Penulis: Suzanne
Collins
“Lalu apa fungsinya yang lain?” Jeanine memandang “kelasnya”
seperti guru-guruku di Tingkat Atas. Seorang Erudite lain mengangkat tangannya.
“Belajar bahasa, memahami niat orang lain berdasarkan
perilaku mereka, mmm ...,” ia mengerutkan kening. “Dan empati.”
“Tepatnya,” Jeanine menerangkan, kali ini ia tersenyum ke
arahku dan menyebabkan kerutan-kerutan muncul di pipinya, “seseorang yang
memiliki banyak sel saraf peniru yang kuat memiliki kepribadian yang
fleksibel—mampu meniru perilaku orang lain saat situasinya memaksa begitu dan
bukannya tetap konstan.”
Sekarang, aku mengerti mengapa Jeanine tersenyum. Pikiranku
seolah-olah dibuka dan isinya ditumpahkan di lantai sehingga bisa kulihat.
“Kepribadian yang fleksibel,” lanjut Jeanine, “kemungkinan
besar menyebabkan tes kecakapan menghasilkan lebih dari satu faksi. Setuju, Ms.
Prior?”
“Mungkin,” kataku. “Nah, kalau kita bisa membuat simulasi
untuk menekan kemampuan itu, maka semua ini selesai.”
“Satu per satu.” Ia berhenti. “Harus kuakui, aku heran
mengapa kau sangat bersemangat untuk dieksekusi.”
“Tidak.” Aku menutup mata. “Kau tidak heran sama sekali.”
Aku mendesah. “Sekarang, boleh aku kembali ke selku?”
Aku pasti tampak acuk tak acuh, padahal sebenarnya tidak.
Aku ingin kembali ke kamarku agar bisa menangis dengan tenang. Tapi, aku tak
ingin Jeanine tahu itu.
“Jangan senang dulu,” kicaunya. “Kami akan menyiapkan serum
simulasi untuk dicoba, segera.”
“Yeah,” aku
menyahut. “Terserahlah.”
***
Seseroang mengguncang bahuku. Aku tersentak bangun, mataku
melebar dan mencari-cari, lalu aku melihat Tobias berlutut di sampingku. Ia
mengenakan jaket Dauntless pembelok, dan sebelah kepalanya tertutup darah.
Darah itu mengalir dari luka di telinganya—bagian atas telinganya hilang. Aku
meringis.
“Ada apa?” tanyaku.
“Bangun. Kita harus lari.”
“Terlalu cepat. Belum dua minggu.”
“Tak ada waktu untuk menjelaskan. Ayolah.”
“Ya ampun, Tobias.”
Aku duduk dan memeluknya, menekankan wajahku ke lehernya.
Lengannya memelukku erat. Rasa hangat mengalir dalam diriku, juga rasa nyaman.
Jika Tobias ada di sini, itu artinya aku aman. Air mataku membuat kulitnya
licin.
Tobias bangkit dan menarikku berdiri, yang menyebabkan luka
di bahuku berdenyut.
“Sebentar lagi bala bantuan datang. Ayo.”
Aku membiarkan Tobias menuntunku keluar dari ruangan. Kami
berhasil melewati koridor pertama tanpa kesulitan. Namun di koridor kedua, kami
dihadang dua Dauntless penjaga, satu pemuda dan satu lagi wanita setengah baya.
Tobias menembak dua kali dengan cepat. Keduanya kena, satu di kepala dan satu
di dada. Si Wanita Dauntless, yang terkena di dada, tersungkur di dinding tapi
tidak mati.
Kami terus berlari. Satu koridor, lalu yang berikutnya,
semuanya tampak sama. Cengkeraman Tobias tidak pernah mengendur. Aku tahu jika
ia bisa melemparkan pisau sehingga hanya mengenai ujung telingaku, ia bisa
menembak dengan tepat prajurit Dauntless yang mengepung kami. Kami meloncati
tubuh-tubuh yang tergeletak—orang-orang yang Tobias bunuh saat ke selku tadi,
mungkin—dan akhirnya tiba di pintu darurat.
Tobias melepaskan tanganku untuk membuka pintu, alarm
kebakaran melengking di telingaku, tapi kami tetap berlari. Aku terengah-engah,
tapi aku tak peduli, tidak saat akhirnya bisa melarikan diri, tidak saat
akhirnya mimpi buruk ini berakhir. Tepi pandanganku mulai gelap, jadi aku
meraih lengan Tobias dan memeganginya erat-erat, percaya ia akan membawaku
menuruni tangga dengan selamat.
Saat anak tangga yang harus kuturuni habis, aku membuka
mata. Tobias akan membuka pintu keluar, tapi aku menahannya. “Harus ... tarik
napas ....”
Tobias berhenti, dan aku meletakkan tanganku di lutut sambil
bersandar. Bahuku masih berdenyut. Aku mengerutkan kening dan memandanginya.
“Ayo, kita keluar dari sini,” Tobias bersikeras.
Hatiku mencelus. Aku menatap matanya. Biru tua, dengan
bagian berwarna biru muda di selaput pelangi kanannya.
Aku merangkum dagunya dengan tanganku, lalu menciumnya
perlahan.
“Kita tak bisa keluar dari sini,” kataku. “Karena ini
simulasi.”
Tobias menarik tangan kananku supaya aku berdiri. Tobias
yang asli pasti ingat akan luka di bahuku.
“Apa?” Ia memberengut ke arahku. “Kau kira aku tak bakal
tahu kalau aku ada dalam simulasi?”
“Kau tidak dalam simulasi. Kau adalah simulasi itu.” Aku menengadah lalu berseru, “Kau harus
melakukan yang lebih baik dari ini, Jeanine.”
Sekarang, aku hanya perlu bangun. Aku tahu caranya. Aku
sudah pernah melakukannya, di ruang ketakutanku, saat aku memecahkan tangki
kaca hanya dengan menyentuhkan telapak tanganku, atau saat aku membuat pistol
muncul di rumput untuk menembak burung-burung yang menukik. Aku meraih pisau
dari sakuku—pisau yang sesaat tadi tidak ada—dan membuat kakiku menjadi sekeras
intan.
Aku menghunjamkan pisau itu ke pahaku, dan bilahnya bengkok.
***
Aku bangun dengan air mata di mataku. Aku bangun dan
mendengar jeritan frustrasi Jeanine.
“Apa?” Ia merenggut pistol di tangan Peter dan bergegas
melintasi ruangan, lalu menekankan laras pistol itu ke dahiku. Tubuhku kaku,
dingin. Ia tak akan menembakku. Aku ini masalah yang tak bisa dipecahkannya.
Jeanine tak akan menembakku.
“Apa yang membuatmu tahu? Katakan. Katakan atau kubunuh
kau!”
Aku mendorong tubuhku dengan pelan dari kursi, berdiri, dan
menekankan kulitku lebih keras ke laras pistol yang dingin itu.
“Kau pikir aku bakal memberitahumu?” tantangku. “Kau pikir
aku percaya kau akan membunuhku sebelum memperoleh jawabannya?”
“Dasar gadis bodoh,” sahut Jeanine. “Kau pikiri ini semua
tentangmu dan otak abnormalmu? Ini bukan tentang dirimu. Ini bukan tentang aku.
Ini tentang mengamankan kota dari orang-orang yang ingin terjun ke neraka!”
Aku mengumpulkan sisa-sisa kekuatanku dan menerjangnya,
mencakar apa pun yang bisa dicapai kukuku, mencakarnya sekeras mungkin. Jeanine
menjerit keras. Suaranya membakar darahku. Aku menonjok mukanya.
Sepasang tangan memelukku, menarikku menjauhi Jeanine, dan
tinju mengenai samping tubuhku. Aku mengerang, dan menyerbu ke arah Jeanine,
tapi ditahan oleh Peter.
“Rasa sakit tak mampu membuatku memberitahumu. Serum
kejujuran tak sanggup membuatku mengatakannya kepadamu. Simulasi juga tak bisa
membuatku mengatakannya kepadamu. Aku kebal terhadap ketiganya.”
Hidung Jeanine berdarah. Aku juga melihat goresan-goresan
kuku di pipi serta di samping lehernya berubah menjadi merah karena darah. Ia
melotot ke arahku sambil menjepit hidungnya. Rambutnya acak-acakan. Tangannya
yang satu lagi gemetar.
“Kau gagal. Kau
tak bisa mengendalikanku!” aku berteriak, begitu keras sehingga leherku sakit.
Aku berhenti melawan dan bersandar ke dada Peter. “Kau tak akan pernah bisa mengendalikanku.”
Aku tertawa, muram, tertawa gila. Aku menikmati pandangan
marah di wajahnya dan rasa benci di matanya. Jeanine itu seperti mesin, dingin
dan tanpa emosi, hanya ada logika. Dan aku merusaknya.
Aku merusaknya.[]
No comments:
Post a Comment