapa orang melakukan sesuatu untukmu,” kataku. “Terkadang, mereka melakukannya karena mencintaimu. Yah, mungkin bukan kau, tapi ....”

Peter mendengus. “Sudah kuduga seorang Kaku yang suka berkhayal dan akan mengucapkan sampah semacam ini.”

“Kurasa kami hanya ingin membuatmu berutang pada kami,” ujar Tobias. “Jika tidak, kau bakal berlari ke siapa pun yang memberikan penawaran terbaik.”

Yeah,” sahut Peter. “Pasti begitu.”

Aku menggeleng. Aku tak bisa membayangkan menjalani hidup seperti dirinya—selalu mengingat siapa yang memberi aku apa dan apa yang harus kuberikan sebagai balasannya, tak mampu merasakan cinta, kesetiaan, atau pengampunan, bagai orang bermata satu yang memegang pisau, mencari mata orang lain untuk dicungkil. Itu bukan hidup. Itu versi hidup yang lebih pucat. Aku penasaran dari mana Peter belajar itu.

“Jadi, menurut kalian kapan kita bisa keluar dari sini?” tanya Peter.

“Beberapa jam lagi,” sahut Tobias. “Kita harus pergi ke sektor Abnegation. Saat ini, para factionless dan Dauntless yang tidak terhubung dengan simulasi ada di sana.”

“Luar biasa,” Peter berkomentar.

Tobias merangkulku. Aku menempelkan pipiku ke bahunya, dan menutup mata agar tak perlu melihat Peter. Aku tahu banyak yang harus dikatakan, walaupun aku tak benar-benar yakin apa yang harus kuucapkan, kami tak bisa mengatakannya di sini, atau sekarang.
***

Saat kami menyusuri jalanan yang dulu kusebut rumah, percakapan-percakapan memelan dan berhenti. Mata-mata memandangi wajah dan tubuhku. Sejauh yang mereka tahu—dan aku yakin mereka tahu, karena Jeanine tahu cara menyebarkkan berita—tak sampai enam jam yang lalu aku sudah mati. Sebagian para factionless yang kulewati memiliki noda biru di tubuhnya. Mereka siap diaktifkan oleh simulasi.

Setelah kami berada di sini, dan aman, barulah aku menyadari luka-luka yang ada di telapak kakiku akibat berlari di atas trotoar kasar dan pecahan kaca jendela. Setiap langkah terasa nyeri. Namun, aku memusatkan perhatianku pada semua tatapan itu.

“Tris?” seseorang memanggil dari depan. Aku mendongak dan melihat Uriah serta Christina di trotoar, sedang membandingkan revolver. Uriah menjatuhkan pistolnya ke rumput dan berlari ke arahku. Christina mengikutinya, tapi dengan lebih lambat.

Saat Uriah tiba di dekatku, Tobias mengulurkan tangan ke bahunya untuk menghentikannya. Gelombang rasa terima kasih melandaku. Kurasa saat ini aku tak mampu menghadapi pelukan, pertanyaan-pertanyaan, atau kejutan Uriah.

“Tris baru melewati banyak hal,” ujar Tobias. “Saat ini ia perlu tidur. Ia bakal ada di jalan—nomor tiga puluh tujuh. Datanglah besok.”

Uriah mengerutkan kening ke arahku. Faksi Dauntless biasanya tidak mengerti apa yang dimaksud dengan pengendalian diri, dan Uriah hanya mengetahui adat istiadat Dauntless. Namun, ia pasti menghargai sikap Tobias terhadapku karena ia mengangguk dan berkata, “Baiklah. Besok.”

Saat aku melewati Christina, ia mengulurkan tangan dan meremas pelan bahuku. Aku berusaha berdiri lebih tegak, tapi otot-ototku terasa bagaikan sangkar yang menahan bahuku tetap membungkuk. Mata-mata mengikutiku menyusuri jalan, menggigit tengkukku. Aku lega saat Tobias membawaku ke jalan masuk rumah abu-abu milik Marcus Eaton.



No comments:

Post a Comment