Penulis: Suzanne
Collins
36
Aku masih bernapas. Tidak dalam. Tidak cukup memuaskan.
Tetapi bernapas. Peter menutup
kelopak mataku. Apakah ia tahu aku belum mati? Apakah Jeanine tahu? Bisakah
Jeanine melihatku bernapas?
“Bawa jasadnya ke lab,” perintah Jeanine. “Autopsinya nanti
sore.”
“Siap,” sahut Peter.
Peter mendorong meja ke depan. Aku mendengar gumanan di
sekelilingku saat kami melewati kerumunan penonton Erudite. Tanganku terkulai
dari tepi meja saat kami berbelok dan menabrak dinding. Aku merasakan jariku
sakit, tapi aku tak bisa menggerakkan tanganku, walaupun sudah berusaha keras.
Kali ini, saat kami menyusuri koridor berisi Dauntless
pembelot, suasana hening. Awalnya Peter berjalan dengan pelan, tapi kemudian ia
mempercepat langkahnya setelah berbelok lagi. Ia nyaris berlari menyusuri
koridor selanjutnya dan tiba-tiba berhenti. Di mana aku? Tak mungkin aku sudah
di lab. Mengapa Peter berhenti?
Lengan Peter menyusup ke bawah lutu dan bahuku, lalu ia
mengangkatku. Kepalaku terkulai di bahunya.
“Untuk orang yang badannya kecil, kau itu berat, Kaku,” gumamnya.
Peter tahu aku sadar. Ia tahu.
Aku mendengar serangkaian bunyi bip yang diikuti bunyi
pintu—yang tadinya terkunci—bergeser membuka.
“Apa yang—” suara Tobias. Tobias! “Oh, Tuhan. Oh—”
“Berhenti mengoceh, oke?” kata Peter. “Ia tidak mati, cuma
lumpuh. Kelumpuhannya cuma semenit. Siap-siap lari.”
Aku tak mengerti.
Mengapa Peter tahu?
“Biar aku yang membawanya,” Tobias menawarkan.
“Tidak. Bidikanmu lebih bagus daripada aku. Bawa pistolku.
Aku yang akan membawanya.”
Aku mendengar bunyi pistol dikeluarkan dari sarungnya.
Tobias membelai dahiku. Lalu, mereka berdua mulai berlari.
Awalnya yang kudengar hanyalah bunyi langkah mereka, dan
kepalaku yang menengadah menyakitkan. Aku merasa tangan dan kakiku kesemutan.
Peter berseru, “Kiri!” kepada Tobias.
Lalu, seruan di koridor. “Hei, apa—!”
Pistol menyalak. Lalu hening.
Lari lagi. Peter berseru, “Kanan!” Aku mendengar bunyi
tembakan lagi, dan lagi. “Wooo,” gumamnya. “Tunggu, berhenti di sini!”
Tulang punggungku terasa geli. Aku membuka mata saat Peter
membuka pintu. Ia berlari melewati pintu itu, dan tepat sebelum kepalaku
menghantam kosen pintu, aku mengangkat tanganku dan menghentikan kami.
“Hati-hati!” kataku, suaraku tegang. Kerongkonganku masih
terasa kencang seperti saat ia menyuntikkanku tadi. Dan aku sulit bernapas.
Peter berjalan miring untuk membawaku melewati pintu, menutup pintu itu dengan
tumitnya, lalu meletakkanku di lantai.
Ruangan itu nyaris kosong. Hanya ada tong sampah kosong yang
berderet di salah satu dinding dan sebuah pintu logam kotak yang cukup besar
untuk dilewati tong itu di dinding lain.
“Tris,” panggil Tobias sambil berjongkok di sampingku.
Wajahku pucat, nyaris kuning.
Terlalu banyak yang ingin kukatakan. Namun, yang pertama
kali keluar adalah, “Beatrice.”
Tobias tertawa pelan.
“Beatrice,” ia meralat. Lalu, ia menciumku. Aku menautkan
jari-jariku di kausnya.
“Kalian mungkin ingin melakukan itu nanti, kecuali kalau mau
aku memuntahi kalian,” komentar Peter datar.
“Kita di mana?” tanyaku.
“Ini insinerator,” jawab Peter sambil menepuk pintuk kotak
itu. “Aku mematikannya. Ini akan membawa kita ke gang. Lalu, kalau ingin keluar
dari sektor Erudite hidup-hidup, bidikanmu harus sempurna, Four.”
“Tak perlu mencemaskan bidikanku,” jawab Tobias. Seperti
aku, Tobias juga bertelanjang kaki.
Peter membuka pintu menuju insinerator atau tempat
pembakaran sampah itu. “Tris, kau duluan.”
Lorong pembuangan sampah itu lebarnya sekitar satu meter dan
tingginya sekitar satu seperempat meter. Aku memasukkan satu kaki ke lorong
itu, lalu, dengan bantuan Tobias, mengayunkan kaki yang satu lagi. Perutku
mencelus saat aku meluncur menuruni sebuah pipa logam pendek. Lalu, serangkaian
roda berjalan mengenai punggungku saat aku melewatinya.
Aku mencium bau api dan asap, tapi tubuhku tak terbakar.
Kemudian, aku jatuh. Lenganku menghantam dinding metal, membuatku mengerang.
Aku mendarat di lantai semen, dengan keras, benturannya membuat tulang keringku
dirambati rasa sakit.
“Aw.” Aku menjauhi bukaan itu sambil terpincang-pincang lalu
berteriak, “Turunlah!”
Kakiku baru pulih saat Peter mendarat, menyamping dan bukan
dengan kaki. Ia mengerang, lalu menyeret badannya menjauhi bukaan itu untuk
memulihkan diri.
Aku memandang berkeliling. Kami ada di dalam insinerator,
yang seharusnya gelap gulita seandainya tidak ada garis lampu yang menyala
membentuk pintu kecil di ujung sana. Lantainya terbuat dari logam utuh di
beberapa tempat dan logam kisi-kisi di tempat yang lain. Segala hal di sini
berbau seperti sampah burusk dan api.
“Jangan bilang aku tak pernah membawamu ke tempat yang
indah,” ancam Peter.
“Tak akan,” aku membalas.
Tobias jatuh ke lantai, mendarat dengan kakinya lalu
menungging ke depan ke lututnya, dan meringis. Aku membantunya bangkit, lalu
berdiri di dekatnya. Semua aroma, pemandangan, dan perasaan yang ada di dunia
ini bagai berlipat-lipat. Aku hampir mati, tapi sekarang aku hidup. Karena
Peter.
Peter berjalan melintasi kisi-kisi dan membuka pintu kecil
itu. Cahaya tercurah masuk ke insinerator. Tobias berjalan bersamaku menjauhi
bau api, menjauhi tungku logam, menuju ruangan berdinding semen yang
mengelilingi tungku itu.
“Pistolnya kau bawa?” Peter bertanya pada Tobias.
“Tidak,” jawab Tobias, “kurasa aku bisa menembak dengan
lubang hidungku, jadi pistolnya kutinggalkan di atas.”
“Dasar.”
Peter memegang pistol lain di depan tubuhnya dan
meninggalkan ruang insinerator. Koridor apak dengan pipa-pipa di
langit-langitnya menyambut kami, untung panjangnya hanya tiga meter. Tanda di
samping pintu di ujungnya berbunyi EXIT. Aku hidup dan aku akan pergi.
***
Lahan yang membentang di antara markas Dauntless dan markas
Erudite tampak lain saat dilihat dari arah yang berlawanan. Kurasa semua hal
akan tampak berbeda saat seseorang tidak menyongsong kematian.
Ketika kami tiba di ujung gang, Tobias menempelkan bahunya
ke dinding dan memajukan tubuh secukupnya untuk melihat keadaan di balik
belokan itu. Wajahnya datar. Ia meletakkan satu tangan di sudut itu,
memantapkan dirinya dengan dinding gedung itu, lalu menembak dua kali. Aku
menekankan jariku ke telinga dan berusaha untuk tidak memperhatikan bunyi
tembakan dan ingatan yang timbul akubat bunyi itu.
“Cepat,” tanya Tobias.
Kami berlari menyusui Wabash Avenue. Peter di depan, aku di
tengah, dan Tobias di belakang. Aku menoleh ke balik bahuku untuk melihat apa
yang Tobias tembak. Dua laki-laki di jalan di belakang markas Erudite. Yang
satu tak bergerak, sedangkan yang satu lagi memeluk lengannya dan berlari ke
pintu. Mereka akan menyuruh yang lain untuk mengejar kami.
Pikiranku terasa kacau, mungkin akibat kelelahan, tapi
adrenalin membuatku terus berlari.
“Ambil jalan yang paling tidak masuk akal!” seru Tobias.
“Apa?” sahut Peter.
“Jalan yang paling tak masuk akal,” ulang Tobias. “Supaya
mereka tak bisa menemukan kita!”
No comments:
Post a Comment