Insurgent (Divergent #2) (67)

Penulis: Suzanne Collins

35

Pagi ini aku mengenakan pakaian bersih yang diberikan kepadaku: kaus lengan panjang berwarna hitam dan celana hitam—terlalu longgar, tapi siapa yang peduli? Tanpa sepatu.

Sekarang belum saatnya. Aku menautkan jari-jariku dan menunduk. Kadang-kadang, ayahku melakukan ini pada pagi hari sebelum duduk di meja untuk sarapan, tapi aku tak pernah bertanya apa yang dilakukannya. Namun, aku ingin merasa menjadi anak ayahku lagi sebelum aku ... yah, sebelum ini berakhir.

Beberapa saat yang sunyi kemudian, Peter memberitahuku saatnya berangkat. Ia nyaris tak memandangku dan malah merengut ke arah dinding belakang. Kurasa berharap melihat wajah yang bersahabat pagi ini terlalu berlebihan. Aku berdiri, lalu kami berjalan menyusuri koridor.

Jari kakiku dingin. Kakiku lengket ke ubinnya. Kami berbelok, lalu aku mendengar teriakan-teriakan samar. Mulanya aku tak tahu apa yang dikatakan suara itu, tapi saat kami mendekat, aku mulai bisa mendengarnya.

“Aku ingin ... nya!” Tobias. “Aku ... bertemu dengannya!”

Aku melirik Peter. “Aku tak boleh bicra untuk terakhir kali padanya, ya?”

Peter menggeleng. “Tapi ada jendela. Mungkin ia akan berhenti bicara jika melihatmu.”

Peter membawaku ke koridor buntu yang panjangnya hanya dua meter. Di ujungnya ada pintu. Peter benar. Ada jendela kecil di atas sana, sekitar tiga puluh senti di atas kepalaku.

“Tris!” Suara Tobias terdengar lebih jelas di sini. “Aku ingin bertemu dengannya!”

Aku mengulurkan tangan dan menekankan tanganku ke kaca itu. Teriakan itu berhenti, lalu wajah Tobias muncul di balik kaca. Matanya merah. Wajahnya bengkak. Tampan. Ia menunduk memandangku selama beberapa detik, lalu menekankan tangannya ke kaca hingga menempel dengan tanganku. Aku berpura-pura dapat merasakan kehangatannya menembus jendel.

Tobias menyandarkan dahinya ke pintu dan menutup mata rapat-rapat.

Aku menurunkan tanganku dan berbalik sebelum Tobias membuka matanya. Aku merasakan nyeri di dadaku, lebih sakit daripada saat bahuku tertembak. Aku meremas bagian depan kausku, mengerjapkan mata untuk menyingkirkan air mata, dan menghampiri Peter di koridor utama.

“Terima kasih,” ucapku dengan pelan. Aku bermaksud mengatakannya dengan lebih keras.

“Terserahlah.” Peter merengut lagi. “Ayp.”

Aku mendengar gemuruh dari suatu tempat di atas kami—suara kerumunan orang. Koridor selanjutnya dipenuhi Dauntless pembelot, tinggi dan pendek, muda dan tua, bersenjata maupun tanpa senjata. Mereka semua mengenakan ban lengan biru pertanda pengkhiatan.

“Hei!” seru Peter. “Beri jalan!”

Para Dauntless pembelot yang paling dekat mendengarnya dan memepet ke dinding agar kami bisa lewat. Dauntless pembelot yang lain segera mengikutinya. Tak ada yang berbicara. Peter melangkah mundur agar aku berjalan di depan. Aku tahu jalannya dari sini.

Aku tak tahu dari mana asalnya, tapi seseorang memukulkan tinju ke dinding, lalu yang lain mengikuti, dan aku berjalan menyusuri gang di antara para Dauntless pembelot yang khidmat, tapi berisik dengan tangan bergerak di samping tubuh mereka. Bunyinya begitu kencang sehingga jantungku terpacu mengikutinya.

Sebagian Dauntless pembelot menunduk ke arahku—aku tak tahu mengapa. Tak perlu dipikirkan.

Aku bisa di ujung koridor dan membuka pintu menuju ruang eksekusiku.

Aku membukanya.

Para Dauntless pembelot berkerumun di koridor. Para Erudite berkerumun di ruang eksekusi, tapi di sana, mereka sudah menyediakan jalan untukku. Mereka mempelajariku tanpa bicara saat aku berjalan menuju meja logam di tengah ruangan. Jeanine berdiri beberapa langkah dari sana. Goresan di wajahnya tampak dari balik riasan yang dibubuhkan secara terburu-buru. Ia tidak memandangku.

Empat kamera tergantung dari langit-langit, masing-masing di sudut meja. Aku duduk, mengusapkan tanganku ke celana, lalu berbaring.

Meja itu dingin. Dingin sekali dan menembus kulitku hingga ke tulang. Wajar, mungkin, karena itulah yang akan terjadi pada tubuhku saat nyawaku pergi. Tubuhku akan menjadi dingin dan berat, lebih berat daripada sebelumnya. Namun, aku tak tahu apa yang terjadi dengan nyawaku. Sebagian orang percaya aku tak akan pergi ke mana-mana. Mungkin mereka benar, tapi mungkin juga salah. Lagi pula, dugaan semacam itu tak ada gunanya bagiku.

Peter menyelipkan elektroda melalui kerah kausku dan menekannya di dadaku, tepat di jantungku. Lalu, ia memasangkan kawat ke elektroda itu dan menyalakan alat pantau jantung. Aku mendengar degup jantungku, cepat dan kuat. Sebentar lagi keheningan akan mengganti irama teratur itu.

Lau, di dalam diriku muncullah satu pikiran:

Aku tak mau mati.

Selama ini Tobias selalu memarahiku karena mempertaruhkan nyawa, tapi aku tak menganggapnya serius. Aku yakin aku ingin bersama orangtuaku dan ingin semua ini berakhir. Aku yakin aku ingin meniru pengorbanan mereka. Tapi tidak. Tidak. Tidak.

Hasrat untuk hidup membara dan bergolak di dalam diriku.

Aku tak mau mati aku tak mau mati aku tak mau!

Jeanine menghampiri dengan alat suntuk yang penuh serum ungu. Kacamatanya memantulkan sinar lampu di atas kami, jadi aku tak bisa melihat matanya.

Segenap sel di tubuhku berdoa serempak. Hidup, hidup, hidup. Selama ini kupikir aku harus mati demi menebus kematian Will, menebus kematian orangtuaku. Namun, aku salah. Seharusnya aku menjalani hidupku demi menghargai kematian mereka. Aku harus hidup.

Jeanine menahan kepalaku dengan sat tangan dan menusukkan jarum itu ke leherku dengan tangan yang lain.

Aku belum selesai! Aku berteriak dalam hati, bukan pada Jeanine. Aku belum selesai di sini!

Jeanine menekan suntikan itu. Peter memajukan tubuhnya dan memandang mataku.

“Serumnya akan bekerja dalam satu menit,” katanya. “Beranikan dirimu, Tris.”

Kata-kata itu membuatku terkejut, karena itulah yang Tobias katakan saat memasukkanku ke simulasiku yang pertama.

Jantungku mulai berpacu.

Mengapa Peter menyuruhku untuk memberanikan diri? Mengapa ia mengucapkan kata-kata yang baik?

Segera setelah saja seluruh otot di tubuhku lemas. Perasaan cair yang berat mengisi anggota tubuhku. Jika ini kematian, rasanya tak terlalu buruk. Mataku tetap terbuka, tapi kepalaku terkulai ke samping. Aku berusaha menutup mata, tapi tak bisa—aku tak bisa bergerak.

Alat pantau jantung berhenti berbunyi.[]



No comments:

Post a Comment