Penulis: Suzanne
Collins
34
Begitu tiba di koridor, aku berhenti berusaha mendekati
Jeanine. Samping tubuhku yang tadi ditinju Peter berdenyut. Tapi, rasa sakit
itu tak ada apa-apanya dibandingkan denyut kemenangan di pipiku.
Peter membawaku kembali ke sel tanpa berkata-kata. Aku
berdiri di tengah ruangan cukup lama sambil menatap kamera di sudut kiri
belakang. Siapa yang mengawasiku sepanjang waktu? Apakah Dauntless pembelot,
yang menjagaku? Ataukah Erudite, mengamatiku?
Begitu rasa panas lenyap dari wajahku dan samping tubuhku
tak lagi sakit, aku berbaring.
Begitu menutup mata, bayangan orangtuaku langsung muncul di
benakku. Saat berusia sebelas tahun, aku pernah berhenti di pintu menuju kamar
tidur orangtuaku untuk melihat mereka merapikan tempat tidur bersama. Ayahku
tersenyum ke arah ibuku saat mereka menarik seprai dan merapikannya dengan
gerakan yang sangat sinkron. Dari cara ayahku menatap ibuku, aku tahu ayahku
memandang ibuku lebih tinggi daripada dirinya sendiri.
Tak ada sifat egois ataupun rasa tidak nyaman yang
menghalangi ayahku melihat semua kebaikan ibuku, seperti yang kami semua
lakukan. Cinta semacam itu mungkin hanya terjadi di faksi Abnegation. Entahlah.
Ayahku: kelahiran Erudite, tapi menjadi seorang Abnegation.
Ia sering menghadapi kesulitan untuk mengikuti tuntutan faksi pilihannya,
seperti diriku. Tapi ia tetap berusaha, dan ia tahu sifat tanpa pamrih sejati
saat melihatnya.
Aku memeluk bantalku di dada dan menguburkan wajahku di
sana. Aku tidak menangis. Hanya merasa sakit.
Rasa berduki tidak seberat bersalah, tapi lebih menguras.
***
“Kaku.”
Aku terbangun dengan kaget, tanganku masih memeluk bantal.
Ada noda basah di matras di bawah wajahku. Aku duduk dan menyeka mataku dengan
jari.
Alis Peter, yang bagian tengahnya biasanya terangkat,
sekarang berkerut.
“Ada apa?” Apa pun itu pastilah tidak bagus.
“Eksekusimu dijadwalkan akan dilaksanakan besok pagi pukul
delapan tepat.”
“Eksekusiku? Tapi, Jeanine ... ia belum berhasil membuat
simulasi yang tepat. Ia tak mungkin
....”
“Jeanine bilang akan melanjutkan eksperimennya dengan Tobias
dan bukan kau,” potong Peter.
Aku hanya bisa berkata: “Oh.”
Aku mencengkeram matras dan berayun ke depan dan ke
belakang, ke depan dan ke belakang. Besok hidupku berakhir. Tobias mungkin tak
akan bertahan cukup lama sehingga bisa lolos saat para factionless menyerbu. Faksi Dauntless akan memilih pemimpin baru.
Semua hal yang belum kuselesaikan akan diurus.
Aku mengangguk. Aku tak punya keluarga lagi, tak ada urusan
yang belum selesai, tak ada kehilangan besar.
“Kau tahu? Aku mungkin bisa memaafkanmu,” kataku. “Karena
mencoba membunuhku waktu masa inisiasi dulu. Aku mungkin bisa.”
Kami berdua tak berbicara selama beberapa saat. Aku tak tahu
mengapa aku mengatakan itu kepadanya. Mungkin karena itu benar, dan malam ini,
dibandingkan malam-malam lainnya, adalah saat yang baik untuk bersikap jujur.
Malam ini aku akan jujur, tak mementingkan diri sendiri, dan berani. Divergent.
“Aku tak pernah memintamu melakukan itu,” sahut Peter. Ia
berbalik untuk pergi, tapi berhenti di pintu dan berkata, “Sekarang 9.24.”
Memberitahukan waktu kepadaku adalah suatu tindakan
pengkhianatan kecil—suatu tindakan yang berani. Mungkin baru kali ini aku
melihat Peter sebagai seorang Dauntless sejati.
***
Besok aku bakal mati. Sudah lama sekali aku tidak merasakan
hal yang pasti, jadi ini rasanya bagaikan anugerah. Malam ini, tak ada apa-apa.
Besok, apa pun yang ada di alam baka. Dan, Jeanine masih tak tahu bagaimana
cara mengendalikan Divergent.
Saat mulai menangis, aku memeluk bantal di dada dan
membiarkan perasaan itu tumpah. Aku menangis dengan keras, seperti anak kecil,
hingga wajahku panas dan merasa mual. Aku bisa berpura-pura berani, padahal
tidak.
Kurasa ini saatnya memohon pengampunan atas semua hal yang
pernah kulakukan, tapi aku yakin daftar kesalahanku panjang sekali. Aku juga
tidak percaya bahwa apa pun yang muncul setelah kematian itu bergantung pada
apakah aku menyebutkan daftar kesalahanku dengan benar atau tidak—bagiku ini
terlalu seperti alam baka faksi Erudite, hanya ketepatan tanpa perasaan. Aku
tak percaya bahwa semua yang ada di alam baka itu bergantung pada apa yang
kulakukan.
Lebih baik aku melakukan seperti yang diajarkan padaku
sebagai seorang Abnegation: berpaling dari diri sendiri, mengarahkan semua
perasaan ke luar, dan berharap apa pun yang terjadi nanti, aku akan menjadi
orang yang lebih baik daripada sekarang.
Aku tersenyum sedikt. Seandainya aku bisa mengatakan pada
orangtuaku bahwa aku akan mati seperti seorang Abnegation. Kurasa mereka akan
bangga.[]
No comments:
Post a Comment