Penulis: Suzanne
Collins
“Yeah.” Ia
mengerutkan kening. “Itu masalah. Tapi, seperti yang aku dan kau ketahui,
banyak factionless yang Divergent,
dan sebagian besar dari mereka yang sudah pindah ke sektor Abnegation saat aku
pergi, jadi hanya beberapa rumah aman yang akan terpengaruh. Jadi, jumlah
mereka masih tetap besar saat melakukan penyerbuan.”
Dua minggu. Apakah aku mampu melewati dua minggu ini? Aku
sudah begitu lelah sehingga sulit berdiri sendiri. Bahkan, penyelamatan yang
Tobias sebutkan tadi tidak membuatku bersemangat. Aku tidak menginginkan
kebebasan. Aku ingin tidur. Aku mau ini berakhir.
“Aku tidak ...,” aku tersedak kata-kata dan mulai menangis.
“Aku tak .... mampu bertahan ... selama itu.”
“Tris,” kata Tobias dengan tegas. Ia tak pernah
memanjakanku. Aku berharap seandainya, sekali ini saja, ia mau memanjakanku.
“Kau harus. Kau harus bertahan.”
“Kenapa?” Pertanyaan itu terbentuk di perutku dan terlontar
dari kerongkonganku seperti erangan. Aku merasa seolah memukuli dadanya dengan
tinjuku, seperti anak kecil yang mengamuk. Air mata membasahi pipiku. Aku tahu
tingkahku konyol sekali, tapi aku tak mampu berhenti. “Kenapa aku harus? Kenapa
tidak sekali-sekali orang lain saja yang melakukannya? Bagaimana kalau aku tak
mau melakukan ini lagi?”
Aku sadar yang kumaksud dengan ini adalah hidup. Aku tak menginginkannya. Aku ingin orangtuaku,
sudah berminggu-minggu aku merasa begitu. Aku sudah berusaha mencapai mereka,
tapi sekarang, saat aku begitu dekat, Tobias melarangku.
“Aku mengerti.” Aku tak pernah mendengar suaranya selembut
ini. “Aku tahu ini berat. Ini tindakan terberat yang harus kau lakukan.”
Aku menggeleng.
“Aku tak bisa memaksamu. Aku tak mungkin membuatmu ingin
bertahan melewati ini.” Ia menarikku ke pelukannya dan membelai rambutku,
menyelinapkannya ke balik telingaku. Jari-jarinya bergerak di leherku, lalu ke
bahuku. Kemudian Tobias berkata, “Tapi, kau akan melakukannya. Tak masalah kau
yakin kau bisa atau tidak. Kau akan melakukannya karena itulah dirimu.”
Aku mundur dan menciumnya seperti dulu, saat aku yakin
dengan kami.
Aku tak ingin mengatakan yang sebenarnya pada Tobias: bahwa
ia salah, dan aku tak mau bertahan melewati ini.
Pintu terbuka. Dauntless pembelot memenuhi lemari peralatan
ini. Tobias mundur, membalikkan pistol di tangannya dan menyodorkannya, dengan
gagang terlebih dulu, ke Dauntless pembelot terdekat.[]
33
“Beatrice.”
Aku tersentak terbangun. Ruangan tempatku sekarang—untuk
eksperimen apa pun yang akan mereka lakukan padaku—ukurannya besar, dnegan
layar-layar di sepanjang dinding belakang, lampu biru yang bersinar tepat di
atas lantai, serta deretan bangku dengan bantalan di tengahnya. Aku duduk di
bangku terjauh bersama Peter di kiriku, kepalaku disandarkan di dinding.
Rasanya tidurku belum cukup.
Andai saja aku tidak dibangungkan. Caleb berdiri beberapa
langkah dariku, dengan berat bagan ditumpukan pada satu kaki. Ragu-ragu.
“Apakah kau pernah
meninggalkan faksi Erudite?” tanyaku.
“Ini tidak sesederhana itu,” bantah Caleb. “Aku—”
“Ini sesederhana itu.” Walau ingin berteriak, aku hanya
berkata dengan nada datar. “Sejak kapan kau mengkhianati keluarga kita? Sebelum
orangtua kita meninggal, atau sesudah itu?”
“Aku melakukan apa yang harus kulakukan. Kau mengira kau
memahami ini, Beatrice, tapi sebenarnya tidak. Seluruh situasi ini ... lebih
besar daripada yang kau kita.” Matanya memohon pengertianku, tapi aku mengenali
nadanya—nada yang biasa digunakannya untuk memarahiku ketika kami masih kecil.
Meremehkan.
Congkak adalah salah satu kekurangan para Erudite—aku tahu
itu. Sifat itu sering kali ada dalam diriku.
Begitu pula dengan sifat serakah juga. Dan aku tak punya
sigat itu. Jadi, aku ini setengah iya dan setengah tidak, seperti biasa.
Aku mendorong diriku berdiri. “Kau masih belum menjawab
pertanyaanku.”
Caleb melangkah mundur.
“Ini bukan tentang faksi Erudite. Ini tentang semua orang.
Semua faksi,” katanya, “dan kota ini. Dan, apa yang dada di luar pagar
perbatasan.”
“Aku tak peduli,” tukasku, tapi itu bohong. Kata-kata “di
luar pagar perbatasan” meggelitik benakku. Di luar? Bagaimana mungkin ini semua
ada kaitannya dengan apa yang ada di luar?”
Sesuatu menggelitik di belakang benakku. Marcus bilang
informasi yang dimiliki faksi Abnegation memotivasi serangan Jeanine terhadap
Abnegation. Apakah informasi itu juga ada kaitannya dengan yang di luar sana?
Aku menyingkirkan pikiran itu untuk sementara.
“Kukira kalian itu mengejar fakta. Kebebasan informasi? Nah,
bagaimana dengan fakta ini, Caleb?
Kapan—” aku mencicit. “Kapan kau
mengkhianati orangtua kita?”
“Aku ini seorang Erudite,” jawab Caleb pelan. “Bahkan
walaupun aku seharusnya menjadi seorang Abnegation.”
“Kalau kau bersama Jeanine, aku akan membencimu. Seperti
yang dilakukan ayah kita.”
“Ayah kita.” Caleb mendengus sedikit. “Ayah kita itu dulunya seorang Erudite, Beatrice.
Jeanine memberitahuku itu—ayah kita seangkatan dengan Jeanine.”
“Ayah kita bukan orang Erudite,” kataku setelah beberapa
saat. “Ia memilih untuk meninggalkan mereka. Ia memilih identitas yang berbeda,
seperti dirimu, dan menjadi sesuatu yang lain. Namun, kau memilih ... memilih kejahatan ini.”
“Bicara layaknya seorang Dauntless sejati,” hardik Caleb.
“Hanya ini atau itu. Tak ada yang di antaranya. Dunia tidak seperti itu, Beatrice. Kejahatan itu ditentukan dari
posisimu.”
“Di mana pun posisiku, aku masih beranggapan bahwa
mengendalikan pikiran seluruh warga adalah suatu kejahatan.” Aku merasa bibirku
bergetar. “Aku masih berpikir mengantarkan adikmu untuk diteliti, lalu
dieksekusi adalah kejahatan!”
Caleb memang kakakku, tapi aku ingin mencabik-cabiknya.
Namun, aku justru duduk kembali dan bukannya mencoba
melakukan itu. Aku tak bisa menyakitinya sebegitu ruapa supaya pengkhianatannya
tidak lagi menyakitiku. Dan, pengkhianatan Caleb memang menyakitiku, seluruh tubuhku. Aku menekankan jariku ke dada untuk
memijatnya agar ketegangan itu pergi.
Jeanine dan pasukan ilmuwan Erudite serata Dauntless
pembelotnya berjalan masuk tepat pada saat aku menyeka air mata dari pipiku.
Aku mengedipkan mata cepat-cepat agar Jeanine tak melihatnya. Namun, ternyata
ia bahkan tidak melirikku sama sekali.
“Mari kita lihat hasilnya,” ia menggumamkan. Caleb, yang
sekarang berdiri di samping layar, menekan sesuatu di bagian depan ruangan
sehingga layar-layar itu menyala. Kata-kata dan angka-angka yang tak kupahami
memenuhi layar-layar tersebut.
“Kami menemukan sesuatu yang sangat menarik, Ms. Prior.” Aku
tak pernah melihat Jeanine seceria itu. Ia hampir tersenyum—hampir. “Kau
memiliki banyak sekali neuron yang disebut—namanya sederhana—neuron cermin atau
sel saraf peniru. Ada yang mau menjelaskan kepada Ms. Prior apa tepatnya fungsi
sel saraf peniru itu?”
Para ilmuwan Erudite mengacungkan tangan mereka. Jeanine
menunjuk seorang perempuan tua yanga da di depan.
“Sel saraf peniru menyala saat seseorang melakukan suatu
aksi maupun saat menyaksikan aksi yang sama dilakukan oleh orang lain. Sel-sel
itu memungkinkan kita meniru perilaku.”
No comments:
Post a Comment