Penulis: Suzanne
Collins
35
Pagi ini aku mengenakan pakaian bersih yang diberikan
kepadaku: kaus lengan panjang berwarna hitam dan celana hitam—terlalu longgar,
tapi siapa yang peduli? Tanpa sepatu.
Sekarang belum saatnya. Aku menautkan jari-jariku dan menunduk.
Kadang-kadang, ayahku melakukan ini pada pagi hari sebelum duduk di meja untuk
sarapan, tapi aku tak pernah bertanya apa yang dilakukannya. Namun, aku ingin
merasa menjadi anak ayahku lagi sebelum aku ... yah, sebelum ini berakhir.
Beberapa saat yang sunyi kemudian, Peter memberitahuku
saatnya berangkat. Ia nyaris tak memandangku dan malah merengut ke arah dinding
belakang. Kurasa berharap melihat wajah yang bersahabat pagi ini terlalu
berlebihan. Aku berdiri, lalu kami berjalan menyusuri koridor.
Jari kakiku dingin. Kakiku lengket ke ubinnya. Kami
berbelok, lalu aku mendengar teriakan-teriakan samar. Mulanya aku tak tahu apa
yang dikatakan suara itu, tapi saat kami mendekat, aku mulai bisa mendengarnya.
“Aku ingin ... nya!” Tobias. “Aku ... bertemu dengannya!”
Aku melirik Peter. “Aku tak boleh bicra untuk terakhir kali
padanya, ya?”
Peter menggeleng. “Tapi ada jendela. Mungkin ia akan
berhenti bicara jika melihatmu.”
Peter membawaku ke koridor buntu yang panjangnya hanya dua
meter. Di ujungnya ada pintu. Peter benar. Ada jendela kecil di atas sana,
sekitar tiga puluh senti di atas kepalaku.
“Tris!” Suara Tobias terdengar lebih jelas di sini. “Aku
ingin bertemu dengannya!”
Aku mengulurkan tangan dan menekankan tanganku ke kaca itu.
Teriakan itu berhenti, lalu wajah Tobias muncul di balik kaca. Matanya merah.
Wajahnya bengkak. Tampan. Ia menunduk memandangku selama beberapa detik, lalu
menekankan tangannya ke kaca hingga menempel dengan tanganku. Aku berpura-pura
dapat merasakan kehangatannya menembus jendel.
Tobias menyandarkan dahinya ke pintu dan menutup mata
rapat-rapat.
Aku menurunkan tanganku dan berbalik sebelum Tobias membuka
matanya. Aku merasakan nyeri di dadaku, lebih sakit daripada saat bahuku
tertembak. Aku meremas bagian depan kausku, mengerjapkan mata untuk
menyingkirkan air mata, dan menghampiri Peter di koridor utama.
“Terima kasih,” ucapku dengan pelan. Aku bermaksud
mengatakannya dengan lebih keras.
“Terserahlah.” Peter merengut lagi. “Ayp.”
Aku mendengar gemuruh dari suatu tempat di atas kami—suara
kerumunan orang. Koridor selanjutnya dipenuhi Dauntless pembelot, tinggi dan
pendek, muda dan tua, bersenjata maupun tanpa senjata. Mereka semua mengenakan
ban lengan biru pertanda pengkhiatan.
“Hei!” seru Peter. “Beri jalan!”
Para Dauntless pembelot yang paling dekat mendengarnya dan
memepet ke dinding agar kami bisa lewat. Dauntless pembelot yang lain segera
mengikutinya. Tak ada yang berbicara. Peter melangkah mundur agar aku berjalan
di depan. Aku tahu jalannya dari sini.
Aku tak tahu dari mana asalnya, tapi seseorang memukulkan
tinju ke dinding, lalu yang lain mengikuti, dan aku berjalan menyusuri gang di
antara para Dauntless pembelot yang khidmat, tapi berisik dengan tangan
bergerak di samping tubuh mereka. Bunyinya begitu kencang sehingga jantungku
terpacu mengikutinya.
Sebagian Dauntless pembelot menunduk ke arahku—aku tak tahu
mengapa. Tak perlu dipikirkan.
Aku bisa di ujung koridor dan membuka pintu menuju ruang
eksekusiku.
Aku membukanya.
Para Dauntless pembelot berkerumun di koridor. Para Erudite
berkerumun di ruang eksekusi, tapi di sana, mereka sudah menyediakan jalan
untukku. Mereka mempelajariku tanpa bicara saat aku berjalan menuju meja logam
di tengah ruangan. Jeanine berdiri beberapa langkah dari sana. Goresan di
wajahnya tampak dari balik riasan yang dibubuhkan secara terburu-buru. Ia tidak
memandangku.
Empat kamera tergantung dari langit-langit, masing-masing di
sudut meja. Aku duduk, mengusapkan tanganku ke celana, lalu berbaring.
Meja itu dingin. Dingin sekali dan menembus kulitku hingga
ke tulang. Wajar, mungkin, karena itulah yang akan terjadi pada tubuhku saat
nyawaku pergi. Tubuhku akan menjadi dingin dan berat, lebih berat daripada
sebelumnya. Namun, aku tak tahu apa yang terjadi dengan nyawaku. Sebagian orang
percaya aku tak akan pergi ke mana-mana. Mungkin mereka benar, tapi mungkin
juga salah. Lagi pula, dugaan semacam itu tak ada gunanya bagiku.
Peter menyelipkan elektroda melalui kerah kausku dan
menekannya di dadaku, tepat di jantungku. Lalu, ia memasangkan kawat ke
elektroda itu dan menyalakan alat pantau jantung. Aku mendengar degup
jantungku, cepat dan kuat. Sebentar lagi keheningan akan mengganti irama
teratur itu.
Lau, di dalam diriku muncullah satu pikiran:
Aku tak mau mati.
Selama ini Tobias selalu memarahiku karena mempertaruhkan
nyawa, tapi aku tak menganggapnya serius. Aku yakin aku ingin bersama
orangtuaku dan ingin semua ini berakhir. Aku yakin aku ingin meniru pengorbanan
mereka. Tapi tidak. Tidak. Tidak.
Hasrat untuk hidup membara dan bergolak di dalam diriku.
Aku tak mau mati aku
tak mau mati aku tak mau!
Jeanine menghampiri dengan alat suntuk yang penuh serum
ungu. Kacamatanya memantulkan sinar lampu di atas kami, jadi aku tak bisa
melihat matanya.
Segenap sel di tubuhku berdoa serempak. Hidup, hidup, hidup. Selama ini kupikir aku harus mati demi menebus kematian Will, menebus kematian orangtuaku. Namun, aku salah. Seharusnya aku menjalani hidupku demi menghargai kematian mereka. Aku harus hidup.
Jeanine menahan kepalaku dengan sat tangan dan menusukkan
jarum itu ke leherku dengan tangan yang lain.
Aku belum selesai!
Aku berteriak dalam hati, bukan pada Jeanine. Aku belum selesai di sini!
Jeanine menekan suntikan itu. Peter memajukan tubuhnya dan
memandang mataku.
“Serumnya akan bekerja dalam satu menit,” katanya.
“Beranikan dirimu, Tris.”
Kata-kata itu membuatku terkejut, karena itulah yang Tobias
katakan saat memasukkanku ke simulasiku yang pertama.
Jantungku mulai berpacu.
Mengapa Peter menyuruhku untuk memberanikan diri? Mengapa ia
mengucapkan kata-kata yang baik?
Segera setelah saja seluruh otot di tubuhku lemas. Perasaan
cair yang berat mengisi anggota tubuhku. Jika ini kematian, rasanya tak terlalu
buruk. Mataku tetap terbuka, tapi kepalaku terkulai ke samping. Aku berusaha
menutup mata, tapi tak bisa—aku tak bisa bergerak.
Alat pantau jantung berhenti berbunyi.[]
No comments:
Post a Comment