Penulis: Suzanne
Collins
32
Saat terbangun, kepalaku sakit. Aku mencoba untuk tidur
lagi—setidaknya aku tenang saat tidur—tapi bayangan Caleb yang berdiri di pintu
menerjang benakku berulang-ulang, diiringi dengan kaokan gagak.
Mengapa aku tak pernah bertanya-tanya dari mana Eric dan
Jeanine tahu hasil tes kecakapanku adalah tiga faksi?
Mengapa tak pernah terlintas di benakku bahwa hanya ada tiga
orang di dunia ini yang mengetahui itu: Tori, Caleb, dan Tobias?
Jantungku berdetak. Aku tak bisa memahaminya. Aku tak
mengerti mengapa Caleb tega mengkhianatiku. Aku bertanya-tanya kapan itu
terjadi—setelah simulasi penyerangan? Setelah kabur dari markas Amity? Atau
lebih cepat dari itu—apakah saat ayahku masih hidup? Caleb bilang ia
meninggalkan faksi Erudite setelah mengetahui rencana mereka—apakah ia
berbohong?
Pasti begitu. Aku menekankan tanganku ke dahi. Kakakku lebih
memilih faksi daripada ikatan darah. Pasti ada alasannya. Pasti Jeanine
mengancamnya. Atau, memaksanya dengan suatu cara.
Pintu terbuka. Aku tidak mengangkat kepala atau membuka
mata.
“Kaku.” Peter. Jelas.
“Ya.” Saat aku membiarkan tanganku turun dari wajahku,
sejumput rambut ikut terjuntai. Aku memandang rambut itu dari sudut mataku.
Rambutku tak pernah selengket ini.
Peter meletakkan sebotol air di samping tempat tidur, lalu
roti lapis. Memikirkan makan membuatku mual.
“Otakmu lumpuh?” tanyanya.
“Sepertinya tidak.”
“Jangan sok yakin.”
“Ha-ha,” kataku. “Berapa lama aku tidur?”
“Sekitar sehari. Aku disuruh mengawalmu ke kamar mandi.”
“Kalau kau berkomentar betapa aku butuh mandi,” kataku
lelah, “bakal kucolok matamu.”
Ruangan berputar saat aku mengangkat kepala, tapi aku
berhasil menggeser kakiku ke tepi tempat tidur dan berdiri. Aku dan Peter mulai
berjalan menyusuri koridor. Namun, saat kami berbelok menuju kamar mandi, ada
orang-orang di ujung koridor itu.
Salah satunya Tobias. Aku bisa melihat kapan kami akan
berpapasan, di antara tempatku berdiri sekarang dan pintu selku. Aku menatap,
bukan ke arah Tobias melainkan ke tempat Tobias akan meraih tanganku, seperti
yang dilakukannya saat kami berpapasan. Kulitku merinding karena berdebar.
Walau hanya sesaat, aku bisa menyentuhnya lagi.
Enam langkah sebelum berpapasan. Lima langkah.
Namun pada langkah keempat, Tobias berhenti. Seluruh
tubuhnya limbung dan menyebabkan Dauntless pembelot yang mengawalnya lengah.
Pegangan pengawal itu sekejap mengendur, dan langsung Tobias meringkuk di
lantai.
Lalu ia berputar. Menerjang. Dan, merenggut pistol dari
sarung pistol Dauntless pembelot yang pendek.
Senjata itu menyalak. Peter menukik ke kanan sambil
menyeretku. Kepalaku terseret di dinding. Mulut Dauntless penjaga itu
terbuka—pasti ia berteriak. Namun, aku tak mendengar suaranya.
Tobias menendang perut penjaga itu keras-keras. Dauntless
dalam diriku mengagumi sikap tubuhnya yang sempurna dan kecepatannya yang luar
biasa. Lalu, Tobias berbalik dan mengacungkan pistol itu ke arah Peter. Namun,
Peter sudah melepaskanku.
Tobias meraih lengan kiriku, membantuku berdiri, kemudian
mulai berlari. Aku terhuyung-huyung mengikutinya. Setiap kali kakiku menjejak
lantai, rasa sakit seolah membelah kepalaku, tapi aku tak bisa berhenti. Aku
mengerjap untuk menyingkirkan air mata. Lari,
perintahku kepada diri sendiri, seolah-olah itu akan membuatnya lebih mudah.
Tangan Tobias kasar dan kuat. Aku membiarkan tangannya menuntunku berbelok.
“Tobias,” kataku sambil tersengal.
Ia berhenti dan memandangku. “Oh, tidak,” katanya sambil
membelai pipiku dengan jarinya. “Ayo. Naik ke punggungku.”
Tobias membungkuk dan aku memeluk lehernya serta menyurukkan
wajaku ke antara tualng belikatnya. Ia mengangkatku tanpa kesulitan dan
memegangi kakiku dengan tangan kirinya. Tangan kanannya masih memegang pistol.
Tobias berlari. Walaupun ditambah bobot tubuhku, larinya
tetap kencang. Aku berpikir, Bagaimana
mungkin ia menjadi seorang Abnegation? Tobias tampaknya dirancang khusus
dengan kecepatan dan ketepatan yang mematikan. Tpi tidak dengan kekuatan—ia
pintar, tapi tidak kuat. Hanya cukup kuat untuk menggendongku.
Sekarang, koridor-koridor itu kosong, tapi tidak akan lama.
Sebentar lagi di setiap Dauntless di gedung ini akan mengejar kami dari
berbagai penjuru, dan kami akan terperangkap di labirin pucat ini. Aku
bertanya-tanya bagaimana cara Tobias melewati mereka.
Aku mengangkat kepalaku cukup lama untuk melihat Tobias
melewati pintu keluar.
“Tobias, kau melewatinya.”
“Melewati ... apa?” tanyanya di sela-sela napasnya.
“Pintu keluar.”
“Bukan mau kabur, Kita bakal ditembak kalau kabur,” katanya.
“Mencoba ... mencari sesuatu.”
Aku bakal menyangka sedang bermimpi andaikan rasa sakit di
kepalaku tidak begitu parah. Bisanya, hanya mimpiku yang tidak masuk akal.
Kalau Tobias tidak mau kabur, kenapa ia membawaku bersamanya? Apa yang
dilakukannya, kalau bukan kabur?
Tiba-tiba Tobias berhenti, hampir menjatuhkanku, saat tiba
di koridor besar dengan panel-panel kaca di berbagai sisinya, memperlihatkan
kantor-kantor. Para Erudite duduk diam di meja mereka, menatap kami. Tobias
tidak memperhatikan mereka. Matanya, sejauh yang bisa kulihat, terus menatap
pintu di ujung koridor itu. Tanda di luar pintu berbunyi KONTROL-A.
Tobias mencari-cari setiap sudut ruangan, lalu menembak
kamera yang terpasang di langit-langit di kanan kami. Kamera itu jatuh. Ia
menembak kamera yang terpasang di langit-langit sebelah kiri kami. Lensanya
pecah.
“Saatnya turun,” katanya. “Tak perlu lari lagi, janji.”
Aku turun dari punggungnya dan meraih tangannya. Tobias
berjalan ke arah pintu tertutup yang sudah kami lewati dan masuk ke lemari
barang. Ia menutup pintu dan mengganjalkan kursi ke bawah pegangan pintunya.
Aku menghadap Tobias, dengan rak berisi tumpukan keratas di punggungku. Di atas
kami, lampu biru berkedip. Mata Tobias menjelajahi wajahku.
“Waktunya singkat, jadi aku langsung saja,” katanya.
Aku mengangguk.
“Aku ke sini bukan karena ingin bunuh diri,” Tobias
menjelaskan. “Aku ke sini karena dua alasan. Pertama adalh mencari dua ruang kendali pusat Erudite sehingga saat
kita menyerang, kita tahu apa yang harus dihancurkan duluan agar semua data
simulasinya hancur sehingga Jeanine tak bisa mengaktifkan pemancar Dauntless.”
Itu menjelaskan lari tanpa melarikan diri. Dan, kami sudah
menemukan ruang kendalinya, di ujung koridor.
Aku menatap Tobias, masih bingung akibat beberapa menit yang
baru lewat.
“Kedua,” katanya
sambil berdeham, “adalah untuk memastikan kau bertahan karena kita punya
rencana.”
“Rencana apa?”
“Menurut mata-mata kita, eksekusimu sudah dijadwalkan akan
dilakukan dua minggu dari hari ini,” katanya. “Setidaknya, itulah tanggal yang
Jeanine tetapkan untuk simulasi anti-Divergent yang baru. Jadi, empat belas
hari dari sekarang, para factionless,
Dauntless loyal, dan Abnegation yang ingin bertempur akan menyerang kompleks
Erudite dan menaklukkan senjata terhebat mereka—sistem komputer mereka. Itu
artinya kita bisa mengalahkan banyaknya Dauntless pembelot, dan juga Erudite.”
“Tapi, kau memberi tahu Jeanine di mana rumah aman para factionless.”
No comments:
Post a Comment