Penulis: Suzanne
Collins
Peter berbelok ke kiri menuju gang lain, yang dipenuhi
kotak-kotak kardus berisi selimut lusuh dan bantal kotor—tempat tinggal lama
para factionless, pikirku. Ia
melompati kotak yang kuterjang dan kutendang ke belakang.
Saat tiba di ujung gang, ia berbelok ke kiri ke arah
rawa-rawa. Kami kembali di Michigan Avenue. Di tempat terbuka dari markas
Erudite, kalau ada yang memandang ke jalan.
“Ide buruk!” aku berseru.
Peter berbelok ke kanan. Setidaknya jalanan di sini
kosong—tak ada tanda jalan yang roboh dan harus dihindari atau lubang yang
perlu dilompati. Paru-paruku terbakar seolah-olah aku menghirup racun. Kakiku,
yang tadi terasa sakit, sekarang terasa kebas, dan itu lebih baik. Di kejauhan,
terdengar teriakan-teriakan.
Tiba-tiba terpikir olehku: Tindakan yang paling tak masuk
akal adalah berhenti berlari.
Aku meraih lengan baju Peter dan menyeretnya ke gedung
terdekat. Gedung enam lantai, dengan jendela-jendela besar yang disusun
membentuk kisi-kisi yang dibatasi pilar-pilar bata. Pintu pertama yang kucoba
terkunci, tapi Tobias menembak jendela di sampingnya sampai pecah, lalu membuka
kuncinya dari dalam.
Gedung itu benar-benar kosong. Tak ada kursi atau meja satu
pun. Dan ada terlalu banyak jendela. Kami berjalan menuju tangga darurat, dan
aku merangkak ke bawah tangga pertama sehingga kami terlindung di balik tangga
itu. Tobias duduk di sampingku. Peter duduk di depan kami, dengan lutut
menempel ke dada.
Aku berusaha menarik napas dan menenangkan diriku, tapi itu
sulit. Aku tadi mati. Aku tadi mati,
lalu sekarang tidak, kenapa? Karena Peter? Peter?
Aku menatap Peter. Ia masih tampak begitu polos walaupun
semua yang dilakukannya membuktikan sebaliknya. Rambutnya tetap rapi di
kepalanya, berkilau dan gelap, seolah-olah barusan kami tidak berlari sepanjang
satu kilometer dengan kecepatan penuh. Mata bulatnya mengamati tangga, lalu
berhenti di wajahku.
“Apa?” tanya Peter. “Kenapa kau memandangku seperti itu?”
“Bagaimana caramu melakukannya?” tanyaku.
“Tak sulit,” katanya. “Aku mewarnai serum pelumpuh dengan
warna ungu, lalu menukarnya dengan serum kematian. Mengganti kabel yang
seharusnya membaca detak jantungmu dengan yang rusak. Bagian dengan alat pantau
jantung itu agak sulit, jadi aku harus meminta bantuan Erudite dengan kendali
jarak jauh dan sebangsanya—kau tak akan mengerti walaupun kujelaskan.”
“Kenapa kau
melakukannya?” tanyaku. “Kau ingin aku mati. Kau bahkan mau melakukannya
sendiri! Kenapa berubah?”
Peter mengatupkan bibirnya rapat-rapat, tapi tidak mengalihkan
pandangannya, cukup lama. Lalu, ia membuka mulut, ragu-ragu sejenak, dan
akhirnya berkata, “Aku tak suka berutang. Oke? Pikiran bahwa aku berutang
sesuatu padamu membuatku mual. Aku terbangun tengah malam dengan perasaan
seolah ingin muntah. Berutang pada Orang Kaku? Itu konyol. Benar-benar konyol.
Dan aku tak bisa begitu.”
“Kau ini bicara apa? Kau berutang padaku?”
Peter memutar bola matanya. “Kompleks Amity. Seseorang
menembakku—pelurunya sejajar kepala, dan akan menghantam tepat di antara kedua
mataku. Lalu, kau menerjangku sehingga terhindar. Sebelum itu kita impas—aku
hampir membunuhmu saat inisiasi, kau hampir membunuhku saat simulasi
penyerangan. Kita impas, kan? Tapi setelah itu ....”
“Sinting,” Tobias menimpali. “Dunia tidak seperti itu ...
dengan semua orang menghitung-hitung.”
“Tidak?” Peter mengangkat alisnya. “Aku tak tahu kau hidup di dunia yang mana, tapi di
duniaku orang-orang hanya melakukan sesuatu untuk orang lain karena dua alasan.
Yang pertama, jika orang itu
menginginkan sesuatu sebagai balasannya. Dan yang kedua, jika orang itu merasa berutang pada orang lain.”
“Itu bukan alasan mengapa orang melakukan sesuatu untukmu,”
kataku. “Terkadang, mereka melakukannya karena mencintaimu. Yah, mungkin bukan kau, tapi ....”
Peter mendengus. “Sudah kuduga seorang Kaku yang suka
berkhayal dan akan mengucapkan sampah semacam ini.”
“Kurasa kami hanya ingin membuatmu berutang pada kami,” ujar
Tobias. “Jika tidak, kau bakal berlari ke siapa pun yang memberikan penawaran
terbaik.”
“Yeah,” sahut
Peter. “Pasti begitu.”
Aku menggeleng. Aku tak bisa membayangkan menjalani hidup
seperti dirinya—selalu mengingat siapa yang memberi aku apa dan apa yang harus
kuberikan sebagai balasannya, tak mampu merasakan cinta, kesetiaan, atau
pengampunan, bagai orang bermata satu yang memegang pisau, mencari mata orang
lain untuk dicungkil. Itu bukan hidup. Itu versi hidup yang lebih pucat. Aku
penasaran dari mana Peter belajar itu.
“Jadi, menurut kalian kapan kita bisa keluar dari sini?”
tanya Peter.
“Beberapa jam lagi,” sahut Tobias. “Kita harus pergi ke
sektor Abnegation. Saat ini, para factionless
dan Dauntless yang tidak terhubung dengan simulasi ada di sana.”
“Luar biasa,” Peter berkomentar.
Tobias merangkulku. Aku menempelkan pipiku ke bahunya, dan
menutup mata agar tak perlu melihat Peter. Aku tahu banyak yang harus
dikatakan, walaupun aku tak benar-benar yakin apa yang harus kuucapkan, kami
tak bisa mengatakannya di sini, atau sekarang.
***
Saat kami menyusuri jalanan yang dulu kusebut rumah,
percakapan-percakapan memelan dan berhenti. Mata-mata memandangi wajah dan
tubuhku. Sejauh yang mereka tahu—dan aku yakin mereka tahu, karena Jeanine tahu
cara menyebarkkan berita—tak sampai enam jam yang lalu aku sudah mati. Sebagian
para factionless yang kulewati
memiliki noda biru di tubuhnya. Mereka siap diaktifkan oleh simulasi.
Setelah kami berada di sini, dan aman, barulah aku menyadari
luka-luka yang ada di telapak kakiku akibat berlari di atas trotoar kasar dan
pecahan kaca jendela. Setiap langkah terasa nyeri. Namun, aku memusatkan
perhatianku pada semua tatapan itu.
“Tris?” seseorang memanggil dari depan. Aku mendongak dan
melihat Uriah serta Christina di trotoar, sedang membandingkan revolver. Uriah
menjatuhkan pistolnya ke rumput dan berlari ke arahku. Christina mengikutinya,
tapi dengan lebih lambat.
Saat Uriah tiba di dekatku, Tobias mengulurkan tangan ke
bahunya untuk menghentikannya. Gelombang rasa terima kasih melandaku. Kurasa
saat ini aku tak mampu menghadapi pelukan, pertanyaan-pertanyaan, atau kejutan
Uriah.
“Tris baru melewati banyak hal,” ujar Tobias. “Saat ini ia
perlu tidur. Ia bakal ada di jalan—nomor tiga puluh tujuh. Datanglah besok.”
Uriah mengerutkan kening ke arahku. Faksi Dauntless biasanya
tidak mengerti apa yang dimaksud dengan pengendalian diri, dan Uriah hanya
mengetahui adat istiadat Dauntless. Namun, ia pasti menghargai sikap Tobias
terhadapku karena ia mengangguk dan berkata, “Baiklah. Besok.”
Saat aku melewati Christina, ia mengulurkan tangan dan
meremas pelan bahuku. Aku berusaha berdiri lebih tegak, tapi otot-ototku terasa
bagaikan sangkar yang menahan bahuku tetap membungkuk. Mata-mata mengikutiku
menyusuri jalan, menggigit tengkukku. Aku lega saat Tobias membawaku ke jalan
masuk rumah abu-abu milik Marcus Eaton.
No comments:
Post a Comment